• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

Realisasi mandatori biodiesel Indonesia secara akumulatif (2014-2017) sebesar 7.78 juta ton. Dengan realisasi tersebut, Indonesia berhasil menghemat impor solar fosil secara akumulatif sebesar 7.78 juta ton dan penghematan devisa untuk impor BBM sekitar USD 2.89 Miliar atau Rp. 38.8 Triliun.

Penggantian solar fosil dengan biodiesel juga berkontribusi pada target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia.

Selama tahun 2014-2017 pengurangan emisi Indonesia akibat penggunaan biodiesel (mengganti solar fosil) mencapai 11.7 juta ton CO2. Pengurangan emisi tersebut jika dihitung shadow price-nya yakni USD 20/ton, maka nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari mandatori biodiesel tersebut mencapai USD 234 Juta atau Rp. 3.15 Triliun. Potensi perluasan mandatori biodiesel dari PSO ke Non PSO cukup prospektif dan perlu ditempatkan sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi nasional sekaligus bagian daripada proses industrialisasi ekonomi Indonesia. Perluasan pada Non PSO tersebut mampu menghemat impor solar sebesar 7-12 juta kl (B-20) dan 13-16 juta kl (B-30). Penghematan impor solar tersebut (16 juta kl) setara dengan penghematan devisa impor sekitar USD 6 Miliar dan penghematan emisi CO2 sebesar 24 juta ton CO2 per tahun.

Keywords : realisasi mandatori biodiesel, penghematan solar impor, penghematan emisi, penghematan devisa impor

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume IV No. 10/2018

Pendahuluan

Sejak diberlakukan kebijakan mandatori biodiesel tahun 2009, pemerintah terus menaikkan target mandatori (blending rate). Pada tahun 2009 diberlakukan B-1, kemudian dinaikkan menjadi B-2.5 selama periode tahun 2010-2012. Kemudian dinaikkan menjadi B-10 dalam periode tahun 2013-2014. Pemerintah kembali memperbaharui kebijakan mandatori biodiesel yang lebih progresif melalui Permen ESDM No 12/2015, dengan target PSO (B-20) hingga 2019 dan B-30 mulai 2020.

Kebijakan mandatori biodiesel sawit yakni mengganti secara bertahap solar fosil impor dengan biodiesel sawit domestik, merupakan langkah penting dalam membangun kemandirian energi nasional, menghemat devisa dan hemat emisi (perbaikan mutu lingkungan). Saat ini dan ke depan ketergantungan Indonesia pada impor solar fosil makin meningkat terus, sehingga dengan mengganti solar fosil dengan biodiesel secara bertahap akan mengurangi ketergantungan kita pada solar fosil impor dan sekaligus menghemat devisa.

Memberhasilkan dan memperluas kebijakan mandatori biodiesel makin penting juga dengan adanya komitmen Indonesia ke masyarakat Internasional untuk ikut menurunkan emisi karbon. Sumber emisi Indonesia terbesar adalah dari konsumsi energi fosil termasuk solar fosil. Semakin meningkat konsumsi solar fosil semakin meningkat emisi karbon. Pengggantian solar fosil dengan biodiesel sawit dapat menurunkan emisi diesel sampai 62 persen. Sehingga semakin banyak biodiesel sawit yang dicampur dengan solar fosil semakin rendah emisinya.

Evaluasi Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel 2017 2069

Tulisan akan mendiskusikan realisasi pelaksanaan mandatori biodiesel dan dampaknya terhadap penghematan impor solar, devisa dan emisi. Selain itu juga didiskusikan potensi perluasan kebijakan mandatori biodiesel dari hanya PSO ke Non PSO.

Penghematan Solar Fosil Impor

Kebijakan dan realisasi mandatori biodiesel di Indonesia cukup agresif. Pada tahun 2014, semula tingkat pencampuran ditetapkan 10 persen untuk tahun 2014 dan 2015, namun melalui peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2015, untuk tahun 2015 dinaikan menjadi 15 persen (B-15) dan 2016-2019 dinaikkan menjadi B-20. Mulai tahun 2020-2025, target pencampuran ditetapkan adalah 30 persen (B-30).

Realisasi mandatori biodiesel Indonesia dalam kurun waktu 2014-2017, mencapai 1.85 juta ton (2014) menurun menjadi 0.54 juta ton (2015), meningkat menjadi 2.9 juta ton (2016) dan tahun 2017 mengalami sedikit penurunan menjadi 2.5 juta ton. Secara akumulatif realisasi mandatori biodiesel tahun 2014-2017 disajikan pada Gambar 10.1.

Dalam periode tersebut dengan realisasi mandatori biodiesel, Indonesia dapat mengurangi impor solar fosil secara akumulatif sebesar 7.78 juta ton. Dalam konteks Indonesia sebagai negara net impor BBM khususnya solar fosil, penghematan impor solar melalui penggantian solar fosil dengan biodiesel sawit, jelas merupakan suatu kebijakan yang menyumbang pada kemendarian energi nasional. Selain itu, kebijakan menggantikan solar impor dengan biodiesel sawit domestik merupakan suatu proses industrialisasi yakni kebijakan subsitusi impor yang

menyumbang pada upaya membangun kemandarian ekonomi nasional secara keseluruhan.

Gambar 10.1 Realisasi Biodiesel dan Penghematan Solar Impor (Kementerian Perekonomian RI, data diolah)

2.00 4.00 6.00 8.00

2014 2015 2016 2017 1.85 2.38

5.28 7.78

Juta Ton

Realisasi Biodiesel (Akumulasi)

2.00 4.00 6.00 8.00

2014 2015 2016 2017 1.85 2.38

5.28 7.78

juta ton

Penghematan Solar Impor

Evaluasi Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel 2017 2071

Penghematan Devisa Dan Emisi

Kebijakan mandatori biodiesel yang menggantikan sebagian solar impor tentunya otomatis mengurangi impor solar Indonesia sehingga juga mengurangi pengeluran devisa negara untuk impor solar. Besarnya pengurangan volume dan devisa tersebut tergantung pada harga solar dunia dan blending rate biodiesel.

Dalam kurun waktu 2014-2017, Indonesia berhasil menghemat impor solar fosil secara akumulatif sebesar 7.78 juta ton dan penghematan devisa untuk impor BBM sekitar USD 2.89 Miliar atau Rp. 38.8 Triliun (Gambar 10.2). Penghematan devisa sebesar ini sangat signifikan dalam menyehatkan neraca perdagangan (trade balance) khususnya neraca perdagangan Migas yang selama ini selalu defisit akibat impor BBM.

Penggantian solar fosil dengan biodiesel juga berkontribusi pada target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Kontributor terbesar dari emisi gas rumah kaca Indonesia adalah dari konsumsi BBM fosil termasuk solar. Penggantian solar dengan biodiesel akan mengurangi emisi dari solar fosil. Besarnya penurunan emisi tersebut, menurut Kementerian Pertanian dapat mencapai 56.7-59.8 persen, sedangkan menurut European Commission Joint Research Centre dapat mencapai 62 persen jika digunakan methane capture.

Selama tahun 2014-2017 pengurangan emisi Indonesia akibat penggunaan biodiesel (mengganti solar fosil) mencapai 11.7 juta ton CO2. Pengurangan emisi tersebut jika dihitung shadow price-nya yakni USD 20/ton, maka nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari mandatori

biodiesel tersebut mencapai USD 234 Juta atau Rp. 3.15 Triliun.

Gambar 10.2 Dampak Kebijakan Mandatori Biodiesel : Penghematan Devisa dan Emisi CO2

(Kementerian Perekonomian RI, data diolah)

Dengan kata lain nilai manfaat penghematan devisa dan emisi yang dinikmati Indonesia dari kebijakan mandatori biodiesel selama 2014-2017 secara akumulatif mencapai USD 3.1 Miliar atau Rp 42 Triliun. Nilai manfaat tersebut, belum memperhitungkan manfaat yang tercipta di sektor perkebunan. Produksi minyak sawit (bahan baku biodiesel) melibatkan 13 juta hektar kebun sawit yang didalamnya terdapat sekitar 4.6 juta kebun sawit rakyat

10.00 20.00 30.00 40.00

2014 2015 2016 2017 9.22 11.91

26.39 38.88

Rp Triliun

Penghematan Devisa

2.00 4.00

2014 2015 2016 2017 0.75 0.97

2.14 3.15

Rp Triliun

Penghematan Emisi CO2

Evaluasi Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel 2017 2073

dan ekonomi 200 kabupaten produsen sawit di Indonesia.

Oleh karena itu, meningkatkan penyerapan minyak sawit didalam negeri melalui mandatori biodiesel, berarti juga menjamin pasar produksi sawit para petani tersebut dan menggerakkan ekonomi setidaknya 200 kabupaten.

Peningkatan produksi biodiesel domestik pada putaran awal dinikmati oleh pelaku langsung perkebunan kelapa sawit pada 200 kabupaten (direct effect). Namun melalui penyesuaian industri manfaat juga di nikmati pelaku ekonomi yang memasok barang dan jasa bagi pekebunan kelapa sawit (indirect effect). Dan pada akhirnya peningkatan pendapatan pelaku langsung dan pemasok barang/jasa perkebunan sawit tetsebut melalui perubahan konsumsi (consumption inducing effect) manfaatnya juga dinikmati masyarakat yang berada sektor-sektor ekonomi lainnya secara keseluruhan. Dan tentunya peningkatan produksi dan pendapatan tersebut juga akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak baik berupa PPN, PPh perorangan maupun PPh badan.

Berbagai studi juga mengkonfirmasi hal yang sama.

Pengembangan industri biodiesel berbasis minyak sawit (FAME) didalam negeri meningkatkan produksi CPO yang kemudian berdampak pada peningkatan ekspor minyak sawit, pertumbuhan ekonomi daerah, peningkatan pendapatan petani pedesaan dan pengurangan kemiskinan pedesaan (Susila, 2004; Joni, et.al. 2012; PASPI, 2014).

Bahkan peningkatan produksi CPO yang dihela oleh peningkatan permintaan akhir CPO seperti industri biodiesel menarik pertumbuhan setidaknya 10 sektor ekonomi utama nasional sehingga menciptakan kesempatan kerja, pendapatan dan nilai tambah yang lebih luas dalam perekonomian (Amzul, 2011; PASPI, 2014).

Manfaat yang juga tak bisa dilupakan adalah bagi industri sawit kita secara keseluruhan. Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, dimana sekitar 70 persen dari produksi minyak sawit kita di ekspor keberbagai negara. Artinya industri sawit kita terlalu tergantung pada pasar CPO dunia. Untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor, perlu pengembangan pasar domestik yang dapat memperbesar penggunaan minyak sawit yang di dalam negeri.

Penggunaan minyak sawit menjadi biodiesel sawit dan digunakan sebagai pengganti sebagian solar fosil impor, akan mengurangi ketergantungan pada pasar CPO dunia.

Dengan demikian, pengembangan biodiesel yang disertai dengan mandatori biodiesel akan berkontribusi pada kemandirian ekonomi nasional berkelanjutan baik melalui jalur pertumbuhan ekonomi, jalur pengurangan kemiskinan, jalur kemandirian energi, jalur subsitusi impor solar, dan jalur pengurangan emisi gas rumah kaca.

Tidak ada keraguan akan manfaat ekonomi dari mandatori biodiesel tersebut baik secara teoritis maupun empiris.

Perluasan Mandatori Biodiesel

Dengan kondisi sektor energi Indonesia ke depan, memang kebijakan mandatori biodiesel menjadi suatu keharusan yang perlu disadari bersama. Menurut data Pertamina, volume konsumsi solar di Indonesia masih terus meningkat yakni dari sekitar 34 juta kl tahun 2015 menjadi 42 juta kl tahun 2020 dan 54 juta kl tahun 2025 (proyeksi konsumsi solar ini lebih rendah dari proyeksi USDA, 2013). Sementara kemampuan produksi solar dari kilang domestik hanya diperkirakan sekitar 19 juta kl,

Evaluasi Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel 2017 2075

sehingga terjadi defisit (impor solar) yang makin membengkak yakni sekitar 23 juta kl tahun 2020 dan 35 juta kl tahun 2025 (Tabel 10.1).

Tabel 10.1 Proyeksi Konsumsi Solar (PSO dan Non PSO) dan Kebutuhan Biodiesel di Indonesia 2017-2025

Sumber : Pertamina, Kementerian ESDM

Jika pemerintah sungguh-sungguh

mengimplementasikan kebijakan mandatori biodiesel yang telah ditetapkan (Permen ESDM 12/2015) yakni B-20 (2016-2019) dan B-30 (2020-2030) akan terjadi penghematan impor solar sebesar 7-12 juta kl tahun 2020 dan 13-16 juta kl tahun 2025. Oleh karena itu kebijakan mandatori biodiesel harus dilihat sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi nasional dan bukan sekadar bisnis biasa. Kebijakan mandatori biodiesel juga perlu lebih tegas ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan nasional

pengurangan emisi karbon yang sudah dijanjikan pemerintah pada berbagai forum multinasional. Mengikuti proyeksi konsumsi solar, emisi karbon dari konsumsi solar diproyeksikan naik dari sekitar 130 juta ton CO2 tahun 2015 menjadi 170 juta ton CO2 tahun 2020 dan mencapai 210 juta ton CO2 tahun 2025. Sebagaimana studi European Commission (2012) penggantian solar dengan biodiesel dapat mengurangi 62 persen emisi mesin diesel. Sehingga jika mandatori biodiesel B-30 diimplementasikan maka akan terjadi penghematan emisi CO2 dari konsumsi solar sebesar 18.2 persen tahun 2020 dan sekitar 19 persen tahun 2025.

Kebijakan mandatori juga perlu ditempatkan sebagai bagian dari inklusi sektor energi yang cenderung eksklusif selama ini. Dengan implementasi mandatori biodiesel akan tercipta perluasan pasar CPO di dalam negeri sebesar 12.6 juta ton tahun 2020 dan 16 juta ton tahun 2025. Tambahan permintaan akhir CPO ini akan menciptakan multiplier efek dalam perekonomian berupa peningkatan pendapatan, pengurangan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja baru baik di sentra-sentra kebun sawit (direct effect), baik di luar sentra sawit (indirect effect and consumption effect).

Mandatori biodiesel (social point of view) berbeda dengan sukarela (volountery) yang didasarkan pada untung rugi dari segi bisnis (private point of view). Dari sudut kepentingan bisnis pertimbangan untung rugi secara finansial menjadi pertimbangan pencampuran biodiesel dengan solar, sehingga hanya didasarkan pada prinsip-prinsip mekanisme pasar biasa. Masalahnya perundang-undangan telah menetapkan bahwa pencampuran biodiesel ke konsumsi solar adalah mandatori (wajib). Jika

Evaluasi Implementasi Kebijakan Mandatori Biodiesel 2017 2077

pemerintah memandang tidak bisa melaksanakan mandatori, dirubah saja menjadi sukarela. Sepanjang belum dirubah, sebaiknya pemerintah konsisten untuk melaksanakannya. Tentu saja kebijakan tersebut ada biayanya dan manfaat baru yang tercipta.

Hal-hal inilah yang disebut sebagai memandatori kebijakan mandatori biodiesel. Kebijakan tersebut menciptakan manfaat baru yang dinikmati semua pihak (embodied green benefit), sehingga wajar (apalagi diperintahkan peraturan perundangan) ikut membayar atas manfaat (benefit) tersebut. Kebijakan mandatori biodiesel akan menciptakan manfaat baru bagi perekonomian berupa manfaat kedaulatan energi, benefit green economy dan benefit inklusi. Manfaat tersebut tentu saja ada biayanya (cost of energy security, cost of green, cost of inclusiveness). Biaya tersebut harus ditanggung bersama baik pemerintah, Pertamina, pelaku usaha maupun konsumen energi (embodied green cost).

Biaya yang ditanggung pemerintah adalah pengurangan pajak untuk menghasilkan biodiesel dan subsidi konsumen target/transportasi publik. Pertamina menanggung biaya berupa pengurangan pendapatan, produsen biodiesel dan produsen sawit menanggung biaya berupa pengurangan keuntungan. Dan konsumen khususnya konsumen kaya (industri) juga menanggung biaya berupa membayar harga bio-solar yang sedikit lebih mahal. Untuk udara yang lebih bersih dan sehat, masyarakat wajar membayarnya dan masyarakat memiliki kesediaan membayar (willingness to pay) atas udara yang lebih bersih. Bagaimana distribusi dan proporsi biaya tersebut dapat dihitung secara berkeadilan.

Kesimpulan

Dalam kurun waktu 2014-2017, realisasi mandatori biodiesel Indonesia secara akumulatif sebesar 7.78 juta ton. Dengan realisasi tersebut, Indonesia berhasil menghemat impor solar fosil secara akumulatif sebesar 7.78 juta ton dan penghematan devisa untuk impor BBM sekitar USD 2.89 Miliar atau Rp. 38.8 Triliun.

Penggantian solar fosil dengan biodiesel juga berkontribusi pada target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Selama tahun 2014-2017 pengurangan emisi Indonesia akibat penggunaan biodiesel (mengganti solar fosil) mencapai 11.7 juta ton CO2. Pengurangan emisi tersebut jika dihitung shadow price-nya yakni USD 20/ton, maka nilai jasa lingkungan yang dihasilkan dari mandatori biodiesel tersebut mencapai USD 234 Juta atau Rp. 3.15 Triliun.

Potensi perluasan mandatori biodiesel dari PSO ke Non PSO cukup prospektif dan perlu ditempatkan sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi nasional sekaligus bagian daripada proses industrialisasi ekonomi Indonesia. Perluasan pada Non PSO tersebut mampu menghemat impor solar sebesar 7-12 juta kl (B-20) dan 13-16 juta kl (B-30). Penghematan impor solar tersebut (16 juta kl) setara dengan penghematan devisa impor sekitar USD 6 Miliar dan penghematan emisi CO2 sebesar 24 juta ton CO2 per tahun.

PASPI Monitor, Volume 1 No. 24/2015

INDUSTRI SAWIT 2018 :

PASAR MAKIN PROSPEKTIF NAMUN MAKIN