• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asosiasi antara Tekanan Teman Sebaya, Emosi Malu, dan Emosi Bersalah pada Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asosiasi antara Tekanan Teman Sebaya, Emosi Malu, dan Emosi Bersalah pada Remaja"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Asosiasi antara Tekanan Teman Sebaya,

Emosi Malu, dan Emosi Bersalah pada Remaja

Rahel dan Lucia R.M. Royanto

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

rahel.sinaga@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara tekanan teman sebaya dengan emosi malu dan emosi bersalah pada remaja. Tekanan teman sebaya diukur dengan menggunakan Skala Tekanan Teman Sebaya yang merupakan adaptasi dari Peer Pressure Inventory yang dikembangkan oleh Clasen dan Brown (1985). Emosi malu dan emosi bersalah diukur dengan menggunakan Test of Self-Conscious Affect 3 yang dikembangkan oleh Tangney, Dearing, Wagner, dan Gramzow pada tahun 2000. Terdapat sebanyak 433 remaja di Jakarta yang menjadi partisipan dalam penelitian. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara dimensi perilaku school involvement dan emosi malu, school involvement dan emosi bersalah, family involvement dan emosi malu, serta family involvement dan emosi bersalah. Terdapat pula hubungan yang negatif antara dimensi perilaku peer involvement dan emosi malu, peer involvement dan emosi bersalah, misconduct dan emosi malu, serta misconduct dan emosi bersalah.

Kata kunci : emosi bersalah; emosi malu; remaja; tekanan teman sebaya

The Association between Peer Pressure, Shame, and Guilt in Adolescent Abstract

This research was conducted to see the correlation between peer pressure with shame and guilt in adolescent. Peer pressure were measured using Peer Pressure Scale that adapted from Peer Pressure Inventory by Clasen and Brown (1985). Shame and guilt were measured using Test of Self-Conscious Affect 3 by Tangney, Dearing, Wagner, and Gramzow in 2000. There was 433 adolescent in Jakarta participated in this study. The result is there is a positive correlation between peer pressure in school involvement and shame, school involvement and guilt, family involvement and shame, and family involvement and guilt. There is also a negative correlation between peer pressure in peer involvement and shame, peer involvement and guilt, misconduct and shame, and misconduct and guilt.

(2)

Pendahuluan

Penyimpangan perilaku pada remaja merupakan hal yang banyak terjadi di lingkungan remaja Indonesia. Melalui media massa, masyarakat dapat melihat berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan remaja, seperti tawuran, bullying, geng motor, penggunaan obat terlarang, maupun tindakan kriminal lainnya. Salah satu conoth kasus yang sering terdengar adalah kasus tawuran. Berdasarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (dalam Hermawan, 2013), terjadi peningkatan kasus tawuran sebanyak 44% pada tahun 2013 jika dibandingkan dengan tahun 2012. Hal yang sama juga terjadi pada kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh remaja. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait (dalam Amirullah, 2013) mengatakan bahwa terdapat 28% dari 1.446 kasus yang terjadi selama tahun 2013 dilakukan oleh remaja.

Peningkatan penyimpangan perilaku pada remaja ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai moralitas remaja masa kini. Jika melihat pada perkembangan moral remaja, umumnya remaja sudah berada pada tahap perkembangan moral tertinggi. Pada tahap ini seharusnya remaja sudah bisa melakukan tindakan yang berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan, dan hak (Kohlberg, 1969, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang kebudayaan yang dianut Indonesia penyimpangan perilaku ini tampak tidak sesuai dengan dengan kebudayaan yang dianut Indonesia. Sebagai negara penganut budaya kolektif, umunya orang-orang lebih mengutamakan kerukunan antar individu dibandingkan dengan kebebasan (Tinsley & Weldon, dalam Su, 2011). Triandis, dkk (dalam Su, 2011) menyatakan bahwa negara-negara yang menganut budaya kolektif menekankan konsep untuk membawa kehormatan di dalam kelompok, adanya loyalitas terhadap keluarga, negara, dan perusahaan, serta menunjukkan rasa hormat pada orang yang lebih tua. Meskipun dinyatakan demikian, ternyata tidak tercermin pada moral remaja melihat fenomena yang terjadi pada remaja saat ini di Indonesia.

Jika melihat pada kondisi remaja, tidak dapat dipungkiri bahwa remaja berada pada tahap perkembangan problematik karena berada pada identitas yang tidak pasti, antara bukan lagi anak dan belum juga menjadi individu dewasa. Kartono (2005) pun juga menambahkan bahwa masa remaja dianggap merupakan periode transisi dengan adanya potensi tingkah laku anti-sosial. Ketidakstabilan pada diri remaja juga terkait pula dengan melihat tugas perkembangan yang diembannya, yaitu pembentukan identitas (Erikson, dalam Santrock, 1998). Eksplorasi dalam membentuk identitas ini menjadi titik lemah remaja akan berbagai pengaruh baik dan buruk dari lingkungannya.

(3)

Moral itu sendiri merupakan ajaran mengenai baik buruknya suatu tindakan. Standar universal mengenai moral disebut pula dengan standar moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Standar moral ada sebagai salah satu sarana untuk dapat mengetahui apa perilaku yang baik dan yang buruk. Adanya standar moral ini bukan berarti individu pasti melakukan tindakan yang sesuai dengan standar moral yang ada. Keputusan seseorang untuk melakukan tindakan moral ini ternyata terbentuk dengan adanya peran emosi moral (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Tangney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa emosi moral memberikan dorongan motivasi untuk melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Secara khusus, terdapat dua emosi moral yang kuat mempengaruhi individu ketika melakukan kesalahan, yaitu emosi malu dan emosi bersalah (Baumeister, Stillwell, & Heaterton, 1995). Jika perilaku yang tidak sesuai dengan standar moral dilakukan tanpa diikuti dengan emosi malu dan emosi bersalah, maka perilaku tersebut dapat terus berulang.

Emosi malu dan bersalah merupakan emosi negatif yang dialami individu ketika gagal untuk memenuhi aturan sosial (Tangney, 1995). Meskipun terlihat hampir sama, kedua emosi ini adalah emosi yang berbeda. Tangney (1995) menjelaskan bahwa emosi malu anak cenderung membuat individu menjauhkan dirinya dari orang-orang untuk menghindari evaluasi buruk mengenai dirinya ketika ia melakukan kesalahan. Sementara, emosi bersalah lebih menekankan pada kesalahan yang dilakukan dan cenderung berusaha untuk memperbaiki kesalahannya. Emosi bersalah merupakan emosi tidak menyenagkan yang merupakan pengalaman individu ketika gagal memenuhi standar sosial meskipun orang lain tidak mengetahuinya (Tangney, 1995). Barrett (1995) juga menyatakan bahwa terdapat kesadaran individu untuk mengakui bahwa tindakan yang ia lakukan salah dan adanya pemahaman akan aturan serta berharap untuk mematuhinya.

Munculnya emosi malu dan bersalah pada manusia sudah terjadi sejak masa anak-anak. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007), emosi malu dimulai pada usia 2-3 tahun (toddlerhood). Pada masa ini anak sudah memiliki kesadaran akan dirinya sendiri (self-awareness) serta berada pada tahap psikososial pada tahap autonomy vs shame/doubt. Untuk emosi bersalah, menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007) emosi ini mulai terbentuk pada masa anak-anak awal, yaitu pada usia 4-5 tahun, dengan tahap iniviative vs guilt pada perkembangan psikososial anak. Kegagalan dalam krisis perkembangan kepribadian ini mengarahkan rasa bersalah pada anak.

Perkembangan emosi malu dan emosi bersalah ini juga tidak lepas dari faktor lingkungan sosial individu. Lickel, dkk (2005) mengatakan bahwa emosi terbentuk berdasarkan hubungan yang terjadi dengan orang lain. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa

(4)

bagaimana anggota kelompok berperilaku ikut memiliki implikasi pada individu. Hal ini juga didukung oleh Barrett (1995) yang menyatakan bahwa emosi malu dan emosi bersalah merupakan emosi sosial. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa persepsi remaja akan tingkah laku bermoral melalui interaksi sosialnya dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sosial lainnya mengarahkan remaja dalam memberikan penilaian dan evaluasi terhadap diri serta orang lain.

Pada masa remaja, teman sebaya merupakan pihak yang berperan penting dalam perkembangan remaja. Larson dan Verma (dalam Bissel-Havran & Loken, 2008) menyatakan pada masa remaja, waktu yang dihabiskan remaja dengan teman sebayanya lebih banyak dibandingkan pada masa sebelumnya. Santrock (1998) mengatakan bahwa pada sebagian besar remaja, teman sebaya merupakan aspek terpenting dalam hidupnya. Bagi mereka jika tidak berada dalam kelompok atau diakui di dalam kelompok dapat menyebabkan stress, frustrasi, dan kesedihan. Sullivan (1953) dalam Santrock (1998) menambahkan bahwa hubungan pertemanan memegang peranan penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Melalui teman sebaya, remaja mendapatkan informasi mengenai kemampuan mereka, baik secara langsung maupun dengan melihat pencapaian dari teman seusianya (Santrock, 1998).

Bentuk pengaruh dari teman sebaya salah satunya disebut dengan tekanan teman sebaya (peer pressure). Tekanan teman sebaya adalah pengaruh teman sebaya dalam bentuk dorongan untuk melakukan sesuatu/tidak melakukan sesuatu, meskipun secara personal orang tersebut mau/tidak mau melakukannya. Salah satu bentuk tekanan teman sebaya misalnya adalah ketika sekelompok siswa mendesak seorang temannya untuk merokok. Besarnya tekanan dari teman-temannya terhadap remaja untuk dapat mempengaruhi remaja untuk kemudian ikut merokok. Clasen dan Brown (1987) menemukan bahwa tekanan-tekanan dari teman sebaya yang dihadapi remaja terjadi di lima area. Kelima area tersebut adalah keterlibatan dalam kegiatan bersama peer (peer involvement), ketertibatan dalam kegiatan di sekolah (school involvement), keterlibatan dalam kegiatan bersama keluarga (family involvement), konformitas akan norma kelompok (conformity to peer norms), dan perilaku buruk/menyimpang (misconduct). Pada kelima area inilah remaja mendapat desakan-desakan untuk berperilaku tertentu sesuai dengan nilai dan norma di dalam kelompok.

Penelitian mengenai emosi malu dan emosi bersalah serta kaitannya dengan tekanan teman sebaya belum banyak ditemukan di Indonesia. Dalam penelitian ini akan secara khusus mengenai hubungan antara tekanan teman sebaya dengan emosi malu dan bersalah pada remaja, melihat bahwa banyak faktor sosial remaja yang memegang peranan besar dalam

(5)

keputusan berperilaku pada remaja. Penelitian ini akan melihat seberapa besar hubungan antara tekanan teman sebaya tersebut dengan emosi malu dan bersalah pada remaja.

Tinjauan Teoritis

Emosi Malu dan Emosi Bersalah sebagai Emosi Moral

Tangney, Stuewig, dan Mashek (2007) mengatakan bahwa emosi malu dan emosi bersalah merupakan bagian dari emosi moral. Emosi moral ini merupakan hal penting dalam menentukan bagaimana manusia melakukan tingkah laku yang sesuai dengan standar moral universal. Dengan adanya emosi moral, terdapat dorongan motivasional untuk melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang buruk (Kroll & Egan, 2004 dalam Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Tangney (1995) menjelaskan bahwa terdapat empat kategori dari emosi moral, yaitu condemning, self-conscious, suffering, dan praising. Emosi malu dan bersalah termasuk dalam kategori emosi self-conscious, yaitu kategori emosi yang muncul dengan adanya self-reflection dan self-evaluation (Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007). Emosi ini dikatakan consious karena dibutuhkan awareness dan self-representation untuk membentuk emosi ini (Tracy & Robin, 2007). Dengan adanya emosi malu dan emosi bersalah, individu memiliki pengontrol perilaku yang dapat membantu individu untuk melakukan perilaku sesuai aturan dan menghindari pelanggaran aturan.

Perkembangan emosi malu dan bersalah sudah dimulai sejak masa anak-anak. Perkembangan emosi malu dimulai pada tiga tahun pertama kehidupan manusia. Berdasarkan tahapan psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007), pada masa itu anak berada pada perkembangan kepribadian autonomy vs shame/doubt. Pada usia ini anak mulai memliki kesadaran sebagai pribadi yang berbeda dari orang lain (self-awareness). Emosi bersalah pada manusia mulai muncul pada masa anak-anak awal (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Pada masa ini, manusia berada pada tahap perkembangan kepribadian initiative vs guilt. Anak melakukan hal yang ia inginkan dan juga belajar untuk dapat diterima secara sosial. Kegagalan dalam tahap ini mengarahkan individu untuk memunculkan rasa bersalah. Orth, Robins, dan Soto (2010) menggambarkan bahwa emosi malu menurun pada masa remaja sampai masa dewasa awal kemudian mencapai titik terendah pada usia lima puluh tahun. Setelah itu, emosi malu meningkat pada masa tua. Berbeda dengan emosi malu, emosi bersalah meningkat pada masa remaja sampai pada masa tua. Emosi bersalah ini kemudian mencapai puncaknya pada usia tujuh puluh tahun.

(6)

Emosi Malu

Emosi malu adalah emosi negatif yang dialami individu saat gagal untuk memenuhi aturan sosial yang telah diinternalisasi, termasuk aturan moral, kemampuan, atau nilai estetika (Tangney, 1999). Lewis (1971, dalam Tangney & Dearing, 2002) mendeskripsikan emosi malu sebagai emosi yang sangat menyakitkan yang biasanya juga diikuti dengan perasaan menjadi kecil dan adanya rasa tidak berharga dan tidak berdaya. Beberapa karakteristik emosi malu berdasarkan Barrett (1995) adalah penilaian yang berfokus pada diri, menurunnya penilaian positif akan diri, dan merasa bahwa orang-orang melihat diri sebagai pribadi yang buruk. Lewis (1971, dalam Tangney, Stuewig, & Mashek, 2007) menjelaskan bahwa emosi malu melibatkan evaluasi negatif pada diri secara umum atau global. Yang menjadi fokus utama pada emosi malu adalah pada diri sebagai pembuat kesalahan buat pada apa yang telah ia lakukan. Emosi malu tergolong dalam atribusi internal, global, dan stabil. Oleh karena itu, ketika melakukan kesalahan, emosi malu menilai bahwa kesalahan itu timbul dari diri sendiri (internal) yang disebabkan oleh keburukan-keburukan yang dimiliki individu (global) yang tidak akan bisa hilang karena keburukan itu menetap (stabil).

Barrett (1995) menguraian tiga fungsi dari emosi malu. Yang pertama adalah fungsi dalam pengaturan peirlaku, yaitu dapat mengarahkan individu untuk menjaga jarak dengan orang lain dan berusaha mengurangi perhatian dari orang lain. Pada fungsi yang kedua, fungsi dalam pengaturan sosial, emosi malu mengarahkan individu untuk mengomunikasikan akan rasa hormat atau taat pada orang lain. Individu menggambarkan dirinya sebagai diri yang kecil dan tidak mampu atau buruk serta lebih rendah dari pada orang lain karena kesalahannya. Fungsi ketiga terkait fungsi pengaturan internal. Adanya emosi malu dapat membuat individu menilai bahwa standar perilaku itu penting. Dan diri diidentifikasikan sebagai objek, bukan agen.

Emosi Bersalah

Emosi bersalah adalah emosi tidak menyenangkan yang merupakan pengalaman ketika individu gagal untuk memenuhi standar sosial (Tangney, 1999). Perasaan bersalah menimbulkan ketegangan, kekecewaan, serta penyesalan yang memotivasi individu untuk memperbaikinya, seperti berusaha untuk memohon maaf (Tangney, 1991 dalam Lutwak, dkk., 2001). Menurut Barrett (1995), emosi bersalah memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Bagi individu yang merasa bersalah, ia menilai dirinya telah melakukan hal yang bertolak belakang dengan standar yang berlaku. Pendangannya terhadap penilaian dari orang lain adalah bahwa seseorang telah dirugikan akibat perbuatannya. Kecenderungan perilaku

(7)

selanjutnya yang akan dilakukan adalah dengan melakukan sesuatu, berusaha memperbaiki keadaan. Tujuan utama dari diri adalah untuk menemukan standar yang berlaku. Berbeda dengan emosi malu yang cenderung memiliki target untuk memelihara penghargaan dari orang lain dan hal-hal positif yang ada pada diri. Abramson, Seligman, dan Teasdale (1978, dalam Tangney & Dearing, 2002) mengatakan bahwa emosi bersalah berfokus pada atribusi internal, spesifik, dan tidak stabil. Emosi bersalah melibatkan evaluasi negatif bukan pada diri tetapi pada perilaku spesifik dan yang menjadi fokus utama pada emosi bersalah adalah pada perbuatan atau perilaku apa yang telah individu lakukan.

Emosi bersalah juga memiliki fungsi dalam pengaturan perilaku, sosial, dan internal individu (Barrett, 1995). Pada fungsi pengaturan perilaku, emosi bersalah pada individu akan mendorongnya untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan. Untuk pengaturan sosial, adanya emosi bersalah, individu mengomunikasikan pada orang lain bahwa apa yang telah ia lakukan salah. Dengan adanya pengakuan ini, individu dapat menyampaikan bahwa ia memiliki niat dan tujuan yang baik. Untuk pengaturan internal, Emosi bersalah berfungsi memberikan pemahaman akan pentingnya standar yang berlaku. Individu pun menunjukkan bahwa bahwa ia paham akan standar yang ada serta berharap dapat mematuhinya.

Tekanan Teman Sebaya

Berdasarkan Santrock (2005), yang dimaksud dengan teman sebaya (peer) adalah anak atau remaja yang berada pada usia atau tingkat kematangan yang sama. Pada masa remaja, menjadi bagian dalam kelompok teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan yang utama (Bourne, 1978; Coleman & Hendry, 1990; Erikson, 1968 dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000). Melihat tugas perkembangannya, pada masa remaja teman sebaya memegang peran signifikan. Pada masa remaja, individu mulai melepaskan diri dari ketergantungannya dengan orang tua dan menuntut kebebasannya sebagai individu yang independen. Melalui teman sebaya, remaja mendapatkan informasi mengenai dunia di luar keluarga serta mendapatkan umpan balik mengenai kemampuannya (Santrock, 2005).

Menjadi bagian dalam kelompok teman sebaya merupakan hal yang sangat penting bagi remaja karena beberapa alasan, yaitu kelompok menjadi tempat untuk individu mencoba berbagai peran dan ide (Clasen dan Brown, 1987). Meski demikian, hubungan dengan teman sebaya memberikan konsekuensi pada remaja, yaitu dengan adanya tekanan teman sebaya (peer pressure). Peer pressure didefinisikan sebagai tekanan untuk berpikir atau berperilaku sesuai dengan pedoman yang ditentukan oleh kelompok. Brown, Clasen, dan Eicher (1986) mendefinisikan peer pressure sebagai dorongan dari orang-orang seusia individu untuk

(8)

melakukan sesuatu/tidak melakukan sesuatu, meskipun secara personal orang tersebut mau/tidak mau melakukannya. Peer pressure merupakan mekanisme utama dalam menyebarkan norma kelompok dan dalam mempertahankan loyalitas anggota di dalamnya Hubungan pertemanan pada remaja ini memiliki tuntutan untuk mengikuti norma-norma kelompok. Hal tersebut menunjukkan komitmen dan loyalitas individu dengan anggota kelompok lainnya (Newman & Newman, 1976 dalam Clasen & Brown, 1985).

Clasen dan Brown (1985) menguarikan lima dimensi perilaku tekanan teman sebaya. Yang pertama adalah pada area peer involvement, yaitu desakan yang dialami untuk terlibat dalam kegiatan serta hubungan dengan kelompok, seperti menghabiskan waktu senggang dengan kelompok. Yang kedua adalah school involvement, yaitu desakan dari orang lain untuk terlibat dalam kegiatan/aktivitas, serta hubungan dengan sekolah, baik secara akademis maupun nonakademis. Yang ketiga adalah family involvement yang merupakan desakan untuk terlibat dalam kegiatan atau aktivitas dengan keluarga, serta hubungan dengan keluarga. Yang keempat adalah conformity to peer norms, yaitu tekanan untuk mengikuti norma yang dianut teman dalam beraktivitas, berperilaku, ataupun gaya hidup. Dan yang terakhir adalah misconduct, yaitu tekanan atau desakan dari orang lain untuk melakukan pelanggaran, baik hukum atay norma umum yang berlaku dalam masyarakat.

Metode Penelitian

Partisipan

Sampel pada penelitian ini adalah remaja yang berada pada usia 14-19 tahun. Sampel yang diambil berasal dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di DKI Jakarta. Terdapat lima sekolah yang menjadi sampel penelitian yang berasal dari tiap wilayah administratif DKI Jakarta. Dengan menggunakan teknik convenience sampling, terpilihlah SMA Negeri 40 (Jakarta Utara), SMA Negeri 98 (Jakarta Timur), SMA Negeri 77 (Jakarta Pusat), SMA Negeri 56 (Jakarta Barat), dan SMA Negeri 38 (Jakarta Selatan) sebagai partisipan penelitian. Sekolah umum (negeri) dipilih untuk mendapatkan sampel remaja pada umumnya tanpa ada kecenderungan akan karakteristik tertentu. Dari setiap sekolah diambil 100 partisipan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

(9)

Pengukuran

Tekanan Teman Sebaya

Tekanan teman sebaya diukur dengan menggunakan alat ukur Skala Tekanan Teman Sebaya yang merupakan alat ukur modifikasi dari Peer Pressure Inventory (PPI) yang dikembangkan oleh Clasen dan Brown (1985). Pada alat ukur Skala Tekanan Teman Sebaya, partisipan diminta untuk menilai seberapa sering teman-teman mereka mendesak untuk melakukan suatu perilaku/aktivitas. Terdapat 6 poin skala untuk merespon tiap item, yaitu “Tidak Pernah”, “Jarang”, “Agak Jarang”, “Agak Sering”, “Sering”, dan “Selalu”. Desakan pada tiap dimensi perilaku tekanan teman sebaya diukur dengan 5 jenis perilaku/aktivitas, sehingga terdapat total 25 perilaku/aktivitas pada alat ukur ini.

Emosi Malu dan Emosi Bersalah

Emosi malu dan emosi bersalah diukur dengan menggunakan Test of Self-Conscious Affect 3 oleh Tangney, Dearing, Wagner, dan Gramzow pada tahun 2000 yang telah disesuaikan dengan konteks remaja SMA oleh Qonita (2013). Alat ukur ini terdiri dari 16 skenario. Partisipan diminta untuk membaca skenario dan membayangkan diri dalam situasi yang digambarkan. Di bawah pernyataan situasi, terdapat daftar reaksi-reaksi. Reaksi-reaksi ini merupakan bentuk seseorang untuk merespon baik dengan emosi malu dan emosi bersalah. Setelah itu, partisipan diminta untuk memberikan nilai seberapa sesuai reaksi-reaksi tersebut dengan dirinya. Pemberian nilai terdiri dari rentang skala 5 poin mulai dari “Tidak Sesuai” (not likely) sampai “Sangat Sesuai” (very likely).

Prosedur

Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner di tiap sekolah yang menjadi sampel penelitian. Kuesioner diisi oleh partisipan di dalam kelas pada satu jam pelajaran sekolah. Pengisian kuesioner diawali dengan perkenalan, pemberian instruksi, kemudian pengisian kuesioner untuk mengukur tekanan teman sebaya dan dilanjutkan dengan kuesioner emosi malu dan emosi bersalah. Waktu yang dihabiskan dalam pengisian kuesioner adalah sekitar 40-50 menit.

Hasil Penelitian

Total kuesioner yang diterima kembali adalah sebanyak 532 kuesioner. Dari total 532 kuesioner, data yang dapat diolah adalah sebanyak 443 buah. Hal tersebut disebabkan adanya

(10)

kuesioner yang tidak diisi dengan lengkap sebanyak 71 buah. Selain itu dengan menggunakan SPSS ditemukan 18 data yang merupakan outlier. Berikut merupakan tabel karakteristik partisipan.

Tabel Karakteristik Partisipan

Karakteristik N % Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total 157 286 443 35,4 64,6 100 Usia 14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun Total 2 41 218 175 6 1 443 0,5 9,3 49,2 39,5 1,4 0,2 100 Suku Batak Betawi Jawa Minang Palembang Sunda Campuran Lain-lain Tidak diisi Total 24 55 200 23 5 51 32 34 19 443 5,4 12,4 45,1 5,2 1,1 11,5 7,2 7,7 4,3 100 Agama Buddha Hindu Islam Katolik Kristen Tidak diisi Total 1 1 406 10 22 3 443 0,2 0,2 91,6 2,3 5,0 0,7 100

Partisipan berdasarkan jenis kelaminnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sebagian besar partisipan adalah perempuan (65%). Karakteristik partisipan dilihat dari usianya berkisar dari usia 14 – 19 tahun. Mayoritas partisipan adalah remaja pada usia 16 tahun (49%). Terdapat pula 175 partisipan yang berusia 17 tahun (40%). Berdasarkan sukunya, partisipan berasal dari berbagai suku. Partisipan berasal dari suku Batak, Betawi, Jawa, Minang, Palembang, Sunda, campuran, dan lainnya. Mayoritas partisipan merupakan remaja bersuku Jawa (45%). Selain dilihat dari sukunya, terdapat pula data mengenai agama partisipan. Berdasarkan agamanya, mayoritas partisipan beragama islam (92%).

(11)

Pada penelitian ini, terdapat tiga variabel yang diteliti, yaitu tekanan teman sebaya yang terdiri dari lima dimensi, emosi malu, dan emosi bersalah. Berikut merupakan gambaran umum dari ketiga variabel yang diteliti.

Tabel Gambaran Umum Variabel Penelitian Variabel Jumlah Partisipan Skor Rata-Rata Standar Deviasi Skor Minimum Skor Maksimum Peer Involvement 433 12.53 4.474 0 24 School Involvement 433 14.46 4.536 2 25 Family Involvement 433 15.48 5.055 0 25 Conformity to Peer Norms 433 8.34 4.759 0 22 Misconduct 433 4.53 4.180 0 22 Emosi Malu 433 32.99 8.852 9 57 Emosi Bersalah 433 48.78 8.828 24 68

Berdasarkan tabel di atas, dapat terlihat bahwa nilai rata-rata tiap dimensi perilaku tekanan teman sebaya berbeda. Tekanan teman sebaya pada dimensi perilaku peer involvement memiliki skor rata-rata 12,53 dengan standar deviasi 4,474. Tekanan teman sebaya pada dimensi perilaku school involvement memiliki rata-rata yang lebih tinggi, yaitu 14,46 dengan standar deviasi 4,536. Untuk tekanan teman sebaya pada dimensi family involvement, nilai rata-rata yang didapat adalah 15,48 dengan standar deviasi 5,055. Pada dimensi perilaku conformity to peer norms, nilai rata-rata yang didapat adalah 8,34 dengan standar deviasi 4,759. Untuk dimensi misconduct, nilai rata-rata yang didapat adalah 4,53 dengan standar deviasi 4,180. Pada variabel emosi malu, skor rata-rata emosi malu adalah sebesar 32,99 dengan standar deviasi sebesar 8,852. Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa skor terkecil dari emosi malu adalah 9. Skor terbesar dari emosi malu adalah sebesar 57. Untuk variabel ketiga, yaitu emosi bersalah, didapatkan skor rata-rata emosi bersalah sebesar 48,78 dengan standar deviasi sebesar 8,828. Skor terkecil dari emosi bersalah adalah 24. Skor terbesar dari emosi bersalah adalah 68.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tekanan teman sebaya dengan emosi malu dan emosi bersalah. Dengan menggunakan teknik statistik Pearson correlation, berikut merupakan tabel korelasi antara variabel.

(12)

Tabel Hubungan Dimensi-Dimensi Tekanan Teman Sebaya dengan Emosi Malu.

Variabel r p

Peer Involvement dan Emosi Malu

-.142** .000 School Involvement dan

Emosi Malu

.176** .003

Family Involvement dan Emosi Malu

.136** .000

Conformity to Peer Norms dan Emosi Malu

-.024 .620

Misconduct dan Emosi Malu -.145** .002 **. Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)

Berdasarkan tabel di atas (tabel 4.5), peer involvement memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan emosi malu, r(443) = -0.142, p < 0.01. School involvement dan emosi malu memiliki korelasi positif yang signifikan dengan r(443) = 0.176, p < 0.01. Untuk dimensi family involvement, terdapat hubungan positif yang signifikan dengan emosi malu, r(443) = 0.136, p < 0.01. Dimensi conformity to peer norms tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan emosi malu. Terlihat dari nilai r(443) = -0,024, p = 0.620. Dimensi misconduct memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan emosi malu r(443) = -0.145, p <0.01.

Selain mencoba melihat hubungan tiap dimensi tekanan teman sebaya dengan emosi malu, dihitung pula korelasi dengan emosi bersalah. Berikut merupakan gambaran korelasi antara tiap dimensi tekanan teman sebaya dengan emosi bersalah.

Tabel Hubungan Dimensi Perilaku Tekanan Teman Sebaya dengan Emosi Bersalah.

Variabel r p

Peer Involvement dan Emosi Bersalah

-.149* .002

School Involvement dan Emosi Bersalah

.333** .000

Family Involvement dan Emosi Bersalah

.295** .000

Conformity to Peer Norms dan Emosi Bersalah

-.063 .188

Misconduct dan Emosi Bersalah -.341** .000 **. Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)

Berdasarkan tabel di atas terlihat gambaran korelasi tiap dimensi tekanan teman sebaya dengan emosi bersalah. Dimensi peer involvement memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan emosi bersalah dengan nilai r(443) = -0,149, p < 0.01. Dimensi school involvement memiliki korelasi positing yang signifikan dengan emosi bersalah, r(443) = 0.333, p < 0.01. Untuk dimensi family involvement, ditemukan pula korelasi yang signifikan dengan emosi bersalah, r(443) = 0.295, p < 0.01. Pada dimensi conformity to peer norms,

(13)

tidak ditemukan korelasi yang signifikan, r(443) = -0.063, p = 0.188. Untuk dimensi misconduct, ditemukan kembali korelasi yang negatif dengan emosi bersalah, r(443) = -0.341, p < 0.01.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kesimpulan yang didapat. Melihat hubungannya dengan emosi malu, dimensi peer involvement dan misconduct memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan emosi malu. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika tekanan teman sebaya dalam hal terkait keterlibatan di dalam kelompok dan perilaku melanggar tinggi, maka emosi malunya rendah. Pada dimensi family involvement dan school involvement, terdapat hubungan positif yang signifikan dengan emosi malu. Apabila tekanan teman sebaya tinggi terkait keterlibatan di dalam keluarga dan sekolah tinggi, emosi malunya juga tinggi. dimensi conformity to peer norms, tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan emosi malu.

Analisis kedua adalah melihat hubungan antara tekanan teman sebaya dan emosi bersalah. Ditemukan bahwa tekanan teman sebaya pada dimensi perilaku peer involvement dan misconduct memiliki hubungan negatif yang signifikan.dengan emosi bersalah. Sama seperti emosi malu, hal tersebut menunjukkan bahwa jika tekanan teman sebaya terkait keterlibatan di dalam kelompok dan pelanggaran tinggi, emosi bersalahnya rendah. Pada dimensi perilaku school involvement dan family involvement, ditemukan hubungan positif yang signifikan dengan emosi bersalah. Jika tekanan teman sebaya terkait keterlibatan di sekolah dan keluarga tinggi, emosi bersalahnya juga tinggi. Berdasarkan hasil ini, maka dapat dinyatakan bahwa H0 ditolak. Untuk dimensi perilaku conformity to peer norms, tidak

ditemukan hubungan yang signifikan dengan emosi bersalah.

Diskusi

Adanya tekanan dari teman sebaya merupakan bentuk pengaruh sebagai konsekuensi untuk bisa diterima di dalam kelompok. Dalam penelitian ini, ditemukan keterkaitan antara tekanan teman sebaya dan emosi malu serta bersalah. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tekanan yang diberikan oleh teman sebaya pada dimensi perilaku peer involvement, school involvement, family involvement, dan misconduct dengan emosi

(14)

malu dan bersalah. Penemuan ini sejalan dengan penelitian-penelitian lain yang mengaitkan tekanan teman sebaya dengan berbagai perilaku remaja.

Dimensi perilaku peer involvement berkorelasi secara negatif dengan emosi malu dan emosi bersalah. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya desakan untuk aktif mengikuti kegiatan bersama kelompok diikuti dengan adanya emosi malu dan emosi bersalah yang rendah. Berbagai macam perilaku dapat terjadi di dalam kelompok. Santrock (2005) menyatakan bahwa pada masa remaja, waktu yang dihabiskan individu bersama temannya meningkat. Melalui kegiatan-kegiatan yang remaja habiskan bersama temannya, remaja memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai macam hal dan untuk melepaskan ketergantungan dengan orang tua (Erikson, 1968 dalam Santrock, 2005). Clasen dan Brown (1985) menyatakan pula bahwa menjadi bagian di dalam kelompok merupakan hal yang penting pada masa remaja. Apapun dapat dilakukan remaja untuk dapat tetap diterima di dalam kelompok. Berdasarkan hal tersebut, kontrol akan perilaku moral remaja menjadi tidak kuat dimana emosi malu dan emosi bersalah merupakan emosi moral yang menjadi pengontrolnya.

Dimensi perilaku misconduct berkorelasi negatif pula dengan emosi malu dan emosi bersalah. Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menemukan bahwa tekanan teman sebaya merupakan prediktor dari berbagai perilaku berisiko, seperti penggunaan obat terlarang, kenakalan/pelanggaran, gaya berpacaran, perilaku seksual. Korelasi negatif pada dimensi perilaku misconduct ini menunjukkan bahwa tekanan yang tinggi untuk melakukan pelanggaran terkait dengan rendahnya emosi malu dan bersalah. Jika emosi malu dan bersalah pada individu rendah, maka semakin rendah pula kontrol dalam berperilaku sesuai dengan standar yang berlaku. Jika dilihat dari fungsinya, emosi malu dan bersalah memiliki fungsi pengaturan perilaku, sosial, dan internal (Barrett, 1995). Desakan-desakan untuk berperilaku melanggar ini juga diikuti dengan rendahnya fungsi-fungsi emosi malu dan bersalah. Misalnya, perilaku untuk mengindari evaluasi negatif dari orang lain pada fungsi pengaturan perilaku emosi malu, serta kesadaran dan harapan untuk mematuhi standar berlaku pada fungsi pengaturan emosi bersalah.

Dimensi perilaku school involvement memiliki korelasi yang positif dengan emosi malu dan emosi bersalah. Pada penelitian Piciullo (2009) ditemukan bahwa hubungan dengan teman sebaya berpengaruh dengan keanggotaan di dalam sekolah, hubungan dengan guru, serta persepsi siswa terkait performa, kemampuan, dan pencapaian akademik. Hal tersebut menggambarkan bahwa ketika seseorang didesak teman sebayanya untuk aktif terlibat di sekolah, individu juga dapat terpengaruh untuk berperilaku untuk aktif terlibat di sekolah.

(15)

Adanya desakan-desakan untuk aktif terlibat di sekolah ini misalnya adalah untuk tidak membolos, belajar dengan giat, menghormati guru, dan untuk tidak menyontek. Newman, dkk (2000) dalam Piciullo (2009) menyatakan bahwa ketika teman sebaya memiliki sikap positif terhadap sekolah, individu cenderung akan lebih berusaha untuk berhasil di sekolah. Keberhasilan salah satunya adalah dengan mencapai nilai yang baik. Hamm dan Faircloth (2005) dalam Piciullo (2009) menemukan pula bahwa terdapat rasa keterikatan dengan sekolah pada siswa yang memiliki teman lebih aktif untuk terlibat di sekolah. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa desakan untuk terlibat di sekolah terkait dengan emosi malu dan bersalah untuk memutuskan perilaku yang sesuai dengan norma di sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada dimensi perilaku family involvement juga memiliki korelasi yang positif dengan emosi malu dan emosi bersalah. Adanya kecenderungan teman sebaya untuk mendesak terlibat dalam hubungan dengan keluarga, maka diikuti pula dengan tingginya emosi malu dan bersalah sehingga mengarahkan individu untuk melakukan hal sesuai dengan norma di dalam keluarga.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, terlihat bahwa emosi malu dan emosi bersalah merupakan emosi sosial (Barrett, 1995). Kedua emosi tersebut terbentuk dengan adanya sosialisasi dengan orang lain. Tekanan dari teman sebaya merupakan bentuk pengaruh yang dihasilkan dari sosialisasi dengan teman sebaya. Adanya tekanan-tekanan yang dirasakan dari teman sebayanya, memberikan informasi penting bagi remaja untuk dapat mengetahui aturan, standar, penilaian terhadap diri. Desakan-desakan yang terjadi memperlihatkan pada remaja manakah standar atau aturan yang ada serta secara tidak langsung mengarahkan individu untuk ikut dengan standar yang berlaku. Hal-hal tersebut penting untuk perkembangan emosi malu dan emosi bersalah dimana adanya sosialisasi merupakan hal yang krusial dalam perkembangan emosi malu dan bersalah (Barrett, 1995). Emosi malu dan bersalah ini mengarahkan individu pada perilaku moralnya. Hal tersebut menujukkan bahwa desakan-desakan ini membantu seseorang untuk membentuk identitasnya sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada tahap ini adalah untuk pembentukan identitas (Erikson, 1968 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Pembentukan identitas ini salah satunya adalah bagaimana individu memiliki konsep dan pemahaman yang jelas akan dirinya termasuk didalamnya bagaimana dalam mengambil keputusan dan nilai yang dianut dalam hidup.

Untuk dimensi perilaku conformity to peer norm, tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan emosi malu dan emosi bersalah. Jika ditinjau dari persebaran usia remaja dalam penelitian ini, sebagian besar merupakan remaja pada tahapan remaja tengah. Clasen dan Brown (1987) menyatakan bahwa tekanan dari teman sebaya cenderung lebih dirasakan

(16)

pada remaja awal. Terdapat kemungkinan bahwa remaja dalam penelitian ini berada pada tahap tidak terlalu terpengaruh dengan desakan teman sebayanya. Norma yang di maksud pada dimensi ini lebih terkait pada kebiasaan berpakaian, selera musik, serta gaya berdandan. Preferensi seseorang akan hal-hal tersebut ternyata juga dipengaruhi oleh faktor lain, salah satunya adalah karakteristik personal tiap individu. Salah satu contohnya dalam preferensi pemilihan musik, Cattell dan Saunders (1954) dalam Rentflow dan Gosling (2003) mengatakan bahwa individu yang menyukai tipe musik tertentu memperlihatkan informasi penting mengenai aspek-aspek kepribadiannya secara tidak sadar. Hal tersebut menunjukkan bahwa preferensi seseorang akan ketertarikannya terhadap sesuatu juga dipengaruhi oleh kepribadiannya. Hal tersebut membuka kemungkinan bahwa desakan tidak terlalu dirasakan karena faktor kepribadian yang lebih kuat dalam menentukan ketertarikannya terhadap sesuatu.

Dari penelitian ini juga, terlihat bahwa skor emosi malu juga lebih rendah dibandingkan dengan skor emosi bersalah. Temuan tersebut menggambarkan bahwa emosi yang lebih aktif terjadi pada masa remaja adalah emosi bersalah. Orth, Robin, dan Soto (2010) menyatakan bahwa pada masa remaja merupakan periode penting dalam perkembangan emosi self-conscious. Emosi malu menurun pada masa remaja sampai masa dewasa dan meningkat kembali pada masa tua. Untuk emosi bersalah, pada masa remaja terjadi peningkatan hingga masa tua.

Penelitian ini tentunya memiliki keterbatasan. Pertama dari sampel yang digunakan. Teknik pemilihan sampel yang digunakan adalah convenient sampling. Kumar (1999) menyatakan bahwa teknik pengambilan sampel terbaik adalah secara random, tetapi hal tersebut sulit dilakukan dalam penelitian ini. Yang kedua, terkait jumlah item kuesioner. Penelitian ini dilakukan dengan empat penelitian lain sehingga terdapat total enam kuesioner dengan jumlah item sebanyak lebih dari 100 item yang harus dikerjakan satu partisipan. Faktor kelelahan dan kebosanan bisa saja berdampak pada saat pengerjaan alat ukur.

Selain keterbatasan, terdapat juga kelebihan dalam penelitian ini. Penelitian mengenai tekanan teman sebaya dan emosi malu dan bersalah merupakan penelitian yang jarang ditemukan di Indonesia. Terdapat kesulitan untuk mencari literatur terkait tekanan teman sebaya dan emosi malu dan bersalah. Ditemukan kesulitan pula untuk melihat kedua variabel ini pada konteks budaya remaja Indonesia. Penelitian ini dapat menjadi salah satu temuan yang mungkin dapat digunakan untuk penelitian-penelitian selanjutnya terkait tekanan teman sebaya atau pun terkait emosi malu dan emosi bersalah pada remaja.

(17)

Saran

Secara metodologis, terdapat beberapa saran untuk penelitian selanjutnya. Yang pertama, terkait populasi dan sampel penelitian, perlu menambah sampel untuk dapat mewakili usia remaja secara menyeluruh agar bisa secara sepenuhnya menggambarkan keadaan remaja. Yang kedua, cakupan pada penelitian ini hanya sebatas pada remaja di DKI Jakarta. Untuk penelitian selanjutnya, cakupan penelitian dapat diperluas sehingga dapat menghasilkan gambaran untuk remaja di wilayah cakupan yang lebih luas. Misalnya, populasi remaja Jabodetabek. Yang ketiga, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam lagi mengenai tekanan teman sebaya dan emosi malu dan bersalah pada remaja. Pada penelitian ini hanya sebatas tekanan yang dipersepsikan. Penelitian selanjutnya dapat mendalami mengenai keterkaitan antara kedua variabel ini dengan melihat kerentanan atau ketahanan remaja terhadap tekanan teman sebaya. Selain itu, dapat pula diteliti mengenai perbedaannya berdasarkan jenis kelamin, usia, serta karakteristik lain pada remaja.

Daftar Pustaka

Amirullah. (2013). Kejahatan seksual pelajar kian mengkhawatirkan. Diakses di

http://www.tempo.co/read/news/2013/12/13/064537054/Kejahatan- Seksual-Pelajar-Kian-Mengkhawatirkan.

Barrett, K.C. (1995). A functionalist approach to shame and guilt. In Tangney, Fischer (Eds.) The Self-Conscious Emotion. New York : The Guilford Press.

Baumeister, Stillwell, & Heatherton (1995). Interpersonal aspects of guilt: evidence from narrative studies. In Tangney, Fischer (Eds.) The Self-Conscious Emotion. New York: The Guilford Press.

Bisser-Havran, J.M., & Loken, E. (2008). The role of friends in early adolescents’ academic self-competence and intrinsic value for math and English. Journal Youth Adolescence, 38, 41-50.

Brown, B.B., Clasen, D.R., & Eicher, S.A. (1986). Perceptions of peer pressure, peer

conformity dispositions, and self-reported behavior among adolescents. Developmental Psychology, 22, 521-530.

Clasen, D. R., & Brown, B.B. (1985). The multidimensionality of peer pressure in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 14, 451-468.

(18)

Hermawan, E. (2013). Tawuran sekolah Jakarta naik 44 persen. Diakses di

http://www.tempo.co/read/news/2013/11/20/083531130/Tawuran- Sekolah-Jakarta-Naik-44-Persen.

Kartono, K. (2006). Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Lickel, B., Schmader, T., Curtis, M., Scarnier, M., & Ames, D.R. (2005). Vicarious shame and guilt. Group Processes & Intergroup Relations, 8(2), 145-157.

Lutwak, N., Panish, J.B., Ferrari, J.R., & Razzino, B.E. (2001). Shame and guilt and their relationship to positive expectation and anger expressiveness.

Orth, U., Robins, R.W., & Soto, C.J. (2010). Tracking the trajectory of shame, guilt, and pride across the life span. Journal of Personality and Social Psychology, 99, 6, 1061-1071. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human Development. (10thed). New

York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Qonita, A. (2013). Perbedaan Emosi Malu dan Emosi Bersalah pada Remaja yang

Bersekolah di SMA Umum dan SMA Swasta Berdasarkan Agama (Skripsi). Depok : Universitas Indonesia.

Santor, D.A., Messervey, D., & Kusumakar, V. (2000) Measuring peer pressure, popularity, and conformity in adolescent boys and girls: predicting school performance, sexual attitudes, and substance abuse. Journal of Youth and Adolescence, 29(2), 163-182. Santrock, J.W. (1998). Adolescence. 7th ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Santrock, J.W. (2005). Adolescence (10th ed.). New York : The McGraw-Hill Companies, Inc. Su, C. (2011). A Cross-Culutral Study on The Experience and Self-Regulation of Shame and

Guilt (Dissertation). Canada : Faculty of Graduate Studies, York University.

Tangney, J.P. (1999). Shame and guilt in interpersonal relationship. In Tangney, Fischer (Ed.) The Self-Conscious Emotion. New York : The Guilford Press.

Tangney, J.P. (1999). In T. Dalgleish & M.J. Power (Eds.), Handbook of cognition and emotion (pp.541-568). England : Wiley.

Tangey, J.P., & Dearing, R.L. (2002). Shame and Guilt. New York : The Guilford Press. Tangney, J.P, & Ficher, K.W. (1995). Self-Conscious Emotions. (ed.). New York : The

Guilford Press.

Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. The Annual Review on Psychology, 58, 345-372.

(19)

approach. In Tracy, Robins, & Tangney (Eds.) The Self-Conscious Emotions. New York : The Guilford Press.

Gambar

Tabel Karakteristik Partisipan
Tabel Gambaran Umum Variabel Penelitian Variabel  Jumlah  Partisipan  Skor Rata-Rata  Standar  Deviasi  Skor  Minimum  Skor  Maksimum  Peer Involvement  433  12.53  4.474  0  24  School  Involvement  433  14.46  4.536  2  25  Family  Involvement  433  15.4
Tabel Hubungan Dimensi-Dimensi Tekanan Teman Sebaya dengan Emosi Malu.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara interaksi teman sebaya dengan perilaku merokok pada remaja, untuk mengetahui tingkat interaksi teman

Penelitian Dewi, Hardjono, dan Nugroho (2014) menemukan bahwa interaksi sosial teman sebaya pada remaja dapat mempengaruhi seorang remaja untuk mengambil keputusan

Adapun sebab-sebab yang menimbulkan adanya konformitas remaja pada perilaku seksual teman sebaya antara lain : rasa takut terhadap celaan sosial dan adanya pengaruh

a) Tidak ada hubungan yang sangat signifikasi antara konfromitas teman sebaya dengan kenakalan remaja. Hal ini menunjukkan Semakin tinggi tingkat konfromitas teman

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa (1) terdapat hubungan antara kematangan emosi dan konformitas teman sebaya terhadap

Peran teman sebaya dalam mempengaruhi remaja putra di Desa Jatibarang Kidul Kabupaten Brebes Hasil penelitian menunjukkan mayoritas teman sebaya remaja mendukung pada

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dan aktualisasi diri dengan harga diri remaja Panti Asuhan di

Hasil analisis data menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R 2 ) adalah 0,262 sehingga sumbangan kecerdasan emosi, keterlibatan orang tua dan interaksi teman