• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN BEA KELUAR TERHADAP PRODUK TURUNAN MINYAK KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN BEA KELUAR TERHADAP PRODUK TURUNAN MINYAK KELAPA SAWIT"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN BEA KELUAR TERHADAP

PRODUK TURUNAN MINYAK KELAPA SAWIT

DAVID PUTRA S. SILABAN DAN INAYATI

Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, david.putra@ui.ac.id

Abstrak. Skripsi ini membahas mengenai analisis formulasi kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit. Pemerintah memiliki kewenangan untuk membentuk suatu kebijakan publik. Pemerintah memiliki program hilirisasi industri, dimana program tersebut bertujuan agar bahan baku yang diproduksi di dalam negeri tidak langsung diekspor melainkan diolah terlebih dahulu sehingga menghasilkan nilai tambah yang signifikan bagi negara. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa alur proses formulasi yang dilakukan pemerintah ada enam tahap, yaitu departemen terkait memberikan proposal kepada Menteri Keuangan, Menteri Keuangan melihat realita yang ada, kemudian membentuk tim tarif yang tugasnya menentukan besarnya tarif bea keluar, terbentuk besarnya tarif, lalu disahkan oleh Menteri Keuangan. Serta terdapat kendala dalam proses formulasi yang dapat menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.

Kata kunci:

Formulasi Kebijakan, Bea Keluar, Kelapa Sawit, Turunan Minyak Kelapa Sawit

Abstract. This thesis discusses the analysis of tax policy formulation towards palm oil derivative products. The government has the authority to shape public policy. The government has a downstream industries program, where the program is intended to make the raw materials produced in the country is not directly exported but are treated so as to produce significant added value for the country. This study used a qualitative approach to qualitative data analysis techniques. These results indicate that the flow formulation process by the government there are six stages, namely the relevant departments gave a proposal to the Minister of Finance, the Minister of Finance to see reality, then form a team whose job it is determining the rate of export duty rates, tariffs formed and approved by the Minister of Finance. And there are obstacles in the process of formulation that can backfire for the government itself.

Keywords:

(2)

1. Pendahuluan

Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam kegiatan membantu prekonomian di Indonesia dan salah satu sub sektor yang cukup besar potensinya adalah sub sektor perkebunan. Produksi hasil perkebunan merupakan salah satu komoditas ekspor non migas yang dapat meningkatkan devisa negara adalah kelapa sawit yang merupakan primadona karena dapat menghasilkan minyak nabati yang cukup besar. Sub sektor ini juga mampu bertindak sebagai penyediaan bahan baku untuk sektor industri sekaligus sebagai penyerap tenaga kerja.

Barang yang diekspor adalah kelapa sawit yang diolah terlebih dahulu menjadi minyak nabati sehingga nilai ekspor dapat berubah sesuai dengan kapasitas ekspor yang dilakukan.

Tabel 1.1 Nilai Ekspor Non Migas Menurut Sektor

No. Sektor 2008 2009 2010 2011 (Jan-Sept)

1 Pertanian 4584.63 4352.8 5002.1 3774.2 2 Industri 88393.48 73435.8 98033.1 91806.5 3 Pertambangan 14906.16 19692.3 26654.9 25229.3 4 Lainnya 24.46 37.8 9.9 9 5 Total Non Migas 107908.73 97518.7 129700 120819 Sumber: Kementerian Perdagangan (diolah peneliti)

Dari tabel 1.1, terlihat bahwa dari tahun 2008 hingga 2010, ekspor produk pertanian tidak menunjukkan penigkatan yang signifikan, jauh berbeda dengan sektor industri dan sektor pertambangan yang mempunyai nilai ekspor yang lebih besar. Namun, pada tahun 2011 jumlah nilai ekspor mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, karena data yang di dapat hanya sampai bulan September.

Perkembangan ekspor pertanian yang tidak begitu signifikan menandakan bahwa kurangnya perhatian dari pihak pemerintah dalam masalah ini. Selama ini pemerintah dianggap terlalu fokus terhadap sektor industri. Dengan adanya persaingan produk luar negeri yang masuk ke pasar lokal dalam negeri membuat para petani Indonesia kesulitan dalam bersaing, terutama untuk bahan pangan yang semakin lama semakin mengancam kelangsungan dari sektor pertanian.

Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk perekonomian bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sektor agroindustri yang cenderung berkembang dan memiliki prospek baik ke depan adalah Perkebunan Kelapa Sawit. Dilihat dari proses awalnya, tanaman kelapa sawit sebagai tanaman keras akan menghasilkan minyak sawit dan inti sawit yang telah dikenal di Indonesia sejak jaman Belanda. Sedangkan hilirnya, minyak sawit dan inti sawit tersebut dapat diolah lebih lanjut dan akan menghasilkan minyak goreng (olein), mentega dan bahan baku sabun (stearin). Lebih ke hilir lagi, komoditi ini dapat menghasilkan ratusan produk turunan lainnya yang secara umum dikonsumsi masyarakat

(3)

dunia saat ini. Dan saat ini salah satu perkembangan produk turunan kelapa sawit adalah bahan bakar minyak, dimana dengan ditemukannya teknologi ini secara tidak langsung kebutuhan CPO sebagai produk turunan pertama kelapa sawit meningkat tajam yang pada akhirnya mendorong kenaikan harga CPO di pasar internasional.

Crude Palm Oil (CPO) dipakai sebagai bahan baku minyak goreng dan produk

turunan lainnya yang digunakan untuk komsumsi, baik untuk industri maupun untuk masyarakat. Pemerintah Indonesia memasukkan minyak goreng sebagai sembilan bahan pokok, sehingga ketersediaannya dapat mempengaruhi kondisi makro ekonomi, stabilitas politik, dan sosial keamanan negara (Brodjonegoro, 2005, p. 86).

Berdasarkan informasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia dan pada tahun 2010. Dan dunia berharap Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap kebutuhan CPO dunia. Hal ini disebabkan Malaysia sebagai salah satu pemasok CPO terbesar dunia tidak lagi memiliki lahan pengembangan yang baru, hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas sebesar 3% per tahun. Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia dengan volume 20,5 juta ton tahun 2009 (www.bkpm.go.id).

Menurut data Oil World Annual 2009-2010, dari total 168.8 Juta Ton minyak nabati yang diproduksi dunia, 27,7% adalah minyak sawit dan 22,4% adalah minyak kedelai. Padahal, luas kebun sawit seluruh dunia hanya 13,1 juta hektar, dibandingkan kedelai yang 97.3 juta hektar. Artinya, dalam 1 hektar kebun kelapa sawit, dihasilkan rata-rata 3,6 ton minyak, sedangkan 1 hektar kebun kedelai hanya menghasilkan rata-rata 0,39 ton minyak. Menurut MPOB, perkebunan kelapa sawit melalui proses fotosintesa mampu menghasilkan oksigen dan menyerap gas karbon 10x lebih efektif dibandingkan dengan ladang kedelai. (www.oilworld.biz)

Indonesia memasok 47% kebutuhan CPO dunia. Indonesia dan Malaysia menguasai 85% pasar CPO dunia, yang diantaranya diekspor ke Uni Eropa. Beberapa negara tujuan ekspor lain adalah India, China, dan Singapura. Saat ini pasar Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar untuk CPO Indonesia. Indonesia merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia pada periode 2001-2005. Sejak tahun 2006, jumlah produksi minyak sawit Indonesia telah melebihi Malaysia. Pada tahun 2002 total produksi minyak sawit baru mencapai 9,37 juta ton dan pada tahun 2005 total produksi minyak sawit telah mencapai 14,10 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu 4 tahun. Sedangkan pada tahun 2009, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 20,5 juta ton. Dibandingkan

(4)

produksi tahun 2008 sebesar 19,3 juta ton maka terjadi peningkatan sebesar 5,7% dari produksi tahun 2008.

Permasalahan utama yang menjadi masalah di perdagangan dunia CPO sebenarnya bukan terletak pada tingkat permintaan konsumsi atau ekspornya, karena baik konsumsi atau ekspor dunia cenderung meningkat dengan stabil, melainkan permasalahan utamanya justru terletak pada fluktuasi harga yang tidak stabil. Fluktuasi harga CPO ini cenderung dipengaruhi oleh isu-isu yang dibuat oleh negara penghasil produk subtitusi (saingan CPO), yaitu negara-negara penghasil minyak dari kacang kedelai dan jagung yang umumnya merupakan negara di Eropa dan Amerika (negara maju). Isu-isu seperti produk yang tidak higienis, pengrusakan ekosistem hutan termasuk isu pemusnahan orang utan merupakan isu yang diangkat untuk menjatuhkan harga CPO dunia, untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam atau lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Dengan posisi sebagai produsen terbesar kedua saat ini dan menuju produsen utama di dunia pada masa depan, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini dengan sebaik-baiknya, mulai dari perencanaan sampai dengan upaya menjaga agar tetap bertahan pada posisi sebagai a country leader and market leader. (agribisnis.deptan.go.id)

Dalam PMK Nomor 128/PMK.011/2011 (pengganti PMK Nomor 67/PMK.011/2010) dijelaskan mengenai penambahan jenis produk yang berasal dari kelapa sawit yang dikenakan bea keluar didasarkan dari tujuan pemerintah yang ingin mengembangkan industri hilir. Awalnya hanya 15 produk turunan minyak kelapa sawit saja yang dikenakan bea keluar, namun pemerintah menambahkan 14 macam lagi produk turunan minyak kelapa sawit, dimana bertujuan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng dalam negeri dan juga persediaan dalam negeri atas usulan dari Kementerian Perindustrian serta program pemerintah, yaitu hilirisasi industri.

Dalam PP Nomor 55 Tahun 2008 dijelaskan mengenai tujuan dari diterapkannya bea keluar terhadap barang ekspor tertentu, antara lain untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional, atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Dalam peraturan pelaksanaannya kemudian dijelaskan kembali latar belakang ditetapkannya bea keluar CPO yaitu untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku untuk industri minyak goreng serta menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri dan dalam rangka mendukung pelaksanaan hilirisasi industri sawit.

(5)

Ekspor CPO dan produk turunannya membantu mengurangi beban APBN melalui peningkatan ekspor, namun di sisi lain mengancam persediaannya untuk mendukung industri minyak goreng di dalam negeri. Produk turunan dari CPO justru tidak begitu laku (kurang peminat dan harga cenderung rendah) di pasar lokal Indonesia, maka para pengusaha kelapa sawit lebih memilih untuk mengekspornya keluar negeri dari pada dijual di pasar lokal Indonesia. Oleh karena itu, peran pemerintah sangatlah dibutuhkan untuk menangani masalah ini. Pemerintah harus benar-benar memperhatikan dampak positif dan dampak negatifnya dalam membuat suatu kebijakan. Dengan masalah ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan memberikan bea keluar terhadap produk turunan CPO, dengan maksud untuk menjaga ketersediaan dalam negeri. Melalui latar belakang masalah, peneliti mencoba mengkaji bagaimana proses formulasi kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit beserta menganalisis dan juga mengkaji hambatan apa saja yang terjadi selama proses formulasi berlangsung.

2. Tinjauan Teoritis 2.1. Kebijakan Publik

Syafiie, Tandjung, dan Modeong (1999, p. 107) mengutip pernyataan Friedrick mengenai kebijaksanaan pemerintah, yaitu suatu usulan tindakan oleh seseorang, keluarga, atau pemerintah pada suatu lingkungan politik tertentu, mengenai hambatan dan peluang yang dapat diatasi, dimanfaatkan oleh suatu kebijaksanaan, dalam mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu maksud.

Agustino (2008, p. 7) pun mengutip pernyataan dari Anderson (1984) yang mengatakan bahwa kebijakan publik memiliki arti sebagai serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan.

2.2. Formulasi Kebijakan Publik

Formulasi kebijakan publik adalah sebuah rangkaian proses perumusan kebijakan yang dilakukan oleh policy maker sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan untuk diimpelentasikan (Abidin, 2004, p. 35). Proses perumusan ini merupakan bagian penting dalam agenda kebijakan karena dengan perumusan kebijakan yang terpadu, akan menghasilkan sebuah kebijakan tepat untuk ditetapkan. Formulasi kebijakan publik memiliki tahapan-tahapan yang bersifat kontiunitas dan metologis agar pada akhirnya output yang

(6)

keluar telah sesuai dan melewati tahapan-tahapan yang ada. Tahapan formulasi kebijakan publik terdiri dari:

1. Pemahaman Masalah 2. Agenda Setting

3. Policy Problem Formulation 4. Policy Design

2.2.1. Pemahaman Masalah

Ada beberapa hal yang terkait dalam perumusan masalah kebijakan dan perlu diperhatikan oleh policy maker, yaitu: (Subarsono, 2005, p. 23)

a) Perumusan masalah yang baik dan benar, bersifat comprehensive dengan pendekatan

holistic, agar menyentuh masalah yang sangat substansial.

b) Masalah yang telah dirumuskan dengan baik dan benar, berarti separuh masalah telah terpecahkan.

c) Keberhasilan dalam memecahkan masalah menghendaki diketemukannya pemecahan yang benar atas masalah atas masalah yang benar.

d) Kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan masalah yang salah dari pada mendapat pemecahan masalah yang salah terhadap masalah yang benar.

2.2.2. Agenda Setting

Agenda pemerintah adalah suatu kesepakatan umum, belum tentu tertulis, tentang adanya masalah publik yang perlu menjadi perhatian bersama dan menuntut campur tangan pemerintah untuk memecahkannya. Policy Problem dirasa perlu menjadi agenda pemerintah pada saat:

1. Issue itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan

kesadaran masyarakat.

2. Ada persepsi dan pandangan atau pendapat publik yang luas, bahwa beberapa tindakan diperlukan untuk memecahkan masalah itu.

3. Adanya persepsi dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari beberapa unit pemerintahan.

4. Issue tersebut mempunyai dampak kepada banyak orang

Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan suatu masalah publik dapat diangkat ke agenda pemerintah pada saat:

1. Isu itu dinilai penting dan membawa dampak yang besar kepada banyak orang. 2. Isu itu mendapat perhatian dari policy maker.

3. Isu tersebut sesuai dengan platform politik. 4. Isu tersebut kemungkinan dapat terpecahkan.

2.2.3. Policy Problem Formulation

(7)

Tabel 2.2 Pemahaman dalam Dinamika Formulasi Kebijakan

No. Tataran Masalah

1. Private Problem Masalah-masalah yang mempunyai akibat yang terbatas atau hanya menyangkut pada satu atau jumlah kecil orang yang terlibat secara langsung

2. Public Problem Masalah-masalah yang mempunyai akibat lebih luas, termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-orang yang secara tidak langsung terlibat.

3. Policy Issues Perbedaan pendapat masyarakat tentang solusi dalam menangani masalah (policy action)

4. Systemic Agenda Isu dirasakan oleh semua warga masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut masuk dalam yuridiksi kewenangan pemerintah.

5. Institution Agenda Isu dirasakan oleh semua warga masyarakat politik yang patut mendapat perhatian publik dan isu tersebut masuk dalam yuridiksi kewenangan pemerintah.

Sumber: DR Joko Widodo, MS, Makalah Formulasi Kebijakan Publik

2.2.4. Policy Design

Langkah-langkah dalam yang menjadi inti (core) dalam proses policy design, yaitu (Islamy, 1997, p. 52):

1. Pengkajian persoalan. Menemukan dan memahami hakekat dari permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.

2. Penetapan tujuan dan sasaran adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau dihindari.

3. Perumusan alternatif, sejumlah cara atau alat-alat yang digunakan untuk mencapai langsung atau tidak sejumlah tujuan yang telah ditentukan.

4. Penyusunan model, penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi diwujudkan dalam hubungan kausal atau fungsional.

5. Penentuan Kriteria diperlukan untuk menilai alternatif.

6. Penilaian alternatif untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan feasibilitas.

7. Perumusan rekomendasi, saran-saran alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan optimum.

Kriteria yang diperlukan pada saat proses policy design yaitu: 1. Technical Feasibility

2. Economic dan Financial Feasibility 3. Political Viability

4. Administrative Operability

2.3. Analisis Kebijakan

Menurut Nugroho (2007, p. 205) analisis kebijakan dapat dipilah menjadi bagan berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan Analysis of Policy dan Analysis for Policy

Analysis of Policy Analysis for Policy

Penelitian tentang isi kebijakan Analisis untuk merumuskan kebijakan Penelitian tentang implementasi kebijakan Analisis untuk memprediksi impak kebijakan Penelitian tentang kinerja kebijakan Analisis untuk memperbaiki isi kebijakan

Penelitian tentang lingkungan kebijakan Analisis untuk memperbaiki implementasi kebijakan Penelitian tentang proses kebijakan Analisis untuk memperbaiki proses kebijakan Sumber: Riant Nugroho D., 2007, Analisis Kebijakan.

(8)

2.4. Ekspor dalam Perdagangan Internasional

Barang-barang ekspor disediakan untuk konsumen di luar negeri oleh produsen domestik, dengan cara tersebut timbul perdagangan internasional atau dikenal sebagai ekspor-impor. Keterkaitan instansi bea dan cukai dalam kegiatan ekspor-impor adalah dalam penetapan harga (nilai transaksi), klasifikasi barang/pentarifan untuk penghitungan bea masuk/bea keluar merupakan tanggung jawab dalam rangka pengawasan dan pengamanan penerimaan negara (Purwito, 2008, p. 49).

2.5. Konsep Bea Keluar

Pengertian bea keluar adalah pungutan yang dilakukan oleh pemeirntah untuk barang-barang tertentu, dalam kondisi dan situasi tertentu dalam kegiatan pengeluaran barang-barang ke luar daerah pabean dan ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan masyarakat di dalam negeri yang pada dasarnya bukan merupakan pajak. Konsep bea keluar yang bukan merupakan pajak tetapi lebih merupakan instrumen dengan dasar pertimbangan bahwa atas barang ekspor tertentu dalam keadaan bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat (Purwito, 2008, p. 43).

3. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Neuman, (2007, h. 110) menyatakan:

"Peneliti kualitatif juga mencerminkan pada ide-ide sebelum pengumpulan data, tetapi mereka mengembangkan banyak, kalau tidak sebagian besar, konsep mereka selama pengumpulan data. Peneliti kualitatif meninjau dan mengevaluasi data dan konsep-konsep secara simultan dan interaktif. Peneliti mulai mengumpulkan data dan menciptakan cara-cara untuk mengukur berdasarkan apa yang mereka hadapi. Ketika mereka mengumpulkan data, mereka merefleksikan proses dan mengembangkan ide-ide baru."

Analisis data ini diperlukan untuk menjawab perumusan masalah penelitian ini yaitu untuk menggambarkan proses formulasi kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit dan juga untuk menggambarkan hambatan apa saja yang terjadi selama proses formulasi.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Sebelum terbentuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011, sudah terlebih dahulu ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010. Peneliti di sini menekankan penelitian ini hanya menyangkut kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor

(9)

128/PMK.011/2011, dimana dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 produk turunan minyak kelapa sawit yang dikenakan bea keluar ada 15 macam produk, namun pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 justru ada penambahan 14 macam produk, sehingga produk turunan minyak kelapa sawit yang dikenakan bea keluar menjadi 29 produk. Hal yang dibahas di sini adalah proses perubahan kebijakan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011, dimana dalam setiap perubahan kebijakan pasti melewati suatu proses formulasi.

4.1. Alur dan Proses Formulasi Kebijakan Bea Keluar terhadap Produk Turunan Minyak Kelapa Sawit

4.1.1. Proses Penyusunan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011

Pada umumnya kewenangan mengenai tarif, baik itu tarif bea masuk maupun tarif bea keluar berada pada Menteri Keuangan. Dalam membuat suatu kebijakan mengenai keuangan, Menteri Keuangan harus mempertimbangkan kepentingan dari departemen teknis, dengan kata lain harus mempertimbangkan kepentingan dari departemen yang terkait dengan yang diusulkan. Kemudian menteri dari salah satu departemen terkait mengirimkan surat atau proposal kepada Menteri Keuangan agar segera dibatasi produk yang keluar dari Indonesia, agar kebutuhan dalam negeri tidak kurang. Dengan begitu Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif bea keluar terhadap produk yang keluar tersebut.

Kemudian tindakan Menteri Keuangan selanjutnya adalah membentuk sebuah tim. Tim tersebut dinamakan tim tarif. Tim tarif ini bertugas untuk menentukan besarnya tarif yang akan dikenakan terhadap suatu barang yang akan diekspor ataupun diimpor. Selain itu, Menteri Keuangan harus melihat bagaimana realitas yang terjadi di lapangan, misalnya salah satu departemen teknis mengatakan bahwa banyak kelapa sawit yang justru keluar dari Indonesia dikarenakan adanya international price yang lebih baik dibandingkan dengan

national price sehingga persediaan dalam negeri menjadi berkurang.

Untuk menentukan besar tarif bea keluar dibutuhkan waktu yang cukup lama dan memerlukan rapat puluhan kali sehingga baru dapat dibentuk suatu kebijakan bea keluar ini. Hal itu dikarenakan pengenaan bea keluar sebenarnya tidak lazim, jika tidak ada keperluan yang mendesak maka jarang sekali negara mengenakan bea keluar. Jadi, atas dasar itulah (surat yang dikirimkan oleh menteri salah satu departemen terkait merupakan suatu keadaan yang mendesak) tim tarif memanggil semua departemen yang terkait untuk dipelajari (dalam rapat), dilakukan riset, dilihat fakta di lapangan sambil diproses, dan akhirnya baru Menteri

(10)

Keuangan setuju atau tidak produk tersebut dikenakan bea keluar. Untuk mempersingkat, dapat dilihat dalam Gambar 4.1 sebagai berikut:

Gambar 4.1 Diagram Alur Formulasi Kebijakan

Sumber: Diolah Peneliti

4.1.2. Tahap Identifikasi Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang peneliti temukan di lapangan, dapat diambil beberapa poin penting, yaitu:

• Bea keluar yang ada tidak sesuai dengan keadaan yang diharapkan oleh pemerintah • Menginginkan hilirisasi industri

• Banyak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh oknum

• Masih banyak produk mentah yang langsung diekspor tanpa diolah terlebih dahulu Beranjak dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka perlu disusun sebuah kebijakan untuk sedianya dapat mengakomodir permasalahan-permasalahan yang terjadi. Kebijakan ini harus diformulasikan dengan benar agar tidak menjadi kebijakan yang bias dan jauh dari menjawab permasalahan yang terjadi. Perumusan masalah yang benar berarti separuh dari permasalahan telah terpecahkan dan kegagalan dalam suatu kebijakan seringkali terjadi karena masalah yang tidak dirumuskan dengan benar.

Perumusan masalah yang baik, benar, dan bersifat comprehensive dengan pendekatan

holistic (menyeluruh) adalah mampu menyentuh masalah yang substansial agar tidak terjadi

salah cerna permasalahan yang terjadi.

Departemen terkait Menteri Keuangan Tim Tarif Melihat realita Besar Tarif Kebijakan

1. Memberi surat ke Menteri Keuangan

2. Menteri Keuangan melihat realita yang terjadi di lapangan

3. Membentuk Tim Tarif 4. Melakukan rapat dengan

semua departemen terkait 5. Mengusulkan besarnya

tarif

6. Membentuk kebijakan setelah Menteri Keuangan setuju dengan tarif yang dibentuk

(11)

Permasalahan yang pertama dan kedua dapat disatukan yaitu bea keluar yang ada tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan oleh pemerintah adalah hasil kontradiksi dengan harapan pemerintah yang menginginkan hilirisasi industri. Hilirisasi industri dapat menghasilkan nilai tambah bagi negara, dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai tambah yang didapatkan oleh negara akan memajukan industri dalam negeri itu sendiri, karena dalam mengolah suatu bahan mentah dibutuhkan pabrik dan perangkat-perangkat pendukungnya, baik di dalam pabrik (karyawan) maupun di luar pabrik (pedagang).

Hal ini tidak dapat dibiarkan terjadi begitu saja oleh pemerintah, karena jika terus dibiarkan bagaimana industri dalam negeri dapat berkembang. Dalam beberapa hal, hilirisasi industri memang dapat menambahkan nilai tambah bagi negara. Negara pun patut diberikan stimulus untuk menghasilkan hilirisasi industri, yaitu industri yang teraglomerasi (akan dibahas selanjutnya).

Permasalahan yang kedua yaitu banyak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Memang tidak dapat dihindari tindak kecurangan ini, karena pada umumnya pengusaha, khususnya pengusaha kelapa sawit, berusaha keras untuk tidak dikenakan bea keluar sehingga segala cara dilakukan agar barang yang tiba diperbatasan tidak dikenakan bea keluar. Pemerintah tidak menginginkan hal itu terjadi, jika hal itu terjadi terus menerus maka akan merugikan negara karena tidak ada dana yang mengalir untuk negara.

Permasalahan yang ketiga yaitu masih banyak bahan mentah yang langsung diekspor tanpa diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Pemerintah juga tidak menginginkan hal ini terjadi terus menerus, karena jika masih banyak bahan mentah yang langsung diekspor maka negara akan kekurangan bahan baku untuk dalam negeri. Dengan demikian, bahan mentah yang seaharusnya digunakan untuk produksi barang jadi di dalam negeri akan terus berkurang dan akan mengakibatkan kelangkaan minyak di dalam negeri. Hal ini terkait dengan isi dari Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008, yaitu bea keluar yang ditetapkan digunakan untuk tujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan juga menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

Identifikasi perumusan masalah yang telah dirumuskan oleh departemen terkait inilah yang coba dikembangkan oleh peneliti dengan berlandaskan teori-teori yang ada disertai keterangan dari berbagai narasumber yang tepat. Perumusan masalah ini sangat penting sehingga menghasilkan sebuah instrumen kebijakan yang tepat guna menjawab permasalahan yang terjadi.

(12)

Selanjutnya peneliti akan beranjak pada tahap kedua, yaitu agenda setting dimana permasalahan yang terjadi substansial di masyarakat dan oleh karenanya perlu diintervensi dari pemerintah sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam mengeluarkan kebijakan (policy maker).

4.1.3. Tahapan Agenda Setting

Dalam uraian teori, pada bagian konsep formulasi kebijakan publik dijelaskan bahwa suatu masalah publik dapat diangkat ke agenda pemerintah pada saat:

• Isu itu dinilai penting dan membawa dampak yang besar kepada banyak orang

• Isu itu mendapat perhartian dari Isu itu dinilai penting dan membawa dampak yang besar kepada banyak orang

Isu itu mendapat perhartian dari policy maker • Isu tersebut sesuai dengan platform politik • Isu tersebut kemungkinan dapat terpecahkan

Pertama, pada bagian isu dinilai penting dan membawa dampak besar bagi banyak orang apabila dikaitkan permasalahan-permasalahan yang ada pada tahap perumusan masalah memiliki hubungan yang sinergis. Permasalahan pertama, bea keluar yang ada tidak sesuai dengan keadaan yang diharapkan oleh pemerintah dan menginginkan hilirisasi industri menunjukkan bahwa pemerintah mengharapkan suatu industri dalam negeri yang maju. Industri dalam negeri yang maju dapat menghasilkan dampak positif bagi lingkungan sekitar industri. Dengan merestrukturisasi bea keluar, diharapkan bahan mentah tidak lagi diekspor keluar negeri melainkan dapat diolah dahulu di dalam negeri yang tentunya menghasilkan nilai tambah bagi negara. Permasalahan kedua yaitu banyak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh oknum di lapangan ini dapat membawa dampak yang negatif bagi negara dan juga bagi masyarakat serta pengusaha lainnya. Maksudnya, jika kecurangan kerap kali terjadi maka pendapatan negara akan berkurang, dan untuk pengusaha lainnya yang tidak melakukan kecurangan akan merasa dirugikan karena pengusaha yang tidak melakukan kecurangan tetap dikenakan bea keluar dan sebaliknya. Permasalahan yang ketiga yaitu masih banyak produk mentah yang langsung diekspor tanpa diolah terlebih dahulu. Permasalahan ini akan memberikan dampak yang cenderung negatif dikarenakan produk-produk mentah yang diekspor tersebut seharusnya masih dapat diolah di dalam negeri terlebih dahulu dan kemudian dapat diekspor dengan terdapat nilai tambah bagi masyarakat dan negara. Dampak besar juga akan terjadi karena persediaan dalam negeri pun akan terus berkurang dan itu pun memberi pengaruh terhadap masyarakat. Lalu selanjutnya pada poin kedua bahwa isu ini

(13)

perlu mendapat perhatian pemerintah selaku policy maker dikarenakan solusi dari permasalahan yang terjadi adalah sebuha kebijakan yang ke depannya akan diterapkan dan dapat mengakomodir permasalahan yang terjadi. Pemerintah selaku pihak yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan dan merumuskan kebijakan untuk selanjutnya dapat dijadikan pedoman dalam membuat peraturan sebagai landasan hukum dari kebijakan ini. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 ini berawal dari masalah publik dan perlu mendapat perhatian dari pemerintah berupa kebijakan yang konstruktif dalam perkembangan industri hilir dan perekonomian sekitar industri.

Isu ini sesuai dengan platform politik secara keseluruhan karena menyangkut pembentukan kebijakan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuagan. Pembuat kebijakan Peraturan Menteri Keuangan ini meliputi Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, dan lain-lain yang tentunya terpilih secara politik dengan adannya dukungan dari rakyat. Semua pihak yang terkait mendapat kepercayaan dari rakyat sebagai pemimpin-pemimpin di pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk mencari solusi yang tepat dalam memecahkan permasalahan yang terjadi dalam bentuk kebijakan.

Poin keempat, permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan yang masih dalam tataran rasional untuk dipecahkan dan dicarikan solusinya, bukan suatu masalah yang kompleks ataupun adsurd yang jauh dari feabilitas untuk dicari solusinya. Pada poin ini artinya permasalahan yang terjadi dapat dijadikan landasan dalam perumusan kebijakan bea keluar produk turunan minyak kelapa sawit merupakan masalah publik yang dapat terpecahkan melalui penyusunan desain kebijakan yang tepat dan menyentuh permasalahan yang sebenarnya.

4.1.4. Tahapan Formulasi Kebijakan

Tahap ini mencakup pula alternatif yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Alternatif kebijakan yang dirumuskan adalah program industri yang teraglomerasi. Sebuah rancangan yang diberikan oleh Departemen Perindustrian merupakan ide-ide yang telah ditinjau terlebih dahulu sebelumnya. Rancangan tersebut adalah industri yang teraglomerasi. Industri yang teraglomerasi adalah suatu industri yang dimana pabrik-pabrik pengolahan berlokasi di satu kawasan tertentu, dengan kata lain masing-masing pabrik pengolahan berdekatan lokasinya. Itu berarti cost yang awalnya besar dapat berkurang karena lokasi pengolahan berdekatan. Misalnya, pabrik pengolahan CPO berada di lokasi ‘A’, kemudian pengolahan minyak goreng berada di sebelahnya, kemudian pengolahan bio diesel di sebelahnya lagi, kemudian pengolahan olive oil di sebelahnya lagi, dan seterusnya, sehingga dalam suatu kawan tertentu tersebut mencakup semua pabrik pengolahan. Dengan

(14)

begitu, pengolahan limbah pun dapat dijadikan satu tempat dan itu juga dapat digunakan sebagai pembangkit listrik, jika hal itu terlaksana maka semuanya akan menjadi efisien.

Hal ini juga terkait dengan akan berkembangnya perekonomian sekitar dikarenakan oleh industri yang terglomerasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari sisi peneliti, industri yang teraglomerasi (telah dijelaskan sebelumnya) ini merupakan sebuah konsep jangka panjang yang dapat menghasilkan sebuah perekonomian yang maju di darerah sekitar industri dan juga menghasilkan uang untuk kas negara. Konsep industri teraglomerasi ini menimbulkan multiflyer effect (efek ganda) dimana jika suatu negara membangun industri teraglomerasi maka tidak hanya industri hilirnya saja yang maju melainkan selain industri hilir pun ikut maju. Sebagai contoh, suatu perusahaan membangun industri di suatu kawasan tertentu, membangun pabrik membutuhkan tenaga kerja dan juga membutuhkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun suatu pabrik.

Namun jika diperhatikan, pemerintah sebenarnya juga ingin mencari pemasukan ke kas negara melalui bea keluar ini. Oleh karena itu, pemerintah pun mengenakan bea keluar juga terhadap produk hilir lainnya. Uang negara bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakatnya dalam jangka pendek. Jika produk dari kelapa sawit ini dinolkan atau diflatkan semua tarif bea keluarnya maka negara tidak punya pemasukan. Jika ditinjau kembali, sebenarnya pemasukan untuk pemerintah bukan hanya dari pajak saja, tetapi dalam hal ini lebih terkait dengan isu yang lebih penting, yaitu pemerintah tidak ingin bahan mentah yang diproduksi lebih banyak diekspor sehingga pemerintah memutuskan untuk mengenakan bea keluar terhadap produk hilir dari kelapa sawit. Jika dilakukan pemrosesan lebih lanjut terhadap produk hulu dari kelapa sawit maka Indonesia pun mendapat nilai tambah dari hasil pemrosesan tersebut.

Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah ini terkait dengan apa yang dikatakan oleh Nugroho (2011, p. 93) mengenai kebijakan publik, yaitu “... setiap keputusan yang dibuat oleh negara sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara.” Tokoh ini memiliki konsep kebijakan dimana pemerintah membuat keputusan untuk negaranya adalah suatu keputusan yang dipilih oleh pemerintah itu sendiri, dan dari masing-masing keputusan yang dibuat oleh pemernintah pasti memiliki strategi dan tujuan di dalamnya untuk kepentingan negaranya. Dalam hal ini, pemerintah melakukan tugasnya sebagai pembuat kebijakan, dimana pemerintah melakukan berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah yang terjadi di negaranya. Peneliti lebih setuju dengan pihak pemerintah dalam menjalankan program hilirisasi yang telah disebutkan sebelumnya, dikarenakan jika untuk memajukan industri dalam negeri maka semua yang terkait dalam industri, mulai dari pabrik, proses, sampai hasil

(15)

jadi, harus dilibatkan sehingga semuanya menjadi berkembang dan tidak cuma satu saja yang berkembang terus melainkan seluruhnya.

4.1.5. Tahapan Policy Design

Pada tahapan ini dalah proses yang telah dilalui dalam rangka menghasilkan kebijakan yang comprehensive dengan pendekatan holistic karena sebelumnya telah melalui serangkaian proses yang substansial. Seperti yang telah dijelaskan pada teori, tahapan policy design memiliki substansi:

1. Pengkajian persoalan, yaitu menemukan dan memahami hakekat dari permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat. Hal ini telah dilakukan dimana pada tahapan identifikasi pemahaman dan perumusan masalah telah ditemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan hilirisasi industri. Akibat yang ditimbulkan juga telah dijelaskan pada tahapan agenda setting dengan keempat poin untuk melihat justifikasi apakah perlu permasalahan publik dirangkum dalam sebuah kebijakan sebagai langkah solutif pemecahan masalah yang terjadi.

2. Penetapan tujuan dan sasaran, yaitu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau dihindari. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai tujuan yang memang telah ditetapkan dalam proses formulasi kebijakan. Tujuan inilah yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011. Merujuk pada hal-hal tersebut ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah, yaitu:

Hilirisasi industri, yaitu memajukan sektor industri dalam negeri yang dalam kenyataannya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara,

Membangun industri yang teraglomerasi, yaitu membuat suatu industri dalam satu kawasan tertentu yang dapat mengembangkan perekonomian sekitar industri,

Menjamin ketersediaan kebutuhan dalam negeri, yaitu agar bahan mentah yang diproduksi tidak diekspor begitu saja,

Menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri, yaitu menjaga harga minyak dalam negeri yang bertujuan agar masyarakat dapat menikmati produksi dalam negeri.

3. Perumusan alternatif, sejumlah alat atau cara yang digunakan untuk mencapai langsung ata tidak sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini melalui kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 adalah industri yang teraglomerasi. Industri teraglomerasi ini dapat mengembangkan perekonomian sekitar.

(16)

4. Penyusunan model, yaitu penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi dalam hubungan kausal atau fungsional. Intinya adalah kebijakan publik didasarkan pada masalah-masalah publik yang memiliki dampak luas pada banyak orang. Oleh karena itu, masalah-masalah tersebut patut mendapat perhatian dari pejabat publik yang memang memiliki otoritas karena telah dipercaya oleh rakyat untuk memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi. Solusi ini berupa kebijakan yang diformulasikan dengan melibatkan stakeholders (pihak-pihak terkait), berangkat dari permasalahan yang bersifat mendasar, proses dan tahapan yang metodologis dan sistematis, agar mengeluarkan kebijakan yang bersifat comprehensive dengan pendekatan holistic, agar kebijakan tersebut tidak parsial dan tidak bersifat bias.

5. Penentuan kriteria untuk menilai alternatif (dijelaskan selanjutnya).

6. Penilaian alternatif untuk mendapat gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan feabilitas (dijelaskan selanjutnya).

7. Perumusan rekomendasi, yaitu sasaran alternatif yang diperhitungkan untuk mencapai tujuan optimal. Ini akan menjadi rekomendasi kebijakan apabila dalam tataran implementasi kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Rekomendasi ini disusun diawali pada evaluasi dan kelemahan yang membuat kebijakan tersebut tidak terealisasi dengan baik, dengan melibatkan pihak-pihak yang memang terkena langsung dari dampak kebijakan tersebut, dengan tolak ukur hasil yang telah dicapai sejauh ini dengan kebijakan lama, untuk selanjutnya kebijakan lama direvisi atau dibentuk ulang demi menghasilkan kebijakan yang lebih baik lagi dalam mencapai tujuan yang telah digariskan.

Dalam tahapan policy design, penting untuk merumuskan kriteria-kirteria yang dijadikan tolak ukur dalam melakukan penilaian terhadap kebijakan ketika kebijakan tersebut masuk ke dalam tahapan implementasi. Kriteria-kriteria inilah yang nantinya penting dijadikan dasar dalam menyusun rekomendasi kebijakan dalam melakukan penilaian kebijakan atau melakukan revisi kebijakan. Kriteria penilaian yang diperlukan pada saat

policy design ini adalah:

Technical Feasibility. Kriteria ini digunakan untuk melihat sejauh mana alternatif

kebijakan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan atau tidak. Tujuan dan sasaran yang telah ditentukan merupakan sebagai dasar formulasi kebijakan bea keluar produk turunan minyak kelapa sawit diukur sejauhmana telah terpenuhi. Pengukuran ini dapat dilakukan oleh pemerintah berdasarkan data-data valid yang telah teruji kebenarannya dan opini dari pihak-pihak yang terkait dan terkena dampak

(17)

implementasi kebijakan ini. Pengukuran ini dapat ditinjau pada tahun-tahun yang akan datang pada sisi seberapa besar peranan hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah, seberapa besar peranan industri yang teraglomerasi yang dilakukan pemerintah, terjaminnya ketersediaan bahan baku dalam negeri, dan stabilnya harga minyak dalam negeri. Hal-hal ini dapat dijadikan tolak ukur dalam penilaian kebijakan tersebut sudah mencapai tujuan dan sasaran yang sebelumnya telah digariskan.

Economic and Financial Feasibility. Ketika kebijakan ini diterapkan terntunya

membutuhkan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah. Dengan biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka kebijakan ini diharapkan keuntungan yang ingin didapatkan berupa tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Bermula dari hukum ekonomis, jangan sampai biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada keuntungan yang diperoleh. Jika ini terjadi maka ada kesalahan yang dilakukan pemerintah, mulai dari perumusan sampai kepada pelaksanaannya.

Political Viability. Kriteria ini melihat sejauh mana dampak politik yang akan

ditimbulkan dari setiap alternatif kebijakan. Hal-hal yang dijadikan dasar adalah: o Aksesbilitas. Hal ini terkait dalam keterbukaan dan kesempatan pada objek

dari kebijakan ini dalam mendapat pengetahuan dan informasi terkait kebijakan ini agar semua pihak yang berhubungan dengan kebijakan ini mendapat pengetahuan yang sama terkait kebijakan yang akan diterapkan. Berkaitan dengan PMK ini, maka selanjutnya setiap bagian pemerintah diberikan otoritas dalam menetapkan besarnya tarif bea keluar, prosedur pemungutan, dan lain-lain.

o Kecocokan dengan nilai di masyarakat. Kecocokan ini terkait dengan situasi, nilai yang ada di masyarakat tersebut dan juga kemampuan dan kesiapan masyarakat dalam menerima implementasi kebijakan ini. Tujuannya adalah agar kebijakan yang ada bersifat adaptif dan solutif dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat tersebut.

o Kesesuaian dengan peraturan dan peraturan perundang-undangan. Hal ini maksudnya adalah jangan sampai terjadi tumpang tindih antar peraturan yang membuat ketidakpastian hukum yang akan mengancam stabilitas sosial yang ada.

o Pemerataan. Dalam hal ini, kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit, terkait dengan tujuan pemerintah, diarahkan untuk

(18)

mengembangkan industri hilir negara dan juga mengembangkan perekonomian lingkungan sekitar.

Administrative Operability. Kriteria ini melihat sejauh mana kebijakan tersebut

berdampak pada tataran administrasi. Kebijakan ini tidak memiliki korelasi dengan perubahan administratif karena kebijakan ini tidak memiliki substansi perubahan dari sisi administratif pemungutannya dan masih berlandaskan pada peraturan sebelumnya yang mengatur kebijakan administrasi, juga terkait instansi dan otoritas yang melakukan pemungutan.

4.2. Hambatan yang Terjadi dalam Proses Formulasi Kebijakan Bea Keluar terhadap Produk Turunan Minyak Kelapa Sawit

Terdapat sebuah kalimat yang sangat bagus dalam diskusi dengan akademisi Universitas Indonesia, Permana Agung, yaitu seharusnya pemerintah dalam membuat kebijakan itu dengan memegang prinsip start with what is right bukan start with what is

acceptable. Maksud dari acceptable di sini adalah kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah

memiliki unsur politik dimana unsur politik ini maksudnya terbentuk dari kompromi politis di antara para perumus, dan tidak seorangpun di antara mereka merupakan pencetus murni dari masalah yang kemudian disepakati (Lindblom, 1980, p. 53).

Jika dengan start with what is acceptable, itu akan mengakibatkan suatu kebijakan menjadi dapat diterima dengan semua orang, tetapi belum tentu benar. Selanjutnya, pemerintah harus mentapkan target atau sistem yang ingin dicapai (ini sudah dilakukan) dan jangan melenceng dari sistem tersebut. Ternyata pemerintah pun dalam membuat peraturan, membuat suatu kebijakan selalu memulainya dengan start with what is acceptable bukan what

is right. Dengan begitu akan terjadi kekeliruan yang terus menerus, sehingga tidak heran

kalau tidak maju-maju dan hal itu juga yang membuat pro dan kontra yang terjadi semakin tajam.

Selain itu juga ada hambatan yang dihadapi pemerintah dalam proses formulasi kebijakan bea keluar ini, yaitu terhambatnya pembentukan kebijakan yang diakibatkan oleh lamanya dalam pengambilan suatu keputusan dan juga kurangnya koordinasi di dalam pemerintah itu sendiri. Hambatan lain yang dihadapi adalah seringkali terbatasnya pengetahuan pengambil keputusan mengenai keadaan yang terjadi di lapangan mengenai ekspor produk hulu dan hilir dari kelapa sawit dan juga mengenai bea keluar untuk produk hulu dan hilir dari kelapa sawit. Hal ini dapat menimbulkan distorsi antar pemerintah. Kendala-kendala yang terjadi seperti ini dapat menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.

(19)

Akibat dari ketidaktahuan mengenai bea keluar terhadap produk kelapa sawit, akhirnya terjadi banyak kesalah pahaman antar pihak yang terkait.

Menurut peneliti, kendala yang seperti ini banyak terjadi tidak hanya dalam kepemerintahan saja melainkan dapat terjadi pula dalam kehidupan berorganisasi. Jika seorang pemimpin tidak mengetahui bagaimana dan apa saja yang terjadi di lingkungan sekitarnya, bagaimana ia dapat membuat suatu kebijakan yang tidak merugikan pihak manapun. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, maka peneliti lebih setuju dengan kendala yang kurang koordinasi antar pemerintah. Namun, jika berbicara mengenai kurangnya pengetahuan departemen terkait mengenai bea keluar, peneliti kurang setuju. Tidak mungkin dalam suatu kepemerintahan tidak memiliki orang-orang yang mengerti mengenai bea keluar.

Jadi, berdasarkan pemikiran peneliti, kendala yang terjadi dalam proses formulasi kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit adalah kurangnya koordinasi dan not start with what is right.

5. Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Proses formulasi kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit ini telah melewati proses perumusan kebijakan publik dengan melihat dan mengidentifikasikan permasalahan yang terjadi dan berdampak pada masyarakat. Masalah-masalah tersebut dirumuskan untuk mendapatkan solusi dari pemerintah sebagai

policy maker yaitu berupa kebijakan yang dibentuk dengan pendekatan dari berbagai sisi

dengan tujuan agar kebijakan yang ada bersifat comprehensive dalam rangka menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi. Tahapan ini dimulai dari tahap awal, yaitu identifikasi masalah, kemudian tahap agenda setting, formulasi kebijakan berupa industri yang teraglomerasi, dan policy design untuk memastikan kebijakan ini telah disusun dan dibentuk untuk menjawab permasalah yang benar dengan kebijakan (solusi) yang sesuai dan aktifitas peramalan dengan kriteria tertentu untuk menjamin rancangan kebijakan ini telah tepat dibentuk.

2. Hambatan yang terjadi dalam proses formulasi kebijakan bea keluar terhadap produk hulu dan hilir dari kelapa sawit adalah (1) pemerintah seringkali dalam membuat suatu kebijakan start with what is acceptable bukan start with what is right. Acceptable berarti dapat diterima atau disepakati semua pihak dan right berarti benar. Jika pemerintah menggunakan prinsip start with what is right maka biar bagaimanapun yang terjadi pemerintah tidak akan keluar dari prinsip right tersebut. (2) kurangnya koordinasi diantara

(20)

pemerintah itu sendiri yang dapat mengakibatkan lamanya pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan bea keluar terhadap produk turunan minyak kelapa sawit.

6. Saran

Saran yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

Memulai suatu tindakan untuk membuat suatu kebijakan harus start with what is right. • Membuat suatu kebijakan bea keluar kelapa sawit lebih baik tidak ada yang dirugikan.

Jadi intinya, ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang tidak dirugikan.

• Pemerintah dalam membuat suatu kebijakan bea keluar kelapa sawit haruslah benar-benar memperhatikan kondisi di lapangan seperti apa, kemudian latar belakang yang kuat untuk mendukung kebijakan yang akan dibuat, kemudian dampak-dampak yang akan terjadi setelah adanya kebijakan baru, dan benar-benar mendiskusikan dalam rapat mengenai kebijakan bea keluar yang akan dibentuk seperti apa.

• Dalam membuat kebijakan bea keluar kelapa sawit, pemerintah juga harus benar-benar tegas, sasarannya jelas, kriteria jelas, sehingga yang melaksanakannya pun tidak memiliki keragu-raguan.

• Dalam membuat kebijakan, pemerintah harus memperhatikan betul siapa saja yang berkompeten dalam membentuk suatu kebijakan bea keluar kelapa sawit.

Kepustakaan

Brodjonegoro B.P.S. (2005). Politik Ekonomi: Antara Liberalisasi vs Proteksi pada

Pengembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta: PT. ISMaC Indonesia.

Syafiie, Inu K., Djamaludin Tandjung, dan Supardan Modeong. (1999). Ilmu Administrasi

Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Agustino, Leo. (2008). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Abidin, Said Zainal. (2004). Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Subarsono, A.G. (2005). Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori, dan Aplikasi. Cetakan 1.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Islamy, M. Irfan. (1997). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Nugroho, Riant D. (2007). Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo.

Neumann, William Lamrence. (2000). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative

Approaches. USA: Allyn & Bacon.

Purwito M, Ali. (2008). Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Konsep dan

Aplikasi. Jakarta: Kajian Hukum Fiskal FHUI bekerjasama dengan Lembaga Penerbit

Gambar

Tabel 1.1 Nilai Ekspor Non Migas Menurut Sektor
Tabel 2.3 Perbedaan Analysis of Policy dan Analysis for Policy
Gambar 4.1 Diagram Alur Formulasi Kebijakan

Referensi

Dokumen terkait

Keluaran dari penelitian ini adalah terpilihnya mata rantai turunan sawit yang potensial dikembangkan dari hulu hingga hilir yaitu CPO untuk produk hulu, olein untuk

Tahapan awal yang penting dari seluruh proses produksi kelapa sawit sampai menjadi CPO, proses penerimaan TBS harus benar-benar diperhatikan, karena menyangkut mutu hasil akhir

Indonesia merupakan negara eksportir minyak kelapa sawit terbesar pertama di dunia.Selama puluhan tahun Indonesia telah memasok CPO ke pasar global.Terdapat kurang

rantai pasok dari klaster produk turunan kelapa sawit terpilih berdasarkan hasil. simulasi di Kabupaten

Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 11 dapat diketahui bahwa tingkat elastisitas respons penawaran komoditas minyak kelapa sawit (CPO) di Provinsi Riau terdapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fraksi kematangan buah kelapa sawit pada varietas Bah Lias Research Station (BLRS) terhadap rendemen

Keluaran dari penelitian ini adalah terpilihnya mata rantai turunan sawit yang potensial dikembangkan dari hulu hingga hilir yaitu CPO untuk produk hulu, olein untuk

Pada topik ini dipilih produk minyak kelapa sawit atau CPO (HS 1511) sesuai data yang mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki potensi dan peluang yang besar untuk