• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PENOLAKAN UNI EROPA TERHADAP MINYAK KELAPA SAWIT*

ABSTRAK

Perkembangan agribisnis kelapa sawit telah menarik perhatian dunia. Perkembangan kelapa sawit yang pesat telah menyebabkan terjadinya persaingan bisnis minyak nabati di kawasan Uni Eropa. Sejak tahun 2000, pangsa konsumsi minyak kelapa sawit di Uni Eropa telah mengalahkan SBO yang mendominasi konsumsi minyak nabati sebelum tahun 2000. Pada tahun 2017, konsumsi minyak sawit Uni Eropa telah mencapai 6.350 ribu ton.

Kondisi minyak nabati lain yang semakin tersisihkan karena keberadaan minyak sawit menyebabkan Uni Eropa memberlakukan berbagai hambatan dan bahkan penolakan terhadap minyak kelapa sawit. Namun penolakan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit justru akan menyebabkan terjadinya deforestasi 20 juta hektar untuk menggantikan impor 10 juta ton minyak kelapa sawit Uni Eropa pada periode tahun 2020-2030. Hal ini menunjukkan Uni Eropa tidak konsisten dengan prinsip keberlanjutan (sustainability) yang menjadi perhatian utamanya dalam menolak penggunaan minyak kelapa sawit.

Keywords : deforestasi, minyak kelapa sawit, pangsa konsumsi, penolakan Uni Eropa

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume IV No. 16/2018

Pendahuluan

Komoditas kelapa sawit telah menarik perhatian dunia selama beberapa tahun terakhir. Perkembangan agribisnis kelapa sawit sejak tahun 1980 di Indonesia dan Malaysia memposisikan kedua negara sebagai dua produsen utama minyak kelapa sawit yang memiliki pangsa hingga 85%

produksi minyak sawit dunia. Jumlah produksi minyak sawit kedua Negara yang tinggi dan setiap tahun menunjukkan trend peningkatan mampu menekan industri minyak nabati dunia. Konsumsi minyak nabati yang awalnya dikuasai Soybean oil (SBO), Rapeseed oil (RSO), dan Sunflower oil (SFO), mulai beralih dengan tingginya tingkat produksi minyak kelapa sawit (CPO) dari Indonesia dan Malaysia. Oleh sebab itu, terjadi persaingan bisnis diantara produsen – produsen minyak nabati dunia termasuk Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia.

Dampak dari persaingan bisnis yang terjadi, kelapa sawit sering menjadi korban kampanye negatif baik dari isu kesehatan, isu lingkungan, dan lainnya. Kelapa sawit dianggap sebagai penyebab deforestasi, hilangnya biodiversitas, hingga penyebab pemanasan global.

Kampanye negatif yang ditujukan kepada kelapa sawit menyebabkan terjadinya diskriminasi kebijakan terhadap minyak kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Uni Eropa adalah salah satu yang melakukan diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit.

Uni Eropa pernah menetapkan berbagai kebijakan untuk menghambat perkembangan industri minyak sawit di wilayahnya seperti kebijakan labelling yang wajib mencantumkan asal minyak nabati yang digunakan pada

Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit 2143

makanan, pemberlakukan fat taxes, dan kampanye palm oil free. Pemerintah Perancis memberlakukan pajak tambahan pada Nutella sebesar 300 Euro per ton minyak kelapa sawit yang digunakan dalam produk makanan tersebut. Namun setelah terjadi penolakan, Pemerintah Perancis hanya memberlakukan pajak 30 Euro dari rencana awal 300 Euro per ton minyak kelapa sawit.

Beberapa Negara lain seperti Belgia dan Luxemburg mengkampanyekan Palm Oil Free (POF) dan menganggap produk yang POF sebagai produk yang lebih sehat.

Selain dalam industri makanan, diskriminasi juga dilakukan Uni Eropa dalam penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel. Uni Eropa sejak tahun 2013 menerapkan kebijakan bea masuk anti dumping (BMAD) atas produk biodiesel Indonesia karena menganggap Indonesia menjual biodiesel di pasar Uni Eropa lebih murah dibandingkan harga jual di Indonesia.

Margin dumping yang dikenakan Uni Eropa yaitu sebesar 8.8 persen hingga 23.3 persen. Kemudian diskriminasi lainnya juga terlihat dari Parlemen Uni Eropa yang berencana menghapus penggunaan biodiesel dari minyak nabati pada tahun 2030, namun biodiesel dari minyak kelapa sawit dihapuskan sejak 2021.

Semua hambatan yang dilakukan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit pada dasarnya untuk melindungi industri minyak nabati mereka yang didominasi Rapeseed oil (RSO) dan Sunflower oil (SFO). Oleh sebab itu, tulisan ini akan mendiskusikan kondisi ekonomi minyak nabati Uni Eropa, dan dampak penolakan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit.

Gambaran Konsumsi Dan Produksi Minyak Nabati Uni Eropa

Minyak nabati yang mendominasi pasar Uni Eropa sebelum tahun 2000 adalah Soybean oil (SBO), Sunflower oil (SFO) dan Rapeseed oil (RSO). Namun pola konsumsi minyak nabati Uni Eropa berubah seiring dengan perkembangan pesat produksi minyak kelapa sawit oleh Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 2000, jumlah konsumsi minyak kelapa sawit Uni Eropa telah lebih banyak dari pada konsumsi Soybean oil (SBO) dan Sunflower oil (SFO) yaitu sebesar 2790 ribu ton, sementara Soybean oil (SFO) dan Sunflower oil (SFO) masing-masing hanya 2186 ribu ton dan 2555 ribu ton (Gambar 16.1). Sementara Rapeseed oil (RSO) masih menjadi minyak nabati dgn konsumsi terbesar pada tahun 2000 dengan total konsumsi 3956 ribu ton.

Gambar 16.1 Konsumsi Minyak Nabati Uni Eropa Tahun 2000 – 2017

2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000

CPO (000 ton) SBO (000 ton) RSO (000 ton) SFO (000 ton)

Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit 2145

Berdasarkan gambar 16.1, dapat kita lihat bahwa hingga tahun 2017 terjadi peningkatan yang pesat pada konsumsi Uni Eropa terhadap Rapeseed oil (RSO) dan Crude Palm Oil (CPO) dengan rata-rata peningkatan per tahun masing – masing sebesar 6.0% dan 5.3%. Konsumsi Sunflower oil (SFO) juga menunjukkan peningkatan meskipun dengan proporsi yang kecil yaitu 3.8% per tahun. Sedangkan konsumsi Soybean oil (SBO) meskipun fluktuatif pada selang tahun 2000 hingga 2017, namun pertumbuhan konsumsinya bisa dikatakan stagnan. Pada tahun 2017, konsumsi RSO masih mendominasi pasar Uni Eropa dengan total 10 300 ribu ton, dan CPO dengan total konsumsi 6 350 ribu ton.

Dengan terjadinya peningkatan yang pesat pada konsumsi minyak kelapa sawit Uni Eropa, menunjukkan terjadinya perubahan pangsa konsumsi minyak nabati di pasar Uni Eropa. Jika total konsumsi pada Gambar 16.1 diubah dalam bentuk pangsa konsumsi, maka dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pangsa minyak sawit dari 24.29% pada tahun 2000 menjadi 29.42% pada tahun 2016 (Gambar 16.2). Konsumsi RSO yang semakin tinggi juga menyebabkan pangsa konsumsinya semakin meningkat menjadi 43.77% pada tahun 2016.

Gambar 16.2 Pangsa Konsumsi Minyak Nabati Uni Eropa Namun meskipun terjadi peningkatan total konsumsi sebesar 3.8% pada SFO, jika total konsumsi dihitung secara pangsa konsumsi maka terlihat bahwa pangsa konsumsi SFO di Uni Eropa sebenarnya mengalami penurunan dari 22.24% pada tahun 2000 menjadi 18.01 pada tahun 2016. Sementara SBO yang perkembangan total konsumsinya cukup stagnan, menyebabkan pangsa konsumsinya merosot jauh dari 19.03 pada tahun 2000 dan hanya tersisa 8.80% pada tahun 2016. Hal ini semakin menunjukkan bahwa konsumen minyak nabati di Uni Eropa telah merubah pola konsumsinya dan menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit telah menjadi pilihan konsumen dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap minyak nabati.

Kebutuhan minyak nabati Uni Eropa tidak berasal dari produksi domestik seluruhnya, namun sebagian besar berasal dari impor terutama CPO dan SFO. Kebutuhan CPO Uni Eropa diimpor dari Negara-negara produsen minyak kelapa sawit yaitu Indonesia dan Malaysia. Impor CPO yang dilakukan Uni Eropa untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati menunjukkan tetap terjadi peningkatan

2000 2005 2010 2015 2016

Palm Oil 24.29 24.68 25.10 30.06 29.42

Soybean Oil 19.03 17.56 11.79 8.56 8.80

Sunflower Oil 22.24 19.74 17.49 16.63 18.01 Rapeseed Oil 34.44 38.02 45.62 44.76 43.77

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

Uni Eropa

Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit 2147

meskipun berbagai hambatan diterapkan. Berbagai kebijakan dan kampanye negatif terhadap minyak kelapa sawit seolah tidak berhasil menahan laju konsumsi minyak kelapa sawit Uni Eropa. Hal ini membuktikan bahwa meskipun Uni Eropa menerapkan berbagai hambatan terhadap minyak kelapa sawit, namun dorongan kebutuhan konsumen terhadap minyak kelapa sawit menyebabkan tingkat impor CPO tetap menunjukkan trend yang semakin meningkat.

Selain minyak kelapa sawit, SFO juga banyak diimpor oleh Uni Eropa. Impor terhadap SFO menunjukkan peningkatan dengan rata-rata 17.2% per tahun. Impor SFO yang pada tahun 2000 hanya 266 ribu ton, seiring peningkatan kebutuhan terhadap minyak nabati menyebabkan terjadinya peningkatan impor SFO mencapai 1.500 ton pada tahun 2017 (Gambar 16.3).

Sedangkan dua jenis minyak nabati lainnya yaitu SBO dan RSO, meskipun ada impor namun jumlah impor Uni Eropa untuk kedua jenis minyak nabati tersebut cukup kecil dibandingkan total konsumsinya.

Gambar 16.3 Impor Minyak Nabati Uni Eropa Tahun 2000-2017

Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit

Uni Eropa melakukan penolakan terhadap minyak kelapa sawit karena semakin terancamnya posisi minyak nabati lain di pasar Uni Eropa. Meskipun alasan penolakan berfokus pada isu lingkungan, namun hasil penelitian Wisadha & Jaya (2015) menunjukkan bahwa diskriminasi minyak sawit dilakukan Uni Eropa karena minyak nabati domestiknya sulit bersaing dengan CPO yang lebih murah untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Amelia (2017) juga menyatakan pajak CPO yang diberlakukan Perancis karena CPO relative lebih murah dibandingkan minyak nabati jenis lainnya di pasar Perancis. Argumen tersebut semakin dikuatkan Kusumaningtyas (2017) yang menyebutkan bahwa kondisi industri minyak nabati tidak siap bersaing dengan minyak sawit sehingga Uni Eropa SBO (000 ton) 29 62 30 67 182719978103795547906386322329253325285250 RSO (000 ton) 3 3 7 33 34 317728298459443491607210303261207153150 SFO (000 ton) 266682735528884126121120106968817992942103829141182150

Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit 2149

harus memberlakukan hambatan non-tarif untuk melindungi industry domestiknya.

Isu deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi isu yang paling sering diangkat pihak Uni Eropa melalui LSM-LSM yang digunakan untuk mengkampanyekan gerakan anti sawit. Padahal hasil penelitian Drajat (2012) menunjukkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati bukan semata-mata karena perluasan kebun kelapa sawit, melainkan ada faktor lain seperti perburuan dan pertambangan. Terdapat lebih dari 23 persen hutan Indonesia yang dicadangkan untuk pelestarian hutan yang salah satunya sebagai habitat orang utan, termasuk 42 persen di Aceh dan 40 persen di Kalimantan. Karena isu lingkungan ini menjadi fokus Uni Eropa, oleh sebab itulah prinsip sertifikasi RSPO berfokus pada keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial (Erman 2017).

Minyak kelapa sawit sebagai salah satu minyak nabati tidak hanya digunakan untuk industri makanan, namun dapat digunakan juga untuk produksi biodiesel. Biodiesel semakin banyak digunakan di berbagai Negara karena biodiesel terbukti mampu mengurangi gas rumah kaca (GHG) sehingga lebih ramah lingkungan. Konsumsi Uni Eropa terhadap biodiesel hingga tahun 2016 menunjukkan trend yang meningkat pesat, sementara laju produksinya cenderung stagnan (Gambar 16.4). Untuk memenuhi tingkat kebutuhan biodiesel yang semakin tinggi, justru seharusnya Uni Eropa memanfaatkan minyak kelapa sawit yang lebih murah untuk memenuhi kebutuhan biodiesel domestik.

Gambar 16.4 Produksi Biodiesel dan Konsumsi Biofuel Uni Eropa, 2006-2016 (Sumber : BP 2017) Hingga tahun 2017 jumlah impor minyak kelapa sawit Uni Eropa telah mencapai 6.5 juta ton, dan diperkirakan pada periode tahun 2020-2030, impor Uni Eropa akan meningkat menjadi 10 juta ton untuk bahan pangan, energi dan industri oleokimia. Apabila Uni Eropa melakukan penghentian konsumsi minyak kelapa sawit, dan mensubstitusi dengan minyak nabati lainnya maka akan membutuhkan penambahan luas area tanam yang banyak karena produktivitas minyak nabati jenis lain sangat rendah dibandingkan dengan produktivitas kelapa sawit yang mencapai 4.2 ton per hektar. Dengan produktivitas RSO hanya 0.6 ton per hektar dan produktivitas SFO hanya 0.5 ton per hektar, kebutuhan minyak nabati 10 juta ton tersebut akan membutuhkan pembukaan lahan pertanian baru sebanyak 20 juta hektar.

Luas area tanam minyak nabati Uni Eropa tidak memungkinkan untuk mereka memproduksi tambahan kebutuhan 10 juta ton tersebut tanpa melakukan deforestasi di wilayahnya, karena sejak tahun 2007 luas

0 50 100 150

Juta Ton

Konsumsi Produksi

Dampak Penolakan Uni Eropa Terhadap Minyak Kelapa Sawit 2151

area tanam tidak menunjukkan terjadinya peningkatan luasan yang memadai. Luas area tanam RSO stagnan di kisaran 6 juta hektar, SFO hanya sekitar 4 juta hektar, sementara SBO tidak mencapai 1 juta hektar (Gambar 16.5). Jika Uni Eropa melakukan impor 10 juta ton tersebut, tentu akan memaksa terjadinya doforestasi sebesar 20 juta hektar di belahan bumi lainnya. Dengan demikian, penolakan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit justru akan menyebabkan terjadinya deforestasi yang lebih besar. Padahal alasan minyak kelapa sawit itu sendiri ditolak karena dianggap menjadi penyebab deforestasi. Hal ini menunjukkan bahwa Uni Eropa tidak konsisten dengan prinsip keberlanjutan (sustainability) yang selalu menjadi perhatian utamanya.

Gambar 16.5 Luas Area Tanam Minyak Nabati Uni Eropa Tahun 2000-2017

Kesimpulan

Perkembangan minyak kelapa sawit telah merubah pola konsumsi minyak nabati Uni Eropa sejak tahun 2000.

Minyak kelapa sawit telah menjadi minyak nabati kedua

0 2000 4000 6000 8000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

SBO (000 ha) RSO (000 ha) SFO (000 ha)

paling banyak dikonsumsi Uni Eropa dengan pangsa sebesar 29.42 pada tahun 2016. Perkembangan minyak kelapa sawit yang pesat menyebabkan industri minyak nabati Uni Eropa terancam karena sulit bersaing dengan minyak kelapa sawit yang lebih murah. Oleh sebab itu, Uni Eropa melakukan berbagai hambatan bagi minyak kelapa sawit untuk melindungi minyak nabati lainnya.

Penolakan Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit akan menyebabkan terjadinya deforestasi yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati di masa depan karena produktifitas RSO, SFO, dan SBO jauh lebih rendah dibandingkan produktifitas minyak kelapa sawit.

Hal tersebut justru menunjukkan Uni Eropa tidak konsisten dengan prinsip keberlanjutan (sustainability) yang selama ini menjadi perhatian utamanya dalam dunia pertanian.

PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015

REALISASI MANDATORI BIODIESEL DAN