• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEBUNAN SAWIT INKLUSIF DAN KEMITRAAN SAWIT-MASYARAKAT SEHAMPARAN YANG

BERKELANJUTAN*

ABSTRAK

Pengembangan kemitraan pada perkebunan sawit sejak tahun 1980 didesain sebagai pintu masuk bagi petani. Perkebunan sawit rakyat baru mulai berkembang setelah adanya kelembagaan kemitraan perkebunan sawit korporasi dengan perkebunan sawit rakyat. Melalui pola kemitraan perkebunan kelapa sawit telah membawa perubahan revolusioner dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat dan pada tahun 2015 seluas 11 juta ha. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar (1980) menjadi 1,1 juta hektar (2000) dan menjadi 4,5 juta hektar (2015) dalam periode yang sama. Keberhasilan pelaksanaan kemitraan tersebut, telah merubah komposisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit nasional secara revolusioner. Kemitraan perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan yang sebelumnya hanya antara perkebunan sawit swasta dan BUMN dengan perkebunan sawit rakyat (plasma dan mandiri) telah menarik perkembangan sektor-sektor lain di pedesaan. Hal ini secara evolusioner mengubah daerah yang sebelumnya terbelakang menjadi pusat pertumbuhan baru di pedesaan. Manfaat ekonomi yang tercipta di sentra perkebunan kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki kebun sawit tetapi juga dinikmati oleh mereka yang menjadikan masyarakat masyarakat kebun sawit sebagai pasar produknya. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang berkembang secara inklusif (inclusive growth).

Keywords : kemitraan, sawit rakyat, pertumbuhan inklusif

*) Dimuat pada PASPI Monitor, Volume 3 No. 28/2017

Pendahuluan

Perkembangan perkebunan sawit nasional yang sampai tahun 2016 mencapai 11,6 juta hektar dan berada pada sekitar 200 kabupaten di Indonesia. Dalam perkebunan sawit seluas dan tersebar tersebut terdapat sekitar 4,5 juta hektar kebun sawit rakyat yang berkembang berdampingan dengan kebun sawit swasta dan kebun sawit BUMN.

Perkembangan kebun sawit korporasi (swasta dan BUMN) yang berdampingan dengan kebun-kebun sawit tidak terjadi begitu saja atau kebetulan. Simbiosis mutualisme kebun sawit korporasi dengan kebun sawit rakyat merupakan by design melalui kebijakan kemitraan yang telah dikembangkan pemerintah sejak akhir tahun 1970-an.

Berbeda dengan kebijakan kemitraan (inti-plasma) pada komoditas lain (unggas, udang, karet, dan lainnya) yang dikembangkan sebagai solusi konflik dualisme usaha rakyat dengan usaha korporasi, pengembangan kemitraan pada perkebunan sawit justru dikembangkan sebagai

"benih" atau blue print pengembangan perkebunan sawit korporasi dengan perkebunan sawit rakyat. Kemitraan perkebunan sawit justru dikembangkan untuk membuka dan memfasilitasi tumbuh kembangnya sawit rakyat.

Perkebunan sawit rakyat justru mulai berkembang setelah adanya kelembagaan kemitraan.

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana "benih"

kemitraan yang ditanam sejak tahun 1980, telah melahirkan revolusi sawit rakyat di Indonesia dan menjadi

kemitraan sawit rakyat dengan sawit korporasi hingga saat ini. Bahkan kemitraan tersebut telah makin meluas menjadi kemitraan ekonomi masyarakat di daerah sentra sawit dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang menjadikan perkebunan sawit menjadi sektor ekonomi yang inklusif di kawasan pedesaan.

Menyamai "Benih" Kemitraan

Perkebunan sawit sebagai usaha komersial sudah dilakukan sejak tahun 1911 pada masa kolonial Belanda.

Dalam kurun waktu 1911-1945 perkebunan sawit seluruhnya diusahakan oleh perusahaan asing. Kemudian setelah Indonesia merdeka, sebagian perkebunan sawit asing dinasionalisasi menjadi milik pemerintah Indonesia yang kemudian melahirkan BUMN sawit yang kini dikenal sebagai PT. Perkebunan Nusantara (PTPN). Sehingga dalam kurun waktu tahun 1911-1980 perkebunan sawit hanya diusahakan oleh perusahaan negara dan perusahaan asing (Wie, 1977, Saragih, 1980).

Pandangan yang berkembang sampai akhir tahun 1970-an baik dikalangan pemerintah maupun sebagian ekonomi Barat, perkebunan sawit tidak mungkin dimasuki para petani karena hambatan (bottleneck) modal, skill dan akses pasar (Sipayung, 2012). Karena itu sampai akhir tahun 1970-an sawit rakyat belum ikut sebagai pelaku perkebunan sawit nasional. Luas kebun sawit nasional tahun 1980 yakni 294 ribu hektar, semuanya dikuasai oleh negara dan swasta asing.

Pola kemitraan yang berkembang pada perkebunan kelapa sawit Indonesia tidak datang sendiri melainkan hasil dari (by design) kebijakan ekonomi yang benar dalam sejarah pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dimulai dari fase inisiasi pola kemitraan kemudian berkembangan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman serta kebijakan pemerintah. Setidaknya ada empat pola perkembangan kemitraan perkebunan kelapa sawit yakni (1) pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yakni PIR Khusus dan PIR Lokal (2) pola kemitraan PIR Transmigrasi (3) pola kemitraan PIR Kredit Koperasi Primer untuk para Anggotanya (PIR KKPA) dan (4) pola kemitraan PIR Revitalisasi Perkebunan.

Fase Inisiasi Pola Kemitraan. Konsep dasar pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) diilhami model sel biologis yakni memiliki inti sel dan plasma sel dimana inti sel merupakan cetak biru dan mesin pertumbuhan sel secara keseluruhan. Dalam sistem sel biologis, inti sel secara alamiah memperbesar plasmanya sehingga pada waktunya inti sel akan membelah membentuk sel biologis (inti-plasma sel) baru. Dalam pola PIR, yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta, sedangkan plasma adalah petani sekitarnya. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain : membangun kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma, membimbing plasma dalam memelihara dan mengelola kebun dan menampung hasil kebun plasma.

Dengan cara tersebut selanjutnya diharapkan terjadi replikasi pola inti-plasma yang lebih luas.

Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan kemitraan, pemerintah pada awal inisiasi kelembagaan PIR terlebih dahulu melakukan program penyehatan dan penguatan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun 1969-1978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) I pada periode 1977-1981, dilanjutkan dengan PBSN II tahun 1981-1986, dan PBSN III pada tahun 1986-1990 (Pamin, 1998; Badrun, 2010; Sipayung, 2012).

Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah implementasi konsep kemitraan inti-plasma pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus Estate and Small holders (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Hasil uji coba NES tersebut melahirkan apa yang kemudian dikenal PIR.

Pola PIR Khusus dan PIR Lokal. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun 1980. Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah awal petani memasuki bisnis kebun sawit, dimana sebelum tahun 1980 pelaku bisnis sawit hanya oleh korporasi yakni perusahaan negara dan swasta (Badrun, 2010).

Pola PIR Transmigrasi. Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR Khusus dan Lokal tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, sejak tahun 1986 pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi yang dikenal dengan pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans).

Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani transmigrasi sebagai plasma.

Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuh kembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar dimana 70% kebun plasma dan 30% kebun inti. Selain melalui pola kemitraan PIR-Trans, para petani juga sudah mulai mengembangkan kebun sawit secara mandiri.

Pola PIR KKPA. Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada. Selain melalui pola kemitraan PIR-KKPA, para petani juga sudah banyak yang tertarik mengembangkan kebun sawit secara mandiri. Sehingga kebun sawit yang dimiliki oleh petani sawit mandiri lebih luas daripada petani yang ikut pola kemitraan PIR.

Kemitraan KKPA memiliki perbedaan dengan pola PIR sebelumnya. Pada pola KKPA pengeloaan kebun plasma sebagian besar menjadi tanggung jawab inti. Sedangkan pada pola kemitraan PIR lebih banyak ditentukan oleh pentani sendiri.

Pola Kemitraan PIR Revitalisasi Perkebunan. Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (Permenkeu No:

117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Model kemitraan revitalisasi yang dikembangkan tidak jauh berbeda dengan pola PIR sebelumnya yakni pola Mitra Usaha (inti) dengan Pekebun (plasma) dan pola revitalisasi non mitra (Ditjen Perkebunan, 2014). Dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan. Hal ini juga mendorong investasi swasta dan petani secara mandiri masuk ke bisnis sawit (revitalisasi non mitra).

Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya, telah membawa perubahan revolusioner dalam agribisnis minyak sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit (Sipayung, 2012; PASPI, 2014;

Sipayung dan Purba, 2015). Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat dan pada tahun 2015 seluas 11 juta ha.

Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar (1980) menjadi 1,1 juta hektar (2000) dan menjadi 4,5 juta hektar (2015) dalam periode yang sama (Gambar 9.1) .

Keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut, telah merubah komposisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit nasional secara revolusioner (Gambar 9.2).

Pada tahun 1980, pangsa sawit rakyat hanya 2 persen.

Namun pada tahun 2015 pangsa sawit rakyat telah mencapai sekitar 41 persen. Diproyeksikan menuju tahun 2020 pangsa sawit rakyat akan mencapai 50 persen melampaui pangsa sawit swasta yang diperkirakan akan menjadi 45 persen.

Gambar 9.1. Fase Kemitraan dalam Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1980-2015 (Sumber: PASPI, 2016)

Gambar 9.2. Perubahan Pangsa Kebun Sawit Rakyat dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional (Sumber : PASPI, 2016)

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014

juta hektar

Menjadi Kemitraan Ekonomi Inklusif

Sejak awalnya di tahun 1980-an, pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia baik sebagai bagian dari pembangunan pertanian maupun pengembangan daerah (transmigrasi), ditujukan untuk membuka dan membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Daerah terbelakang, pinggiran, pelosok, terisolir, hinter land dikembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan merupakan kegiatan ekonomi pioner.

Daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi dan terbelakang yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan negara/BUMN dan atau perusahaan swasta sebagai inti dan masyarakat lokal sebagai plasma dalam suatu kerjasama PIR atau bentuk kemitraan yang lain. Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka perkebunan swasta/BUMN harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road), pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas pendidikan dan kesehatan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan.

Berkembangnya perkebunan baru inti plasma menarik investasi petani lokal untuk ikut menanam kelapa sawit sebagai perkebunan rakyat mandiri. Umumnya jumlah perkebunan rakyat ini bertumbuh cepat dalam suatu wilayah sehingga luas kebun perkebunan rakyat

mandiri secara total lebih luas dari kebun pola PIR.

Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit baik inti, plasma maupun petani mandiri mendorong berkembangnya usaha kecil-menengah-koperasi (UKMK) yang bergerak pada supplier barang/jasa industri perkotaan, maupun pedagang hasil-hasil pertanian/perikanan/peternakan untuk kebutuhan pangan masyarakat perkebunan kelapa sawit (Gambar 9.3). Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, perkantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian).

Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 setidaknya 50 kawasan pedesaan terbelakang/terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis sentra produksi CPO. Antara lain Sungai Bahar (Jambi), Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau), Paranggean (Kalimantan Tengah) dan kawasan lain.

Sebagian besar dari kawasan sentra produksi CPO tersebut telah berkembang menjadi kota kecamatan dan kabupaten baru di kawasan pedesaan.

Gambar 9.3. Dari Kemitraan Sawit Menjadi Kemitraan Ekonomi serta Menjadi Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Baru di Pedesaan (PASPI, 2017)

Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah akibat pembangunan perkebunan sawit yakni sebagai berikut ini : (1) Provinsi Sumatera Utara (Stabat, Belarang, Sei Rampah, Limapuluh, Perdagangan, Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, Kota Pinang, Sosa, Sibuhuan, Panyabungan dan lainnya), (2) Provinsi Riau (Pasir Pengaraian, Bangkinang, Siak Sri Indrapura, Rengat, Tembilahan, Bengkalis, Bagan Siapi-api, Teluk Kuantan, Dumai, Pekanbaru dan lainnya), (3) Provinsi Sumatera Selatan (Kota-kota seperti seperti Sungai Lilin, Tugumulyo, Pematang Panggang, Bayung Lencir, Musi Rawas,

Perkebunan Swasta dan BUMN

Kebun Sawit Rakyat Plasma dan Mandiri

Usaha Jasa Transportasi TBS dan CPO, Usaha Supplier Pupuk/Pestisida, Usaha Supplier Peralatan dan Mesin Kebun, Usaha Tani Pangan/Ternak/Ikan, Toko/Warung Sembako, Restoran/Warung Makan, Supplier

Pakaian/Perabotan, Supplier Alat-Alat Kantor, Rental Kendaraan, dan lain-lain.

Peninjauan dan beberapa kota menuju kawasan barat Sumatera Selatan, antara lain dari Kota Muara Enim ke Kota Lahat), (4) Provinsi Jambi (Sarolangun, Sungai Bahar, Sengeti, Kuala Tungkal dan lainnya), (5) Provinsi Kalimantan Tengah (Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya), (6) Provinsi Kalimantan Timur (Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya), (7) Provinsi Kalimantan Selatan (Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya), (8) Provinsi Sulawesi (Mamuju, Donggala, Bungku, Luwu, Pasangkayu dan lainnya).

Hasil studi PASPI (2016), misalnya nilai transaksi (sales) produk-produk yang dihasilkan di perkotaan dan di pasarkan kepada masyarakat kebun sawit (petani sawit, karyawan perkebunan sawit) mencapai Rp. 336 triliun/tahun. Sementara transaksi (sales) antara produk-produk pertanian pedesaan (yang dihasilkan oleh petani pangan/peternak/nelayan) yang dipasarkan ke masyarakat kebun sawit mencapai Rp. 92 triliun/tahun.

Hal ini terdiri dari sales petani pangan Rp. 54,6 triliun/tahun, sales peternak Rp. 24,1 triliun/tahun, dan sales nelayan Rp. 13,7 triliun/tahun. Dalam bahasa ekonomi kemitraan sawit tersebut menciptakan multiplier effect baik output, nilai tambah, pendapatan maupun kesempatan kerja.

Kemitraan perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan yang sebelumnya hanya antara perkebunan sawit swasta dan BUMN dengan perkebunan sawit rakyat (plasma dan mandiri) telah menarik perkembangan sektor-sektor lain di pedesaan. Hal ini secara evolusioner mengubah daerah yang sebelumnya terbelakang menjadi

pusat pertumbuhan baru di pedesaan. Pernyataan ini juga terkonfirmasi oleh studi World Growth (2011) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan pedesaan.

Dengan demikian perkebunan kelapa sawit yang pada masa kolonial bersifat eksklusif baik secara ekonomi maupun secara sosial, melalui pengembangan kemitraan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang inklusif.

Manfaat ekonomi yang tercipta di sentra perkebunan kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki kebun sawit tetapi juga dinikmati oleh mereka yang menjadikan masyarakat masyarakat kebun sawit sebagai pasar produknya. World Bank (2012) menyebut hal ini sebagai pembangunan/pertumbuhan inklusif (inclusive growth) yang dalam konteks ini perkebunan kelapa sawit yang inklusif.

Kesimpulan

Pengembangan kemitraan pada perkebunan sawit sejak tahun 1980 didesain sebagai pintu masuk bagi petani. Perkebunan sawit rakyat baru mulai berkembang setelah adanya kelembagaan kemitraan perkebunan sawit korporasi dengan perkebunan sawit rakyat. Empat pola kemitraan perkebunan kelapa sawit yakni (1) pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yakni PIR Khusus dan PIR Lokal (2) pola kemitraan PIR Transmigrasi (3) pola kemitraan PIR Kredit Koperasi Primer untuk para

Anggotanya (PIR KKPA) dan (4) pola kemitraan PIR Revitalisasi Perkebunan.

Melalui pola kemitraan perkebunan kelapa sawit telah membawa perubahan revolusioner dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat dan pada tahun 2015 seluas 11 juta ha. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar (1980) menjadi 1,1 juta hektar (2000) dan menjadi 4,5 juta hektar (2015) dalam periode yang sama.

Keberhasilan pelaksanaan kemitraan tersebut, telah merubah komposisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit nasional secara revolusioner.

Kemitraan perkebunan kelapa sawit di daerah pedesaan yang sebelumnya hanya antara perkebunan sawit swasta dan BUMN dengan perkebunan sawit rakyat (plasma dan mandiri) telah menarik perkembangan sektor-sektor lain di pedesaan. Hal ini secara evolusioner mengubah daerah yang sebelumnya terbelakang menjadi pusat pertumbuhan baru di pedesaan. Manfaat ekonomi yang tercipta di sentra perkebunan kelapa sawit tidak hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki kebun sawit tetapi juga dinikmati oleh mereka yang menjadikan masyarakat masyarakat kebun sawit sebagai pasar produknya. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang berkembang secara inklusif (inclusive growth).

MEGASEKTOR SAWIT DAN KEBUTUHAN