ISSN 1858-2419 Vol. 8 No. 2
Maret 2013
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
Review
Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan untuk Mendukung Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut (Management and Development of Tool and Farm Machinery to Support of Rice Farming on the Tidal Swamp) Sudirman Umar
Penelitian
Pengaruh Konsentrasi Gula dan Starter terhadap Mutu Teh Kombucha (Effects of Sugar Concentration and Starter on Quality of Kombucha Tea) Marwati, Hudaida
Syahrumsyah, Ratri Handria
Pengaruh CaCl2 dan Gum Guar terhadap Kualitas Bihun Sukun (Effects of CaCl2 and
Guar Gum on the Quality of Breadfruit Bihon-Type Noodle) Sukmiyati Agustin
Produksi Kertas Selulosa Mikroba Nata de Coco dan Analisis Biokonversinya (Production of Microbial Celluose Paper from Nata de Coco and Its Bioconversion Analysis) Khaswar Syamsu, Han Roliadi, Krishna Purnawan Candra, Siti Sartika
Hardiyanti
Pengaruh Bahan Pengikat (Karaginan, Albumen dan Gelatin) dan Lemak terhadap Komposisi Kimia, Kualitas Fisik dan Karakteristik Sensoris Sosis Sapi (Effect of Binders (Carrageenan, Albumen and Gelatine) and Fat on Chemical Composition, Physical Quality, and Sensory Characteristic of Beef Sausage) Arif Ismanto
Peningkatan Produktivitas Dan Mutu Kakao Melalui Diseminasi Multi-Channel (DMC) Di Nagari Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman (Increasing the Productivity and Quality of Cocoa through Multi-Channel Dissemination (MCD) at Parit Malintang Village, Padang Pariaman District) Nusyirwan Hasan, Rifda Roswita
Bekerjasama dengan
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN
PENERBIT
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Jl.Tanah Grogot Kampus Gunung Kelua Samarinda 75119
KETUA EDITOR
Krishna Purnawan Candra (THP-UNMUL Samarinda) EDITOR
Bernatal Saragih (THP-UNMUL Samarinda) Dahrulsyah (TPG-IPB Bogor)
Dodik Briawan (GMK-IPB Bogor) Khaswar Syamsu (TIN-IPB Bogor) Meika Syahbana Roesli (TIN-IPB Bogor) V. Prihananto (THP-Unsoed Purwokerto)
EDITOR PELAKSANA Sulistyo Prabowo
Hadi Suprapto Miftakhur Rohmah ALAMAT REDAKSI Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Jalan Tanah Grogot Kampus Gunung Kelua Samarinda 75119
Telp 0541-749159 e-mail: jtpunmul@gmail.com
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
Volume 8 Nomor 2
Review
HalamanPengelolaan dan Pengembangan Alsintan untuk Mendukung Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut (Management and Development of Tool and Farm Machinery to Support of Rice Farming on the Tidal Swamp) Sudirman Umar ... 37-48
Penelitian
Pengaruh Konsentrasi Gula dan Starter terhadap Mutu Teh Kombucha (Effects of Sugar and Starter Concentration on Quality of Kombucha Tea) Marwati, Hudaida
Syahrumsyah, Ratri Handria ... 49-53 Pengaruh CaCl2 dan Gum Guar terhadap Kualitas Bihun Sukun (Effects of CaCl2 and
Guar Gum on the Quality of Breadfruit Bihon-Type Noodle) Sukmiyati Agustin .. 54-59 Produksi Kertas Selulosa Mikroba Nata de Coco dan Analisis Biokonversinya (Production of Microbial Celluose Paper from Nata de Coco and Its Bioconversion Analysis) Khaswar Syamsu, Han Roliadi, Krishna Purnawan Candra, Siti Sartika
Hardiyanti ... 60-68 Pengaruh Bahan Pengikat (Karagenan, Albumen dan Gelatin) dan Lemak terhadap Komposisi Kimia, Kualitas Fisik dan Karakteristik Sensoris Sosis Sapi (Effect of Binders (Carrageenan, Albumen and Gelatine) and Fat on Chemical Composition, Physical Quality, and Sensory Characteristic of Beef Sausage) Arif Ismanto ... 69-74 Peningkatan Produktivitas Dan Mutu Kakao Melalui Diseminasi Multi-Channel (Cdm) Di Nagari Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman (Increasing the Productivity and Quality of Cocoa through Multi-Channel Dissemination (MCD) at Parit Malintang Village, Padang Pariaman District) Nusyirwan Hasan, Rifda Roswita ... 75-82
Sudirman Umar Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usaha Tani Padi
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN ALSINTAN UNTUK MENDUKUNG USAHATANI PADI DI LAHAN PASANG SURUT
Management and Development of Tool and Farm Machinery to Support of Rice Farming on the Tidal Swamp
Sudirman Umar
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru, Jalan Kebun Karet, PO Box 31 Loktabat Utara, Banjarbaru, Email: sudirman_pbr@yahoo.co.id
Received 15 January 2013, accepted 4 February 2013 ABSTRACT
Tool and farm machinery serve not only to improve farm productivity and efficiency, but also to increase the wide of cultivation and arable cropping intensity, to press post-harvest loss, to improve the quality and benefit of agricultural products, as well as expanding employment opportunities in rural areas. Developing of various types of pre- and post-harvest tool and machinery for paddy in swampland and its application, creating effectiveness farming and enhance competitiveness to improve farmer’s prosperity. Tillage tractor with depth of 6-12 cm shows effectiveness and efficiency of 0.11 ha h-1 and 76.70 %, respectively.
Planting using power seeder has working capacity of 0.285 ha h-1 with efficiency of 87.23 %.
Reaper shows working capacity of 0.187 ha h-1 with efficiency of 89.90 %. Work equality
between hoe and tillage tractor is 1:12.65 ha. Comparison between human power and by using power seeder is 1:13.39 ha, while comparison of harvesting time between ani-ani and reaper is 1:23.40 ha. Comparison of threshing time between manual threshing and by using power thresher is 1:10.04 ha (thresher used is TH6-G88 type, with threshing capacity of 424.20 to 723.60 kg h-1 at 370-700 rpm rotational speed). Capacity of double-pass milling
machines in tidal area was 173.13 kg h-1 with yield of 68.60 %, which producing head rice of
64.30 %, and broken rice of 18.92 %. Rice characteristics produced by the double-pass milling in tidal zone has average of 65.63 % for head rice, 19.06 % for broken rice 19.07 %, and 15.03 % for brewer.
Keywords: tool and farm machinery, management, rice farming, tidal swamp.
PENDAHULUAN
Untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis, pembangunan pertanian diarahkan pada lahan-lahan yang berada di luar pulau Jawa, karena luas lahan masih sangat memungkinkan untuk dikem-bangkannya usahatani.
Kebijakan pemerintah dalam mengan-tisipasi peningkatan alih fungsi lahan subur untuk berbagai keperluan non pertanian maupun permintaan akan hasil pertanian adalah mengembangkan pertanian pada lahan marjinal seperti lahan pasang surut (Mulyana, 1992). Masalah utama dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut adalah ter-batasnya modal dan tenaga kerja. Alternatif pemecahan masalah tersebut adalah mengem-bangkan alat dan mesin pertanian (alsintan)
pra dan pascapanen tepat guna (Ananto, 2001).
Saat ini hampir semua teknologi meka-nisasi pertanian yang ditemukan dan dibuat sudah dikenal, diketahui dan digunakan oleh para petani kita seperti hand tractor, pompa air, power thresher (mesin perontok), bed
dryer (mesin pengering), Rice Milling Unit
(RMU/Huller) dan lain-lain. Persoalannya adalah hampir semua teknologi tersebut dibuat atau diperuntukkan untuk usahatani padi. Umumnya pertanian di Indonesia masih didominasi oleh usahatani padi, sehingga kebijakan mekanisasi pertanian kita masih berorientasi pada usahatani padi tersebut.
Selain untuk meningkatkan luas garap-an dgarap-an intensitas tgarap-anam, alsintgarap-an berpergarap-an juga untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, menekan kehilangan hasil dan meningkatkan mutu dan nilai tambah
produk pertanian serta memperluas kesem-patan kerja di pedesaan melalui terciptanya agribisnis terpadu yang pada akhirnya akan memacu kegiatan ekonomi di pedesaan (Manwan dan Ananto, 1994).
Penggunaan traktor saat ini sudah men-jadi kebutuhan utama petani untuk mengolah tanah, mengingat pengolahan tanah dengan tenaga buruh dianggap menjadi semakin mahal seiring dengan kurangnya ketersediaan tenaga kerja karena telah beralih profesi ke non pertanian serta meningkatnya upah buruh disamping lamanya waktu pengolahan tanah. Kekurangan tenaga kerja yang disertai dengan naiknya upah tersebut mendorong petani untuk menggunakan tenaga traktor dan mesin perontok padi.
Peran Alsintan Dalam Pengembangan Usahatani Padi
Dalam rangka pengembangan usaha-tani padi, alsintan sebagai unsur pendukung pengembangan usahatani di lahan pasang surut mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan sumber-sumber pertumbuh-an dengpertumbuh-an peningkatpertumbuh-an dpertumbuh-an diversifikasi pro-duksi, peningkatan efisiensi dan pendapatan usahatani serta pengembangan agribisnis. Untuk itu pengembangan dan perannya harus diselaraskan dengan kemampuan petani sehingga diperoleh manfaat yang optimal.
Penggunaan alsintan di lahan pasang surut selain meningkatkan luas garapan juga untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja. Sedangkan untuk meningkatkan pengaruh positif penggunaan alsintan, introduksi alsintan pra dan pasca panen sangat memung-kinkan. Indikasi rasio luas lahan dengan jumlah petani yang ada di daerah pemukiman pasang surut yang kurang berimbang karena luas rata-rata yang dimiliki 2,08-2,20 Ha, sedangkan daya garap lahan/keluarga tani sekitar satu hektar (Noorginayuwati, 1996). Dengan land-man ratio yang rendah dan sistem pengelolaan yang masih tradisional, maka intensitas tanam, produktivitas tanaman dan mutu hasil yang rendah memberi peluang masuknya alsintan, baik untuk kegiatan pra panen maupun pasca panen. Penggunaan alsintan dapat meningkatkan intensitas tanam
dan ekstensifitas serta keserempakan
pengelolaan usahatani yang sekaligus dapat mengurangi serangan hama dan penyakit.
Masuknya alsintan menyebabkan
pemanfaatan lahan untuk usahatani semakin luas, dengan demikian intensitas tanam semakin besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan alat pengolahan tanah (traktor) dapat merubah sistem kerja tanam, menyeragamkan waktu tanam dan dapat menekan waktu kerja (peningkatan efisiensi) juga membuka lahan yang lebih luas. Peningkatan efisiensi pada penggunaan traktor tangan di lahan pasang surut cukup tinggi sekitar 76-80 % (Umar dan Noor, 2007). Dampak dari penggunaan traktor adalah adanya rangsangan untuk mema-sukkan sarana produksi yang optimal dan menggunakan alat lain seperti mesin perontok yang dapat memperbaiki mutu hasil.
Asintan Dalam Pengelolaan Usahatani Padi Pasang Surut
Dengan berkembangnya alsintan di wilayah sentra produksi dan banyaknya alat yang sudah diperjual-belikan baik tipe maupun model, untuk pengadaannya perlu pemilihan yang cermat agar sesuai kondisi. Adapun pertimbangan dalam pembelian alsin-tan (pasang surut), kesesuaian dan spesifik lokasi, merk / tipe dan model, mudah/tidaknya pemeliharaan, kestabilan serta keamanan pengoperasiannya.
Untuk menilai keragaan teknis, kela-yakan teknis dan ekonomis pada beberapa alsintan di wilayah pasang surut telah dilakukan pengujian serta dari pengalaman penggunaan berbagai alat, antara lain traktor tangan tipe rotari, singkal / glebek, perontok padi, bed dryer dan penggilingan yang mem-perhatikan kapasitas dan efisiensi lapang. Alat Mesin Pengolahan Tanah
Lahan tipologi B dan C (potensial) dimana kondisi airnya (pasang-surut) tidak besar atau lahan jauh dari saluran tersier / sekunder, pengolahan tanah dapat dilakukan dengan alat pengolah tanah (traktor) meng-gunakan implemen bajak. Pengolahan tanah dengan traktor umumnya menggunakan im-plemen bajak singkal, kemudian glebek atau garpu untuk meratakan. Bila kondisi lahan basah atau yang diairi dalam waktu lama, tanah dapat dikerjakan dengan rotari sehingga waktu kerja dapat diefisienkan. Umunya waktu kerja efektif yang dibutuhkan dalam menyelesaikan luas lahan per hektar dengan
Sudirman Umar Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usaha Tani Padi
rotari adalah 8,7 j ha-1, luku sapi (2 ekor)
66,67 j ha-1 sedangkan dengan cangkul 110,11
j ha-1 (Umar dan Noor, 1994). Perbandingan
waktu kerja efektif yang dihasilkan dari pengolahan tanah menggunakan cangkul dan traktor, luasan kerja yang dihasilkan sebesar 1:12,65 ha. Selain menekan waktu kerja penggunaan alat pengolah tanah bermesin juga mengurangi biaya kerja, sehingga secara keseluruhan terjadi peningkatan efisiensi. Dari beberapa hasil penelitian berbagai tipe traktor di lahan pasang surut, menunjukkan bahwa traktor tangan tipe glebek dan rotari sesuai untuk lokasi pasang surut baik untuk olah tanah pertama atau olah tanah kedua (melumpur). Kebutuhan waktu kerja traktor tangan tipe singkal pada kondisi tanah lembab
setelah digenangi adalah 10-11 j ha-1,
sedang-kan tipe rotari dan traktor kura-kura (hidrotiller) masing-masing sebesar 8,5-10,5 j
ha-1 dan 8,5-9,6 j ha-1. Sedangkan untuk lahan
pasang surut, penggunaan traktor tipe rotari pada batas kedalaman 14 cm sangat efektif dan efisiensi yang diperoleh lebih besar dari 76 % (Umar, 2006).
Perbandingan luas lahan yang menggu-nakan tenaga kerja manusia dan tenaga mesin (rotary) berdasarkan jumlah jam kerja adalah 12,68 ha, dan akibat penurunan jam kerja me-nyebabkan efisiensi meningkat (Gambar 1.).
Figure 1. Comparison of tillage area extention (ha)
covered by different method (labor and farming machine) on cultivation activities in tidal swamp. Extent area calculated on the same tillage per ha.
Berdasarkan kapasitas lapang yang di-hasilkan dan hasil pengolahan tanah di lahan rawa pasang surut, ternyata peningkatan efisi-ensi dari 37 % menjadi 76,7 % atau efisiefisi-ensi kesetaraan sekitar 204 %. Secara umum efisi-ensi lapang dipengaruhi oleh kemampuan alat, bentuk dan luas lahan serta pola pengolahan tanah. Pada kedalaman olah tanah 6-12 cm,
peningkatan kapasitas kerja efektif sebesar 11,12 % dan rata-rata kenaikan efisiensi sebe-sar 13,20 % (Umar, 2006).
Alat Mesin Tanam
Penanaman merupakan salah satu tahap kegiatan produksi yang menyerap tenaga kerja cukup besar disamping kegiatan pengo-lahan tanah. Cara tanam pindah di pengo-lahan sa-wah membutuhkan tenaga kerja sekitar 26 % dari jumlah tenaga kerja seluruhnya 173 HOK (Astanto dan Ananto, 1999). Untuk menekan tingginya pemakaian tenaga kerja, pengem-bangan alat tanam semi mekanis dan mekanis perlu ditindak lanjuti. Pada suatu sistem usahatani padi unggul di lahan pasang surut dari penyiapan lahan sampai panen, curahan
tenaga kerja sebanyak 1.166 j ha-1, yang 195 j
ha-1 diantaranya digunakan untuk kegiatan
tanam (Umar dan Noorginayuwati, 2005). Se-lanjutnya Umar dan Indrayati (2013), menye-butkan untuk menyelesaikan satu periode pertanaman padi dengan teknologi introduksi pada lahan sulfat masam potensial
meng-gunakan waktu kerja 899,0 j ha-1 dan 23,4 %
tenaga kerja digunakan untuk tanam.
Pengujian alat tanam benih langsung tipe drum 8 alur yang ditarik oleh tenaga
ma-nusia, kapasitas kerja rata-rata 7,9 HOK ha-1,
lebih tinggi dibanding tanam pindah yang
menggunakan tenaga kerja 30 HOK ha-1
(Ahmad et al., 2000). Kemudian hasil kerja alat tanam benih langsung (atabela 6 alur) di lahan pasang surut Sumatera Selatan,
kapa-sitas kerja yang dihasilkan 0,083 ha j-1 dengan
2 orang operator (Umar dan Harjono, 2000). Untuk mengatasi penggunaan tenaga kerja yang banyak, dilakukan modifikasi pro-totipe alat dan mesin berdasarkan pengem-bangan mekanisasi, ternyata ilmu dan tek-nologi dalam modifikasi alat tanam berlang-sung dengan pesat sehingga menghasilkan be-berapa prototipe baru. Penggunaan RIP
(Ro-tation Injection Planter), menghasilkan
kapasitas kerja 0,024 ha j-1 sedangkan ATL-4r
(Alat Tanam Langsung 4 baris) menggunakan penggandeng traktor tangan menghasilkan
kapasitas kerja efektif 0,10 ha j-1 (Umar et al,
2005) dan dengan PS (Power Seeder)
kapa-sitas kerja 0,285 ha j-1 (Umar dan Harjono,
2000). Berdasarkan waktu kerja efektif, per-bandingan kegiatan menanam menggunakan tenaga kerja manusia dengan alat mesin tanam
power seeder adalah seluas 13,39 ha.
Peningkatan efisiensi penggunaan tenaga kerja dengan alat tanam adalah 92,68 % (Gambar 2).
Planting Method Change Pla
nt Rotation
Injection Pla nter Power S eeder P la nti ng t im e (h ) 0 50 100 150 200 192.00 41.50 3.51
Figure 2. Efficiency of planting time on
cultivation activities in tidal swamp using different planting method
Alat Mesin Panen
Kegiatan panen adalah bagian akhir dalam proses produksi dan ini menjadi sangat kritis karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor pembatas. Hampir 25 % tenaga kerja dicurahkan pada kegiatan panen, seperti halnya pada pengolahan tanah. Pertimbangan utama dalam melakukan subtitusi tenaga kerja adalah susut panen yang besar (6-9 %). Penelitian menunjukkan bahwa panen harus dilakukan pada saat yang tepat, agar susut panen menjadi kecil, terutama untuk varietas-varietas yang mudah rontok.
Kelangkaan tenaga kerja merupakan masalah yang sering timbul pada saat akan dilaksanakan panen, sehingga memberi peluang mundurnya waktu panen, akibatnya susut akan menjadi besar. Teknologi mekanisasi alat panen yang sudah ada saat ini adalah “reaper, reaper binder, stripper,
com-bine harvester”. Hasil pengujian teknologi
tersebut memberikan angka susut bervariasi dari angka 0,1 % sampai maksimum 2 % pada reaper (Balai Besar Alsintan, 1999). Kelang-kaan tenaga kerja untuk panen akan meng-akibatkan susut yang lebih besar. Panen yang dilakukan petani di lahan rawa menggunakan
waktu kerja 233,5 j ha-1 atau sekitar 20 % dari
energi total Umar dan Noorginayuwati (2005).
Mesin panen padi “reaper” dan “stripper” dapat digunakan di lahan pasang surut terutama untuk penanaman padi varietas unggul yang waktu panennya bertepatan dengan musim kemarau (tanam ke 2). Sistem kerja mesin reaper adalah memotong batang padi dan hasil potongan dilepaskan ke sam-ping mesin berjalan, sehingga masih menggunakan tenaga kerja manusia untuk mengumpulkannya. Walau kondisi lahan sedikit berair, mesin reaper masih dapat dioperasionalkan.
Mesin panen stripper, merontok gabah yang masih dimalai dengan cara menyisir malai langsung di pertanaman dan gabah yang terontok dimasukkan ke dalam bak penampung. Apabila bak telah terisi penuh maka dilakukan pergantian bak penampung yang lain yang sudah disiapkan sebagai cadangan untuk menghindari kehilangan waktu kerja mesin.
Table 1. Performance of two kind harvest machine
in the tidal swamp at Kampung Handil Manarap, Kalimantan Selatan
Description Unit Harvesting machine Reaper Stripper Field capacity h ha-1 5.63 8.50 Efficiency % 89.90 -- Fuel h ha-1 3.60 13.38 Unhulled not harvested % 3.65 2.22 Unhulled scatter % 13.75 10.46 Dirt % -- 7.92
Source : Noor dan Muhammad (1998); Noor et al. (2001)
Masukan teknologi mekanisasi alat dan mesin berupa alat panen bermesin merupakan harapan dari petani pengusaha (UPJA) dan petani pengusaha pertanian dengan luasan
lahan yang besar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja
cara panen ani-ani adalah 127 j ha-1 sedangkan
dengan sabit untuk panen padi unggul antara
73,4-79,6 j ha-1 (Umar, 1991 dalam Umar,
Sudirman Umar Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usaha Tani Padi
Harvesting tools
Ani-ani Sickle Reaper
H ar ves ti ng c ap aci ty ( h ha -1) 0 20 40 60 80 100 120 140 126.4 76.6 5.38
Figure 3. Efficiency of harvesting time on
harvesting activites in the tidal swamp using different tools
Kapasitas kerja pemanenan dengan alat
mesin panen reaper adalah 0,187 ha j-1 pada
pemotongan atas tanaman, sedangkan bila dilakukan pemotongan pada bagian batang
bawah adalah 0,167 ha j-1. Efisiensi yang
diha-silkan antara potong atas dari varietas yang lebih tinggi yakni 89,93 % (Noor dan Muham-mad, 1998). Hasil pengujian Noor et al. (2001), menunjukkan bahwa kapasitas kerja
yang dihasilkan reaper 5,63 j ha-1 sedangkan
stripper 8,50 j ha-1 dengan keadaan gabah
ko-tor yang telah dirontok (disisir). Kesetaraan waktu kerja dalam memanen dengan tenaga mesin (reaper) dibanding tenaga manusia sebesar 23,40 ha dan dengan sabit 14,70 ha. Alat Mesin Perontok
Untuk menghindari terjadinya susut hasil yang lebih tinggi setelah padi dipanen, perlu segera dilakukan perontokan. Panen yang serempak dengan luasan yang besar tanpa menyiapkan alat untuk merontok (thresher) lebih awal, gabah akan mengalami kerusakan akibat menumpuknya gabah dan jerami, karena kadar air dari jerami padi yang masih tinggi sehingga akan terjadi proses fermentasi dan gabah akan cepat membusuk. Hasil percobaan di beberapa desa di Keca-matan Musi Banyuasin (MUBA) Sumatera Selatan, ternyata akibat penumpukan gabah yang terpanen serentak dapat menyebabkan terjadi kerusakan gabah yang tinggi. Beras giling yang dihasilkan dari gabah hasil
penumpukan yang lama adalah beras berbin-tik dengan prosentase beras pecah yang tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
cara irik memakan waktu kerja 159,65 j ha-1,
gebot 118,75 j ha-1, pedal thresher 39,75 j ha
-1 sedangkan perontok mesin 15,92 j ha-1
(Umar, 1991 dalam Umar, 2006). Sejalan dengan menurunnya waktu yang digunakan dalam pelaksanaan perontokan di lahan pasang surut Sumatera Selatan, perontok mesin dapat memperpendek waktu
perontok-an dari 18 j ha-1 menjadi 12 j ha-1 dengan biaya
jasa lebih murah. Kehilangan (susut) yang terjadi dengan cara gebot sebesar 16,20 % dan dengan power thresher 3,30 % (Ananto, et al., 1999). Pengembangan mesin perontok tipe TH6-G88 dapat menekan waktu perontokan
dari 12 j ha-1 menjadi 11,3 j ha-1 (Umar, et al.,
2001).
Kesetaraan waktu kerja per hektar dalam merontok gabah dengan tenaga mesin (power thresher) sebesar 10,03 ha dibanding tenaga manusia cara pedal thresher sebesar 7,46 ha, cara gebot 2,50 ha, dan cara irik 1,00 ha. Efisiensi waktu kerja power thresher dibanding dengan tenaga irik sebesar 90,03 % sedangkan dengan gebot 87,60 % dan dengan
pedal thresher 59,95 %. (Gambar 4).
Figure 4. Comparison of threshing capacity (ha,
calculated with irik method as basic data) between different method of paddy threshing in tidal swamp area.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mesin perontok tipe TH6-G88 dengan kecepatan putar 370 rpm sampai 700 rpm menghasilkan kapasitas perontokan
424,20-723,60 kg j-1 dengan kerusakan gabah
Table 2. Influence of speed rotation and power on threshing capacity (kg j-1) of Power Thresher type
TH6-G88
Power (HP) Rotation (rpm) of thresher
Mean 370 480 590 700 5.5 438.0 547.8 630.0 754.2 592.5 ns 7.7 403.8 535.8 640.2 712.2 573.0 ns 8.5 430.2 547.8 604.2 703.8 571.5 ns Mean 424.2 d 543.6 c 624.6 b 723.6 a Increase (%) -- 0.019 0.013 0.016
Source: Umar et al. (2001). Data in column of mean threshing capacity which followed by sama letter show significant difference. ns = not significant.
Alat Mesin Pengering
Salah satu tahapan proses penanganan pasca panen yang sangat menentukan adalah pengeringan, hal ini berkaitan dengan mutu beras yang akan dihasilkan setelah diproses lebih lanjut ke penggilingan. Kadar air panen adalah merupakan faktor penting dalam mem-pertahankan kualitas gabah agar dapat lama disimpan. Batasan kadar air simpan < 13 %, hal ini akan terlihat apabila gabah diproses lanjut menjadi beras.
Umumnya di lahan pasang surut panen padi varietas unggul dilaksanakan pada bulan Januari akhir sampai dengan Februari saat curah hujan masih ada, sehingga tidak me-mungkinkan untuk melakukan penjemuran gabah segera. Untuk menghindari terjadinya penumpukan gabah setelah dirontok dalam kondisi kadar air sekitar 25-22 %, maka diper-lukan mesin pengering (bed dryer) agar dapat segera dikeringkan dan pada saat gabah setelah terpanen.
Untuk menghindari kerusakan gabah dan sekaligus penurunan kualitas beras maka petani hanya melakukan penjemuran hingga batas kadar air giling (±14 %), sehingga waktu untuk penjemuran diperpendek. Apabila peta-ni akan menggunakan sebagai konsumsi atau akan dijual maka akan dilakukan penjemuran kembali. Untuk mempertahankan kualitas beras maka perlakuan pengeringan dengan menggunakan alat mesin pengering perlu dilakukan. Hasil pengamatan di beberapa lokasi RMU, ternyata pemilik RMU juga mempunyai mesin pengering yang disatukan dengan maksud untuk menghindari waktu dalam menangani proses pengeringan. Mesin-mesin pengering yang ada memegang peran penting saat petani menjual gabah basah sehingga pemilik RMU dapat langsung mena-ngani proses pengeringan untuk menghindari
penyusutan dan kehilangan hasil yang semakin tinggi.
Dalam rangka pengembangan mesin pengering perlu diperhatikan mutu beras yang dihasilkan, pengoperasian oleh operator dan transportasi untuk mengantarkan gabah ke lokasi pengeringan. Selain itu bila kondisi tidak hujan maka kebanyakan petani hanya mengandalkan sinar matahari untuk menge-ringkan gabah, sehingga mesin pengering tidak beroperasi. Selanjutnya untuk pengem-bangan mesin pengering, hasil kajian di Sumatera Selatan terhadap penempatan mesin pengering yang menjadi satu dengan RMU adalah paling baik, dan mesin pengering yang terpisah dengan RMU praktis tidak berkem-bang. Keefektifan dari mesin pengering disatukan dengan RMU adalah pengangkutan gabah untuk dikeringkan sekaligus untuk kemudian gabah bisa langsung digiling. Alat Mesin Giling
Untuk memproses padi menjadi gabah, alat mesin giling merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam menghasilkan beras pada saat panen selesai, selain itu dengan adanya mesin giling diharapkan beras yang dihasilkan berkualitas baik dengan prosentase beras kepala yang tinggi.
Di wilayah pasang surut Kalimantan Selatan umumnya perkembangan mesin giling berada disekitar sentra produksi beras dan menggunakan mesin giling yang berskala besar (double-pass) dengan mesin ganda serta menggunakan mesin penggerak yang besar (16 PK). Namun demikian di beberapa tempat yang hamparan sawahnya tidak terlalu luas, ada bantuan mesin giling single-pass yang berkapasitas rendah yang sesuai untuk kebutuhan rumah tangga. Mesin ini bekerja menggunakan prinsip friksi (Satake, 1990),
Sudirman Umar Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usaha Tani Padi
selain itu sistim friksi lebih mudah untuk difabrikasi.
Hasil penelitian yang dilakukan pada 12 pengusaha penggilingan ternyata kapasitas rata-rata yang dihasilkan mesin giling
double-pass sebesar 173,13 kg j-1 dan single-pass
sebesar 108,85 kg j-1 (Umar et al., 2002).
Kualitas giling yang dihasilkan mesin giling
single-pass adalah rendemen giling 67,75 %,
beras kepala 74,87 % dan beras pecah 15,83 %, sedangkan mesin giling double-pass menghasilkan rendemen giling 68,80 %, beras kepala 64,33 % dan beras pecah 18,92 %.
Selanjutnya hasil pengamatan rata-rata beras giling dari beberapa lokasi penggilingan
yang menggunakan mesin double-pass, beras kepala 65,63 %, beras pecah 19,07 % dan menir 15,03 % (Tabel 3). Menurut Ananto et
al. (1999), bahwa di lahan pasang surut
Sumatera Selatan sebanyak 85,72 % pemilik mengatakan usaha penggilingan padi meng-untungkan. Hasil giling per tahun dapat men-capai 747 ton atau sekitar 49 % dari kapasitas terpasang. Hasil penelitian menunjukkan bah-wa kapasitas kerja dari mesin giling
double-pass pada putaran 904 rpm sebesar 237,75 kg
j-1, tapi menurunkan presentasi beras kepala
rata-rata 29,6 % (Umar, 2003) (Gambar 5.).
Table 3. Rice quality following double-pass rice milling from six local tidal swamp area of Banjar District,
Kalimantan Selatan.
Village Head rice (%) Broken rice (%) Brewer (%) Un-hulled rice (%)
Penggalaman Dalam 62.13 17.22 10.45 0.16 G a m b u t 56.57 33.06 10.07 0.19 Kertak Hanyar 65.43 19.44 13.83 0.18 Pematang Panjang 70.39 15.17 14.14 0.16 Penggalaman Luar 64.37 15.09 20.34 0.17 Aluh-aluh 74.92 14.53 10.35 0.11 Average 65.63 19.07 15.03 0.16
Source: Umar et al. (2002)
0 20 40 60 80 100 P er ce nta tio n ( % ) 622 678 734 790 848 904 Linear rotation ( rpm )
Product Head rice Broken rice
Figure 5. Influence of polish linear rotation on rice
quality
Masalah terbesar bagi usaha RMU adalah persaingan yang ketat dan seringnya terjadi kegagalan panen, sehingga jumlah gabah yang akan digiling relatif berkurang, dengan demikian menurunkan kinerja RMU. Hasil survey menunjukkan bahwa dalam pengembangan RMU double-pass, biasanya para pengguna pada pemrosesan menjadi beras, dalam memilih RMU lebih memper-hatikan jumlah beras (rendemen) yang dihasilkan dibanding mutu berasnya.
Pengelolaan dan Pengembangan UPJA di Lahan Pasang Surut
Pengembangan kelembagaan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan bagian dari usaha agribisnis di tingkat pede-saan, meliputi usaha pengolahan tanah, panen, perontokan, pengeringan dan penggilingan serta usaha perbengkelan. Baik perorangan maupun berkelompok, usaha jasa penyewaan alsintan dapat dilakukan, karena usaha seperti ini akan membantu para petani pengguna yang mempunyai modal usahatani yang relatif kecil. Usaha penyewaan jasa ini dapat dila-kukan dengan menggunakan beberapa fungsi alat yang menggunakan satu penggerak (mesin) karena waktu kerja masing-masing alat tidak bersamaan.
Pada musim tanam, fungsi traktor dilaksanakan berdasarkan kemampuan traktor dan operator dengan kapasitas kerja rata-rata per tahun 35 ha untuk satu traktor. Usaha seperti ini tentunya sudah dapat dikelola dengan baik juga adanya manajemen dalam pengoperasiannya selain memperhitungkan biaya operasi dan perawatannya. Selain itu dalam sistem pembayaran dapat diatur sesuai
kesepakatan kelompok tani, dan sistimnya adalah sewa tunai dan yarnen. Pada sistim yarnen, pengusaha jasa harus mendapat biaya awal sebesar 25-30 % dari biaya sewa total yang akan digunakan untuk biaya operasional sebelum dilakukan pengolahan tanah.
Sama halnya dengan traktor, sistim pembayaran menggunakan jasa thresher dapat dengan uang tunai atau dengan gabah. Peng-gunaan jasa melalui thresher lebih meng-untungkan dan efisien karena waktu kerja dapat ditekan dengan memperbesar kecepatan putar silinder, tapi akan menimbulkan masa-lah bagi pengguna jasa karena kebanyakan beras dari hasil gabah yang dirontok banyak terdapat butir pecah.
Usaha jasa pengering dan penggilingan beras (RMU) harus mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam usahanya, karena operasional kedua alat ini saling bergan-dengan serta saling menutupi, dalam arti pengguna jasa pengering dapat langsung menggiling gabahnya bila telah melalui proses pengeringan. Namun pengusaha RMU yang ada di lahan pasang surut rata-rata belum mempunyai alat pengering terutama yang berkapasitas besar antara 3-5 ton. Hal ini juga yang membuat keengganan petani melakukan penggilingan segera. Untuk itu penyimpanan dilakukan dalam bentuk gabah. Selain itu pengelolaan dan pengembangan RMU yang berkapasitas besar dalam bentuk perusahaan yang dikelola oleh pengusaha melakukan proses penggilingan dalam jumlah banyak untuk memasarkan beras atas permintaan pasar (konsumen). Perusahaan penggilingan memperoleh bahan (gabah) dari petani yang menjual gabahnya untuk keperluan rumah tangga.
Pengembangan sistim penyewaan
alsintan untuk usahatani di lahan pasang surut menghadapi beberapa kendala, baik yang bersifat agroteknis, sosial ekonomi maupun kelembagaan dan sarana penunjang lainnya.
Kendala yang bersifat agroteknis terutama menyangkut keragaman kondisi lahan pada suatu wilayah atau hamparan lahan yang ditata dengan sistim surjan dan pada lahan yang baru direklamasi serta masih banyak tunggul kayu. Akibatnya efisiensi penggunaan alsintan akan bekurang terutama alsintan yang hanya dapat digunakan pada lahan tertentu. Masalah agroteknis lainnya
yang dihadapi dalam pengembangan alsintan panen dan pasca panen adalah seringnya tanaman tidak memberi hasil yang baik terutama akibat serangan hama dan penyakit. Dalam keadaan demikian alsintan pasca panen tidak dapat bekerja mencapai titik impas.
Kendala sosial ekonomi petani dalam pengembangan sistim penyewaan alsintan terutama menyangkut tingkat pendidikan pe-tani dan kesadarannya yang rendah dalam membayar biaya penyewaan alsintan. Peng-embangan alsintan dengan sistim sewa biasa-nya memerlukan tenaga yang memiliki ting-kat pengetahuan dan ketrampilan tertentu, umumnya tenaga semacam ini di daerah pa-sang surut masih pa-sangat terbatas. Pengem-bangan alsintan dengan sistim sewa dapat dilakukan melalui lembaga desa yang sudah ada seperti pengusaha lokal, KUD, kelompok tani dan kelompok swadaya masyarakat setempat, sedangkan petani hanya menyewa alsintan sesuai dengan kebutuhan dan kemam-puan. Keberlanjutan pengembang-an sistim penyewaan alsintan di lahan pasang surut perlu didukung oleh kelembagaan teknis maupun ekonomi yang memadai. Untuk pengembangan alsintan secara berkelanjutan harus tersedia bengkel dan suatu keharusan bagi bengkel untuk memiliki mesin las listrik dan menyediakan suku cadang pada setiap lokasi pengembangannya.
Beberapa hal yang menyebabkan kurang berhasilnya usaha penyewaaan jasa al-sintan di pedesaan karena:
1. Setiap anggota kurang punya rasa memiliki
2. Kurang adanya kontrol oleh anggota terhadap penggunaan alsintan kelompok
3. Pengurus tidak mempunyai jiwa
wirausaha dan belum berpengalaman 4. Biaya manajemen usaha kelompok lebih
besar dibanding usaha perorangan 5. Tidak berjalannya fungsi manajemen
terutama dalam perencanaan dan upaya kontrol dengan melibatkan aparat desa serta ketersediaan sarana bengkel dan suku cadang di lokasi
Perhitungan Biaya Penggunaan Alat dan Kelayakannya
Hasil penelitian Ananto dan Astanto (2000) menunjukkan bahwa pengelolaan
Sudirman Umar Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usaha Tani Padi
traktor sewa perorangan masih lebih baik dibanding dengan berkelompok dan meng-untungkan dengan nilai B/C lebih besar 1,0. Analisis yang dilakukan dalam usaha jasa pengolahan tanah dengan traktor yang dilakukan dengan sistim UPJA di lahan pasang surut relatif menguntungkan (Tabel 3). Keuntungan usaha jasa traktor yang dikelola
disebabkan karena hari kerja (hr th-1) dan jam
kerja (j hr-1) serta kapasitas kerja (ha j-1) lebih
tinggi dari rata-rata. Hal ini dilihat dari perbandingan nilai NPV, B/C ratio dan IRR yang lebih tinggi. Ini menunjukkan adanya indikasi berkembangnya jasa traktor di lahan pasang surut.
Pengusahaan mesin perontok di lahan pasang surut dilakukan secara berkelompok oleh kelompok tani dan perorangan. Berda-sarkan data teknis dan ekonomi hasil analisis biaya dan kelayakannya menunjukkan bahwa pengusahaan mesin perontok tersebut meng-untungkan dan layak. Hal ini terlihat dari
biaya penggunaan mesin yang lebih rendah dibanding upah perontok. Disamping itu nilai B/C ratio jauh lebih besar 1,0 dan IRR lebih tinggi dibanding tingkat bunga yang berlaku 18 %. Usaha perontokan dengan mesin peron-tok dapat kembali modal kurang dari 2 tahun. Menurut Astanto dan Ananto (1999), bahwa B/C ratio yang dihasilkan usaha jasa mesin perontok secara kelompok >2 dan pengelo-laan secara perorangan >3, hal ini menun-jukkan bahwa kedua cara pengelolaan meng-untungkan dan layak. Dari data tersebut menggambarkan bahwa pengelolaan mesin perontok secara perorangan lebih mengun-tungkan. Dengan demikian kepemilikan trak-tor dan mesin perontok untuk diusahakan secara agribisnis sistim sewa jasa akan lebih berkembang. Selain itu dengan melihat kapasitas yang dihasilkan masih belum terlalu tinggi, perlu ditingkatkan lagi sehingga usahanya lebih menguntungkan.
Table 4. Cost analysis and feasibility study on tool and farm machinery rent-service for paddy farming in
the tidal swamp area of Kalimantan Selatan
Data and cost analysis Unit Tractor Thresher Rice milling
Data
Price of tool/unit (Rp) 5,000,000.00 10,000,000.00 22,500,000.00
Economic age (y) 5 5 6
Effective capacity (ha y-1) 48 240 150
Day of work (d y-1) 760 60 200 Time of work (h d-1) 8 8 5 Operator fee (Rp h-1) 2,500.00 1,875.00 1,875.00 Fuel consumption (L h-1) 1.50 1.25 1,25 Oil consumption (L h-1) 0.03 0.02 0.02 Reparation (Rp y-1) 375,000.00 480,000.00 450,000.00 Effort of work (Rp ha-1 t-1) 250,000.00 500,000.00 125,000.00 Cost analysis Fixed cost (Rp y-1) 4,035,000.00 2,990,000.00 8,280.00 Variable cost (Rp y-1) 3,594,000.00 3,406,800.00 5,797,500.00 Main cost (Rp ha-1t-1) 198,671.00 26,650.00 93,850.00
Break Event Point (ha t-1 y-1) 24.02 83.51 74.36
Net Present Value (Rp.) 3,081,588.00 7,963,809.60 6,858,892.50
Benefit / Cost 1.48 1.58 1.06
Internal Rate of Return (% y-1) 20.36 19.19 22.19
Pay Back Period (y) 3.72 1.78 6.52
Berdasarkan rata-rata ongkos giling dari kapasitas serta hari kerja penggilingan, hasil analisis biaya giling dan kelayakannya menunjukkan bahwa usaha jasa penggilingan (RMU) cukup menguntungkan. Hal ini
terlihat dari biaya pokok RMU hanya Rp93.850,00 per ton beras, sedangkan ongkos giling yang diterima pemilik RMU sebesar Rp150,00 per kg beras, jadi ada kelebihan keuntungan Rp56,15 per kg beras. Secara
finansial pengusahaan RMU cukup layak, hal ini terlihat dari nilai B/C yang hanya 1,06 dan net present value lebih dari Rp3.000.000,00, sedangkan IRR lebih dari tingkat bunga yang berlaku 18 %. Oleh sebab itu usaha penye-waan jasa penggilingan di pasang surut berkembang pesat.
Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan sebelum usaha dilaksana-kan dan merupakan asset yang tidak habis dipakai dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan dihitung berdasarkan hasil kerja alat/mesin kemudian dilakukan analisis kelayakan untuk menghitung nilai bersih sekarang (NPV), tingkat pengembalian internal (IRR), waktu pengembalian investasi dan titik impas usaha.
Berdasarkan perhitungan kerja efektif, total biaya pengeluaran dan penerimaan dalam penelitian yang dilaksanakan di Kalimantan Selatan (Tabel 4) (Noorginayu-wati, 2002), dan didasarkan atas penerimaan dibanding total biaya produksi secara ekono-mi usaha penyewaan ketiga alsintan tersebut cukup menguntungkan yang digambarkan dari nilai B/C ratio >1 serta layak untuk dikembangkan.
PENUTUP
Untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja dan upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, perlu masukan teknologi mekanisasi terutama pada kegiatan penyiapan lahan, tanam dan panen serta pasca panen. Perkembangan traktor tidak memberi dampak negatif terhadap tenaga kerja dan berpengaruh positif terhadap tingkat upah. Penggunaan mesin perontok dan penggilingan dapat me-ningkatkan kualitas beras dengan menekan kerusakan fisik. Penggunaan beberapa alat dan mesin pertanian memberikan kelayakan bagi pengembangan agribisnis dilihat dari B/C ratio dan hasil perhitungan masing-masing alat / mesin. Keterbatasan dana untuk memiliki / mengusahakan alsintan dapat dila-kukan dengan sistem sewa jasa melalui usaha jasa alsintan (UPJA) sehingga teknologi mekanisasi yang ada dapat lebih diminati untuk pengembangan agribisnis. Pengem-bangan agribisnis alsintan dengan teknologi mekanisasi yang tepat dan sesuai kondisi fisik dan sosial ekonomi akan berdampak positif
pada perubahan dan mendorong berkembang-nya usaha pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad DR, Alihamsyah T, Ananto EE (2000) Evaluasi tehnis berbagai cara dan alat tanam padi (Tabela) di lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Perta-nian lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000.
Ananto EE, Astanto, Sutrisno, Suwangsah E, Soentoro (1999) Perbaikan penanganan panen dan pasca panen di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Laporan Tek-nis P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Ananto EE, Astanto (2000) Kelayakan usaha jasa pelayanan alsintan (traktor) kelom-pok tani di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Laporan Teknis P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian.
Ananto EE (2001) Pengembangan alat dan mesin pertanian di daerah pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Perta-nian Untuk Agribisnis. Badan Litbang Pertanian Deptan Bekerjasama dengan Perteta Jakarta. 10-11 Juli. p. 120-141. Astanto, Ananto EE (1999) Optimalisasi sis-tem penanganan panen padi di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Buletin Enjiniring Pertanian 7(1/2): 1-11. Balai Besar Alsintan (1999). Rencana Induk
Penelitian dan Perekayasaan Alat dan Mesin Pertanian. Balai Besar Alsintan, Serpong.
Manwan I, Ananto EE (1994) Strategi pene-litian dan pengembangan mekanisasi pertanian tanaman pangan Dalam: Ananto et al (eds). Prospek Mekanisasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslit-bangtan, Badan Litbang Pertanian. p. 1-9.
Mulyana BS (1992) Strategi dan kebijak-sanaan pengembangan terpadu kawas-an rawa paskawas-ang surut di Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Pengembangan Terpadu Kawasan
Sudirman Umar Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan Untuk Mendukung Usaha Tani Padi
Rawa Pasang Surut di Indonesia. IPB Bogor, 5 September 1992.
Noor I, Muhammad (1998) Evaluasi alat panen di lahan pasang surut. Dalam: Aspek Ekonomi dan Kelembagaan Sistem Produksi dan Distribusi dan Penanganan Hasil dan Keteknikan Per-tanian di Lahan Rawa. Hasil Penelitian
Tanaman Pangan Lahan Rawa
Banjarbaru.
Noorginayuwati, Noor M, Djamhuri M (1996) Identifikasi sebab dan akibat degradasi sumber daya lahan gambut dalam pers-pektif kebakaran lahan. Makalah pada Kongres III dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air. Malang, 4-6 Desember 1996.
Noorginayuwati, Rina Y, Sutikno H, Noor HD (2002) Analisis kelembagaan kre-dit pedesaan dan usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) di daerah rawa. Lapor-an Hasil PenelitiLapor-an Proyek PengkajiLapor-an
Teknologi Pertanian Partisipatif
(PAATF). Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru.
Umar S, Noor I (1994) Evaluasi penggunaan alat pengolahan tanah di sawah pasang surut. Strategi Penelitian dan Pengem-bangan Bidang Teknik Pertanian (Agric. Engineering) di Indonesia da-lam PJP II. Prosiding Buku I. Kebi-jakan keteknikan Pertanian Alat dan Mesin Pertanian. Balittan Maros Be-kerjasama dengan PERTETA cabang Sulsel. Maros, 3-4 Oktober 1994. p. 102-107.
Umar S, Harjono (2000) Pengujian teknis kinerja alat tanam benih langsung di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Pengelolaan Ta-naman Pangan Lahan Rawa. Puslita-bangtan, Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p. 243-249.
Umar S, Muchroji I, Purwanta YC (2001) Peningkatan tenaga putar mesin peron-tok padi tipe TH6-G88 terhadap kualitas gabah di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Perta-nian Untuk Agribisnis. Badan Litbang Pertanian Deptan Bekerjasama dengan Perteta Jakarta. 10-11 Juli 2001. p. 13-19
Umar S, Purwanta YC, Noor HD (2002) Evaluasi kinerja mesin perontok tipe TH6-G88 di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Puslitabangtan, Banjarbaru, 4-5 Juli 2002. p. 575-582.
Umar S (2003) Pengaruh kecepatan linear mesin penyosoh terhadap mutu beras di daerah pasang surut. Habitat, Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian Unibraw Malang 14(2): 67-75.
Umar S, Noorginayuwati (2005) Penggunaan energi pada usahatani di lahan lebak. AGRITECH 25(2): 96-102.
Umar S, Noor I, Alihamsyah T (2005) Penampilan teknis alat tanam biji-bijian tipe larik di lahan lebak dangkal. Prosiding Seminar Nasional Penye-diaan Paket Teknologi Pertanian Terpa-du mempercepat Pengembang-an Agri-bisnis dan Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pert. Deptan. Manado, 29-30 Nop 2005. p. 205-216. Umar S (2006) Peningkatan efisiensi alat dan
mesin pertanian pada usahatani padi di lahan rawa. Prosiding Seminar Nasio-nal inovasi Teknologi Untuk Mendu-kung Revitalisasi Pertanian Melalui Pengembangan Agribisnis dan Keta-hanan Pangan. Badan Litbang Perta-nian, BB Pengkajian dan Pengem-bangan Tekn. Pert. BPTP Sulut. Mana-do, 22-23 Nop 2006. p. 448-456.
Umar S, Noor HD (2007). Dukungan alsin dan teknologi produksi terhadap hasil padi di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian. BBP Mektan. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor, 29-30 Nov. p. 393-402.
Umar S, Indrayati L (2013) Efisiensi energi dan produksi pada usahatani padi di
lahan Sulfat Masam Potensial.
Marwati et al. Pengaruh Konsentrasi Gula dan Strater terhadap Mutu Teh Kombucha
PENGARUH KONSENTRASI GULA DAN STARTER TERHADAP MUTU TEH KOMBUCHA
Effects of Sugar Concentration and Starter on Quality of Kombucha Tea
Marwati*), Hudaida Syahrumsyah, Ratri Handria
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Mulawarman Jl. Pasir Belengkong Kampus Gunung Kelua Samarinda 75119 Indonesia, *) corresponding author, Email: tiara_wawa@yahoo.co.id
Received 17 January 2013 accepted 15 February 2013 ABSTRACT
Kombucha is fermented tea using mixture of acetic acid bacteria and yeast. Effect of sugar concentration and starter, each of 10, 20 and 30 %, on quality of kombucha tea fermented for 8 days at room temperature on aerobic middle condition is studied. Factorial experiment arranged in completely randomized design with three replications applied in this research. The parameters of quality observed are pH and total acid, reducing sugar, total microbes, and sensory characteristics for flavor, color and taste tests. Data analyzed using Anova continued by least significant different test at of 5 % for treatments that show significant difference. Both sugar and starter concentration influenced significantly on all of the quality parameters, as well as theirits combination. Fermentation using sugar and starter concentration, each of 20 %, produced the best taste of kombucha. The kombucha characteristics were pH of 2.79, total acid of 0.75 %, reducing sugar of 15.35 %, and total microbes of 6.8 cfu mL-1.
Keywords: kombucha, sugar concentration, kombucha starter, yeast
PENDAHULUAN
Teh kombucha merupakan minuman fungsional yang menempati posisi di antara minuman konvensional dan obat, sehingga dapat digunakan dalam pencegahan suatu penyakit (Jayabalan et al., 2008). Produk minuman fungsional ini merupakan hasil fermentasi larutan teh manis dengan meng-gunakan starter mikrobia kombucha
(Aceto-bacter xylinum) dan beberapa jenis khamir
yang dikenal dengan jamur kombucha. Starter mikrobia kombucha digunakan sebagai starter dalam proses fermentasi teh kombucha. Saat proses fermentasi berlang-sung, bakteri Acetobacter xylinum yang terdapat di dalam starter kombucha akan mengubah glukosa menjadi berbagai jenis asam, vitamin, dan alkohol yang berkhasiat bagi tubuh. Glukosa ini berasal dari inversi sukrosa oleh khamir menjadi glukosa dan fruktosa. Pembentukan etanol dilakukan oleh khamir dan selulosa oleh Acetobacter
xylinum, glukosa dikonversi menjadi asam
glukonat melalui jalur fosfat pentosa oleh bakteri asam asetat, sebagian besar fruktosa
diubah menjadi asam asam organik (Sreera-mulu et. al., 2000).
Sedangkan gula merupakan sumber glukosa yang berfungsi sebagai substrat untuk pertumbuhan sel dan pembentukan produk asam asetat. Substrat digunakan oleh mikrobia untuk tumbuh dan melakukan metabolisme.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi gula dan konsentrasi starter kombucha yang tepat dalam menghasilkan teh kombucha yang berkualitas baik.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain gula pasir, teh cap cangkir, starter kombucha, air, aquadest, kapas, NaOH, indikator fenolftalin, media PCA, NaCl,
alkohol, KI, H2SO4, amilum, dan Natrium
tiosulfat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, pH meter, hot plate, buret, erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, cawan petri, tabung reaksi, autoklaf, dan oven.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi gula, terdiri dari 3 taraf yaitu 10, 20, dan 30 %. Faktor kedua adalah konsentrasi starter jamur kombucha terdiri dari 3 taraf yaitu 10, 20, dan 30 %. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan sidik ragam (ANOVA) dilanjutkan uji beda nyata terkecil (BNT) pada 5 % untuk per-lakuan yang menunjukkan perbedaan nyata. Prosedur Penelitian
Pembuatan teh dilakukan dengan mendidihkan air kemudian ditambahkan teh dengan perbandingan 8 gram dalam 1 liter air. Kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam gelas sebanyak 200 mL dan ditambahkan gula sesuai dengan perlakuan dan diaduk sampai homogen. Pemberian gula diberikan pada saat larutan teh masih dalam keadaan panas sehingga gula mudah larut. Kemudian penam-bahan starter pada larutan teh dengan suhu
berkisar 40˚C. Dilanjutkan fermentasi pada wadah gelas dalam kondisi semi aerob pada suhu ruang selama 8 hari.
Analisis
Hasil fermentasi teh kombucha kemudian dianalisa pH dan total asam dengan metode Apriyantono et al., (1989), gula reduksi sesuai metode Luff Schoorl (BSN, 1992), total mikroba (Fardiaz, 1992) dan tingkat kesukaan yang meliputi cita rasa, warna, dan aroma (Soekarto, 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan konsentrasi gula dan starter kombucha yang berbeda pada pembuatan teh kombucha memberikan pengaruh nyata terhadap nilai total asam, pH, gula reduksi, total mikroba dan nilai kesukaan untuk cita rasa serta interaksi keduanya tetapi tidak berbeda nyata pada tingkat kesukaan warna dan aroma pada teh kombucha (Tabel 1).
Table 1. Effect of sugar concentration and kombucha starter on pH, total acidity, reducing sugar and growth
of microorganisms
Parameters Kombucha starter (%) Sugar (%) Mean
10 20 30 pH 10 3.16 a 3.27 a 3.15 a 3.19 a 20 2.79 b 2.81 b 2.69 c 2.77 b 30 2.71 c 2.71 c 2.62 d 2.68 c Mean 2.89 ab 2.93 a 2.82 b Total Acidity (%) 10 0.64 d 0.65 d 0.65 d 0.65 c 20 0.75 c 0.75 c 0.77 b 0.58b 30 0.77 b 0.77 b 0.81 a 0.79a Mean 0.72 b 0.72 b 0.74 a Reducing Sugar (%) 10 9.58 g 18.48 d 28.70 a 18.92 a 20 7.39 h 15.35 e 24.49 b 15.75 b 30 5.16 i 11.93 f 21.78 c 12.96 c Mean 7.38 c 15.26 b 24.99 a Growth of Microorganisms (log cfu/mL) 10 6.62 d 6.79 bc 6.89 ab 6.77 b 20 6.72 c 6.80 b 6.91 a 6.81 a 30 6.75 c 6.86 b 6.92 a 6.84 a Mean 6.69 c 6.82 b 6.91 a
Note: For each parameter, value followed by different letters was significantly different (DMRT at 5 %). The data in shaded rows and columns show the influence of sugar and kombucha starter, respectively. While the data in non-shaded space show the influence of combination of sugar and kombucha starter. Data repeated 3 times with fermentation process on aerobic middle condition for 8 days at room temperature.
pH
Nilai pH pada teh kombucha untuk semua perlakuan termasuk rendah yaitu
2,62-3,27. Penelitian lain yang dilakukan oleh Karyantina dan Suhartatik (2008), teh kombucha memiliki pH berkisar dari 3,0-5,5. Semakin tinggi konsentrasi starter kombucha
Marwati et al. Pengaruh Konsentrasi Gula dan Strater terhadap Mutu Teh Kombucha
maka nilai pH pada teh kombucha yang dihasilkan juga semakin rendah. Nilai pH terendah adalah pada kombinasi penggunaan gula dengan konsentrasi 30 % dan starter kombucha 30 % yaitu 2,62 (Tabel 1). Menurut Júnior et al. (2009), selama awal proses fermentasi, penurunan pH disebabkan oleh bakteri dan yeast yang mengubah sukrosa menjadi asam organik.
Total asam
Nilai total asam tertinggi terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi gula 30 % dan konsentrasi starter jamur kombucha 30 % yakni sebesar 0,81 %. Hal ini seiring dengan rendahnya nilai pH. Berdasarkan Tabel 1, semakin tinggi starter kombucha yang digu-nakan semakin tinggi total asam yang dihasil-kan. Terbentuknya asam pada teh kombucha disebabkan hasil metabolit mikroorganisme selama fermentasi (Malbasa et al., 2008).
Peningkatan total asam pada media karena terbentuknya senyawa-senyawa asam organik terutama asam laktat. Asam laktat terbentuk karena adanya aktivitas dari bakteri pembentuk asam laktat yang mengubah glu-kosa menjadi asam laktat (Jodoamidjojo et al., 1992).
Gula Reduksi
Semakin tinggi konsentrasi gula maka semakin tinggi kandungan gula reduksi yang pada produk teh kombucha (Tabel 1). Kadar gula reduksi tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi gula 30 % dengan kombinasi kon-sentrasi starter kombucha 10 % yakni sebesar 28,70 %. Sedangkan kadar gula reduksi teren-dah adalah perlakuan kombinasi konsentrasi gula 10 % dengan konsentrasi starter kombu-cha 30 % yaitu sebesar 5,16 %.
Proses fermentasi dapat meningkatkan kerusakan gula disakarida atau oligosakarida yang secara tidak langsung meningkatkan pembentukan gula pereduksi. Menurut Raha-yu dan Kuswanto (1987), Semakin tinggi konsentrasi gula semakin tinggi pula kan-dungan reduksinya, hal ini terjadi karena melimpahnya sumber sukrosa yang dihidro-lisis menjadi glukosa oleh enzim invertase. Total Mikroba
Total mikroba tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi gula 30 % dengan
kom-binasi konsentrasi starter kombucha 30 % yakni log 6,92 cfu/mL. Sedangkan total mikroba terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi gula 10 % dengan kombinasi kon-sentrasi starter jamur kombucha 10 % yakni sebesar log 6,62 cfu/mL. Semakin tinggi konsentrasi gula dan konsentrasi starter kombucha maka jumlah mikroba juga tinggi
(Tabel 1). Mikroba yang berperan pada
fermentasi teh kombucha merupakan simbio-sis antara bakteri, kapang dan khamir. Mikroba-mikroba tersebut adalah Acetobacter
xylinum, Bacterium sp., Gluconobacter gluco-nicum, A. Aceti, A. ketogenum, A. Pasteria-num, Saccharomyces cereviceae, S. ludwigii, S. pombe, Torula sp., dan Phicia fermentan
(Jayabalan et al.,2007). Nilai Kesukaan
Produk makanan dapat diterima dengan baik apabila memenuhi keinginan konsumen. Sifat sensoris teh kombucha yang harus diperhatikan antara lain cita rasa, warna, dan aroma.
Cita Rasa
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa rasa produk fermentasi the kombucha pada hari ke 8 berbeda nyata. Rasa dari teh kombucha yang paling tinggi adalah kombinasi konsentrasi gula 20 % dan starter kombucha 20 % yaitu sebesar 2,16 (agak disu-kai) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 2.). Cita rasa adalah gabungan persepsi secara keseluruhan dari indra penglihatan, penciuman dan perasaan (Soekarto, 1985). Warna
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa warna produk fermentasi the kombucha dengan variasi kombinasi konsen-trasi gula dan starter kombucha tidak berbeda nyata. Penilaian warna berkisar antara 3,2-3,3 (disukai).
Aroma
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa aroma produk fermentasi the kombucha dengan variasi kombinasi konsen-trasi gula dan starter kombucha menunjukkan nilai satu sama lain tidak berbeda nyata. Penilaian aroma berkisar antara 1,5- 1,9 (agak disukai).
Table 2. The influence of sugar and kombucha starter and their interaction on
hedonic sensory characteristics
Parameters Kombucha starter (%) 10 Sugar (%) 20 30 Mean Taste 10 1.84 bc 1.96 ab 1.56 def 1.78 a 20 1.78 bcd 2.16 a 1.49 ef 1.91 a 30 1.64 cdef 1.71bcde 1.42 f 1.59 b Mean 1.76 b 1.94 a 1.49 c Color 10 3.24 a 3.29 a 3.27 a 3.27 a 20 3.27 a 3.33 a 3.31 a 3.30 a 30 3.20 a 3.27 a 3.22 a 3.23 a Mean 3.24 a 3.29 a 3.27 a Flavor 10 1.58 a 1.58 a 1.60 a 1.59 b 20 1.69 a 1.73 a 1.73 a 1.72 ab 30 1.76 a 1.82 a 1.91 a 1.83 a Mean 1.67 a 1.71 a 1.75 a
Note: For each parameter, value followed by different letters was significantly different (DMRT at 5 %). The data in shaded rows and columns show the influence of sugar and kombucha starter, respectively. While the data in non-shaded space show the influence of combination of sugar and kombucha starter. The samples, each of 3 replications, fermented on aerobic middle condition for 8 days at room temperature, then assayed by hedonic test by 10 panelists (scale 1-5 for dislike very much to like very much).
KESIMPULAN
Konsentrasi gula dan konsentrasi star-ter jamur kombucha yang berbeda dalam pembuatan teh kombucha berpengaruh nyata terhadap nilai pH, total asam, gula pereduksi, total mikroba, dan karakteristik hedonik (rasa). Teh kombucha dengan karakteristik hedonik rasa terbaik diperoleh dari perlakuan kombinasi antara konsentrasi gula 20 % dengan konsentrasi starter kombucha 20 %, yaitu sebesar 2,15 (skala 1-5 untuk sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan nilai pH 2,79; nilai total asam 0,75 %, kadar gula pereduksi 15,35 %, dan total mikroba 6,80 log cfu/mL.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedamawati, Budiyanto S (1989) Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi - IPB Press, Bogor.
BSN (1992) SNI 01-2892-1992 Cara Uji Gula. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Fardiaz S (1992) Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jayabalan R, Marimuthu S, Swaminathan K (2007) Changes in content of organic acids and tea polyphenol during kombucha tea fermentation. J Food Chemistry 102: 392-394.
Júnior RJS, Batista RA, Rodrigues SA, Filho LX, Lima ÁS (2009). Antimicrobial activity of broth fermented with kombucha colonies. J Microbiol Biochem Technol 1(1): 072-078. Jodoamidjojo M, Abdul AD, Endang GS
(1992) Teknologi Fermentasi. Rajawali Pers, Jakarta.
Karyantina M, Suhartatik N (2008) Kombucha dengan variasi kadar gula kelapa sebagai sumber karbon. J Teknologi dan Industri Pangan 19(2): 165-169.
Malbasa R, Loncar E, Djuric M (2008) Comparison of the products of kombucha fermentation on sucrose and milasses. J Food Chemistry 106: 1039-1045.
Rahayu ES, Kuswanto KR (1987) Teknologi Pengolahan Pangan Beralkohol. PAU Pangan dan Gizi, Yogjakarta.
Marwati et al. Pengaruh Konsentrasi Gula dan Strater terhadap Mutu Teh Kombucha
Soekarto ST (1985) Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan hasil Pertanian. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.
Sreeramulu G, Zhu Y, Knol W (2000) Kombucha fermentation and it’s antimicrobial Activity. J Agriculture Food Chemistry 886: 65–73.
PENGARUH CaCl2 DAN GUM GUAR TERHADAP KUALITAS BIHUN
SUKUN
Effects of CaCl2 and Guar Gum on the Quality of Breadfruit Bihon-Type Noodle
Sukmiyati Agustin
Laboratory of Postharvest and Packaging, Agricultural Technology Department, Mulawarman University, Email address: sukmiyatiagustin@gmail.com
Received 10 December 2012 accepted 15 January 2013 ABSTRACT
Bihon-type noodles were prepared from breadfruit flour, guar gum and CaCl2 blends
to understand the effects of salt and hydrocolloid interaction on byhon-type noodles quality. Products resulted were evaluated for its color, cooking loss and texture. Addition of CaCl2
up to 2 % increase the brightness (L*), yellowness (b*) and hardness of bihon-type noodle resulted, whilehydrocolloids revealed to decrease cooking loss, hardness and stickyness of bihon-type noodle with higher amount of guar gum added.
Key words: breadfruit flour, bihon-type noodle, color, texture measurement
PENDAHULUAN
Sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu tanaman penghijauan yang penye-barannya hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Buah sukun mengandung karbo-hidrat dalam jumlah cukup tinggi (28,2 %; Prabawati dan Suismono, 2009) dan beberapa zat gizi lainnya seperti mineral, vitamin, lemak dan asam amino. Salah satu bentuk diversifikasi sukun adalah tepung sukun. Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat amilografinya, pati sukun memiliki puncak viskositas sedang dan selama periode holding
time viskositasnya cenderung meningkat. Hal
ini mengindikasikan bahwa pati sukun lebih mampu menjaga integritas strukturnya pada kondisi perlakuan panas dan pengadukan, sehingga cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pema-nasan. Sifat fungsional pati sukun lain adalah kecenderungannya untuk mengalami retrogra-dasi selama pendinginan (Rincón dan Padilla, 2004).
Berdasarkan karakteristik pati sukun tersebut, maka produk berbasis tepung sukun yang potensial untuk dikembangkan adalah bihun.Tepung yang ideal untuk bahan baku bihun adalah patinya memiliki ukuran granula kecil (Singh et al., 2002), kandungan amilosa tinggi, derajat pembengkakan dan kelarutan terbatas serta kurva amilografi tipe C (tidak
memiliki puncak viskositas namun viskositas cenderung tinggi dan tidak mengalami penu-runan selama proses pemanasan dan penga-dukan) (Lii dan Chang, 1981). Tepung dengan kriteria tersebut lebih tahan terhadap pema-nasan maupun pengadukan, sehingga pada saat tergelatinisasi hanya mengalami pening-katan viskositas yang terbatas sebagai konse-kwensi dari pembengkakan granula yang ter-batas. Apabila tepung tersebut digunakan sebagai bahan baku bihun maka untaian bihun yang dihasilkan tidak lengket dan pada saat dimasak memiliki berat rehidrasi terbatas serta hanya mengalami sedikit kehilangan padatan.
Tepung sukun memenuhi syarat untuk menjadi bahan baku bihun yang berkualitas berdasarkan sifat amilografinya. Untuk me-menuhi persyaratan lain, maka dilakukan usa-ha untuk memperbaiki karakteristik tepung sukun, diantaranya melalui penggunaan bahan tambahan pangan (BTP).
Bahan tambahan pangan yang banyak digunakan dalam produk pangan berbahan dasar tepung/pati adalah hidrokoloid. Dalam penelitian ini digunakan gum guar. Pemilihan gum guar didasarkan pada hasil penelitian Fu (2007) yang menyatakan gum guar banyak digunakan dalam proses produksi mie instan karena bersifat sangat hidrofilik dan memiliki kapasitas pengikatan air yang besar. Selain itu gum guar juga memiliki kemampuan untuk
Sukmiyati Agustin Pengaruh CaCl2 dan Gum Guar terhadap Kualitas Bihun Sukun
mengatur tekstur pada produk pangan berpati seperti yang dinyatakan oleh Funami et al. (2005).
Dalam suatu sistem pangan, pati dan hidrokoloid pada umumnya berinteraksi dengan ingredient lain, misalnya garam. Garam memiliki efek signifikan terhadap karakteristik gelatinisasi dan reologi dari berbagai jenis pati. Sudhakar et al. (1996) menyatakan bahwa keberadaan garam pada sistem pati dapat mengontrol pengembangan granula. Kemampuan garam dalam mempe-ngaruhi karakteristik pati sangat tergantung pada jenis garam yang digunakan dan kon-sentrasinya dalam sistem pangan tersebut (Eliasson dan Gudmundsson, 2006). Peneli-tian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
garam CaCl2 dan gum guar terhadap kualitas
bihun sukun yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah tepung sukun yang berasal dari varietas Cilacap, akuades, STPP (sodium tripolifosfat), gum
guar, dan CaCl2. Bahan kimia diperoleh dari
Merck, kecuali STPP dan gum guar yang diperoleh dari toko kimia di Bogor. Tepung sukun diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Bogor.
Alat yang digunakan terdiri atas pengering kabinet, multifunctional pasta
ma-chine MS-9, timbangan analitik, chromameter
CR-200 Minolta, texture analyzer TA-XTi2, peralatan gelas dan alat memasak.
Proses produksi bihun dilakukan deng-an metode Collado et al. (2001) ydeng-ang dimo-difikasi pada pembuatan binder-nya. Semua persentase berdasarkan jumlah total bahan baku tepung yang digunakan.Pembuatan bihun sukun diawali dengan membuat binder (pengikat) adonan. Sebanyak 70 % tepung sukun dicampurkan dengan air yang telah ditambahkan STPP 0,3 % dengan perbanding-an 1:1. Suspensi dipperbanding-anaskperbanding-an sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekentalan maupun transparan-si adonan.
Binder dicampurkan dengan 30 %
ba-gian tepung kering yang sebelumnya telah dicampur dengan hidrokoloid (gum guar 0,5
dan 1 %) dan CaCl2 (0, 1, 2 %). Campuran
diadon hingga homogen. Adonan dimasukkan
ke dalam multifunctional noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Untaian bihun yang keluardibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat berlubang, kemudian dikukus pada suhu 95C selama dua menit. Proses dilanjutkan dengan mengeringkan bihun dalam pengering kabinet (cabinet dryer) bersuhu 60C selama dua jam untuk mencapai kadar air yang relatif aman untuk penyim-panan. Bihun sukun yang diperoleh dikemas dengan menggunakan plastik PP
(polypro-phylene).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini didisain dalam Rancang-an Acak Lengkap dengRancang-an dua faktor yaitu
konsentrasi CaCl2 (0, 1 dan 2 %) dan
konsen-trasi gum guar (0,5 dan 1 %). Pengaruh inter-aksi garam dengan hidrokoloid tersebut terhadap bihun sukun diketahui berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap parameter berikut: tekstur, warna, dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP/cooking
loss). Seluruh data diolah menggunakan General Linier Method (GLM) pada program Statistical Analysis System (SAS 9.1 2003). Analisis
Analisis Warna (Charles et al., 2007) Sampel bihun matang dipotong sepanjang 2-3 mm dan ditempatkan pada wadah yang transparan. Selanjutnya sensor alat didekatkan pada sampel dan dilakukan pengukuran warna bihun. Pengukuran akan menghasilkan nilai L, a, dan b.
KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan/Cooking Loss, Collado et al., 2001)
Sebanyak 5 gram bihun dengan ukuran 2-3 cm direbus dalam 200 mL air mendidih selama 5 menit. Bihun ditiriskan dan dibilas dengan akuades kemudian ditimbang dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Bihun dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 105C selama satu malam. Persentase
cooking loss dihitung sebagai berikut:
KPAP = 1 x 100
Analisis Tekstur
Pengukuran tekstur bihun dilakukan terhadap bihun yang telah dimasak.