PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015
ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA
Volume VII
Oleh Tim Riset PASPI
Penyunting : Dr. Tungkot Sipayung
PALM OIL AGRIBUSINESS STRATEGIC
POLICY INSTITUTE
Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia Volume VII
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Cetakan Pertama, 2018
© PASPI
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-602-53556-6-0
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Alamat : Jalan Kumbang No. 31, Bogor Tengah - 16128 Phone : +62 251 8575 285
E-mail : [email protected] Website : www.paspimonitor.or.id
Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia Volume VII/Penyunting, Tungkot Sipayug. Bogor: PASPI, 2018
xvi, 318 hlm. 21 cm
1. Ekonomi Pembangunan 2. Agribisnis I. PASPI
Kata Pengantar i
Kata Pengantar
Setelah Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit terbesar dunia tahun 2006, berbagai kebijakan dan isu strategis terkait industri minyak sawit dunia banyak didiskusikan dan tak jarang pro-kontra.
Kebijakan dan isu tersebut sebagian menjadi isu di Indonesia dan sebagian terjadi pada negara-negara importir minyak sawit yang mempengaruhi dinamika industri sawit Indonesia.
Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, dinamika kebijakan/isu yang terjadi baik di negara importir sawit maupun di Indonesia akan mempengaruhi dinamika pasar minyak sawit dunia, bahkan juga mempengaruhi dinamika pasar minyak nabati dunia. Oleh karena itu, monitoring dan analisis berbagai isu dan kebijakan menjadi bagian penting dari posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar tersebut.
Palm Oil Agribusiness Strategis Policy Institute (PASPI) sebagai lembaga yang memberi perhatian terhadap kebijakan dan isu strategis industri sawit Indonesia, telah melakukan analisis kebijakan dan isu strategis yang dimuat dalam website www.paspimonitor.or.id sejak tahun 2015.
Atas saran dari stakeholder industri sawit nasional, topik-topik yang disajikan dalam website tersebut diterbitkan dalam bentuk buku. Buku ini merupakan suatu synopsis dengan judul “Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia”, Volume VII, yang merupakan kelanjutan dari Volume I, II, III, IV, V, dan Volume VI.
Buku ini diharapkan menjadi salah satu referensi atau bahan bacaan bagi Mahasiswa, Peneliti dan Pengambil Keputusan (Pemerintah) di bidang industri minyak sawit.
Tentu saja berbagai kritik perbaikan sangat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan Buku ini.
Bogor, April 2020
Dr. Tungkot Sipayung Direktur Eksekutif PASPI
Daftar Isi iii
Daftar Isi
Kata Pengantar ... iDaftar Isi ... iii
Daftar Tabel ... vii
Daftar Gambar ... xi
Industri Minyak Nabati Global: Apakah Peran CPO Indonesia Mulai Menurun? ... 1973
Biofuel Generasi Kedua Dari Kebun Sawit Indonesia .. 1985
Perkembangan Impor Nabati Terkini Pakistan Dan Bangladesh Memiliki Prospek Yang Baik ... 1995
Tekanan Pasar Global Terhadap CPO: Bagaimana Trend CPO Tahun 2018? ... 2005
Kontribusi Ekspor CPO Dalam Mengurangi Defisit Neraca Perdagangan Indonesia – China... 2017
Kontribusi Industri CPO Dalam Surplus Neraca Perdagangan Indonesia – India ... 2027
Kontribusi Industri CPO Dalam Surplus Neraca Perdagangan Indonesia - Uni Eropa ... 2035
Devisa Sawit Dan Neraca Perdagangan Non Migas Indonesia ... 2045 Ancaman Embargo / Proteksi Sawit Dari Negara Top
Emitter Gas Rumah Kaca Dunia ... 2057 Evaluasi Implementasi Kebijakan Mandatori
Biodiesel 2017 Dan Potensi Perluasan Ke Non PSO ... 2067 Industri Sawit 2018 : Pasar Makin Prospektif Namun
Makin Protektif ? ... 2079 Potensi Strategis Kemitraan Sawit Indonesia-China .... 2091 Pengembangan Biodiesel Berbahan Baku Minyak
Kelapa Sawit Indonesia... 2103 Peran Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan ... 2118 Replanting Mendukung Upaya Keberlanjutan
Perkebunan Kelapa Sawit... 2129 Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak
Kelapa Sawit ... 2141 Realisasi Mandatori Biodiesel Dan Perluasan Pada
Sektor Non-PSO ... 2153 Menuju Agribisnis Kelapa Sawit Yang Berkelanjutan .. 2165 Perubahan Komposisi Ekspor Sawit Dan Perannya
Dalam Neraca Perdagangan Indonesia ... 2179
Daftar Isi v Mengintegrasikan ISPO Dengan Sustainable
Development Goals ... 2189 Potensi Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit... 2199 Kelapa Sawit Dalam Ekonomi Daerah Dan Potensi
Integrasi Kelapa Sawit... 2211 Menghadapi Ideologi Anti Sawit Eropa ... 2221 Perkembangan Kelapa Sawit Di Provinsi Lampung ... 2231 Biofuel Generasi Ketiga Dari Industri Sawit
Indonesia ... 2243
Daftar Pustaka ... 2253
Daftar Tabel vii
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia, Tahun 2013-1017 (juta ton) ... 1976 Tabel 4.1 Impor CPO dan SBO tahun 2017 dan
Proyeksi 2018 ... 2014 Tabel 5.1 Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia-
China Tahun 2012-2017 ... 2021 Tabel 6.1 Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia-
India Tahun 2012-2017 ... 2030 Tabel 7.1 Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia-
Uni Eropa Tahun 2012-2017 ... 2039 Tabel 8.1 Ekspor Minyak Sawit Membuat Surplus
Neraca Ekspor Non Migas Indonesia... 2051 Tabel 9.1 Perbandingan Emisi Gas Rumah Kaca
(GHG) Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia ... 2060 Tabel 10.1 Proyeksi Konsumsi Solar (PSO dan Non
PSO) dan Kebutuhan Biodiesel di Indonesia 2017-2025 ... 2075 Tabel 11.1 Perubahan Tarif Impor Minyak Nabati
India ... 2088 Tabel 12.1 Produksi Biodiesel Dunia, USA, Eropa,
China dan Indonesia Tahun 2006-2016 .. 2093
Tabel 12.2 Rata-rata Poduksi, Konsumsi dan Impor Minyak Nabati di China, 1974-2016 ... 2098 Tabel 13.1 Perkembangan Kelapa Sawit Dan
Biodiesel Indonesia ... 2105 Tabel 14.1 Penyerapan Karbon Dioksida dan
Produksi Oksigen antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Tropis ... 2122 Tabel 14.2 Efektifitas Pemanenan Energi Surya
antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Tropis ... 2123 Tabel 14.3 Perbandingan Fungsi Tata Air antara
Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Tropis ... 2125 Tabel 15.1 Potensi CPO Varietas Bibit Unggul
Kelapa Sawit ... 2132 Tabel 17.1 Perbandingan Target dan Realisasi
Penyerapan Biodiesel PSO dan Non PSO. 2158 Tabel 17.2 Proyeksi kebutuhan solar dan biodiesel
Indonesia ... 2160 Tabel 18.1 Implementasi Tata Kelola Perkebunan
Kelapa Sawit pada Level Perusahaan... 2171 Tabel 19.1 Ekspor Minyak Sawit Membuat Surplus
Neraca Ekspor Non Migas Indonesia... 2186 Tabel 24.1 Distribusi PDRB Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Lampung ... 2233 Tabel 25.1 Perbandingan Luas Lahan dan Produksi
Minyak Berbagai Komoditas ... 2248
Daftar Tabel ix Tabel 25.2 Proyeksi kebutuhan solar dan biodiesel
Indonesia ... 2250
Daftar Gambar xi
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Pangsa Konsumsi Minyak Sawit dan Minyak Kedelai, 2013-2017 ... 1978 Gambar 2.1 Perkebunan Kelapa Sawit Dari Sudut
Pandang Penghasil Energi Terbarukan Generasi Pertama dan Generasi Kedua Secara Berkelanjutan ... 1988 Gambar 2.2 Produksi Biomas Perkebunan Kelapa
Sawit Indonesia ... 1989 Gambar 2.3 Potensi Energi Listrik dari pemanfaatan
Biomas ... 1991 Gambar 2.4 Pembangkit Listrik Tenaga
Biogas/Methane Capture (Biolistrik) dalam Pengolahan Limbah PKS Sawit di Provinsi Riau dan Kalimantan Timur... 1992 Gambar 3.1 Perubahan Pola Konsumsi Minyak
Nabati Dunia Tahun 2000 dan 2017 ... 1997 Gambar 3.2 Impor Minyak Nabati Dunia tahun 2000
dan 2017 ... 1998 Gambar 3.3 Konsumsi CPO di negara Tujuan Ekspor
Utama Indonesia tahun 2000 dan 2017 .. 1999 Gambar 3.4 Laju Pertumbuhan (Growth) Konsumsi
dan Impor CPO di negara Tujuan Ekspor Utama Indonesia pada Kurun Waktu 2000 s/d 2017... 2001
Gambar 3.5 Impor Minyak Nabati di Pakistan dan Bangladesh tahun 2020 dan 2017 ... 2002 Gambar 4.1 Perkembangan harga CPO dan SBO
tahun 1988-2017 ... 2012 Gambar 4.2 Perbandingan Harga CPO dan SBO
Tahun 2017-2018... 2013 Gambar 5.1 Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia
- China Tahun 2012-2017 ... 2022 Gambar 5.2 Defisit Neraca Perdagangan dan
Kontribusi Ekspor CPO ... 2024 Gambar 6.1 Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia-
India Tahun 2012-2017 ... 2030 Gambar 6.2 Surplus Neraca Perdagangan dan
Kontribusi Ekspor CPO ... 2032 Gambar 7.1 Ekspor dan Impor Non Migas Indonesia-
Uni Eropa Tahun 2012-2017 ... 2040 Gambar 7.2 Ekspor Indonesia Ke Uni Eropa
Berdasarkan Jenis Barang ... 2041 Gambar 7.3 Surplus Neraca Perdagangan dan
Kontribusi Ekspor CPO ... 2042 Gambar 8.1 Volume Ekspor CPO dan Olahan
Indonesia ... 2048 Gambar 8.2 Distribusi Volume Ekspor Minyak Sawit
Indonesia Menurut Negara/Kawasan... 2049 Gambar 8.3 Pertumbuhan Nilai Ekspor Minyak
Sawit Indonesia ... 2049 Gambar 9.1 Luas Kebakaran Hutan di Amerika
Serikat, Eropa dan Indonesia ... 2063
Daftar Gambar xiii Gambar 10.1 Realisasi Biodiesel dan Penghematan
Solar Impor ... 2070 Gambar 10.2 Dampak Kebijakan Mandatori Biodiesel
: Penghematan Devisa dan Emisi CO2 ... 2072 Gambar 11.1 Negara Konsumen Utama Minyak Sawit . 2081 Gambar 11.2 Pertumbuhan Ekonomi Dunia 2018 ... 2083 Gambar 11.3 Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia
ke Negara/Kawasan ... 2084 Gambar 11.4 Pertumbuhan Ekonomi Negara Tujuan
Ekspor/Konsumsi Sawit 2018 ... 2085 Gambar 12.1 Konsumsi Minyak Nabati China 1965-
2017 ... 2097 Gambar 12.2 Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati
di China, 1965-2017 ... 2098 Gambar 12.3 Proporsi Impor China Terbesar Adalah
CPO ... 2100 Gambar 13.1 Prediksi Luas Lahan Komoditas
Perkebunan Indonesia ... 2107 Gambar 13.2 Prediksi Harga CPO Domestik dan Harga
Minyak Goreng Sawit ... 2109 Gambar 13.3 Ketercapaian Tingkat Blanding Rate
Mandatori Biodiesel Indonesia ... 2111 Gambar 13.4 Perbandingan Produksi Biodiesel
Indonesia Dengan Adanya Subsidi ... 2113 Gambar 14.1 Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai
Bagian “Paru-Paru” Ekosistem ... 2121
Gambar 151.1 Proyeksi Produktivitas Perkebunan Sawit Rakyat, Negara dan Swasta tahun 2020 dan 2050 ... 2135 Gambar 16.1 Konsumsi Minyak Nabati Uni Eropa
Tahun 2000 – 2017 ... 2144 Gambar 16.2 Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Uni
Eropa ... 2146 Gambar 16.3 Impor Minyak Nabati Uni Eropa
Tahun 2000-2017 ... 2148 Gambar 16.4 Produksi Biodiesel dan Konsumsi
Biofuel Uni Eropa, 2006-2016 ... 2150 Gambar 16.5 Luas Area Tanam Minyak Nabati Uni
Eropa Tahun 2000-2017... 2151 Gambar 17.1 Produksi dan Kapasitas Terpasang
Biodiesel Indonesia Tahun 2009-2017 2156 Gambar 17.2 Pengurangan Emisi CO2 dari Berbagai
Jenis Bahan Baku Biodiesel dibandingkan dengan Emisi Diesel ... 2162 Gambar 18.1 Prosedur dan Tahapan Mekanisme
Perolehan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... 2168 Gambar 18.2 Produksi CSPO dan Produksi CSPK
tahun 2008-2017 ... 2174 Gambar 18.3 Negara Produsen Minyak Sawit
Berkelanjutan Tersertifikasi ... 2174 Gambar 19.1 Komposisi Ekspor Minyak Sawit
Indonesia ... 2184 Gambar 19.2 Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia .. 2186
Daftar Gambar xv Gambar 21.1 Produksi Biomas Perkebunan Kelapa
Sawit Indonesia Menurut Sumber ... 2204 Gambar 22.1 Pengaruh Produksi CPO terhadap
Produk Domestik Regional Bruto... 2214 Gambar 22.2 Nilai Transaksi antara Masyarakat
Kebun Sawit dengan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan ... 2216 Gambar 23.1 Produksi CSPO dan Produksi CSPK
Tahun 2008-2018 ... 2227 Gambar 24.1 Luas Area dan Produksi Kelapa Sawit
Provinsi Lampung ... 2236 Gambar 24.2 a) Luas Area dan b) Produksi Minyak
Sawit Menurut Status Pengusahaan di Provinsi Lampung Tahun 2017 ... 2236 Gambar 24.3 Penyebaran Industri Kelapa Sawit di
Provinsi Lampung ... 2237
PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015
INDUSTRI MINYAK NABATI GLOBAL:
APAKAH PERAN CPO INDONESIA MULAI MENURUN?*
ABSTRAK
Sejak tahun 2015, pertumbuhan produksi CPO Indonesia menurun, dan share CPO Indonesia di pasar global juga menurun. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah fenomena ini menegaskan telah terjadi penurunan Trend CPO Indonesia di pasar Global?
Tujuan tulisan ini adalah untuk menganalisis perkembangan industri CPO Indonesia dan perkiraan Industri CPO Indonesia pada tahun 2018 yang baru kita masuki saat ini. Dalam 5 tahun terakhir, konsumsi minyak nabati dunia bertambah 22,58 juta ton.
Volume konsumsi soybean oil lebih besar diandingkan dengan kenaikan konsumsi CPO, masing masing sebesar 10,72 juta ton dan 6,03 juta ton. Hingga saat ini, CPO dan SBO merupakan sumber utama konsumsi nabati dunia, dengan share 73 persen.
Meskipun volume konsumsi meningkat, namun dapat dilihat bahwa laju produksi minyak kedelai cenderung lebih besar dibandingkan dengan laju kenaikan produksi CPO, sehingga secara empiris share (pangsa) kosnusmi minyak kedelai cenderung meningkat sedangkan trend pangsa CPO menurun.
Faktor utama penurunan share (pangsa) CPO adalah faktor el Nino dan kebakaran yang mengakibakan poduksi 2015 dan 2016 menurun tajam. Belum cukup bukti untuk menyatakan bahwa penurunan ini adalah karena tekanan pasar global. Namun penurunan trend share CPO dalam 5 tahun terakhir ini diharapkan bermanfaat bagi Indonesia untuk tidak telena dan terus menciptakan pertumbuhan pembangunan CPO di Indonesia.
Dalam jangka pendek, meningkatnya permintaan (demand) dari negara negara penngimpor baru akan terus memacu pertumbuhan Industri CPO Indonesia.
Keywords : minyak nabati, CPO, Minyak kedelai (SBO)
*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume IV No. 1/2018
Pendahuluan
Tahun 2017, total produksi CPO Indonesia mencapai 36.3 juta ton dan total ekspor mencapai 28 juta ton.
Kontribusi ini telah menempatkan Indonesia menjadi negara produsen dan negara eksportir terbesar CPO di pasar global. Disamping itu, komoditas CPO juga memiliki peran penting sebagai sumber utama minyak nabati dunia, dan share CPO Indonesia di pasar nabati (vegetable oil) mencapai 41-an persen. Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih luas industri minyak sawit Indonesia telah berhasil dalam dalam feeding the world.
Dalam perang dagang, tidak sedikit tekanan yang dihadapi industri ini, yang dapat dilihat dari berbagai aspek, baik aspek masing masing negara pengimpor untuk melindungi produk domestiknya, maupun upaya me- leading pasar nabati di pasar global.
Sejak tahun 2015, pertumbuhan produksi CPO Indonesia menurun, dan share CPO Indonesia di pasar global juga menurun. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah fenomena ini menegaskan telah terjadi penurunan Trend CPO Indonesia di pasar Global?
Tujuan tulisan ini adalah untuk menganalisis perkembangan industri CPO Indonesia dan perkiraan Industri CPO Indonesia pada tahun 2018 yang baru kita masuki saat ini.
Industri Minyak Nabati Global: Apakah Peran CPO Indonesia Mulai Menurun? 1975
Perkembangan Konsumsi Nabati Dunia Perkembangan konsumsi nabati dunia teah melewati berbagai sejarah panjang. Pada awalanya, konsumsi minyak dan lemak dunia didominasi oleh minyak hewani, dan kemudian sejak tahun 1960 an mulai beralih ke minyak nabati (vegetable oil).
Dalam data time series yang relatif panjang, dapat diperoleh gambaran perilaku (behavior) atau pola konsumsi minyak nabat dunia sebagai berikut .
Tahun 1965, total konsumsi minyak nabati Dunia adalah 5.2 juta ton. Tahun 1980, konsumsi minyak nabati meningkat 3 kali lipat lebih menjadi 18 juta ton, atau rata- rata meningkat 16.3% per tahun. Peningkatan ini berdampak pada pangsa konsumsi minyak sawit naik dari 14.8% tahun 1965 menjadi 21.6% pada tahun 1980.
Sedangkan pangsa minyak kedelai menurun dari 59.7%
menjadi 55.2%, dan rapeseed oil menurn dari 24.8%
menjadi 13.6%, sedangkan pangsa sunflower oil naik dari 0.7% menjadi 9.6 juta ton.
Hingga tahun 2008, konsumsi utama dan terbesar minyak nabati dunia adalah minyak kedelai. Minyak kedelai memiliki proporsi yang dominan sepanjang kurun waktu 1965-2008, dengan pangsa rata-rata 47.6% (atau hampir separoh dari konsumsi total minyak nabati utama dunia). Pada kurun waktu yang sama, pangsa rata-rata minyak sawit adalah 24.4 %, rapeseed oil 18.4 % dan sunflower oil 9.5 %. Namun pada kurun waktu 2008 hingga 2014, pola konsumsi dunia berubah, dimana konsumsi minyak sawit meningkat hampir 40 %, dan pangsa minyak kedelai menurun menjadi 33.3%,
sementara pangsa rapeseed oil menurun menjadi 17.6 % dan sunflower oil naik menjadi 9.7 %
Dalam dekade 1980 ke 1990, konsumsi minyak nabati dunia naik dua kali lipat dari 18 juta ton menjadi 36 juta ton, dengan growth 10.2% per tahun. Sumber utama minyak nabati tetap didominasi oleh minyak kedelai (37.6%), sedangkan peran minyak sawit semakin meningkat dari pangsa 21.6% pada tahun 1980 menjadi 28.8% pada tahun 1990, dan selebihnya adalah rapeseed oil (17%) dan sunflower oil meningkat pesat menjadi 16.6
%. Tahun 2000 konsumsi nabati dunia naik menjadi 73 juta ton, dengan growth 10.1% per tahun. Dalam dekade 2000-2010, laju pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia naik 7.3% per tahun, dan tahun 2010 konsumsi minyak nabati telah mencapai 126 juta ton, kemudian tahun 2014 naik rata-rata 5% per tahun menjadi 152 juta ton
Perkembangan pola konsumsi dalam 5 tahun terakhir adalah sebagai berikut.
Tabel 1.1 Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia, Tahun 2013-1017 (juta ton)
2013 2014 2015 2016 2017
CPO 64.1 65.91 66.09 66.99 70.13 SBO 45.27 47.83 52.15 53.62 55.99 RSO 26.17 27.29 28.18 29.22 29.35 SFO 14.14 14.11 15.18 16.52 16.79 Jumlah 149.68 155.14 161.6 166.35 172.26 Sumber : FAO. 2018
Dalam peirode 2013-2017, laju pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia naik 3,6% per tahun, dari
Industri Minyak Nabati Global: Apakah Peran CPO Indonesia Mulai Menurun? 1977
150 juta ton (2013) menjadi 172 juta ton (2017). Data ini menunjukkan konsumsi minyak nabati dunia setiap tahun memiliki trend yang positif yakni dengan kenaikan hampir 6 juta ton per tahun. Dengan trend ini, estimasi konsumsi minyak nabati dunia pada tahun 2018 akan mencapai 178 juta ton.
Apakah Peran CPO Cederung Menurun?
Bila dilihat lebih dalam (Tabel 1.1), dalam 5 tahun terakhir, konsumsi minyak nabati dunia bertambah 22,58 juta ton. Peningkatan konsumsi terbesar adalah soybean oil (minyak kedelai), yakni 10,72 juta ton, sedangkan kenaikan konsumsi CPO adalah 6,03 juta ton, dan rapeseed oil bertambah 3,18 juta ton dan sunflower oil naik 2,65 juta ton.
Dalam 5 tahun terakhir, share (pangsa) rapeseed oil cenderung sama, yakni 17%, dan sunflower oil juga relatif sama, yakni di sekitar 9,4 ke 9,7 persen. Sekitar 73 persen konsumsi minyak nabati dunia adalah minyak kedelai (SBO) dan minyak sawit (CPO). Gambaran ini memunculkan pertanyaan baru, di tengah-tengah gencarnya tekanan dunia terhadap minyak sawit, apakah hal ini mencerminkan penurunan trend CPO di masa mendatang dan akan digantikan oleh minyak kedelai?
Gambar 1.1 Pangsa Konsumsi Minyak Sawit dan Minyak Kedelai, 2013-2017
Secara umum, pangsa konsumsi minyak sawit berada pada urutan ke-satu, dan urutan kedua adalah minyak kedelai. Pada tahun 2013, konsumsi minyak sawit adalah 43% dan menurun 2 % menjadi 41% pada tahun 2017.
Sedangkan minyak kedelai naik 3% pada periode yang sama, dari 30% (2013) menjadi 33% (2017).
Penyebab terbesar penurunan CPO pada tahun 2015 dan 2016 adalah pengaruh El Nino, serta faktor kebakaran hutan di Sumatera yang menyebabkan penurunan produksi. Penurunan supply berdampak pada menurunnya ketersediaan (availability) dan kemudian berdampak pada penurunan ekspor dan jumlah yang dapat dikonsumsi di pasar global mengalami penurunan pada tahun tersebut.
Pada tahun 2017, konsumsi meningkat kembali, dan pangsa konsumsi juga naik dari 40 persen ke 41 persen.
Oleh sebab itu, faktor yang menyebabkan penurunan konsumsi CPO adalah karena penurunan supply. Hal ini
43% 42%
41% 40% 41%
30% 31% 32% 32% 33%
25%
30%
35%
40%
45%
2013 2014 2015 2016 2017
CPO SBO
Industri Minyak Nabati Global: Apakah Peran CPO Indonesia Mulai Menurun? 1979
menjadi perhatian penting, apakah ada dampak La Nina di tahun 2018?
Produksi minyak sawit dunia kembali normal setelah mengalami penurunan pada 2016. Pada semester pertama 2017, terjadi peningkatan yang signifikan, sehingga produksi sawit pada tahun 2018 diharapkan akan normal.
Kebijakan Minyak Nabati Global
Asia merupakan produsen sekaligus konsumen utama minyak nabati dunia khususnya minyak sawit. Indonesia dan Malaysia, dua produsen minyak nabati dunia menyandarkan kebijakan dalam pengembangan minyak sawit sebagai sumber devisa negara. Dengan perkembangan pasar minyak nabati dunia yang sangat besar, khususnya China dan India telah menjadi importer utama.
Kebijakan bioenergi di China telah menjadi bagian dari sebuah mekanisme untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi minyak bumi, memperkuat modernisasi pertanian dan pengembangan social masyarakat pedesaan dan mendorong lingkunganhidup berkelanjutan. Sementara itu perhatian pemerintah India terhadap ketergantungan energi telah mendorong kebijakan khusus untuk mendukung pengembangan bioenergi khususnya bioetanol dan biodiesel.
Berseberangan dengan Indonesia dan Malaysia, India lebih mendorong pengembangan sumber bioenergi non-pangan seperti Jatropha (minyak jarak). Sesuai target yang ada, pada 2011-2012 diharapkan 20% kebutuhan minyak diesel di India berasal dari tanaman ini.
Secara tradisional Indonesia telah menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia, khusunya minyak sawit.
Berseberangan dengan fakta tersebut, kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan bioenergi baru dimulai pada beberapa tahun terakhir. Kontribusi penggunaan biodiesel diharapkan meningkat dari 2% pada 2010 menjadi 20% pada 2025. Meskipun penggunaan minyak nabati (i.e minyak sawit) untuk bioenergi sedemikian penting, akan tetapi pendorong utama kebijakan minyak sawit adalah untuk pasar domestik dan pasar ekspor.
Malaysia saat ini merupakan eksportir kedua terbesar minyak sawit dunia dimana ada komitment kuat dari pemerintah setempat untuk melindungi dan mengembangkan sector industri ini. Sejalan dengan yang terjadi di Indonesia, kebijakan penggunaan biodiesel di negara ini bukanlah kunci utama perkembangan komoditi disbanding penggunaan sebagai bahan pangan. Luas lahan yang telah dikonversi menjadi perkebunan sawit di Malaysia sudah sedemikian besar sehingga pengembangan lebih lanjut menjadi lebih terbatas, khususnya di tanah Semenanjung.
Thailand memiliki basis ekonomi yang lebih terdiferensiasi. Meskipun sector minyak sawit sedang berkembang, dibandingkan Malaysia dan Indonesia peran sector ini masih sangat terbatas. Sebagai salah satu sumber bahan baku industri biodiesel, kebijakan perdagangan minyak nabati di Thailand masih dalam taraf formulasi kebijakan sehingga sangat sulit untuk memperkirakan perkembangan kedepan akan seperti apa. Satu hal yang pasti adalah bahwaThailand merupakan produsen singkong terbesar di dunia, salah satu alternative sumber
Industri Minyak Nabati Global: Apakah Peran CPO Indonesia Mulai Menurun? 1981
bioenergi/bioethanol lain yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Industri Minyak Sawit Indonesia Tahun 2018
a. Produksi Meningkat
Produksi minyak sawit di Indonesia akan meningkat menjadi 38,3 juta ton pada 2018, naik dari 36,3 juta ton tahun 2017. Dampak kekeringan tahun 2015 telah pulih.
Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia diperkirakan akan meningkat 3% per tahun (lebih lambat dibanding dekade sebelumnya).
Share minyak sawit Indonesia akan mencapai 32%
dari total konsumsi minyak nabati dunia, dan sekaligus menempatkan Indonesia terus menjadi pemain utama industri kelapa sawit.
Dalam jangka (Oilworld, 2017) produksi CPO Indonesia akan meningkat menjadi 48 juta ton pada tahun 2025 dan Malaysia tetap sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, dengan produksi sebesar 23,1 juta ton.
b. Trend Ekspor
Meningkatnya penggunaan bahan bakar, pertumbuhan penduduk terutama di negara-negara berkembang, meningkatnya permintaan baru dari negara pengimpor baru seperti Pakistan, Iran dan Bangladesh akan menjadi pertumbuhan konsumsi minyak sawit yang positif bagi ekspor CPO Indonesia. Namun disisi lain, pelambatan pertumbuhan ekonomi China dan kampanye negatif yang lebih intens melawan minyak sawit juga akan memperlambat laju konsumsi.
Dengan kedua kondisi yang berlawanan tersebut, konsumsi minyak sawit diperkirakan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan lima tahun terakhir. Demand minyak sawit dunia akan tumbuh 3,1% per tahun dalam jangka waktu 2018-2025.
Konsumsi minyak sawit Indonesia meningkat, sebagian besar karena program mandatori B-20, dan dalam jangka pendek, konsumsi domestik meningkat signifikan.
Ekspor tahun 2017 akan mencapai 28 juta ton, atau naik 19% persen dibandingkan dengan ekspor tahun 2016 mencapai 23,4 juta ton. Ekspor meningkat ke hampir semua negara tujuan khususnya ke negara tujuan ekspor baru (Pakistan, Bangladesh, Afrika dan Timur Tengah).
Pada tahun 2018 ekspor Indonesia diperkirakan akan naik 3,6 persen menjad 29 juta ton.
India merupakan salah satu konsumsi minyak nabati terbesar dan kenaikan pajak impor pada Agustus (dan November), namun dampaknya akan kecil karena kenaikan harga minyak bumi yang relatif lebih besar.
Harga CPO akan cenderung melambat pada semester pertama 2018, seiring dengan panen tanaman kedelai yang sangat baik di Amerika Serikat dan sunflower oil Rusia dan Ukraina.
Demand minyak lebih tinggi dibandingkan dengan demand untuk food (makanan), yang mengindikasikan permintaan minyak untuk bahan bakar akan meningka.
Hal ini memberikan dampak positif bagi peningkatan konsumsi minyak dalam beberapa tahun ke depan.
Industri Minyak Nabati Global: Apakah Peran CPO Indonesia Mulai Menurun? 1983
c. Estimasi Harga
Diperkirakan harga minyak kelapa sawit rata-rata pada tahun 2018 berkisar antara $ 710 sampai $ 720 per ton, sementara harga minyak sawit mentah tahun ini akan rata-rata antara $ 700 dan $ 710 per ton CIF Rotterdam.
Harga minyak kelapa sawit pada 2018 akan relatif stabil .dan sedikit meningkat di semester I 2018.
Peningkatan harga CPO di Semester I 2018 juga dipengaruhi penurunan produksi sumber minyak nabati lainnya di pasar global, dan pada semester II, seiring musim panen utama datang, harga CPO akan menurun.
Kesimpulan
Dalam 5 tahun terakhir, konsumsi minyak nabati dunia bertambah 22,58 juta ton. Volume konsumsi soybean oil lebih besar diandingkan dengan kenaikan konsumsi CPO, masing masing sebesar 10,72 juta ton dan 6,03 juta ton. Hingga saat ini, CPO dan SBO merupakan sumber utama konsumsi nabati dunia, dengan share 73 persen. Meskipun volume konsumsi meningkat, namun dapat dilihat bahwa laju produksi minyak kedelai cenderung lebih besar dibandingkan dengan laju kenaikan produksi CPO, sehingga secara empiris share (pangsa) kosnusmi minyak kedelai cenderung meningkat sedangkan trend pangsa CPO menurun.
Faktor utama penurunan share (pangsa) CPO adalah faktor el Nino dan kebakaran yang mengakibakan poduksi 2015 dan 2016 menurun tajam. Namun penuruan ini juga memberikan signal penting bagi pengembangan industri CPO di masa mendatang, karena dua hal pokok, Pertama, dalam periode yang sama industri CPO dunia sedang
menghadapi tekanan, khususnya dari Uni Eropa, dan biodiesel dari Amerika Serikat, dan Kedua, dengan ratio harga CPO dan SBO (minyak kedelai) yang cenderung mendekati sama, atau harga CPO tidak jauh berbeda dengan harga SBO, maka dari sisi harga, peluang peningkatan permintaan (demand) yang lebih tinggi pada SBO akan meningkat. Hal ini sejalan dengan strategi pengembangan SBO dunia yang secara perlahan ingin mengembalikan “kejayaan” SBO yang dalam kurun waktu yang sangat lama menjadi sumber utama nabati dunia.
Penurunan trend share CPO dalam 5 tahun terakhir ini diharapkan bermanfaat bagi Indonesia untuk tidak telena dan terus menciptakan pertumbuhan pembangunan CPO di Indonesia. Dalam jangka pendek, tekanan pasar global untuk CPO dapat diatasi dengan meningkatnya permintaan di negara negara penngimpor baru.
PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015
BIOFUEL GENERASI KEDUA DARI KEBUN SAWIT INDONESIA*
ABSTRAK
Kebun sawit menghasilkan biofuel generasi pertama (biodiesel) dan biofuel generasi kedua (biomas). Selain minyak sawit (CPO+PKO) sebagai bahan baku biodiesel, kebun sawit juga menghasilkan biomas sekitar 16 ton bahan kering per hektar per tahun berupa tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang dan serat buah (oil palm fibre and shell), batang kelapa sawit (oil palm trunk) dan pelepah kelapa sawit (oil palm fronds). Sehingga dengan 11 juta hektar kebun sawit indonesia dapat menghasilkan biomas sekitar 176 juta ton biomas bahan kering setiap tahun. Biomas dapat diolah menjadi bioetanol (pengganti premium/gasoline). Jika diasumsikan setiap ton bahan kering biomas dapat menghasilkan 150 liter etanol. Maka dengan produksi biomas kebun sawit Indonesia sebesar 176 juta ton per tahun, secara teoritis dapat menghasilkan 26 juta kilo liter etanol/biopremium setiap tahun. Produksi biopremium sebesar itu hampir 60 persen dari kebutuhan premium di Indonesia setiap tahun. Indonesia berpeluang menjadi produsen biodiesel sekaligus biomas terbesar dunia.
Keywords : biomas, biofuel generasi kedua, biopremium, biolistrik
*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume IV No. 2/2018
Pendahuluan
Dalam kebijakan energi Masyarakat Uni Eropa (European Union's Renewable Energy Directives, RED) maupun di Amerika Serikat (US Renewable Fuels Standard, RFS) merekomendasikan penggunaan energi biofuel generasi kedua (second generation biofuel) seperti biomas sebagai energi paling berkelanjutan dunia. Penggunaan energi generasi pertama (first generation biofuel) yakni dari produksi pertanian/perkebunan dinilai tidak berkelanjutan karena akan menciptakan persaingan penggunaan hasil pertanian untuk pangan dan energi (trade-off fuel-food).
Kebijakan Parlemen Uni Eropa tanggal 17 Januari 2017 tentang Resolusi Promosi Penggunaan Energi dari Sumber Energi Terbarukan, merupakan bagian dari kebijakan RED tersebut. Dalam keputusan Parlemen Uni Eropa tersebut, mayoritas menyetujui mengenai penghapusan biofuel berbasis sawit (phase-out biodiesel palm oil) mulai tahun 2021 dan kebijakan phase-out biofuel berbasis bahan pangan (phase-out first generation crop base biofuel) mulai tahun 2030.
Tentu saja keputusan Parlemen Uni Eropa tersebut diskriminatif terhadap minyak sawit karena phase-out biodiesel sawit hampir 10 tahun lebih dahulu, dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Oleh karena itu, Indonesia bersama dengan produsen minyak sawit dunia harus melakukan protes keras.
Jika Uni Eropa benar-benar memberlakukan kebijakan tersebut dan beralih ke biofuel generasi kedua, Indonesia juga perlu mempersiapkan diri sejak dini. Selain menghasilkan energi generasi pertama (biodiesel, FAME),
Biofuel Generasi Kedua Dari Kebun Sawit Indonesia 1987
kebun sawit Indonesia juga menghasilkan energi generasi kedua (biomas) yang cukup besar dan bahkan lebih besar dari volume biomas gabungan yang dihasilkan kedelai, repeseed dan bunga matahari.
Kebun sawit Indonesia ternyata bukan hanya
"tambang" biodiesel terbesar dunia tetapi juga gudangnya biomas. Uniknya "tambang" biofuel kebun sawit tersebut, diproduksi secara bersama (joint product) dan tidak saling menggantikan. Peningkatan produksi minyak sawit juga diiringi peningkatan produksi biomas.
Tulisan ini akan mendiskusikan potensi produksi biofuel generasi kedua dari kebun sawit Indonesia.
Potensi Biofuel Generasi Kedua Dari Sawit Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global, diperlukan gerakan global untuk mengganti energi fosil dengan biofuel. Penggunaan energi biofuel generasi pertama (first generation biofuel) yakni dari produksi pertanian/perkebunan dinilai tidak berkelanjutan karena akan menciptakan persaingan penggunaan hasil pertanian untuk pangan dan energi (trade-off fuel-food). Oleh karena itu kebijakan energi Masyarakat Uni Eropa (European Union Renewable Energy Directives, RED) maupun di Amerika Serikat (US Renewable Fuels Standard, RFS) merekomendasikan penggunaan energi biofuel generasi kedua (second generation biofuel) seperti biomas sebagai energi paling berkelanjutan dunia (Naik, et al. 2010).
Kebun sawit menghasilkan biomas sawit berupa tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang dan serat buah (oil palm fibre and shell), batang kelapa sawit (oil palm trunk) dan pelepah kelapa sawit (oil palm fronds).
Hasil study Foo-Yuen Ng, et al (2011) menunjukan bahwa untuk setiap hektar kebun sawit dapat menghasilkan biomas sekitar 16 ton bahan kering (dry matter) per tahun. Produksi biomas sawit tersebut sekitar tiga kali lebih besar dari produksi minyak sawit (CPO) sebagai produk utama kebun sawit. Dengan luas kebun sawit Indonesia tahun 2015 sekitar 11 juta hektar, maka produksi biomas dapat mencapai 176 juta ton setiap tahun (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Perkebunan Kelapa Sawit Dari Sudut Pandang Penghasil Energi Terbarukan Generasi Pertama dan Generasi Kedua Secara Berkelanjutan (PASPI, 2016)
Menurut Statistik Kementerian Pertanian (2015), luas kebun sawit Indonesia pada tahun 2015 sekitar 11 juta hektar. Menurut studi Foo-Yuen Ng (2011) di perkebunan sawit Malaysia mengungkapkan bahwa produksi biomas dari perkebunan kelapa sawit tergantung pada sumber
Biofuel Generasi Kedua Dari Kebun Sawit Indonesia 1989
biomas. Biomas dari tandan kosong (empty fruit bunch) sekitar 1.4 ton bahan kering/hektar/tahun, biomas dari serat buah dan cangkang (oil palm fibre and shell) sekitar 2.4 ton bahan kering/hektar/tahun, biomas dari pelepah/daun (oil palm frond) sekitar 9.3 ton bahan kering/hektar/tahun dan bahan biomas dari batang sawit (oil palm trunk) sekitar 2.9 ton bahan kering/hektar/tahun.
Jika dihitung berdasarkan studi tersebut di atas maka dengan luas areal 11 juta hektar, perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan sekitar 176 juta ton bahan kering biomas per tahun (Gambar 2.2) yakni berupa biomas tandan kosong (15.8 juta ton), biomas serat buah dan cangkang (26.2 juta ton), biomas dari pelepah/daun (102.2 juta ton) dan biomas batang saat replanting (31.8 juta ton).
Gambar 2.2 Produksi Biomas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Menurut Sumber (PASPI, 2016)
Perkebunan kelapa sawit (11 juta Ha)
Produksi biomas total (176 juta ton
Biomas dari tandan kering (15.80 juta ton Biomas dari serat
buah dan cangkang (26.20
Biomas dari pelepah/daun (102.2 juta ton Biomas batang replanting (31.8
juta ton bahan
Pemanfaatan Biomas Sebagai Energi
Biomas merupakan sumber energi baru terbaharui (new renewable energy) atau disebut juga biofuel generasi kedua (second generation biofuel). Melalui teknologi thermochemical, biological, chemical, physical conversion (Naik et al, 2010) biomas dapat menghasilkan berbagai bentuk energi seperti bio ethanol, bio methane, bio aftur, briket dan lain-lain.
Biomas kebun sawit dapat diolah menjadi bioetanol (pengganti premium/gasoline). Menurut pengalaman KL Energy Corporation (2007) setiap ton bahan kering biomas dapat menghasilkan 150 liter etanol. Hal ini berarti dengan produksi biomas kebun sawit Indonesia sebesar 176 juta ton per tahun, dapat menghasilkan 26 juta kilo liter etanol setiap tahun atau hampir 60 persen dari kebutuhan premium di Indonesia.
Untuk kebutuhan penyediaan listrik di pedesaan saat ini khususnya dalam jangka pendek dapat dikembangkan pembangkit listrik tenaga biomas yang terintegrasi dengan Pabrik Kelapa Sawit/PKS (CPO Mill) yang ada dengan memanfaatkan biomas tandang kosong, serat, cangkang dan limbah cair. Dari berbagai perhitungan dan pengalaman diperoleh data bahwa dengan kapasitas PKS 60 ton/jam mampu menghasilkan energi listrik dari pemanfaatan cangkang sekitar 2 MW, serat sekitar 1.5 MW, tandan kosong sekitar 1.5 MW dan limbah cair sekitar 1.5 MW (Gambar 2.3) atau secara total 6.5 MW.
Dengan luas areal TM kebun sawit nasional tahun 2015 seluas 8 juta hektar dan kapasitas PKS sekitar 40 ribu ton TBS per jam akan menghasilkan biomas dari hasil sampingan PKS berupa tandan kosong, serat, cangkang
Biofuel Generasi Kedua Dari Kebun Sawit Indonesia 1991
dan limbah cair. Pemanfaatan biomas hasil PKS tersebut secara potensial dapat menghasilkan energi listrik sebesar 4336 MW yakni dari pemanfaatan tandang kosong 1000 MW), cangkang (1336 MW), serat (1000 MW), limbah cair (1000 MW).
Berdasarkan perhitungan diperoleh bahwa setiap 1 MW setara dengan 4 ribu kilo liter solar dan dapat memenuhi kebutuhan listrik 1050 rumah tangga di pedesaan. Dengan demikian secara potensial pemanfaatan limbah hasil sampingan PKS saja mampu menghasilkan energi listrik yang setara dengan 17.3 juta ton solar. Atau cukup melayani kebutuhan sekitar 4.5 juta rumah tangga di pedesaan. Dengan perkataan lain pemanfaatan biomas hasil sampingan PKS saja mampu menghemat solar fosil sebesar 17.3 juta ton per tahun. Dan sekitar 4.5 juta rumah tangga pedesaan pada 190 kabupaten sentra sawit nasional dapat memperoleh listrik.
Gambar 2.3 Potensi Energi Listrik dari pemanfaatan Biomas
Selain itu, limbah cair kelapa sawit (LCKS) juga sudah dimanfaatkan untuk menghasilkan biolistrik untuk kebutuhan listrik pedesaan di sekitar kebun. Limbah PKS dibangun tanki biogas untuk menghasilkan biogas methan dan selanjutnya digunakan untuk membangkitkan listrik (Gambar 2.4). Saat ini banyak perkebunan sawit di berbagai sentra kebun sawit nasional seperti di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan telah menghasilkan biolistrik sawit. Dan saat ini ke depan, pembangunan biolistrik sawit masih berlanjut.
Gambar 2.4 Pembangkit Listrik Tenaga Biogas/Methane Capture (Biolistrik) dalam Pengolahan Limbah PKS Sawit di Provinsi Riau dan Kalimantan Timur
Kesimpulan
Biomas merupakan sumber energi baru terbaharui (new renewable energy) atau disebut juga biofuel generasi kedua (second generation biofuel). Selain minyak sawit (CPO+PKO), kebun sawit juga menghasilkan biomas sekitar 16 ton bahan kering per hektar per tahun berupa tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang dan serat
Biofuel Generasi Kedua Dari Kebun Sawit Indonesia 1993
buah (oil palm fibre and shell), batang kelapa sawit (oil palm trunk) dan pelepah kelapa sawit (oil palm fronds).
Sehingga dengan 11 juta hektar kebun sawit indonesia dapat menghasilkan biomas sekitar 176 juta ton biomas bahan kering setiap tahun.
Biomas dapat diolah menjadi bioetanol (pengganti premium/gasoline). Jika diasumsikan setiap ton bahan kering biomas dapat menghasilkan 150 liter etanol. Maka dengan produksi biomas kebun sawit Indonesia sebesar 176 juta ton per tahun, secara teoritis dapat menghasilkan 26 juta kilo liter etanol/biopremium setiap tahun.
Produksi biopremium sebesar itu hampir 60 persen dari kebutuhan premium di Indonesia setiap tahun.
PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015
PERKEMBANGAN IMPOR NABATI TERKINI PAKISTAN DAN BANGLADESH MEMILIKI
PROSPEK YANG BAIK*
ABSTRAK
Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia di pasar global mulai berkembang pesat sejak 1997. Konsumsi minyak nabati utama dunia meningkat dari 5,9 juta ton pada tahun 1997 menjadi 110 juta ton pada tahun 2017. Peningkatan ini hampir 20 kali lipat, dan menunjukkan perkembangan yang revolusioner.
Perkembangan tersebut disebakan oleh adanya excess demand minyak nabati di pasar global, dimana laju permintaan (konsumsi) lebih tinggi dibandingkan dengan laju produksi (supply). Seiring dengan meningkatnya konsumsi, maka volume perdagangan nabati di pasar dunia juga berkembang pesat. Hal ini tercermin dari perkembangan pesat permintaan impor minyak nabati dunia. Tujuan tulisan ini secara khusus menyajikan secara deskriptif perkembangan terkini impor CPO di pasar global.
Apakah pergeseran tujuan ekspor CPO Indonesia akan mulai mengadakan pergeseran di masa mendatang? Impor CPO di Uni Eropa dan negara China memiliki trend yang negatif atau menurun. Hal ini berbeda dengan India, dimana volume impor CPO berada pada urutan terbesar dunia, dan memiliki terdapat trend yang positif. Demikian halnya dengan Pakistan dan Bangladesh, total impor CPO kedua negara ini memiliki trend yang positif. Pakistan dan Banladesh saat ini masih memiliki konsumsi nabati per kapita masih tergolong rendah dan masih bertumbuh di masa mendatang, dengan demikian, disamping India, Pakistan dan Bangladesh memiliki prospek yang baik dan menjadi salah satu tujuan ekspor CPO bagi Indonesia.
Keywords : minyak nabati, Pakistan dan Bangladesh,
*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume IV No. 3/2018
Pendahuluan
Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia di pasar global mulai berkembang pesat sejak 1997. Konsumsi minyak nabati utama dunia meningkat dari 5,9 juta ton pada tahun 1997 menjadi 110 juta ton pada tahun 2017.
Peningkatan ini hampir 20 kali lipat, dan menunjukkan perkembangan yang revolusioner.
Salah satu faktor yang menciptakan perkembangan tersebut adalah adanya excess demand di pasar global, dimana laju konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan laju produksi (supply). Komoditas CPO memiliki yiled yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya (minyak kedele, minyak rapeseed dn minyak bunga matahari), sehingga secara alami CPO berhasil menjadi sumber minyak nabati dunia. Tahun 2017, konsumsi CPO mencapai pangsa 55% dari total minya nabati dunia (USDA, 2017).
Seiring dengan meningkatnya konsumsi, maka volume perdagangan nabati di pasar dunia juga berkembang pesat.
Hal ini tercermin dari perkembangan pesat permintaan impor minyak nabati dunia.
Tujuan tulisan ini secara khusus menyajikan secara deskriptif perkembangan terkini impor CPO di pasar global. Apakah pergeseran tujuan ekspor CPO Indonesia akan mulai mengadakan pergeseran di masa mendatang?
Perkembangan Impor Nabati Terkini, Pakistan dan Bangladesh 1997
Perkembangan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Perkembangan pola konsumsi minyak nabati dunia tercermin dari perubahan pangsa masing masing minyak nabati. Secara empiris, perkembangan pola konsumsi minyak nabati dunia adalah sebagai berikut.
Gambar 3.1 Perubahan Pola Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 2000 dan 2017 (Sumber: US Department of Agriculture, USDA, 2017) Data di atas menunjukkan pola perubahan konsumsi minyak nabati dunia dari tahun 2000 ke tahun 2017 saat ini. Pangsa konsumsi minyak kedele (soybean oil=SBO) menurun dari 30% menjadi 27%, pangsa konsumsi minyak kanola (rapeseed oil=RSO) juga bergeser dari 17%
menjadi 15%, dan minyak bunga mata hari (sun flower oil=SFO) menurun dari 6% menjadi 3%.
Hal ini mencerminkan, pola konsumsi minyak nabati secara umum masih tetap didominasi oleh CPO, dengan
CPO 47%
SFO 6%
SBO 30%
RSO
17% CPO
55%
SFO 3%
SBO 27%
RSO 15%
perubahan pangsa yang semakin besar dari 47% menjadi 55%. Dalam kurun waktu yang sama, konsumsi CPO meningkat hampir 3 kali lipat dari 24 juta ton (2000) menjadi 67 juta ton, atau bertambah sebesar 43 juta ton.
Perkembangan Impor Minyak Nabati Dunia
Perubahan konsumsi di atas, akan tercermin dari permintaan impor minyak nabati di pasar global.
Gambar 3.2 Impor Minyak Nabati Dunia tahun 2000 dan 2017 (Sumber: US Department of Agriculture, USDA, 2017)
Gambar 3.2 di atas menunjukkan perkembangan minyak nabati tahun 2000 dan 2017. Pangsa minyak kedele menurun dari 38% menjadi 31%, rapeseed oil menurun dari 18% menjadi 13%, sunflower oil juga 4%
menjadi 9%, sedangkan pangsa impor CPO naik dari 40%
menjadi 47%. Volume CPO yang diperdagangkan di pasar nabati global naik dari 14,8 juta ton menjadi 43,15 juta ton atau naik hampir 3 kali lipat
CPO 40%
RSO 18%
SBO 38%
SFO 4%
CPO 47%
RSO 13%
SBO 31%
SFO 9%
Perkembangan Impor Nabati Terkini, Pakistan dan Bangladesh 1999
Pergeseran Tujuan Ekspor CPO Indonesia
Dari uraian d atas, jelas terlihat bagaimana peran CPO di pasar nabati global. Pola konsumsi meningkat, disertai dengan perubahan pangsa CPO yang diperdagangkan di pasar global.
Sejalan dengan posisi Indonesia Sebagai negara eksportir utama di pasar global, beberapa negara utama uang menjadi negara tujuan ekspor CPO Indonesia adalah India, Uni Eropa dan China.
Perkembangan konsumsi CPO di negara negara tujuan ekspor CPO Indonesia disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.3 Konsumsi CPO di negara Tujuan Ekspor Utama Indonesia tahun 2000 dan 2017 (Sumber: US Department of Agriculture, USDA, 2017)
Pada tahun 2000, konsumsi CPO India mencapai 3 juta ton, dan tahun 2017 naik menjadi 9,4 juta ton. Bila dibandngkan dengan total konsumsi CPO dunia, pangsa
India EU 27 China Pakistan+B angladesh
2000 20 19 14 11
2017 22 15 11 11
0 5 10 15 20 25
konsumsi CPO India naik dari 20 persen menjadi 22 persen. Konsumsi CPO Uni Eropa mencapai 2,9 juta ton pada tahun 2000 dan naik menjadi 6.5 juta ton pada tahun 2017. Namun dibandingkan dengan total konsumsi CPO dunia, pangsa konsumsi UE turun dari 19 persen (tahun 2000) menjadi 15 persen pada tahun 2017. Demikian halnya dengan China, berada pada peringkat ketiga importir CPO dunia, juga mengalami penurunan pangsan konsumsi CPO dari 14 persen menjadi 11 persen.
Pada tahun terakhir, perhatian Idonesia mulai meningkat pada Negara Pakistan dan Bangladesh, negara yang termasuk potensial di masa mendatang, terlebih sejalan dengan tekanan UNI Eropa yang berupaya menolak CPO Indonesia, atau minimal memperlambat laju ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa.
Konsumsi CPO Pakistan dan Bangladesh naik dari 2 juta ton (2000) menjadi 4,9 juta ton pada tahun 2017.
Sejalan dengan meningkatnya konsumsi CPO, maka perkembangan laju (annual growth) impor CPO di negara negara tersbet adalah sebagai berikut.
Perkembangan Impor Nabati Terkini, Pakistan dan Bangladesh 2001
Gambar 3.4 Laju Pertumbuhan (Growth) Konsumsi dan Impor CPO di negara Tujuan Ekspor Utama Indonesia pada Kurun Waktu 2000 s/d 2017 Rata-rata pertumbuhan konsumsi CPO di negara India, Uni Eropa dan China meningkat masing masing 85, 1%, dan 4 %. Demikian halnya dengan Pakistan dan Bangladesh, dimana pertumbuhan konsumsi CPO setiap tahun rata-rata naik sebesar 6 % per tahun di Pakistan dan naik 13 % per tahun di Bangladesh,
Namun, bila dilihat dari rata-rata impor, Uni Eropa dan China mengalami perkembangan impor yang fluktuatif, dan cenderung memiliki trend pertumbuhan yang negatif sebesar 5% pada kurun waktu 2000-2012. Berbeda halnya dengan India, Pakistan dan Bangladesh, setiap tahun masih terlihat trend yang positif. (Gambar 3.4).
3%
-1%
-5%
7%
10%
8%
1%
4% 6%
13%
-10%
-5%
0%
5%
10%
15%
India EU 27 China Pakistan Bangladesh
Impor Konsumsi
Impor Nabati Pakistan Dan Bangladesh Bila diskusi ini dipersempit pada Pakistan dan Banglades, diperoleh gambaran impor minyak nabati di kedua negara tersebut.
Gambar 3.5 Impor Minyak Nabati di Pakistan dan Bangladesh tahun 2020 dan 2017 (Sumber:
US Department of Agriculture, USDA, 2017).
Gambar 3.5 di atas menunjukkan adanya pergesaran pola konsumsi di Pakistan dan Bangladesh, dimana proporsi impor CPO meningkat tajam dari 69 persen menjadi 83 persen. Sedangkan impor minyak kedele menurun dari 29 persen (2000) menjadi 17 persen pada tahun 2017, dan impor kedua sumber nabati lainnya (RSO dan SFO) cenderung menurun hingga mendekati 0%.
CPO 69%
SBO 29%
RSO 1%
SFO 1%
CPO 83%
SBO 17%
RSO 0%
SFO 0%
Perkembangan Impor Nabati Terkini, Pakistan dan Bangladesh 2003
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dengan ringkas dapat disimpulkan bahwa impor CPO di Uni Eropa dan juga di negara China cenderung negatif atau menurun. Selama ini tekanan penolakan sawit sangat dominan disuarakan oleh negara Uni Eropa, namun, mesikupun tidak ada penolakan yang ekplisit dari negara China, tampak bahwa trend impor negara China juga cenderung menurun.
Hingga saat ini, Indonesia masih diuntungkan dengan permintaan impor dari negara India, yang memiliki volume terbesar, dan juga terdapat trend yang positif. Hal ini menunjukkan prospek dagang yang baik di masa mendatang.
Demikian halnya dengan Pakistan dan Bangladesh, total impor CPO kedua negara ini memiliki trend yang positif. Bila dibandingkan dengan volume impor Uni Eropa dengan Pakistan dan Bangladesh, terlihat bahwa impor Pakistan dan Bangladesh juga cukup besar dan sekitar dua pertiga dari impor Uni Eropa.
Dapat dipahami, tingkat konsumsi nabati di Uni Eropa sudah tergolong tinggi dan sangat masuk akal jika Uni Eropa berupaya keras mengurangi tingkat konsumsi per kapita di negara Uni Eropa tersebut. Namun berbeda halnya dengan Pakistan dan Banladesh, konsumsi minyak nabati per kapita masih tergolong rendah dan masih mengalami pertumbuhan di masa mendatang, sehingga Pakistan dan Bangladesh memiliki prospek yang baik di masa mendatang.
PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015
TEKANAN PASAR GLOBAL TERHADAP CPO:
BAGAIMANA TREND CPO TAHUN 2018?*
ABSTRAK
Perang nabati di pasar global dan tekanan anti sawit kembali muncul dan memilki dampak buruk bagi industri sawit nasional, khsusnya tekanan Parlemen Uni Eropa, yang mengajukan proposal energi dan menghapus CPO dalam daftar renewable energy. Hal ini sekaligus menghambat ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Hal yang sama telah berlangsung di Amerika Serikat, yang menyebutkan adanya dumping pada biodiesel Indonesia. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis tentang (1) biodiesel sebagai renewable energy yang menggunakan CPO sebagai bahan baku dan (2) dampak tekanan ini terhadap nabati CPO di pasar global tahun 2018.
Pasar nabati CPO terkait dengan soybean oil (SBO), karena kedua komoditas ini memiliki share terbesar dalam perdagangan minyak nabati global. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa Impor CPO di pasar global memiliki trend positif, dengan pertambahan volume impor sebesar 0,19 juta ton. Sementara itu, SBO juga akan naik dari 11,48 juta ton menjadi 12,25 juta ton, atau naik sebesar 0,767 ton metrik ton. Kenaikan SBO pada tahun 2018 mencapai 4 kali lipat dibandingkan dengan CPO. Fenomena ini menarik karena dari sisi harga SBO relatif lebih mahal namun volume impor negara konsumen meningkat. Informasi ini penting bagi pemerintah, maupun bagi pelaku industri sawit Indonesia, dimana dalam jangka pendek (2018) CPO mendapat tekanan yang serius.
Keywords : minyak nabati, Pakistan dan Bangladesh,
*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume IV No. 4/2018
Pendahuluan
Perang nabati di pasar global dan tekanan anti sawit dan turunannya kembali muncul. Jika sebelumnya atau awal Bulan April 2017 lalu, Parlemen Eropa mengeluarkan Resolusi Sawit yang mengancam embargo sawit ke Eropa, maka saat ini Komite Lingkungan Hidup (ENVI) Parlemen Eropa kembali mengeluarkan usulan larangan kelapa sawit. Pemungutan suara oleh Parlemen Uni Eropa mengeluarkan kelapa sawit dari daftar bahan bakar bio yang digunakan Uni Eropa di masa depan.
Berdasarkan proposal energi tersebut, maka bahan bakar bio yang terbuat dari makanan dan tanaman tidak boleh melebihi tujuh persen dari semua bahan bakar transportasi.
Proposal energi Uni Eropa disambut oleh kelompok aktivis Transportasi dan Lingkungan Eropa, dimana proposal energi tersebut dipahami sebagai sebuah pesan yang jelas kepada industri bahan bakar bio bahwa pertumbuhan hanya diperoleh dari bahan bakar yang berkelanjutan seperti bahan bakar bio berbasis limbah, bukan dari tanaman pangan. Hal ini mencerminkan penolakan CPO dalam bioenergi di Uni Eropa.
Indonesia menilai bahwa larangan penggunaan kelapa sawit sebagai biodiesel tersebut merupakan sebagai black campign dan sebuah tindakan diskriminatif. Presiden RI Joko Widodo dalam berbagai forum internasional seperti pada UE-ASEAN Meeting 2017 juga memprotes keras diskriminasi sawit di Uni Eropa.
Diskriminasi ini juga bertentangan dengan prinsip free trade yang adil (fair). Parlemen Uni Eropa tidak memiliki pemahaman tentang peran Industri sawit dalam
Tekanan Pasar Global Terhadap CPO: Bagaimana Trend CPO tahun 2018? 2007
pembangunan Indonesia. Kelapa sawit merupakan komoditas strategis nasional dan salah satu elemen utama dari kepentingan nasional Indonesia, dan secara empiris telah terbukti berperan dalam pembangunan di Inonesia, dan menyangkut kesejahteraan 17 juta warga Indonesia, termasuk petani kecil, yang bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada industri kelapa sawit.
Indonesia memiliki ketegasan dan komitmen akan terus mengintensifkan langkah melawan kampanye hitam serta terus mempromosikan sustainable palm oil dan pencapaian SDGs. Disamping itu penolakan produk kelapa sawit Indonesia bisa mengganggu hubungan kerja sama ekonomi Indonesia–UE, terutama di tengah-tengah perundingan Indonesia – EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (I–EU CEPA).
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis tentang (1) biodiesel sebagai renewable energy yang menggunakan CPO sebagai bahan baku dan (2) dampak tekanan ini terhadap nabati CPO di pasar global tahun 2018. Pasar nabati CPO terkait dengan Soybean oil, karena kedua komoditas ini memiliki share terbesar dalam minyak nabati global.
Biodiesel a. Di Uni Eropa
Uni Eropa dilaporkan sepakat untuk menarik kembali banding kepada Mahkamah Eropa (European Court of Justice) terkait penganuliran Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) bagi produk biodiesel asal Indonesia. Dengan
demikian, produk biodiesel Indonesia bersama Argentina berpeluang untuk tidak dikenakan BMAD ke Uni Eropa.
Pengumuman ini rencananya akan diumumkan pada saat pertemuan antar Menteri Uni Eropa. Uni Eropa akan menarik empat rencana banding terkait impor Indonesia dan dua banding terhadap impor Argentina.
Adapun sebelumnya, Mahkamah Konstitusi Uni Eropa (General Court of European Union/GCEU) mengadakan serangkaian keputusan sejak September 2016 untuk menganulir BMAD. Pasalnya, lembaga hukum Uni Eropa tersebut menilai, tidak ada bukti soal pengaturan harga komoditas dari kedua negara. Selain itu, Uni Eropa pun dianggap gagal membuktikan kondisi distorsi harga akibat kebijakan perpajakan ekspor di Indonesia dan Argentina.
Penarikan banding ini dilakukan untuk menghindari keputusan panel Dispute Settlement Body (DSB) WTO yang ditakutkan kurang berpihak kepada Uni Eropa.
Sebelumnya, Indonesia telah mencari keadilan mengenai implementasi BMAD ke DSB WTO pada tahun 2017. Indonesia berani mengajukan gugatan sebab Komisi Eropa, sebagai otoritas penyelidikan, melakukan kesalahan dalam metodologi dan penghitungan atas nilai serta margin keuntungan yang berujung pada pengenaan BMAD tinggi kepada produsen dan eksportir biodiesel asal Indonesia.
Keputusan final Indonesia dari Panel DSB WTO diperkirakan disirkulasi pada 25 Januari 2018, sehingga pihak Uni Eropa memutuskan melakukan withdrawl lebih awal, menghindari kemungkinan keputusan Panel DSB WTO, jika pada akhirnya kurang berpihak kepada mereka
Pengenaan BMAD terhadap biodiesel Indonesia dimulai sejak 2013. Saat itu, Uni Eropa berargumen bahwa
Tekanan Pasar Global Terhadap CPO: Bagaimana Trend CPO tahun 2018? 2009
Indonesia dianggap menjual harga biodiesel yang murah ke Uni Eropa, sehingga merugikan produsen biodiesel di Eropa.
Saat ini, BMAD produk biodiesel Indonesia dipatok di angka 8,8 persen hingga 20,5 persen per ton yang berlaku selama lima tahun.
b. Di Amerika Serikat
Akhir Bulan Agustus 2017 lalu, Amerika Serikat merencanakan memberlakukan kebijakan anti dumping berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas biodiesel sawit dari Indonesia. Besarnya tarif BMAD yang direncanakan berlaku mulai bulan Oktober 2017 berkisar 40-70 persen. Jika kebijakan protektif tersebut benar- benar dilaksanakan akan mengancam ekspor biodiesel sawit ke negara Paman Sam tersebut.
Rencana pemberlakuan BMAD impor biodiesel sawit tersebut dilatarbelakangi tuduhan paraktik dumping biodiesel sawit. Dalam konsep ekonomi dalam perdagangan internasional, disebut praktek dumping jika suatu negara menjual suatu produk dengan harga yang lebih murah di pasar ekspornya dibandingkan dengan harga jual didalam negeri. Daalam kasus biodiesel, apakah harga jual biodiesel murni (B100) sawit di pasar Amerika Serikat lebih murah dibandingkan harga jual biodisel tersebut di Indonesia.
Jika mengacu pada harga biodiesel (B100) di Indonesia, dalam tahun 2016 misalnya harga rataan biodiesel di Indonesia adalah Rp 8.183 per liter. Jika dihitung pajak/pungutan ekspor biodiesel dan biaya pengangkutan (c.i.f) ke pelabuhan Amerika Serikat (landed
price) maka harga biodiesel sawit Indonesia adalah sekitar Rp 9.410 per liter. Sementara harga eceran biodiesel kedelai (B100) di pasar Amerika Serikat tahun 2016 rata- rata Rp 10.534 per liter.
Jadi dari gambaran harga tersebut jelas hampir tidak mungkin Indonesia melakukan praktik dumping. Sebab tidak mungkin produsen biodiesel menjual biodiesel di Amerika Serikat dibawah harga di Indonesia (Rp 8.183) karena pasti rugi. Bahwa harga biodiesel sawit di Indonesia lebih rendah dengan harga biodiesel kedelai di pasar USA, wajar saja. Dari segi bahan baku saja biodiesel kedalai sudah kalah. Produktivitas minyak sawit berkisar 5 ton minyak per hektar sementera produktivitas kedelai hanya sekitar 0.6 ton minyak per hektar. Demikian juga biaya produksinya pasti lebih murah biodiesel sawit dibanding dengan biodisel kedelai.
Kalau mau jujur dan adil, tuduhan subsidi biodiesel sebetulnya lebih tepat dituduhkan pada biodiesel kedalai Amerika Serikat. Menurut Studi The Global Subsidies Initiative, mengungkap bahwa Amerika Serikat selama 2006-2016 memberikan subsidi biodiesel kedelai sekitar 15-17.6 milyar dollar Amerika Serikat atau sekitar 1.5-1.7 milyar dollar setiap tahun. Studi tersebut juga mengungkap bahwa besarnya subsidi biodiesel kedelai adalah sekitar 61-72 persen dari harga eceran biodiesel kedelai. Artinya jika tidak ada subsidi, harga eceran biodiesel kedalai (B100) tahun 2016 di pasar Amerika Serikat adalah sekitar Rp 17.000 per liter.
Dengan demikian, tuduhan Amerika Serikat bahwa biodiesel sawit melakukan praktik dumping tidak didukung fakta. Demikian juga bahwa biodiesel sawit memperoleh subsidi dari Pemerintah Indonesia juga tidak
Tekanan Pasar Global Terhadap CPO: Bagaimana Trend CPO tahun 2018? 2011
didukung fakta. Bahkan sebaliknya, Amerika Serikat justru memberikan subsidi besar untuk biodiesel kedelainya.
Indonesia meminta pemerintah Amerika Serikat mempertimbangkan kembali putusan final bea masuk imbalan (countervailing duty) atas produk biodiesel Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat.
Berdasarkan keputusan terbaru Departemen Perdagangan AS (United States Department of Commerce/
USDOC), bea masuk imbalan biodiesel bagi Indonesia tercatat sebesar 34,45 persen sampai 64,73 persen. Angka ini memang lebih rendah dari putusan sementara USDOC pada Agustus lalu, sebesar 41,06 persen sampai 68,28 persen. Keputusan ini menunjukkan tindakan overprotektif. Bersamaan dengan keputusan terhadap Indonesia, USDOC juga memberlakukan keputusan final bea masuk imbalan biodiesel dari Argentina sebesar 71,45 persen sampai 72,28 persen.
Saat ini, pemerintah sedang menunggu penyelidikan Komisi Perdagangan Internasional AS (United States International Trade Commission/USITC). Penyelidikan itu dilakukan untuk membuktikan bahwa biodiesel Indonesia memberikan kerugian pada industri dalam negeri AS atau tidak. Jika USITC memutuskan ada kerugian, maka USDOC akan menginstruksikan Kepabeanan dan Perlindungan Perbatasan AS (US Customs and Border Protection) untuk meneruskan pemungutan deposit dana sesuai dengan tingkat bea masuk yang ditetapkan. Sebaliknya, bila tidak ada kerugian, maka investigasi harus dihentikan.
Industri Nabati 2018
Terkait dengan kondisi di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimanakah dampak kebijakan ini bagi Industri nabati gobal dan Industri Sawit Indonesia pada tahun 2018?
Dalam pasar nabati global, salah satu informasi penting yang diperlukan adalah seberapa kompetetifkah CPO dibandingkan dengan minyak kedele (SBO) dari sisi ratio harga? Jika Ratio SBO/CPO = 1, artinya harga SBO dan CPO adalah sama, dan konsumen (negara pengimpor) bebas memilih SBO dan CPO dimana keduanya memiliki harga yang sama. Sebaliknya jika nilai rationya semakin tinggi, maka SBO relatif semakin mahal dibandingkan dengan CPO. Misalkan jika ratio SBO/CPO=1,5, maka SBO lebih mahal dibandingkan dengan CPO. Dengan sejumlah uang tertentu, konsumen membeli 100 ton minyak kedele, maka dengan uang yang sama dapat diperoleh CPO 1.5 kali lipat atau 150 ton. Konsumen diuntungkan 50 ton CPO.
Perkembangan harga CPO dan SBO disajikan pada Gambar 4.1 berikut.
Gambar 4.1 Perkembangan harga CPO dan SBO tahun 1988-2017 (Sumber : USDA, 2018)
0 500 1000 1500 2000
Jan-88 Jul-89 Jan-91 Jul-92 Jan-94 Jul-95 Jan-97 Jul-98 Jan-00 Jul-01 Jan-03 Jul-04 Jan-06 Jul-07 Jan-09 Jul-10 Jan-12 Jul-13 Jan-15 Jul-16
CPO SBO