ABSTRAK
Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yakni PIR Khusus, PIR Lokal, PIR Transmigrasi, PIR KKPA dan PIR Revitalisasi Perkebunan, telah membuka akses sekaligus menjadikan petani sebagai salah satu aktor penting dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia. Kelembagaan kemitraan juga mengorganisir sinergi investasi korporasi (swasta dan BUMN), rakyat, pemerintah menjadi suatu big-push strategy investment. Kemitraan sawit rakyat-korporasi telah membawa revolusi sawit Indonesia yang antara lain ditandai oleh peningkatan pangsa sawit rakyat, mengantarkan Indonesia menjadi “raja” CPO dunia, dan menggeser dominasi minyak kedelai oleh minyak sawit dalam pasar 4 minyak nabati utama dunia.
Keywords : kemitraan, big-push, sawit rakyat, minyak nabati dunia
*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume 3 No. 43/2017
Pendahuluan
Perkembangan perkebunan kelapa sawit termasuk berkembangnya perkebunan sawit rakyat yang revolusioner, tidak datang dengan sendirinya. Hal tersebut dapat terjadi melalui kebijakan pemerintah yang konsisten dilaksanakan yakni kebijakan pola kemitraan antara perusahaan perkebunan (BUMN dan swasta) sebagai inti dengan perkebunan sawit rakyat sebagai plasma.
Pola kemitraan perkebunan kelapa sawit merupakan suatu kelembagaan yang dibangun pemerintah untuk mensinergikan petani dengan korporasi (BUMN dan swasta) dalam perkebunan kelapa sawit. Tujuannya antara lain untuk mendorong pertumbuhan sekaligus pemerataan kesempatan ekonomi dalam perkebunan kelapa sawit serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Usaha perkebunan kelapa sawit memiliki karakteristik bisnis tertentu, antara lain, yakni (1) produk utama yang diperjual belikan (tradable) adalah berupa minyak sawit mentah (CPO), (2) hasil kebun sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang memerlukan pengolahan segera pada Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk menghasilkan CPO dan PKO, (3) untuk menghasilkan CPO yang efisien memerlukan skala pabrik (economic of size) minimum dan memerlukan investasi yang relatif besar, (4) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku PKS memerlukan volume TBS yang cukup besar dan berkesinambungan sehingga memerlukan investasi kebun sawit dan infrastruktur yang relatif besar, dan (5) proses produksi kebun sawit memerlukan bibit yang bermutu, pupuk dan pemupukan yang tepat serta kultur teknis dan manajamen yang terstandar.
Dengan karakteristik bisnis kebun sawit yang demikian, memang sangat sulit dimasuki oleh petani secara individu.
Untuk mengatasi keterbatasan petani dan sekaligus memfasilitasi petani masuk ke bisnis sawit, pemerintah mengembangkan terobosan kelembagaan kerjasama antara petani dengan korporasi yang kemudian disebut sebagai kelembagaan kemitraan seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR).
Dimulai dari fase perancangan (inisiasi) pola kemitraan, kemudian dikembangkan berbagai variasi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman serta kebijakan pemerintah yang terkait. Secara historis kebijakan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat dibagi atas tiga fase. Fase pertama Inisiasi Pola Kemitraan, fase kedua Implementasi Pola Kemitraan PIR (PIR Khusus dan PIR Lokal) dan fase ketiga perluasan dan pengembangan Pola PIR/kemitraan (PIR Transmigrasi, PIR Kredit Koperasi Primer untuk para Anggotanya/KKPA, PIR Revitalisasi Perkebunan).
Dalam tulisan ini didiskusikan dua hal pokok yakni bagaimana evolusi pola kemitraan pada perkebunan kelapa sawit Indonesia dan bagaimana pola kemitraan yang dikembangkan menghasilkan revolusi sawit Indonesia saat ini.
Evolusi Pola Kemitraan
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1911. Sebelum tahun 1980, pelaku perkebunan sawit hanya dilakukan oleh korporasi swasta dan BUMN (eks nasionalisasi perkebunan kolonial).
Penguasaan modal, teknologi, manajemen dan pasar yang diperlukan bagi bisnis perkebunan sawit umumnya jauh dari jangkauan para petani sehingga menyulitkan para petani secara individu untuk memasuki bisnis perkebunan kelapa sawit.
Konsep dasar pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) diilhami model sel biologis yakni memiliki inti sel dan plasma sel dimana inti sel merupakan cetak biru dan mesin pertumbuhan sel secara keseluruhan. Dalam sistem sel biologis, inti sel secara alamiah memperbesar plasmanya sehingga pada waktunya inti sel akan membelah membentuk sel biologis (inti-plasma sel) baru.
Dalam pola PIR, yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta, sedangkan plasma adalah petani sekitarnya. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain : membangun kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma, membimbing plasma dalam memelihara dan mengelola kebun dan menampung hasil kebun plasma.
Dengan cara tersebut selanjutnya diharapkan terjadi replikasi pola inti-plasma yang lebih luas.
Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan kemitraan, pemerintah pada awal inisiasi kelembagaan PIR terlebih dahulu melakukan program
penyehatan dan penguatan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun 1969-1978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) I pada periode 1977-1981, dilanjutkan dengan PBSN II tahun 1981-1986, dan PBSN III pada tahun 1986-1990 (Pamin, 1998; Badrun, 2010; Sipayung, 2012).
Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah implementasi konsep kemitraan inti-plasma pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus Estate and Small holders (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Hasil uji coba NES tersebut melahirkan apa yang kemudian dikenal PIR.
Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia.
Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar 216.314 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (148.560 ha).
Melalui PIR inilah awal petani memasuki bisnis kebun sawit, dimana sebelum tahun 1980 pelaku bisnis sawit hanya oleh korporasi yakni perusahaan negara dan swasta (Badrun, 2010; Sipayung, 2012).
Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR Khusus dan Lokal tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, sejak
tahun 1986 (melalui Inpres No. 1/1986) pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi yang dikenal dengan pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans).
Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani transmigrasi sebagai plasma (SK Menteri Pertanian No. 469/KPTS/KB.510/ 6/1985).
Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi pada 50 unit PIR Trans kelapa sawit, dan berhasil menumbuh kembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar dimana 398.644 hektar (70%) kebun plasma dan 167.702 hektar (30%) kebun inti. Selain melalui pola kemitraan PIR-Trans, para petani juga sudah mulai mengembangkan kebun sawit secara mandiri.
Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada dengan luas 150.781 hektar. Selain melalui pola kemitraan PIR-KKPA, para petani juga sudah banyak yang tertarik mengembangkan kebun sawit secara mandiri.
Sehingga kebun sawit yang dimiliki oleh petani sawit mandiri lebih luas daripada petani yang ikut pola kemitraan PIR.
Tabel 13.1. Penyebaran Proyek Pola PIR (NES, PIRLOK, PIRSUS) Kelapa Sawit di Indonesia
Sumber : Database PASPI, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian
Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (Permenkeu No:
117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Model kemitraan revitalisasi yang dikembangkan tidak jauh berbeda dengan pola PIR sebelumnya yakni pola Mitra Usaha (inti) dengan Pekebun (plasma) dan pola revitalisasi non mitra (Ditjen Perkebunan, 2014). Dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan. Hal ini juga mendorong investasi swasta dan petani secara mandiri masuk ke bisnis sawit (revitalisasi non mitra).
Program revitalisasi perkebunan adalah upaya percepatan pembangunan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan atau melibatkan perusahaan dibidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil.
Kemitraan Membawa Revolusi Sawit
Kebijakan pola kemitraan di atas, dapat dikategorikan sebagai kebijakan ekonomi yang sukses (success policies).
Kebijakan tersebut bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri) sebagaimana disajikan pada (Gambar 13.1). Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan.