ABSTRAK
ISPO bukan sekedar menjawab tuntutan pasar global semata, dan menerbitkan sertifikat, tetapi ISPO diperlukan untuk membawa perubahan yang semakin memperkuat kualitas keberlanjutan itu sendiri bagi persawitan Indonesia. ISPO sebagai instrumen yang digunakan Indonesia dalam menilai keberlanjutan (sustainability) kelapa sawit Indonesia perlu semakin dikuatkan. Prinsip keberlanjutan perkebunan kelapa sawit adalah dalam konteks kualitas keberlanjutan (degree of sustainability) dan bukan sustainability vs unsustainability. Bagi Indonesia, sejalan dengan level of development saat ini, maka konversi hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah sebuah proses normal dalam pembangunan. Dalam konteks tuntutan lingkungan yang begitu kuat saat ini, maka penguatan ISPO juga harusnya mampu mengakomodir pemanfaatan lahan gambut budidaya pertanian untuk perkebunan kelapa sawit, serta menempatkan HCV, HCS dan biodiversity pada tempatnya yakni hutan lindung dan hutan konservasi bukan dikawasan budidaya, dan akomodatif pada eksistensi petani sawit.
Keywords : Sustainability, kelapa sawit, kebijakan
*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume 3 No. 5/2017
Pendahuluan
“Sawit Indonesia More Sustainable” adalah term baru yang sedang dikembangkan dalam industri persawitan Indonesia. Slogan ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam implementasi isu keberlanjutan (sustainability). Isu keberlanjutan bukan isu baru dalam kebijakan pertanian di Indonesia. Saat ini, isu tersebut telah menjadi isu global dan juga salah satu isu yang digunakan dan dipersyaratkan oleh Uni Eropa dalam impor CPO, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Maka, dengan term atau slogan itu, maka Indonesia sekaligus menjawab tekanan pasar Uni Eropa terhadap ekspor CPO Indonesia ke negara tersebut.
Sejak tahun 2004, RSPO menetapkan standard global untuk produksi minyak sawit (CPO) berkelanjutan (sustainable). Lembaga RSPO ini adalah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan). Pembentukan RPSO berjalan dengan kritik dari berbagai sektor, terutama LSM lingkungan. Isu utama mencakup dampak perluasan perkebunan kelapa sawit terhadap populasi orang utan, penghancuran hutan tropis untuk perkebunan kelapa sawit baru, dan pembakaran serta pengeringan lahan gambut. Anggota RSPO diizinkan untuk menebang habis hutan yang mampu menyebabkan tumbuhnya alang-alang (Imperata cylindrica) (Murniati, 2002), sehingga hal ini memicu keraguan terhadap kelayakan dari RSPO (Bumitama Agri, 2014). (Meski demikian, Bumitama Agri sendiri adalah anggota RSPO dan telah menerima Sertifikat
RSPO pada telah menerima Sertifikat RSPO pada Juni-Juli 2014, dan sertifikat ISPO, September 2014). Sejak tahun 2009, pemerintah Indonesia telah mengembangkan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO), dan menerapkan standard dalam menjawab isu keberlanjutan industri kelapa sawi Indonesia.
Tulisan ini mendiskusikan implementasi kebijakan Sustainability kelapa sawit Indonesia, dan mengaddress penguatan ISPO dalam mewujudkan kelapa sawit Indonesia yang “More Sustainable”.
Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun)
Sejak awal era reformasi, Indonesia telah memiliki pola pengembangan perkebunan berkelanjutan (Estate Sustainable Development) termasuk untuk perkebunan kelapa sawit yang dikenal dengan pola Kawasan Industri Masyarakat Perkebuanan (Kimbun). Pola Kimbun juga telah dikukuhkan dalam Undang-Undang Perkebunan maupun peraturan pelaksanaanya.
Struktur suatu Kimbun terdiri atas : (1) suatu hamparan perkebunan kelapa sawit dan PKS yang dikelola perusahaan (swasta dan BUMN) yang bekerja sama dengan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri, (2) lembaga/industri yang menghasilkan/menyediakan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, alsin), pembiayaan, infrastruktur jalan dan pelabuhan, transportasi, penelitian lokal, pelatihan lokal, (3) industri
hilir minyak sawit, (4) pelayanan dan kebijakan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan (5) sistem pengelolaan kawasan seperti tata air dan pemanfaatan (pengairan/ irigasi) kawasan, sistem pengelolaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran kawasan, sistem pengelolaan pencegahan dan pengendalian organisme penyakit tanaman (OPT). Unsur-unsur dan struktur Kimbun tersebut berkembang secara evolusioner mulai dari Kimbun Pemula ke Kimbun Madya dan akhirnya pada Kimbun Maju.
Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO)
ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk meng-implementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit.
Tujuan ISPO adalah untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Beberapa hal yang diterapkan dalam pembukaan lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu:
Tersedia SOP/ Instruksi atau prosedur teknis pembukaan lahan baru kelapa sawit.
Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan memperhatikan konservasi lahan.
Sebelum pembukaan lahan dilakukan, pelaku usaha wajib melakukan studi kelayakan dan AMDAL.
Lahan tidak dapat ditanami dengan kemiringan < 30%, lahan gambut dengan kedalaman < 3 meter dan hamparan lebih dari 70%; lahan adat, sumber air, situs sejarah dan sebagainya tetap dijaga kelestariaanya.
Untuk pembukaan lahan gambut hanya dilakukan pada lahan kawasan budidaya dengan ketebalan gambut 3 meter, kematangan saprik (matang) dan hemik (setengah matang) dan di bawah gambut bukan merupakan lapisan pasir kuarsa atau lapisan tanah sulfat asam serta mengatur drainase untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Khusus untuk lahan gambut harus dibangun sistem tata air (water management) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pembuatan sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman penutup tanah dalam rangka konservasi lahan.
Tersedianya rencana kerja tahunan (RKT) pembukaan lahan baru.
Kegiatan pembukaan secara terdokumentasi (dan pernyataan pelaku usaha bahwa pembukaan lahan dilakukan tanpa bahan bakar).
ISPO bersifat wajib, dimana pemerintah mewajibkan seluruh pemilik perkebunan untuk bersertifikat, sedangkan RSPO bersifat sukarela.
ISPO Dan RSPO
ISPO dan RSPO tidak perlu dibenturkan satu sama lain. ISPO dan RSPO adalah kewenangan perusahaan.
Mulai 2015, otoritas perdagangan Uni Eropa memberlakukan aturan wajib mencantumkan label sertifikat sawit berkelanjutan atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk produk sawit dan turunannya yang masuk ke "benua biru" tersebut.
Menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag) ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa cukup besar. Bahkan Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO Eropa.
Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Dengan demikian, untuk akses Pasar CPO ke Eropa, maka Sertifikat RSPO tetap diperlukan.
Pengusaha sawit yang sudah punya ISPO cuma akan memiliki kemudahan untuk memperoleh sertifikat RSPO.
Diamana, pada prinsipnya terdapat banyak kesamaan antara ISPO dan RSPO.
Kimbun Dan Pentingnya Penguatan ISPO
Pendekatan Kimbun merupakan jawaban atas perubahan lingkungan strategis yang terjadi sekaligus melihat tantangan jangka panjang. Perubahan lingkungan strategis yang dimaksud setidaknya lima aspek yakni (1) Era liberalisasi perdagangan dunia yang secara resmi telah
dimulai sejak tahun 2000 yang menuntut peningkatan daya saing yang berkelanjutan, (2) Dimulainya era demokrasi/reformasi di Indonesia sejak tahun 2000 yang menuntut tata kelola yang baik (good corporate governance), (3) Dimulainya era otonomi daerah/
desentralisasi sejak tahun 2000 yang menuntut desentralisasi pembangunan perkebunan dan good citizen corporate governance, (4) Tuntutan masyarakat akan pentingnya perhatian pada petani kecil (smallholder) dan daerah tertinggal, dan (5) Tuntutan global yang makin menguat pada pentingnya pelestarian lingkungan sebagai bagian dari pembangunan bekelanjutan.
Didasari perubahan lingkungan strategis yang demikian, maka visi pembangunan perkebunan nasional ditetapkan "Membangun Sistem dan Usaha Agribisnis Perkebunan yang Berdaya Saing, Berkerakyatan, Berkelanjutan dan Terdesentralistis. Implementasi pembangunan perkebunan yang demikian pada level daerah dikembangkan pola Kimbun.
Pendekatan pembangunan perkebunan dengan pola Kimbun tersebut sesungguhnya merupakan pendekatan kawasan, multidimensi dan holistik yang akan menghasilkan perkebunan berkelanjutan.
Pendekatan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ada saat ini seperti ISPO dan RSPO bersifat parsial dan mereduksi makna sesungguhnya dari sustainability itu sendiri.
Konsep keberlanjutan (sustainability). Menurut pengertian aslinya (Brundtland, 1987) keberlanjutan didefinsikan "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan". Jika mengacu pada definisi dasar tersebut, secara emperis telah terbukti bahwa perkebunan kelapa sawit telah terlestari secara lintas generasi. Secara empiris terbukti bahwa pekebunan kelapa sawit adalah sustainable dan telah tumbuh berkembang dengan baik dan telah mendekati 170 tahun dan lintas generasi.
Dalam berbagai laporan KTT PBB terdapat tiga pilar dari keberlanjutan yakni secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam bahasa yang lebih operasional disebut 3-P yakni Profit, People, dan Planet yaitu menguntungkan secara ekonomi, berdampak positif secara sosial dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Menurut Bank Dunia (World Bank, 2012), keberlanjutan itu diartikan yakni green, growth dan inklusif. Green saja tanpa ada pertumbuhan dan tidak berdampak ekonomi pada sekitarnya (inklusif) bukanlah sustainable. Artinya sustainable tidak sama dengan proteksi lingkungan saja, melainkan ketiganya yakni bermanfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut juga memperoleh pengakuan sebagai makna pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam SDGs-2030 yang telah diluncurkan PBB.
Dengan dilandasi filosofi sustainability di atas, dan dengan memperhatikan Konsep Kimbun yang didukung kuat dengan Undang Undang Perkebunan dan masih berlaku saat ini, maka penguatan ISPO dalam konteks sustainability di Indonesia perlu mendapat penguatan.
Beberapa pokok penting dalam ISPO adalah :
ISPO perlu mengadopsi landasan Estate Sustainable Development .
Peran ISPO bagi perkebuan sawit Indonesia bukanlah sekedar menjawab tuntunan pasar global (market reason)
Dalam implementasinya, ISPO tidak hanya mengenai sertifikasi atau tidak bersertifikasi, tetapi dalam jangka panjang memikirkan proses perkebunan kelapa sawit Indonesia yang semakin sustainable.
Proses sustainable itu sendiri harus tercermin dalam adanya proses improvement yang mencerminkan adanya proses “naik kelas” dari kondisi awal, ke kondisi berikutnya yang lebih baik dan terus menerus ke kondisi yang lebih baik lagi.
Kesamaan antara RSPO dan ISPO dalam konteks lingkungan, juga dapat diterima secara positif dalam memperbaiki kualitas lingkungan dalam penelolaan perkebuan kelapa sawit Indonesia. Dan data menunjukkan, perkebuan kelapa sawit Indonesia sangat mendukung konteks lingkungan sejalan dengan multifunction yang terkandung dalam perkebunan itu sendiri, dan tidak benar sebagaimana banyak hal yang dituduhkan kepada industri sawit Indonesia.
ISPO juga membuka pintu untuk melakukan dialog berkelanjutan antara pemerintah Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan pihak lainnya yang terkaitdalam hal emisi gas rumah kaca sebagai salah satu bahasan utama dalam perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Sejalan dengan penguatan ISPO tersebut, maka Indonesia terus berupaya mempromosikan ISPO di Uni Eropa dan melobi penghapusan diskriminasi minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yang diproduksi di dalam Eropa. Uni Eropa menanggapinya dengan mewajibkan eksportir CPO memberikan label
RSPO kepada produk CPO-nya. Pemilik lahan sawit di Indonesia yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia berencana melakukan penghentian ekspor ke Eropa karena kewajiban sertifikasi RPSO ini.
Namun direktur RSPO Indonesia menyatakan bahwa pemegang sertifikat ISPO akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan sertifikat RSPO karena keduanya saling melengkapi dalam bisnis kelapa sawit dunia.
Kesimpulan
ISPO sebagai instrumen yang digunakan Indonesia dalam menilai keberlanjutan (sustainability) kelapa sawit Indonesia perlu semakin dikuatkan. Penguatan yang dimaksud adalah lembaga ISPO bukan sekedar menjawab tuntutan pasar global semata, dan menerbitkan sertifikat, tetapi ISPO diperlukan untuk membawa perubahan yang semakin memperkuat kualitas keberlanjutan itu sendiri bagi persawitan Indonesia.
Terkait dengan itu, maka prinsip keberlanjutan perkebunan kelapa sawit adalah dalam konteks kualitas keberlanjutan (degree of sustainability) dan bukan sustainability vs unsustainability. Bagi Indonesia sendiri, sejalan dengan level of development saat ini, maka konversi hutan produksi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah sebuah proses normal dalam pembangunan.
Dalam konteks tuntutan lingkungan yang begitu kuat saat ini, maka penguatan ISPO juga harusnya mampu mengakomodir pemanfaatan lahan gambut budidaya pertanian untuk perkebunan kelapa sawit, serta menempatkan HCV, HCS dan biodiversity pada tempatnya yakni hutan lindung dan hutan konservasi bukan dikawasan budidaya, dan akomodatif pada eksistensi petani sawit.