• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA Volume V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA Volume V"

Copied!
352
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS MINYAK SAWIT INDONESIA

Volume V

Oleh Tim Riset PASPI

Penyunting : Dr. Tungkot Sipayung

PALM OIL AGRIBUSINESS STRATEGIC

POLICY INSTITUTE

(2)

Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia Volume V

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Cetakan Pertama, 2017

© PASPI

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN: 978-602-51271-7-5

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Alamat : Jalan Kumbang No. 31, Bogor Tengah - 16128 Phone : +62 251 8575 285

E-mail : [email protected] Website : www.paspimonitor.or.id

Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia Volume V/Penyunting, Tungkot Sipayug. Bogor: PASPI, 2017

xvi, 334 hlm. 21 cm

1. Ekonomi Pembangunan 2. Agribisnis I. PASPI

(3)

Kata Pengantar Volume V

Setelah Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit terbesar dunia tahun 2006, berbagai kebijakan dan isu strategis terkait industri minyak sawit dunia banyak didiskusikan dan tak jarang pro-kontra.

Kebijakan dan isu tersebut sebagian menjadi isu di Indonesia dan sebagian terjadi pada negara-negara importir minyak sawit yang mempengaruhi dinamika industri sawit Indonesia.

Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, dinamika kebijakan/isu yang terjadi baik di negara importir sawit maupun di Indonesia akan mempengaruhi dinamika pasar minyak sawit dunia, bahkan juga mempengaruhi dinamika pasar minyak nabati dunia. Oleh karena itu, monitoring dan analisis berbagai isu dan kebijakan menjadi bagian penting dari posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar tersebut.

Palm Oil Agribusiness Strategis Policy Institute (PASPI) sebagai lembaga yang memberi perhatian terhadap kebijakan dan isu strategis industri sawit Indonesia, telah melakukan analisis kebijakan dan isu strategis yang dimuat dalam website www.paspimonitor.or.id sejak tahun 2015.

(4)

Atas saran dari stakeholder industri sawit nasional, topik-topik yang disajikan dalam website tersebut diterbitkan dalam bentuk buku. Buku ini merupakan suatu synopsis dengan judul “Analisis Kebijakan dan Isu Strategis Minyak Sawit Indonesia”, Volume V, yang merupakan kelanjutan dari Volume I, II, III dan Volume IV.

Buku ini diharapkan menjadi salah satu referensi atau bahan bacaan bagi Mahasiswa, Peneliti dan Pengambil Keputusan (Pemerintah) di bidang industri minyak sawit.

Tentu saja berbagai kritik perbaikan sangat diharapkan dari pembaca untuk perbaikan Buku ini.

Bogor, Juli 2017

Dr. Tungkot Sipayung Direktur Eksekutif PASPI

(5)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... xi

Urgensi Pembentukan Badan Sawit Nasional ... 1245

Industri Minyak Sawit Indonesia: “More Sustainable” 1259 Penguatan ISPO untuk Mendukung “Sawit Indonesia More Sustainable” ... 1273

Kebijakan Nasional dalam Industri Sawit Menuju Ekonomi Indonesia pada Urutan 10 Besar Dunia ... 1285

Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Hilir Minyak Sawit Indonesia ... 1305

(6)

Kemajuan Hilirisasi Minyak Sawit Indonesia ... 1321

Perkembangan Mandatori Biodiesel dan Prospek Indonesia dalam Pasar Biodiesel Dunia ... 1331 Peningkatan Produktivitas Sumber Pertumbuhan Kebun Sawit yang Berkelanjutan ... 1343

Perkebunan Sawit Inklusif dan Kemitraan Sawit – Masyarakat Sehamparan yang Berkelanjutan ... 1355 Megasektor Sawit dan Kebutuhan Pengelolaan Baru . 1369 Strategi dan Kebijakan Industrialisasi Sawit Menuju 2050 ... 1385

Peran Strategis Perkebunan Sawit Rakyat Indonesia. 1407 Evolusi Kemitraan yang Menghasilkan Revolusi Sawit ... 1419

Prospek Industri Sawit 2018 Semakin Berkilau ? ... 1433

Tingkat Suku Bunga Kredit,

Replanting/Produktivitas dan Penggunaan Dana Sawit ... 1443

Strategi Pengembangan Industri CPO Indonesia dari Defensif ke Ofensif ... 1457

(7)

Kebijakan Harga Biodiesel di Indonesia Berkelanjutankah ? ... 1447 Kinerja Ekspor CPO Indonesia : Apakah Tahun 2018 Semakin Berkilau ? ... 1479 Sustainabilitas Industri Minyak Sawit Indonesia, ISPO: Pareto Improvement dan Degree of Sustainability ... 1491

Pengembangan Koperasi Agribisnis Sawit Rakyat ... 1507 Perkebunan Kelapa Sawit : Hemat Air dan Lestarikan Cadangan Air Tanah ... 1517

Industri Minyak Sawit Bagian Solusi dari Pemanasan Global dan Perubahan Iklim ... 1529 Keunggulan Gizi Minyak Sawit dan Tuduhan Memicu Kanker ? ... 1545 DAFTAR PUSTAKA ... 1557

(8)
(9)

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Industri dan Lembaga Penyedia Jasa Bagi Agribisnis Minyak Sawit ... 1255 Tabel 2.1. SDG’s dalam Perspektif Sustainability,

Dimensi, Ekonomi, Sosial dan Ekologi ... 1263 Tabel 4.1. Perkembangan GDP Berdasarkan

Kawasan (Juta USD, pada Harga Konstan 2005) ... 1290 Tabel 4.2. Peringkat (Ranking) GDP Negara

Ekonomi Terbesar Dunia ... 1294 Tabel 4.3. Perbandingan Beberapa Negara

Proporsi Hutan dan Lahan Pertanian dari Land Area ... 1303 Tabel 5.1. Tarif Pajak Ekspor (kombinasi BK dan

Pungutan Ekspor) Minyak Sawit dan Produk Turunannya Setelah PMK 136/2015 dan PMK 114/2015 ... 1315

(10)

Tabel 5.2. Landasan Kebijakan Mandatori di Indonesia ... 1318 Tabel 7.1. Sasaran Wajib Biodiesel Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam UU No 12/2015 ... 1334 Tabel 7.2. Realisasi Mandatori Biodiesel Tahun

2016 ... 1337 Tabel 7.3. Proyeksi Kebutuhan Solar dan

Kebutuhan Biodiesel Tahun 2025... 1338 Tabel 8.1. Perkembangan Potensi Produksi

Varietas Tanaman Kelapa Sawit Hasil PPKS ... 1346 Tabel 13.1. Penyebaran Proyek Pola PIR (NES,

PIRLOK, PIRSUS) Kelapa Sawit di Indonesia ... 1425 Tabel 14.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia

2018 ... 1436 Tabel 14.2. Tambahan Produksi dan Konsumsi 4

Minyak Nabati Utama Dunia... 1439 Tabel 14.3. Estimasi Produksi Minyak Sawit

Indonesia 2017 dan 2018 ... 1439 Tabel 14.4. Proyeksi Produksi 4 Minyak Nabati

Dunia ... 1440

(11)

Tabel 15.1. Presentase Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Suku Bunga Sebesar 10 Persen ... 1448 Tabel 15.2. Tingkat Suku Bunga Kredit (lending

rate) Indonesia Dibandingkan Negara Tetangga ... 1452 Tabel 17.1. Peraturan Perundang-Undangan

Landasan Kebijakan Mandatori di Indonesia ... 1470 Tabel 17.2. Mandatori Biodiesel (Permen No.

32/2008 dan Keputusan Menteri ESDM No. 25/2013) ... 1473 Tabel 18.1. Komposisi Ekspor Minyak Sawit

Indonesia ... 1482 Tabel 18.2. Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Netto

Ekspor Non Migas Indonesia ... 1484 Tabel 18.3. Ekspor CPO Indonesia ke Negara-

Negara Tujuan Ekspor ... 1486 Tabel 18.4. Annual Trend dan Annual Growth

Ekspor CPO Indonesia ... 1487 Tabel 22.1. Penyerapan Karbondioksida dan

Produksi Oksigen antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Tropis ... 1540

(12)
(13)

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Industri Minyak Sawit Sebagai Mega Agribisnis ... 1249 Gambar 4.1. Perkembangan GDP Dunia Tahun 1980

dan Proyeksi 2050 ... 1292 Gambar 4.2. GDP per Kapita Beberapa Negara

Terpilih 1980 – 2050 ... 1296 Gambar 4.3. Proyeksi Konsumsi Minyak Nabati

Utama Dunia 2050 ... 1297 Gambar 4.4. Laju Pertumbuhan Konsumsi Minyak

Nabati Utama Dunia ... 1298 Gambar 4.5. Proyeksi Produksi Minyak Nabati

Utama Dunia 2050 ... 1299 Gambar 5.1. Tiga Jalur Hilirisasi Minyak Sawit ... 1309 Gambar 6.1. Kapasitas Produksi Industri Hilir

Minyak Sawit ... 1324 Gambar 6.2. Konsumsi CPO Menurut Industri

Pengguna Domestik (Hilir) ... 1325

(14)

Gambar 6.3. Produksi, Konsumsi Domestik dan Ekspor Produk Hilir Minyak Sawit Indonesia Tahun 2016 ... 1326 Gambar 6.4. Produksi, Konsumsi, dan Ekspor

Biodiesel Indonesia ... 1327 Gambar 6.5. Penghematan Solar Impor, Emisi CO2 &

Devisa Berdasarkan Realisasi Mandatori Biodiesel di Indonesia ... 1328 Gambar 6.6. Komposisi Ekspor Minyak Sawit

Indonesia ... 1329 Gambar 7.1. Kapasitas dan Realisasi Biodiesel di

Indonesia 2011-2016 ... 1336 Gambar 8.1. GAP Produktivitas antara Potensi

Varietas dengan Realisasi Kebun Sawit Rakyat, Swasta, dan BUMN ... 1347 Gambar 8.2. Kurva Produktivitas Kebun Sawit

Menurut Umur Tanaman ... 1348 Gambar 8.3. Komposisi Umur Kebun Sawit :

Ideal/Berkelanjutan vs Realisasi Nasional 2016... 1348 Gambar 8.4. Perubahan Produktivitas Kebun Sawit

Setiap Umur Tanaman dengan Strategi Peningkatan Produktivitas Parsial (S1) dan Strategi Replanting (S2) ... 1350 Gambar 9.1. Fase Kemitraan dalam Perkembangan

Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1980-2015 ... 1362

(15)

Gambar 9.2. Perubahan Pangsa Kebun Sawit Rakyat dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional ... 1362 Gambar 9.3. Dari Kemitraan Sawit Menjadi

Kemitraan Ekonomi serta Menjadi Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Baru di Pedesaan ... 1365 Gambar 10.1. Industri Sawit Berkembang Menjadi

Megasektor Sawit ... 1372 Gambar 10.2. Megasektor Sawit Bagian dari Sistem

Ketahanan Pangan, Ketahanan Energi, Ketahanan Biomaterial dan Pelestarian Linkungan ... 1375 Gambar 10.3. Megasektor Sawit Sebagai Kluster Pusat

Pertumbuhan Ekonomi Daerah ... 1377 Gambar 10.4. Tahap - Tahap Industrialisasi

Megasektor Sawit ... 1378 Gambar 11.1. Tahap Industrialisasi Sawit ... 1388 Gambar 11.2. Peningkatan Produktivitas Kebun Sawit

Melalui Perbaikan Kultur Teknis (Capital Driven, S1) dan Replanting (Innovation Driven, S2) ... 1392 Gambar 11.3. Tiga Jalur Hilirisasi Minyak Sawit

Indonesia ... 1393 Gambar 11.4. Strategi dan Kebijakan Hilirisasi Sawit

Kombinasi Tiga Jalur Hilirisasi dengan Kebijakan Substitusi Impor (SI) dan Promosi Ekspor (EO) ... 1395

(16)

Gambar 13.1. Evolusi Sumber Pembiayaan dalam Kebijakan Pola Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit ... 1428 Gambar 13.2. Perubahan Pangsa Kebun Sawit Rakyat

dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional ... 1429 Gambar 13.3. Perubahan Pangsa Indonesia dalam

Produksi Minyak Sawit Dunia... 1430 Gambar 13.4. Perubahan Pangsa Produksi 4 Minyak

Nabati Utama Global ... 1431 Gambar 14.1. Pergerakan Harga CPO cif Rotterdam

dan fob Belawan ... 1441 Gambar 15.1. Peningkatan Produktivitas Akibat

Perbaikan Kultur Teknis (P1) dan Total Faktor Productivity (P2) ... 1446 Gambar 16.1. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia

ke Pakistan ... 1460 Gambar 17.1. Perkembangan HIP Biodiesel, Crude Oil,

CPO dan MOPS Solar 2014-2017 ... 1476 Gambar 18.1. Volume Ekspor CPO dan Olahan

Indonesia Excluding Biodiesel... 1482 Gambar 18.2. Nilai Ekspor Minyak Sawit dan

Turunannya Indonesia ... 1485 Gambar 20.1. Target Perspektif Pengembangan

Koperasi dan Unit Bisnis Petani Sawit Sehamparan ... 1513

(17)

Gambar 20.2. Tahapan Pelaksanaan Pendampingan Pengembangan Koperasi Sawit Rakyat

Sehamparan ... 1514

Gambar 21.1. Sistem Perakaran Sawit Membentuk Biopori Alamiah Terbesar di sekitar Pangkal Pohon Sawit ... 1521

Gambar 21.2. Laju Infiltrasi Air Tertinggi Terjadi di sekitar Pangkal Batang Kelapa Sawit ... 1522

Gambar 21.3. Presentasi Volume Curah Hujan Tahunan yang Digunakan Kelapa Sawit dan Tanaman Hutan ... 1523

Gambar 21.4. Perbandingan Kebutuhan Air Kelapa Sawit dan Tanaman Hutan ... 1524

Gambar 21.5. Rataan Kebutuhan Air ... 1526

Gambar 22.1. Mekanisme Efek Gas Rumah Kaca ... 1532

Gambar 22.2. Sumber Emisi GHG ... 1534

Gambar 22.3. Pangsa Indonesia dalam Emisi Gas Rumah Kaca Global 2010 ... 1535

Gambar 22.4. Penyumbang GHG Global ... 1536

Gambar 22.5. Mekanisme Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim Global ... 1537

Gambar 22.6. Perkebunan Kelapa Sawit Menyerap Karbondioksida dan Atmosfer Bumi dan Penghasil Energi Terbarukan Generasi Pertama dan Generasi Kedua Secara Berkelanjutan ... 1539

(18)

Gambar 22.7. Pengurangan Emisi CO2 dari Berbagai Jenis Bahan Baku Biodiesel dibandingkan dengan Emisi Diesel ... 1541 Gambar 23.1. Negara/Kawasan Konsumen Minyak

Sawit Dunia 2000-2016 ... 1548 Gambar 23.2. Konsumsi 4 Minyak Nabati Utama

Global 1990-2016 ... 1549 Gambar 23.3. Perbandingan Kandungan Vitamin E

(Tocopherols dan Tocotrienols) Minyak Sawit dibanding Minyak Nabati Lainnya 1551 Gambar 23.4. Perbandingan Kandungan Vitamin A

(Secara Retinol) Minyak Sawit dibanding Bahan Lainnya ... 1552

(19)

URGENSI PEMBENTUKAN BADAN SAWIT NASIONAL*

ABSTRAK

Sawit Indonesia telah berkembang revolusioner, bukan hanya dalam luas perkebunan kelapa sawit saja, tetapi juga Indonesia telah berhasil merebut posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Minyak sawit juga berhasil menggeser minyak kedelai sebagai minyak nabati utama dunia. Dengan demikian, Indonesia memegang peran penting bukan hanya pada pasar minyak sawit dunia tetapi dalam pasar minyak nabati dunia. Industri sawit Indonesia yang telah menjadi Mega Agribisnis Sawit Global memerlukan perubahan paradigma, kapasitas dan level pengelolaan kebijakan dari sektoral ke nasional yakni Badan Sawit Nasional. Pembentukan Badan Sawit Nasional tersebut dimaksudkan untuk percepatan pengembangan industri minyak sawit sebagai industri strategis di Indonesia; mengintegrasikan kebijakan lintas kementerian, daerah dan global; mengurangi lembaga dan beban kementerian serta mengurangi biaya transaksi. Badan Sawit Nasional juga merupakan alat (vehicle) Indonesia untuk merebut dan menjadi pemimpin pasar minyak sawit.

Keywords : Mega Agribisnis Sawit Global, integrasi, Badan Sawit Nasional, industri strategis

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume 3 No. 2/2017

(20)

Pendahuluan

Sejak tahun 2006 Indonesia telah berhasil merebut posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia.

Keberhasilan Indonesia membangun perkebunan sawit khususnya sejak tahun 1980, telah berhasil mengungguli Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia.

Pada saat yang bersamaan, minyak sawit juga berhasil menggeser minyak kedelai sebagai minyak nabati utama dunia. Dengan keberhasilan tersebut, Indonesia memegang peran penting bukan hanya pada pasar minyak sawit dunia tetapi juga pemain penting pada pasar minyak nabati dunia.

Sebagai pemain penting dalam pasar minyak nabati dunia, maka perhatian dunia tertuju pada Indonesia.

Kebijakan dan kondisi industri minyak sawit Indonesia menjadi variabel utama dalam analisis pasar minyak nabati dunia. Partisipasi pemain industri minyak nabati dunia dan industri terkait dalam berbagai event internasional di Indonesia seperti Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) yang makin meningkat dan meluas khususnya dalam lima tahun terakhir, terkait dengan peran penting Indonesia tersebut.

Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia seharusnya juga dipahami sebagai pemimpin minyak sawit dunia, pemimpin mata rantai dan tata nilai minyak sawit global. Pemimpin pengetahuan, ilmu dan teknologi minyak sawit, dan pemimpin kebijakan global minyak sawit. Jika Indonesia tidak mampu menempatkan diri sebagai pemimpin industri sawit global,

(21)

akan diambil alih oleh pihak lain. Fenomena IPOP, RSPO, HCS/HCV yang datangnya dari Barat dan sedang dipaksakan ke Indonesia, merupakan gejala kegagalan Indonesia sebagai pemimpin pasar minyak sawit global.

Masyarakat dunia telah melihat pentingnya industri minyak sawit Indonesia. Sayangnya, Indonesia sendiri belum melihat dan menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia telah menjadi pemain penting dalam pasar minyak sawit bahkan minyak nabati dunia. Industri minyak sawit Indonesia yang telah berkembang menjadi suatu Mega Agrbisnis Global, hanya diurus setingkat eselon III/IV Kementerian. Ini ibarat negara Indonesia hanya diurus oleh organisasi setingkat Bupati atau Camat.

Saatnya Pemerintah dan seluruh stake holder bangsa ini sadar akan hal ini. Dalam pasar minyak sawit bahkan nabati dunia, posisi Indonesia sudah lebih besar dari yang kita lihat atau rasakan. Indonesia harus segera merebut itu. Inisiatif DPR-RI yang sedang menyusun RUU Perkelapasawitan, tampaknya telah melihat hal tersebut.

Namun belum banyak yang memahami jalan pikiran DPR- RI tersebut sehingga cenderung mempertanyakan bahkan menolak.

Mega Agibisnis Global

Dalam 15 tahun terakhir ini, kebun sawit Indonesia bukan hanya bertambah luas tetapi juga telah mengalami proses industrialisai baik ke hulu dan ke hilir, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga sudah ke negara lain.

Industrialisasi ke hulu ditandai oleh bekembangnya

(22)

industri hulu kebun sawit yakni industri pembibitan, industri pupuk, industri pestisida dan industri alat mesin perkebunan sawit. Industri hulu tersebut bukan hanya berkembang di Indonesia namun juga industri sejenis di negara-negara lain telah memasarkan produknya ke perkebunan sawit Indonesia.

Sementara itu, industrialisasi ke hilir ditandai dengan berkembangnya industri-industri yang mengolah CPO menjadi berbagai produk turunan baik untuk tujuan pasar domestik maupun untuk tujuan ekspor. Industri yang dimaksud antara lain industri minyak oleofood, industri oleokimia, industri biodiesel dan lain-lain. Selain berkembang di dalam negeri, industri hilir khususnya dari grup-grup besar juga telah merambah ke negara-negara tujuan ekspor seperti ke Uni Eropa, India, Cina untuk mendekatkan dan merebut pasar dinegara lain.

Industrialisasi sawit tersebut juga menarik perkembangan sektor jasa-jasa yang terkait dengan industri hulu, perkebunan dan industri hilir sawit. Jasa transportasi, pembiayaan dan asuransi, jasa riset, jasa training, jasa sertifikasi dan lain-lain.

Secara keseluruhan industrialisasi sawit tersebut telah merubah bisnis dan ekonomi sawit, dari hanya bentuk perkebunan sawit menjadi suatu sistem agribisnis bukan hanya didalam negeri tetapi juga ke dunia internasional sehingga dapat disebut sebagai Mega Agribisnis Sawit Global (Gambar 1.1).

(23)

Gambar 1.1. Industri Minyak Sawit Sebagai Mega Agribisnis

Pertama, subsistem agribisnis hulu minyak sawit (up- stream palm oil agribusiness) yakni seluruh industri- industri yang menghasilkan barang-barang modal untuk perkebunan kelapa sawit yakni: industri perbenihan/pembibitan kelapa sawit, industri pupuk kelapa sawit, industri pestisida, dan industri alat dan mesin perkebunan.

Kedua, subsistem perkebunan kelapa sawit (on-farm palm oil agribusiness) yakni kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit dan pengolahan TBS menjadi minyak sawit (PKS dan PKO) yang menggunakan barang-barang modal untuk menghasilkan minyak sawit (CPO, PKO dan produk

Sub-sistem Agribisnis Hulu Minyak Sawit (up-stream palm oil

agribusiness)

 Industri Pembibitan

 Industri Pupuk

 Industri Pestisida

 Industri Alat dan mesin

Sub-sistem Perkebunan Kelapa Sawit (on-farm palm oil agribusiness)

 Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat

 Perkebunan Kelapa Sawit Swasta

 Perkebunan Kelapa Sawit Negara

Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

Sub-sistem Agribisnis Hilir Minyak Sawit (down-stream

palm oil agribusiness)

 Industri Oleokimia complex

 Industri oleofood complex

 Industri Bio-fuel/Biodiesel

 Industri Surfactan

 Industri Lubricant

 Dll

Sub-sistem Jasa untuk Agribisnis (Services for agribusiness)

 Perbankan dan Asuransi

 Transportasi

 Logistik dan pelabuhan

 Riset dan Pengembangan

 Pendidikan SDM

 Infrastruktur

 Kebijakan Fiskal

 Kebijakan Moneter

 Kebijakan Tata Ruang

 Asosiasi komoditas

(24)

lain) dan jasa lingkungan seperti: penyerapan CO2, produksi oksigen serta konservasi tanah dan air.

Ketiga, subsistem agribisnis hilir minyak sawit (down- stream palm oil agribusiness) yakni industri-industri yang mengolah CPO, PKO dan produk lain menjadi (sampai) produk jadi (finish product) beserta pemasaran nya seperti oleopangan, oleokimia, biodiesel/biofuel, biosurfaktan, biolubrikan/pelumas, dan lain-lain.

Keempat, subsistem penyedia jasa untuk agribisnis minyak sawit (services for palm oil agribusiness) yakni kegiatan industri/lembaga yang menghasilkan/

menyediakan jasa bagi agribisnis minyak sawit. Termasuk dalam hal ini industri perbankan, industri transportasi, industri logistik dan pelabuhan, industri/lembaga penelitian dan pengembangan, industri/lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah seperti kebijakan tata ruang/pertanahan, fiskal, moneter, infrastruktur, dan lain- lain.

Dari segi ekonomi, subsistem agribisnis hulu, subsistem on-farm, subsistem agribisnis hilir dan, penyedia jasa merupakan suatu kesatuan yang integratif sebagai sistem agribisnis minyak sawit. Agribisnis hulu, agribisnis hilir, dan penyedia jasa tidak dapat dipisahkan (intertwined and inseparably bound together) dengan usaha perkebunan kelapa sawit (on-farm). Hal ini disebabkan agribisnis hulu, agribisnis hilir, dan penyedia jasa tumbuh dan berkembang ditarik oleh perkembangan perkebunan kelapa sawit. Tumbuh berkembangnya agribisnis hulu, hilir, dan penyedia jasa tersebut merupakan bagian dari proses industrialisasi agribisnis minyak sawit secara keseluruhan.

(25)

Pada awal perkembangan, usaha perkebunan kelapa sawit (on-farm) menghela/menarik (lokomotif) perkembangan off-farm (agribisnis hulu, hilir, dan penyedia jasa) agribisnis minyak sawit (on-farm leader, off-farm follower). Sedangkan pada proses industrialisasi lebih lanjut off-farm tersebut yang menjadi lokomotif perkembangan on-farm agribisnis minyak sawit (off-farm leader, on-farm follower). Oleh karena itu, on-farm dan off- farm agribisnis minyak sawit merupakan satu kesatuan ekonomi.

Dengan lingkup ekonomi agribisnis minyak sawit yang demikian, berimplikasi pada cara melihat dan mengelola pembangunan agribisnis minyak sawit. Untuk melihat agribisnis minyak sawit dalam perekonomian tidak cukup hanya dilihat perkebunan kelapa sawit (on-farm) saja, melainkan harus dilihat agribisnis minyak sawit secara keseluruhan yakni agribisnis hulu, usaha perkebunan kelapa sawit, agribisnis hilir, dan penyedia jasa. Jika dilihat hanya parsial (salah satu) akan menyesatkan (misleading).

Dalam proses industrialisasi agribisnis minyak sawit, kontribusi nilai tambah (added value) pada off-farm agribisnis minyak sawit akan semakin besar (baik secara mutlak maupun relatif) dibandingkan dengan kontribusi on-farm. Demikian juga dalam kontribusi ekspor, dalam proses industrialisasi agribisnis minyak sawit kontribusi on-farm akan makin kecil karena diolah lebih lanjut oleh agribisnis hilir sehingga kontribusi ekspor agribisnis hilir makin besar. Kontribusi yang makin besar pada off-farm tersebut hanya mungkin karena didukung perkembangan on-farm. Sekali lagi, on-farm dan off-farm agribisnis minyak sawit tidak dapat dilihat terpisah.

(26)

Demikian juga dalam pengelolaan (kebijakan makro ekonomi), on-farm dan off-farm tersebut harus dilihat dalam satu sistem agribisnis minyak sawit, sebagai satu unit analisis dan sasaran kebijakan makro ekonomi.

Kebijakan fiskal, misalnya Kebijakan Perpajakan (PPn) pada agribisnis hulu dan pada on-farm akan menjadi biaya bagi perkebunan kelapa sawit dan agribisnis hilir melalui proses marginalisasi ganda (double marginalization). Hal yang sama juga, kebijakan pajak ekspor CPO dengan maksud mendorong pengembangan agribisnis hilir, akan menimbulkan kerugian dan pengurangan gairah berproduksi para petani pada on-farm. Bahkan kebijakan tersebut potensial mendorong penyelundupan (smuggling) CPO akibat disparitas harga CPO domestik dengan internasional.

Kebijakan ekonomi yang demikian dimana disatu sisi menciptakan pesimistis dan dipihak lain optimistis dalam agribisnis minyak sawit, terjadi akibat melihat agribisnis minyak sawit secara tersekat-sekat (parsial). Oleh sebab itu, dalam perumusan kebijakan perlu dilihat secara integratif yakni on-farm dan off-farm dilihat dalam satu unit analisis yakni agribisnis minyak sawit. Kebijakan integratif yang dimaksud adalah kebijakan nasional agribisnis sawit bukan kebijakan nasional pada/di agribinis sawit. Kebijakan nasional agribisnis sawit yang dimaksud mengintegrasikan kebijakan fiskal, moneter, kelembagaan lintas kementerian/lembaga sebagai respon dan mempengaruhi kebijakan negara importir/eksportir maupun pasar minyak nabati global.

(27)

Perlunya Badan Sawit Nasional

Perkembangan industri sawit Indonesia yang telah menjadi Mega Agribisnis Sawit Global memerlukan perubahan paradigma dan level pengelolaan kebijakan.

Mega Agribisnis Sawit Global memerlukan pengelolaan bukan hanya lintas kementerian, daerah, tetapi juga terkait dengan internasional. Mega Agribisnis Sawit Global yang demikian tidak cukup lagi dikelola oleh Eselon III/IV kementerian seperti selama ini, bahkan tidak cukup lagi dikelola oleh berbagai kementerian. Mega Agribisnis Sawit Global memerlukan organisasi pengelolaan pembangunan level nasional langsung di bawah Presiden yakni (sementara disebut) Badan Sawit Nasional.

Selain tuntutan perkembangan industri sawit nasional, yang telah dikemukakan sebelumnya urgensi pembentukan Badan Sawit Nasional juga didasarkan pada alasan berikut :

Pertama, industri minyak sawit merupakan industri strategis di Indonesia, bukan hanya sektor ekonomi biasa melainkan menyangkut bagian dari sistem kedaulatan/ketahanan pangan, sistem kedaulatan/ketahanan energi baru terbarukan, pelestarian lingkungan hidup (penyerapan karbon dan produksi oksigen) dan pembangunan pedesaan.

Agribisnis sawit nasional berperan : (1) penyumbang devisa (net ekspor) terbesar dalam perekonomian nasional yakni rata-rata USD 20 milyar per tahun, (2) merupakan penghasil energi baru terbarukan (biodiesel, biopremium, biogas, biolistrik). Biodiesel sebagai pengganti solar impor

(28)

(subsitusi impor) yang dapat menghemat devisa impor solar dan menghemat emisi, (3) perkebunan kelapa sawit berada pada 190 kabupaten dimana 45% adalah perkebunan sawit rakyat yang merupakan sektor ekonomi penting baik bagi pembangunan ekonomi pedesaan, peningkatan pendapatan petani maupun pengurangan kemiskinan, (4) industri hilirnya (industri oleofood, oleokimia, biodiesel) dan perdagangan berada di seluruh provinsi yang menyediakan bahan pangan, kebutuhan masyarakat lainnya (sabun, detergen, sampo, pasta gigi, dan lain-lain), (5) industri minyak sawit merupakan salah satu lokomotif ekonomi nasional yang menarik pertumbuhan 10 sektor ekonomi utama dalam perekonomian nasional, dan (6) perkebunan kelapa sawit dengan luas 10 juta hektar dan tersebar pada 190 kabupaten berfungsi "paru-paru" yang menyerap karbondioksida (polusi) dari atmosfir bumi dan menghasilkan oksigen untuk kehidupan.

Kedua, saat ini Mega Agribisnis Sawit Global Indonesia ditangani oleh banyak kementerian/lembaga pemerintah (Tabel 1.1). Mulai dari lembaga pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Masing-masing

industri/lembaga penyedia jasa

menghasilkan/menyediakan jasa yang spesifik bagi agribisnis minyak sawit.

(29)

Tabel 1.1. Industri dan Lembaga Penyedia Jasa Bagi Agribisnis Minyak Sawit

Industri/

Lembaga Jasa yang Dihasilkan/Disediakan

Kementerian Pertanian

Perizinan peredaran benih, pupuk pestisida, alat/mesin perkebunan; jasa karantina, perizinan usaha perkebunan;

public goods (pelestarian varietas kelapa sawit, pemberantasan/ persendalian hama dan penyakit kelapa sawit yang bersifat endemik), R&D, pendidikan petani, bantuan modal petani, dan sertifikasi berkelanjutan.

Kementerian Perindustrian Perizinan industri, kebijakan industri R&D dan pelatihan SDM industri, dan lain-lain

Kementerian Perdagangan Perizinan usaha perdagangan, kebijakan perdagangan domestik dan internasional, Pengembangan bursa CPO, dan lain-lain

Kementerian Keuangan Kebijakan fiskal (subsidi, pajak), kebijakan lembaga keuangan non bank, kebijakan asuransi, dan lain-lain Kementerian Hukum dan HAM

Public goods, (menciptakan kepastian hukum khususnya dalam berusaha agribisnis minyak sawit), dan lain-lain Public goods (kepastian dan penegakan hukum) Kementerian Pertahanan, Polri Public goods (jaminan keamanan berusaha dan penegakan

hukum)

Kementerian Perhubungan Regulasi dan kebijakan transportasi darat, laut, udara Kementerian PU Penyediaan sarana jalan, sarana pelabuhan,

pengairan/irigasi

Kementerian Koperasi & UKM Regulasi kebijakan dan pembinaan koperasi dan UKM Bank Indonesia Kebijakan Moneter (suku bunga, kurs) dan Perbankan Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup Regulasi kehutanan dan kebijakan lingkungan hidup Kementerian Agraria dan Tata

Ruang Regulasi pertanahan dan kebijakan tata guna ruang Kementerian BUMN Regulasi dan kebijakan BUMN perkebunan kelapa sawit,

BUMN jasa transportasi dan pelabuhan, BUMN jasa keuangan bank dan non bank, dan lain-lain Kementerian Ketenagakerjaan

dan Transmigrasi Kebijakan ketenagakerjaan, sertifikasi profesi dan pengembangan wilayah transmigrasi

Kementerian Pendidikan Tinggi

dan Ristek Pendidikan dan pelatihan SDM agribisnis minyak sawit, kebijakan R&D agribisnis minyak sawit

Pemerintah Provinsi (Eksekutif, Legislatif )

Regulasi dan perizinan sesuai kewenangan yang ditetapkan undang-undang dan Peraturan, tata ruang provinsi

Pemerintah Kabupaten/Kota (Eksekutif, Legislatif)

Regulasi dan perizinan didalam kabupaten/kota sesuai kewenangan yang ditetapkan, undang-undang/peraturan, dan tata ruang kabupaten/kota

(30)

Banyaknya lembaga pemeritah yang menangani Mega Agribisnis Sawit Global Indonesia tersebut, justru membuat agribisnis sawit tersekat-sekat dan dalam prakteknya kebijakan yang dikeluarkan masing-masing kementerian tak jarang saling bertentangan karena didasarkan pada tugas dan fungsi masing-masing kementerian. Badan Sawit Nasional dimaksudkan untuk menyatukan kebijakan tersebut mulai dari perencanaan hingga dalam eksekusi kebijakan.

Ketiga, Badan Sawit Nasional merupakan alat (vehicle) Indonesia untuk menjadi pemimpin pasar minyak sawit global. Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia seharusnya Indonesia menjadi acuan/leading dalam tata nilai sawit global, tata kelola sawit global, standarisasi sawit global, informasi pasar dan ilmu dan teknologi terkait sawit global. Degan kata lain, seharusnya “irama gendang” Indonesia lah yang diperdengarkan dan “ditarikan” pelaku pasar produk sawit global. Bukan seperti saat ini yakni justru Indonesia

“menari” dengan “irama gendang” Barat, padahal Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia. Hal yang demikian terjadi karena terjebak dalam perangkap banyak kementerian yang menangani sawit yang dalam kenyataanya tak satupun kementerian yang fokus dan cukup kuat menangani sawit. Oleh karena itu dengan adanya Badan Sawit Nasional diharapkan masalah tersebut tidak terjadi lagi.

Keempat, Badan Sawit Nasional justru akan mengurangi lembaga dan beban kementerian. Lembaga spesifik sawit seperti Komite ISPO (Kementerian Pertanian), Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit

(31)

(Kementerian Keuangan), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian), Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) akan dilebur ke dalam Badan Sawit Nasional tersebut. Demikian juga pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan bibit kelapa sawit (Kementerian Pertanian), industri pengolahan minyak sawit (Kementerian Perindustrian) dan unit-unit lain terkait sawit di kementerian akan berkurang dan dilebur ke dalam Badan Sawit Nasional.

Selain mengurangi lembaga dan beban kementerian tersebut adanya Badan Sawit Nasional juga memberi manfaat bagi publik seperti pelayanan perizinan satu atap dengan cepat, promosi dan pengembangan pasar ke berbagai negara yang fokus, statistik terkait industri sawit yang terintegrasi dan akurat, pelayanan pembinaan kepada sawit rakyat yang cepat dan tuntas, R&D yang terintegrasi, dan lain-lain.

Kebutuhan lembaga level nasional seperti Badan Sawit Nasional sesungguhnya bukan hal yang luar biasa.

Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia sebelum tahun 2006 juga melakukan langkah yang sama dengan mendirikan Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yang mengintegrasikan seluruh lembaga-lembaga pemerintah yang terkait industri sawit. kemajuan Malaysia yang mampu menguasai pasar dunia, menjadi referensi harga CPO dunia dan produk turunannya dan menjadi referensi ilmu dan teknologi terkait industri sawit dunia, merupakan kontribusi dari MPOB.

(32)

Kesimpulan

Sawit Indonesia telah berkembang revolusioner, bukan hanya dalam luas perkebunan kelapa sawit saja, tetapi juga Indonesia telah berhasil merebut posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Minyak sawit juga berhasil menggeser minyak kedelai sebagai minyak nabati utama dunia. Dengan demikian, Indonesia memegang peran penting bukan hanya pada pasar minyak sawit dunia tetapi dalam pasar minyak nabati dunia.

Perkembangan industri sawit Indonesia yang telah menjadi Mega Agribisnis Sawit Global memerlukan perubahan paradigma dan level pengelolaan kebijakan.

Mega Agribisnis Sawit Global Indonesia memerlukan pengelolaan bukan hanya lintas kementerian, akan tetapi memerlukan organisasi pengelolaan pembangunan level nasional langsung di bawah Presiden yakni (sementara disebut) Badan Sawit Nasional.

Selain tuntutan perkembangan industri sawit nasional, urgensi pembentukan Badan Sawit Nasional juga didasarkan pada (1) industri minyak sawit merupakan industri strategis di Indonesia (2) saat ini Mega Agribisnis Sawit Global Indonesia ditangani oleh banyak kementerian/lembaga pemerintah (3) Badan Sawit Nasional merupakan alat (vehicle) Indonesia untuk menjadi pemimpin pasar minyak sawit global dan (4) Badan Sawit Nasional justru akan mengurangi lembaga dan beban kementerian, mengurangi biaya transaksi kelembagaan serta mengintegrasikan kebijakan.

(33)

INDUSTRI MINYAK SAWIT INDONESIA:

“More Sustainable”*

ABSTRAK

Platform pembangunan global telah mengalami perubahan dari Millennium Developmnet Goals/MDGs (2000-2015) menjadi Sustainable Development Goals/SDGs (2015-2030).

Tujuan-tujuan SDGs global tersebut, selanjutnya akan diimplementasikan pada level negara, daerah, sektor, industri bahkan pada level perusahaan. Perkebunan kelapa sawit memiliki multifungsi yakni fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang tidak dimiliki oleh sektor-sektor lain diluar pertanian. Dengan multifungsi tersebut perkebunan kelapa sawit memberi kontribusi baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan bagi pencapaian SDGs tersebut. Secara empiris kontribusi industri minyak sawit dalam ekonomi telah banyak terbukti antara lain yakni mendorong pertumbuhan ekonomi (nasional dan daerah), sumber devisa dan pendapatan negara. Kontribusi industri minyak sawit dalam aspek sosial antara lain adalah peranannya dalam pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan.

Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa peranan ekologis dari perkebunan sawit mencakup pelestarian daur karbon dioksida dan oksigen, restorasi degraded land konservasi tanah dan air, peningkatan biomas dan karbon stok lahan serta mengurangi emisi gas rumah kaca/restorasi lahan gambut. Dengan paradigma yang comperehnsif tersebut, maka industri minyak sawit Indonesia terus tumbuh dalam perspektif berkelanjutan.

Keywords : Sustainable Development Goals, industri minyak sawit, multifungsi

(34)

Pendahuluan

Indonesian Palm Oil : More Sustainable merupakan sebuah komitment yang tengah dikembangkan Indonesia saat ini, baik dalam tujuan jangka panjang pembangunan Industri Sawit Indonesia, juga suatu upaya mensukseskan Diplomasi Sawit ke Uni Eropa dan sekaligus meng-conuter tuduhan negatif dari LSM anti sawit bagi pengembangan industri minyak sawit Indonesia.

Dalam perspektif yang lebih luas, pembangunan industri minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan sejalan dan mendukung keberhasilan Indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), yang cakupannya lebih luas dari Millenium Development Goals yang telah dijalankan pada periode waktu sebelumnya.

Industri kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas strategis Indonesia, baik dalam pembangunan ekonomi, pengembangan wilayah dan peningkatan PDRB serta pengurangan kemiskinan di sentra sentra sawit, dan mampu mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia melalui kegiatan ekspor.

Data Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2016 menunjukkan, luas perkebunan sawit Indonesia pada tahun 1980 baru 0,29 juta hektar, dan tahun 2015 meningkat pesat menjadi 11,3 juta hektar, terutama oleh perkebunan sasta dan perkebunan rakyat. Perkembangan yang pesat ini dapat dikategorikan sebagai fenomena revolusi dalam perkebunan sawit. Sejalan dengan perkembangan luas tersebut, pada periode 1980 sampai, produksi CPO meningkat dari 0,72 juta ton menjadi 31,3

(35)

juta ton. Pangsa perkebunan sawit rakyat meningkat revolusioner dari 2 persen menjadi 41 persen dalam periode yang sama. Pertumbuhan produsi CPO Indonesia tersebut memperbesar pangsa Indonesia dalam produksi minyak sawit dunia yakni dari 15 persen tahun 1980 menjadi 54 persen tahun 2015. Bersama sama dengan negara produsen utama lainnya (Malaysia), komoditas sawit telah berhasil mengungguli dominasi minyak kedelai di pasar duina, dimana lebih dari seabad minyak kedelai memiliki pangsa terbesar dalam minyak nabati dunia.

Posisi minyak kedelai berhasil digantikan komoditas minyak sawit sejak 2008. (lebih cepat dari prediksi USDA).

Peningkatan produksi minyak sawit Indonesia tersebut, juga berdampak revolusioner dalam pasar (produksi, konsumsi) minyak nabati global. Pangsa produksi dan konsumsi minyak sawit dalam pasar empat minyak nabati utama dunia meningkat dari 26 persen tahun 1980 menjadi 40 persen tahun 2015. Sementara pangsa minyak kedelai menurun dari 53 persen menjadi 33 persen (Oil World, 2016).

Perkembangan industri minyak sawit Indonesia yang demikian cepat menarik perhatian masyarakat dunia khususnya produsen minyak nabati utama dunia.

Peningkatan cepat pangsa minyak sawit dalam pasar minyak nabati dunia telah mempengaruhi dinamika persaingan antar minyak nabati termasuk bentuk kampanye negatif/hitam terhadap minyak sawit. Selain itu, aspek keberlanjutan (sustainability) perkebunan kelapa sawit mendapat sorotan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dipersepsikan tidak

(36)

berkelanjutan (unsustainable). Benarkah perkebunan kelapa sawit Indonesia tidak berkelanjutan ?

Sustainability :

Sosial, Ekonomi Dan Ekologi

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang lebih inklusif dan berkualitas.

Paradigma pembangunan ini telah dijadikan PBB (United Nation, 2014) sebagai platform pembangunan global 2015- 2030 yang dikenal dengan Sustainable Development Goals 2030 (SDGs 2030). Sebagai platform pembangunan global setiap negara, sektor, daerah, industri diharapkan mengadopsi dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan (Cato, 2009; World Bank, 2012) memiliki tiga pilar yakni aspek ekonomi, sosial dan ekologis yang sering disebut 3-P (profit, people, planet).

Pembangunan berkelanjutan tidak hanya cukup atau eksklusif menghasilkan manfaat-manfaat ekonomi tetapi juga memberikan manfaat sosial dan manfaat ekologis secara lintas generasi. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu hal yang relatif dan bersifat spesifik negara, sektor maupun industri (Moon, 2012; Feher dan Beke, 2013).

Terkait dengan dimensi pembangunan berkelanjutan tersebut, perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia mencakup 3 pilar penting, yakni keberkelanjutan dalam dimensi ekonomi, sosial dan ekologis.

(37)

17 Tujuan Besar Sustain Development Goals

Paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan akar dari SDGs. Oleh karena itu, 17 tujuan besar SDGs dapat diklasifikasi menjadi tiga bidang sebagai berikut.

Tabel 2.1. SDG’s dalam Perspektif Sustainability, Dimensi Ekonomi, Sosial dan Ekologi

No Tujuan Bidang

1 Ekonomi (1) Menghapus kemiskinan berbagai bentuk dan seluruh tempat,

(2) Menghapus kelaparan, kekurangan gizi dan membangun ketahanan pangan inklusif, (3) Membangun energi yang berkelanjutan, (4) Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan

berkelanjutan,

(5) Industrialisasi yang berkelanjutan, (6) Pengurangan ketimpangan,

(7) Konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, dan

(8) Kerjasama global pembangunan

berkelanjutan.

2 Sosial (1) Kesehatan,

(2) Pendidikan berkualitas yang inklusif, (3) Kesamaan gender,

(4) Ketersediaan air bersih yang inklusif, (5) Pekembangan kota yang inklusif dan berke-

lanjutan dan

(6) Perdamaian sosial yang inklusif.

3 Ekologi (1) Mengatasi perubahan iklim global, (2) Keberlanjutan laut dan perairan, dan (3) Keberlanjutan hutan dan keragaman hayati

(biodiversity)

(38)

Tujuan-tujuan SDGs tersebut tidak terlepas satu sama lain. Bahkan untuk mencapai SDGs tersebut memerlukan sinergitas antar bidang (ICSU/ISSC, 2015). Penghapusan kemiskinan misalnya memerlukan sinergitas antara ketahanan pangan yang inklusif (SDGs 2), pertumbuhan ekonomi yang inklusif (SDGs 8), pengurangan ketimpangan (SDGs 10) bahkan dengan mitigasi perubahan iklim (SDGs 13).

Dalam kaitan dengan sinergitas ini, Bank Dunia (World Bank, 2012) mengajukan konsep sederhana yakni Growth, Green, Inclusive. Pertumbuhan ekonomi haruslah green tapi juga inklusif (berdampak luas). Sebaliknya pelestarian lingkungan (green) haruslah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bersifat inklusif. Oleh karena itu, pengelolaan pembangunan perlu menjamin ketiga hal diatas.

Mengingat pentingnya peranan pemerintah dalam mewujudkan pemba-ngunan berkelanjutan maka (Feher and Beke, 2013; Moon, 2012) mengusulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan bukan hanya 3-P (Profit, Planet, People) melainkan 4-P (Profit, Planet, People, Policy). variabel kebijakan pemerintah dinilai sangat penting selain menentukan kebijakan pembangunan juga spesifik pada setiap negara. Dalam implementasi SDGs pasti berbeda-beda disetiap negara yang dalam hal ini ditentukan oleh kebijakan pemerintah disetiap negara.

(39)

Kontribusi Industri Minyak Sawit

Kontribusi industri minyak sawit dalam pencapaian SDGs terkait dengan multifungsi perkebunan itu sendiri.

Multifungsi sektor pertanian termasuk perkebunan telah lama berlangsung secara lintas generasi sejak awal peradaban manusia dibumi. Namun isu multifungsi pertanian mulai menjadi pembahasan ditingkat internasional pada saat Rio Earth Summit tahun 1992.

Deklarasi Komite Menteri-Menteri Pertanian Negara- Negara Organization of Economic Coorperation Development (OECD, 2001) mendefinisikan multifungsi pertanian sebagai berikut “Beyond its primary function of producing food and fibler, agricultural activity can also shape the landscape provide environmental benefits such as land conservation, the sustainable management of renewable natural resources and the preservation of biodiversity, and contribute to the socio-economic viability of many rural areas. Agriculture is multifunctional when it has one or several functions in addition to its primary role of producing food and fiber.” Artinya selain fungsi utama yakni fungsi ekonomi (menghasilkan bahan pangan dan serat), pertanian juga memiliki fungsi sosial dan fungsi ekologis.

Dalam pengertian yang lebih luas multifungsi pertanian mencakup empat fungsi yakni green function, blue services/function, yellow services/function dan white function (Aldington, 1998; Dobbs and Petty, 2001; Moyer and Josling, 2002; Harwood, 2003; Jongeneel and Slangen, 2004, Huylenbroeck, et. al, 2007). The green functions consist, amongst others, of landscape management and the upkeep of landscape amenities, wildlife management, the

(40)

creation of wildlife habitat and animal welfare, the maintenance of biodiversity, improvement of nutrient recycling and limitation of carbon sinks. Other public benefist that can be created by agriculture are the blue services and contain water management, improvement of water quality, flood control, water harvesting and creation of (wind) energy. A third kind are called yellow services and rifer to the role of farming for rural cohesion and vitality, ambience and development, exploiting cultural and historical heritages, creating a regional identity and offering hunting, agro- tourism and agro-entertainment. Finally, many authors acknowledge the white function produced by agriculture, such as food security and safety. Keempat fungsi pertanian/perkebunan tersebut secara internasional sering disebut 3-P yakni profit (white function), people (yellow service), dan planet (green function and blue service).

Multifungsi perkebunan di Indonesia juga diakui dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 pasal 4 (telah dirubah menjadi UU No. 39/2014), bahwa perkebunan mempunyai tiga fungsi yakni : 1) fungsi ekonomi (peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional), 2) fungsi ekologi (peningkatan konservasi tanah dan air, penyerapan karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung dan 3) fungsi sosial budaya (sebagai perekat dan pemersatu bangsa).

Secara empiris kontribusi ekonomi dari industri minyak sawit telah banyak dibuktikan berbagai ahli, antara lain yakni mendorong pembangunan ekonomi, sumber devisa dan pendapatan negara (Tomic dan Mawardi, 1995;

Sato, 1997; Susila, 2004; World Growth, 2011). Dilihat dari

(41)

keterkaitan input-output ke depan dan ke belakang serta berbagai indikator multiplier menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit dan industri hilirnya merupakan salah satu lokomotif perekonomian nasional (Amzul, 2011;

PASPI 2014). Sebagai sumber devisa negara ekspor produk industri minyak sawit Indonesia merupakan sumber devisa (net ekspor) terbesar dalam ekspor non migas (PASPI, 2014, 2015).

Peningkatan produksi minyak sawit di daerah sentra perkebunan kelapa sawit mendorong peningkatan PDRB kabupaten sentra sawit yang signifikan (PASPI, 2015), yang kemudian berdampak pada pengembangan perekonomian daerah yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi yang dihela oleh peningkatan produksi minyak sawit bukan hanya dinikmati oleh mereka yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit tetapi juga dinikmati oleh masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi perkebunan kelapa sawit (Amzul, 2011).

Peningkatan pendapatan petani sawit ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan petani komoditas yang lain (Greig- Gran, 2008; World Growth 2011; Stern review, 2011;

PASPI, 2014;). Bahkan manfaat ekonomi sawit juga dinikmati masyarakat Uni Eropa. Impor CPO yang dilakukan memberi manfaat besar baik terhadap GDP, penerimaan pemerintah maupun kesem-patan kerja Uni Eropa (Europe Economics, 2014).

Kontribusi industri minyak sawit dalam aspek sosial juga telah terbukti secara empiris antara lain peranannya dalam pembangunan pedesaan (memperbaiki kualitas kehidupan) dan pengurangan kemiskinan (Sumarto dan Suryahadi, 2004; Susila, 2004; Gunadi, 2008; World Growth,

(42)

2009, 2011; Amzul, 2011; Joni, 2012; Rofiq, 2013; PASPI, 2014). Sebagai sektor pioneer di daerah pelosok, perkebunan kelapa sawit juga meningkatkan ketersediaan infrastruktur pedesaan dan meningkatkan fcketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan (PASPI, 2014). Secara agregat, peningkatan produksi minyak sawit nasional menurunkan kemiskinan pedesaan (Susila, 2004; Joni, 2012) di daerah sentra perkebunan kelapa sawit seperti di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah sangat signifikan menurunkan kemiskinan (PASPI, 2015). Perkembangan lebih lanjut menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menciptakan daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Pada tahun 2013, Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja, 2014 telah meresmikan 50 kawasan pertumbuhan baru di pedesaan berbasis ekonomi minyak sawit antara lain:

Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain.

Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa peranan ekologis dari perkebunan sawit mencakup pelestarian daur karbon dioksida dan oksigen (proses fotosintesis, yakni menyerap karbon dioksida dari atmosfer bumi dan menghasilkan oksigen ke atmosfer bumi), restorasi degraded land konservasi tanah dan air, peningkatan biomas dan karbon stok lahan, mengurangi emisi gas rumah kaca/restorasi lahan gambut. Setiap hektar perkebunan kelapa sawit menyerap karbon dioksida dari atmosfer bumi sebesar 161 ton/ha dan menghasilkan oksigen 18.7 ton/ha (Henson, 1999; Harahap dkk, 2005;

Fairhurst dan Hardter, 2004). Perkebunan kelapa sawit

(43)

juga meningkatkan biomas (bahan organik) lahan yang makin meningkat dengan makin tua tanaman (Chan, 2002).

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut juga menurunkan emisi gas rumah kaca (Murayama dan Baker, 1996; Melling et, al. 2005, 2007; Sabiham, 2013). Dari segi peranan tata air berbagai indikator hidrologis seperti evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan curah hujan ke permukaan tanah, laju infiltrasi lapisan solum dan kelembaban udara (Hanson, 1999; Harahap dkk, 2005) antara perkebunan kelapa sawit dengan hutan adalah relatif sama.

Jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit tersebut seperti kelestarian siklus oksigen, kelestarian daur hidrologi dan kelestarian siklus karbon dioksida yang merupakan bagian penting dari fungsi ekosistem global. Karbon dioksida yang dikeluarkan (sebagai sampah) oleh masyarakat global dan kegiatannya yang mengkonsumsi BBM fosil seperti industri, transportasi, perumahan dan lain-lain, oleh perkebunan kelapa sawit diserap (melalui fotosintesis) kemudian disimpan dalam bentuk biomas dan dihasilkan oksigen untuk kehidupan manusia diplanet bumi.

Semakin luas dan makin menyebar perkebunan kelapa sawit semakin besar dan semakin menyebar pula penyerapan karbon dioksida, produksi biomas dan produksi oksigen dari perkebunan kelapa sawit.

Dengan demikian, kontribusi industri minyak sawit dalam pencapaian SDGs 2030 Indonesia mencakup baik aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan hidup.

Perkebunan kelapa sawit Indonesia yang saat ini berkembang pada 190 kabupaten di pelosok tanah air

(44)

akan berkontribusi secara signifikan dalam pencapaian SDGs 2030 khususnya kabupaten/provinsi sentra sawit di Indonesia.

Kesimpulan

Platform pembangunan global telah mengalami perubahan dari Millennium Developmnet Goals/MDGs (2000-2015) menjadi Sustainable Development Goals/SDGs (2015-2030). Tujuan-tujuan SDGs global tersebut, selanjutnya akan diimplementasikan pada level negara, daerah, sektor, industri bahkan pada level perusahaan.

Perkebunan kelapa sawit secara built-in memiliki multifungsi yakni fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang tidak dimiliki oleh sektor-sektor lain diluar pertanian.

Dengan multifungsi tersebut perkebunan kelapa sawit memberi kontribusi baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan bagi pencapaian SDGs tersebut.

Secara empiris kontribusi industri minyak sawit dalam ekonomi telah banyak terbukti antara lain yakni mendorong pertumbuhan ekonomi (nasional dan daerah), sumber devisa dan pendapatan negara. Kontribusi industri minyak sawit dalam aspek sosial antara lain adalah peranannya dalam pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan.

(45)

Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa peranan ekologis dari perkebunan sawit mencakup pelestarian daur karbon dioksida dan oksigen, restorasi degraded land konservasi tanah dan air, peningkatan biomas dan karbon stok lahan serta mengurangi emisi gas rumah kaca/restorasi lahan gambut.

Dengan paradigma yang comperehnsif tersebut, maka industri minyak sawit Indonesia terus tumbuh dalam perspektif berkelanjutan.

(46)
(47)

PENGUATAN ISPO UNTUK MENDUKUNG

“SAWIT INDONESIA MORE SUSTAINABLE”*

ABSTRAK

ISPO bukan sekedar menjawab tuntutan pasar global semata, dan menerbitkan sertifikat, tetapi ISPO diperlukan untuk membawa perubahan yang semakin memperkuat kualitas keberlanjutan itu sendiri bagi persawitan Indonesia. ISPO sebagai instrumen yang digunakan Indonesia dalam menilai keberlanjutan (sustainability) kelapa sawit Indonesia perlu semakin dikuatkan. Prinsip keberlanjutan perkebunan kelapa sawit adalah dalam konteks kualitas keberlanjutan (degree of sustainability) dan bukan sustainability vs unsustainability. Bagi Indonesia, sejalan dengan level of development saat ini, maka konversi hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah sebuah proses normal dalam pembangunan. Dalam konteks tuntutan lingkungan yang begitu kuat saat ini, maka penguatan ISPO juga harusnya mampu mengakomodir pemanfaatan lahan gambut budidaya pertanian untuk perkebunan kelapa sawit, serta menempatkan HCV, HCS dan biodiversity pada tempatnya yakni hutan lindung dan hutan konservasi bukan dikawasan budidaya, dan akomodatif pada eksistensi petani sawit.

Keywords : Sustainability, kelapa sawit, kebijakan

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume 3 No. 5/2017

(48)

Pendahuluan

“Sawit Indonesia More Sustainable” adalah term baru yang sedang dikembangkan dalam industri persawitan Indonesia. Slogan ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam implementasi isu keberlanjutan (sustainability). Isu keberlanjutan bukan isu baru dalam kebijakan pertanian di Indonesia. Saat ini, isu tersebut telah menjadi isu global dan juga salah satu isu yang digunakan dan dipersyaratkan oleh Uni Eropa dalam impor CPO, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Maka, dengan term atau slogan itu, maka Indonesia sekaligus menjawab tekanan pasar Uni Eropa terhadap ekspor CPO Indonesia ke negara tersebut.

Sejak tahun 2004, RSPO menetapkan standard global untuk produksi minyak sawit (CPO) berkelanjutan (sustainable). Lembaga RSPO ini adalah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan). Pembentukan RPSO berjalan dengan kritik dari berbagai sektor, terutama LSM lingkungan. Isu utama mencakup dampak perluasan perkebunan kelapa sawit terhadap populasi orang utan, penghancuran hutan tropis untuk perkebunan kelapa sawit baru, dan pembakaran serta pengeringan lahan gambut. Anggota RSPO diizinkan untuk menebang habis hutan yang mampu menyebabkan tumbuhnya alang-alang (Imperata cylindrica) (Murniati, 2002), sehingga hal ini memicu keraguan terhadap kelayakan dari RSPO (Bumitama Agri, 2014). (Meski demikian, Bumitama Agri sendiri adalah anggota RSPO dan telah menerima Sertifikat

(49)

RSPO pada telah menerima Sertifikat RSPO pada Juni-Juli 2014, dan sertifikat ISPO, September 2014). Sejak tahun 2009, pemerintah Indonesia telah mengembangkan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO), dan menerapkan standard dalam menjawab isu keberlanjutan industri kelapa sawi Indonesia.

Tulisan ini mendiskusikan implementasi kebijakan Sustainability kelapa sawit Indonesia, dan mengaddress penguatan ISPO dalam mewujudkan kelapa sawit Indonesia yang “More Sustainable”.

Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun)

Sejak awal era reformasi, Indonesia telah memiliki pola pengembangan perkebunan berkelanjutan (Estate Sustainable Development) termasuk untuk perkebunan kelapa sawit yang dikenal dengan pola Kawasan Industri Masyarakat Perkebuanan (Kimbun). Pola Kimbun juga telah dikukuhkan dalam Undang-Undang Perkebunan maupun peraturan pelaksanaanya.

Struktur suatu Kimbun terdiri atas : (1) suatu hamparan perkebunan kelapa sawit dan PKS yang dikelola perusahaan (swasta dan BUMN) yang bekerja sama dengan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri, (2) lembaga/industri yang menghasilkan/menyediakan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, alsin), pembiayaan, infrastruktur jalan dan pelabuhan, transportasi, penelitian lokal, pelatihan lokal, (3) industri

(50)

hilir minyak sawit, (4) pelayanan dan kebijakan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan (5) sistem pengelolaan kawasan seperti tata air dan pemanfaatan (pengairan/ irigasi) kawasan, sistem pengelolaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran kawasan, sistem pengelolaan pencegahan dan pengendalian organisme penyakit tanaman (OPT). Unsur-unsur dan struktur Kimbun tersebut berkembang secara evolusioner mulai dari Kimbun Pemula ke Kimbun Madya dan akhirnya pada Kimbun Maju.

Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO)

ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk meng-implementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit.

Tujuan ISPO adalah untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Beberapa hal yang diterapkan dalam pembukaan lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu:

(51)

Tersedia SOP/ Instruksi atau prosedur teknis pembukaan lahan baru kelapa sawit.

Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan memperhatikan konservasi lahan.

Sebelum pembukaan lahan dilakukan, pelaku usaha wajib melakukan studi kelayakan dan AMDAL.

Lahan tidak dapat ditanami dengan kemiringan < 30%, lahan gambut dengan kedalaman < 3 meter dan hamparan lebih dari 70%; lahan adat, sumber air, situs sejarah dan sebagainya tetap dijaga kelestariaanya.

Untuk pembukaan lahan gambut hanya dilakukan pada lahan kawasan budidaya dengan ketebalan gambut 3 meter, kematangan saprik (matang) dan hemik (setengah matang) dan di bawah gambut bukan merupakan lapisan pasir kuarsa atau lapisan tanah sulfat asam serta mengatur drainase untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Khusus untuk lahan gambut harus dibangun sistem tata air (water management) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pembuatan sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman penutup tanah dalam rangka konservasi lahan.

Tersedianya rencana kerja tahunan (RKT) pembukaan lahan baru.

Kegiatan pembukaan secara terdokumentasi (dan pernyataan pelaku usaha bahwa pembukaan lahan dilakukan tanpa bahan bakar).

ISPO bersifat wajib, dimana pemerintah mewajibkan seluruh pemilik perkebunan untuk bersertifikat, sedangkan RSPO bersifat sukarela.

(52)

ISPO Dan RSPO

ISPO dan RSPO tidak perlu dibenturkan satu sama lain. ISPO dan RSPO adalah kewenangan perusahaan.

Mulai 2015, otoritas perdagangan Uni Eropa memberlakukan aturan wajib mencantumkan label sertifikat sawit berkelanjutan atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk produk sawit dan turunannya yang masuk ke "benua biru" tersebut.

Menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag) ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa cukup besar. Bahkan Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO Eropa.

Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Dengan demikian, untuk akses Pasar CPO ke Eropa, maka Sertifikat RSPO tetap diperlukan.

Pengusaha sawit yang sudah punya ISPO cuma akan memiliki kemudahan untuk memperoleh sertifikat RSPO.

Diamana, pada prinsipnya terdapat banyak kesamaan antara ISPO dan RSPO.

Kimbun Dan Pentingnya Penguatan ISPO

Pendekatan Kimbun merupakan jawaban atas perubahan lingkungan strategis yang terjadi sekaligus melihat tantangan jangka panjang. Perubahan lingkungan strategis yang dimaksud setidaknya lima aspek yakni (1) Era liberalisasi perdagangan dunia yang secara resmi telah

(53)

dimulai sejak tahun 2000 yang menuntut peningkatan daya saing yang berkelanjutan, (2) Dimulainya era demokrasi/reformasi di Indonesia sejak tahun 2000 yang menuntut tata kelola yang baik (good corporate governance), (3) Dimulainya era otonomi daerah/

desentralisasi sejak tahun 2000 yang menuntut desentralisasi pembangunan perkebunan dan good citizen corporate governance, (4) Tuntutan masyarakat akan pentingnya perhatian pada petani kecil (smallholder) dan daerah tertinggal, dan (5) Tuntutan global yang makin menguat pada pentingnya pelestarian lingkungan sebagai bagian dari pembangunan bekelanjutan.

Didasari perubahan lingkungan strategis yang demikian, maka visi pembangunan perkebunan nasional ditetapkan "Membangun Sistem dan Usaha Agribisnis Perkebunan yang Berdaya Saing, Berkerakyatan, Berkelanjutan dan Terdesentralistis. Implementasi pembangunan perkebunan yang demikian pada level daerah dikembangkan pola Kimbun.

Pendekatan pembangunan perkebunan dengan pola Kimbun tersebut sesungguhnya merupakan pendekatan kawasan, multidimensi dan holistik yang akan menghasilkan perkebunan berkelanjutan.

Pendekatan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ada saat ini seperti ISPO dan RSPO bersifat parsial dan mereduksi makna sesungguhnya dari sustainability itu sendiri.

Konsep keberlanjutan (sustainability). Menurut pengertian aslinya (Brundtland, 1987) keberlanjutan didefinsikan "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

Gambar

Gambar 1.1.   Industri  Minyak  Sawit  Sebagai  Mega  Agribisnis
Tabel 1.1.   Industri  dan  Lembaga  Penyedia  Jasa  Bagi  Agribisnis Minyak Sawit
Tabel 2.1.    SDG’s dalam Perspektif Sustainability, Dimensi  Ekonomi, Sosial dan Ekologi
Tabel 4.1.   Perkembangan  GDP  Berdasarkan  Kawasan  (Juta USD, pada Harga Konstan 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis ini dapat menerangkan keluhan yang sering terjadi pada CTS yaitu berupa rasa nyeri dan bengkak terutama pada malam/pagi hati yang akan menghilang atau berkurang setelah

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat peningkatan penggunaan bahan bakar oleh BRT hingga tahun 2030. Peningkatan penggunaan bahan bakar BRT terjadi sampai tahun

Dan penelitian oleh Damayanti, Susetyo dan Hernawati (2016) Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share Untuk Meningkatkan Keterampilan Menyimak Mata

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Memberikan informasi atau gambaran kepada pemerintah, analis laporan keuangan, manajemen perusahaan, dan investor/kreditor bagaimana pajak, mekanisme bonus, dan

Dari perbandingan diatas unuk tegangan geser material sebelum dipanaskan memiliki teganngan geser yang lebih tinggi 5,09 MPa, untuk modulus elastisitas nilai maksimum

Kebijakan proteksi yang dilakukan Amerika Serikat menyebabkan kondisi perdagangan dunia tidak kondusif. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap industri minyak nabati

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang