• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADILAN DISTRIBUTIF KESETARAAN GENDER: Suatu Tinjauan Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEADILAN DISTRIBUTIF KESETARAAN GENDER: Suatu Tinjauan Psikologi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Nahrudin* Abstract

The principle of distribution is a provision or rule that serve as guidelines for the sharing or distribution of resources and opportunities. In connection with efforts to equity, in general, which is highlighted is a fair distribution. Views or a concept of equitable sharing related to the size distribution of resources that must be accepted by a government work unit is associated with other work units. To get an equal rights for men and women the size of batteries that can be used is if the distribution, pembagaian rights equally to men and prempauan, thereby to reduce inequalities need to apply the principles of distributive justice.

Kata Kunci: Keadilan distributif, kesetaraan gender, psikologi Pengantar

Kesamaan hak bagi semua warga negara telah diatur dalam Undang Dasar Negara Rebupik Indonesia, baik dalam perserikatan, beragama, berbudaya, maupun norma-norma lainnya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memeberikan hak kepada siapapun sebagai warga negara yang hidup di bumi Indonesia ini dalam bentuk kesamaan untuk tercapainya rasa keadilan (sence of juctice), sehingga pemaknaan kata “keadilan” mestinya ada pada setiap orang yang memiliki hak yang dapat dirasan sebagaimana layaknya ia hidup bersosial. Faktanya masih banyak terjadi kekerasan, diskriminasi, akses yang terbatas, ketidakadilan terhadap perempuan dalam relasi sosial. Keadilan bukan pada besar kecilnya sesuatu yang diberikan tetapi kemauan yang tulus untuk memeberikan sesuatu.

Keadilan terhadap siapa saja menjadi syarat mutlak dalam hubungan antar manusia, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Besarnya tuntutan akan keadilan yang akhirakhir ini mengemuka sebenarnya merupakan tuntutan normatif. Tuntutan tersebut muncul pada semua tingkatan kehidupan sosial. Menurut hemat penulis, masalah yang sesungguhnya bukan ada tidaknya keadilan tetapi lebih dikarenakan

(2)

formulasi keadilan. Mengapa? Keadilan dapat dilihat dari berbagai sudut. Pada tingkatan moral, keadilan menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh segenap lapisan masyarakat. Pada tingkat operasional di dalam masyarakat masalahnya menjadi sangat kompleks dan sulit serta sering tidak mudah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada tingkat individu, keadilan juga sulit diformulasikan. Makin sulit menemukan orang yang benar-benar memegang keadilan sebagai nilai kehidupan dan moralitas yang dijunjung tinggi.

Konsep kesetaraan gender juga telah banyak memberikan pemahaman terhadap pendistribusian potensi pada pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan negara, prespekrif yang dipilih adalah adanya kesetaraan hak bagi semua. UUD 1945 pasa 27 ayat (1) menyebutkan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjung hukum dan pemerintahan itu engan tidak ada kecualinya 1. Dalam perkembangannya konsep ini memberikan kekedudukan dan peluang yang sama dalam kerangka hak berbuat dalam masyarakat. Perkembangan konstruk mengenai keadilan menunjukkan bahwa konsep keadilan distributif memberikan peluang besar terutama bila keadilan distributif dilihat pada ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara.

Konsep Keadilan

Keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Keadian diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang diartika adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Ada juga pendapat lain yang mengartikan bahwa keadlian adalah perngakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. 2 Menurut penelitian yang dilakukan Luthans (1996) dalam Wiyono (2004), dalam teori keadilan, para individu membandingkan input dan hasil antara mereka dengan yang lainnya, dan kemudian merespon untuk mengurangi ketidakadilan yang terjadi. Perkembangan pengukuran terakhir mengenai

1UUD 1945 Pasa 27 ayat (1), 111

2VandVand, Manusia dan Keadian, http://vandvand.manusia-dan-keadilan. html. Diakses tanggal 22 Desember 2010

(3)

Suatu Tinjauan Psikologis konstruk teori keadilan menunjukkan bahwa konsep keadilan bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional.3

Perkembangan selanjutnya keadilan dalam prespekrif psikologi mengarah pada pemahaman yang lebih konfrehensif. Salah satu hasilnya adalah terbentuknya model penilaian keadilan yang dikemukakan oleh Tom Tyler 4. Model ini setidaknya mensintesakan empat teori. Pertama adalah resource-based model untuk menjelaskan penilaian keadilan distributif. Kedua adalah self interest model untuk menjelaskan penilaian keadilan prosedural. Ketiga adalah group value model yang juga menjelaskan penilaian keadilan prosedural. Keempat adalah teori deprivasi relatif yang menjelaskan dampak penilaian kedua keadilan tersebut. Model tersebut pernah diterapkan di Indonesia dan dapat disimpulkan bahwa model yang dimaksud cukup komprehensif.5 Hal yang menarik jika keadilan dibicarakan dalam kerangka kesetaraan gender, yakni gender sebagai definisi (kontruksi) sosial yang membedakan peran, kedudukan, perilaku, dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan dalam penilaian sosial.

Keadilan yang berkaitan dengan outcome sering disebut sebagai keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati, pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran.6 Keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan

3 Muhammad Arif Listyantara, (Skripsi). Pengaruh Keadilan Distributif, Keadilan Prosedural, Dan Keadilan Interaksional Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Kasus Pada Pt. Solo Sentral Taksi) Diakses tanggal 22 Desember 2010

4 Faturochman., Saparinah Sadli. Gender dan Model Penilaian Keadilan. Jurnal Psikologi Sosial Vol. 8, No. 2, 2002.

5 Ibid

6Surbakti, R. Demokrasi Ekonomi: Keadilan dan Kerakyatan dalam Siahaan, H.M. & Purnomo, T. (Eds.). Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia. Surabaya Post dan Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya. 1993

(4)

rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat. Disamping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi sehingga terpola dalam bentuk perimbangan kesetaraan gender.

Dengan demikian, ada pembatasan dalam hal peran yang dinilai cocok bagi laki-laki dan perempuan. Artinya, stereotipe laki-laki dan perempuan yang ada harus diterima dan diinternalisasi oleh individu. Apabila ini benar-benar terjadi maka secara kognitif akan terbentuk schema gender. Skema ini akan diperkuat oleh fakta bahwa laki- laki dan perempuan berperilaku, menempati posisi, dan berperan secara berbeda7. Dalam relasi sosial laki-laki dan perempuan juga berbeda. Pembedaan ini terus berlangsung hingga mengarah pada diskriminasi yang merugikan perempuan. Karena kuatnya sistem kemasyarakatan dan budaya yang berlaku menyebabkan laki-laki dan, khususnya, perempuan menerima perbedaan itu. Pada sisi lain, mulai muncul kesadaran di antara kelompok-kelompok yang peduli keadilan bahwa sistem yang ada dinilai tidak adil sehingga perempuan mengalami deprivasi8. Oleh karena itu munculah berbagai upaya untuk mengubah sistem yang memperlakukan laki-laki dan perempuan secara lebih adil. Namun demikian, harus diakui bahwa upaya itu belum sepenuhnya mencapai hasil, karena masalah gender ini masih berpengaruh besar terhadap dinamika psikologis seperti dalam penilaian sosial.

Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa

7Cross, S.E., Markus, H.R. Gender in Thought, Belief, and Action: A Cognitive Approach. In Beall, A.E., Sternberg. R.J. (eds.). The Psychology of Gender. Guilford Press, New York. 1993

8 Crosby, F., Gonzales-Intal, A.M. Relative Deprivation and Equity Theory: Felt Injustice and Undeserved Benefits of Others. In Folger, R. (ed.). The Sense of Injustice: Social Psychological Perspectives. Plenum, New York. (1984).

(5)

Suatu Tinjauan Psikologis yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.9 Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.

Keadilan Distributif

Studi tentang keadilan distributif antara ingroup-outgroup dalam konteks mayoritas-minoritas, dalam bidang studi psikologi, keadilan distributif secara empirik lebih banyak diukur melalui cara-cara subjek mendistribusikan alokasi imbalan. Secara operasiorral cara-cara ini didefinisikan sebagai perilaku distributif. Berbagai studi mengenai hubungan antarkelompok menunjukkan bahwa dalam menerapkan prinsip keadilan senantiasa terdapat kecenderungan individu untuk lebih berpihak kepada ingroup. Rentang varian keberpihakan antara kepentingan ingroup atau kepentingan kedua belah pibak dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan, antisipasi hubungan di masa yang akan datang, input, dimensi individuaisme-kolektivisme.

Keadilan distributif sering digunakan untuk melihat kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Di sini tampak jelas bahwa tanggung jawab negara terhadap rakyat dinilai lebih besar dibandingkan dengan rakyat terhadap negara. Oleh karena itu, negara harus mendistribusikan sumber daya yang dikuasai kepada rakyat secara adil. Pada batas ini prinsip keadilan distributif memang lebih menonjol diterapkan. 10 Dalam psikologi, ada dua hal yang sering dibicarakan dalam membahas prinsip keadilan, yaitu prosedur dan distribusi. Prosedur adalah mekanisme untuk menentukan suatu ketetapan, di antaranya adalah ketetapan untuk distribusi. Di sini yang dimaksud prinsip distribusi adalah ketetapan atau kaidah yang menjadi pedoman untuk membagi atau distribusi sumberdaya dan kesempatan. Berkaitan dengan upaya pemerataan, pada umumnya yang disorot adalah distribusi yang adil. Diasumsikan bahwa terjadinya kesenjangan bersumber pada distribusi sumber daya yang kurang adil. Oleh

9 Fanani Zaenal,Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Yogyakarta 2004

10Faturochman. Buletin Psikologi, Tahun Vii, No.1, 13-27 Keadilan Sosial: Suatu Tinjauan Psikologi. 1999

(6)

karena itu, untuk mengurangi kesenjangan perlu diterapkan prinsip-prinsip keadilan distributif. Permasalahannya, banyak prinsip keadilan distributif yang satu dengan lainnya tidak selalu selaras. Oleh karena itu, untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dimaksud harus didasarkan pada berbagai pertimbangan. Secara singkat pertimbangan yang dimaksudkan setidak-tidaknya meliputi kondisi sosial yang ada pada saat itu (Hagerty, 2000; Schmidt 1991), nilai- nilai yang dianut (Deutsch, 1975; Feather, 1994; Peterson, 1994), dan tujuan yang hendak dicapai (Corning, 2000; Tornblom, 1977). Kondisi sosial yang ada perlu dicermati dengan seksama agar pemilihan prinsip keadilan distributif yang akan diterapkan dapat benar-benar menyelesaikan masalah kesenjangan yang ada. Demikian pula, tujuan yang hendak dicapai perlu diformulasikan secara tepat sehingga lebih mengena pada sasaran.

Kondisi sosial yang ada perlu dicermati dengan seksama agar pemilihan prinsip keadilan distributif yang akan diterapkan dapat benar-benar menyelesaikan masalah kesenjangan yang ada. Demikian pula, tujuan yang hendak dicapai perlu diformulasikan secara tepat sehingga lebih mengena pada sasaran. Walaupun prinsip distribusi yang diterapkan dinilai oleh pembuat rumusan memadai dan adil untuk diterapkan, setiap individu yang peduli dengannya bisa menanggapinya secara berbeda. Karenanya, kondisi objektif ini dapat berbenturan dengan kepentingan individu. Pemberian upah pekerja yang didasarkan pada prinsip kebutuhan, misalnya melalui penentuan upah minimum provinsi (UMP), dianggap tidak sesuai karena produktivitas pekerja tidak dipertimbangkan, padahal para pekerja itu selalu dituntut untuk produktif11. Sementara itu, prinsip proporsional dalam telaah gender untuk memecahkan masalah-masalah perempuan dinilai belum saatnya diterapkan karena kriteria untuk membagi mengakibatkan keuntungan yang lebih besar bagi laki-laki12. Ketika posisi, kesempatan, serta akses dan kontrol terhadap sumber daya antara laki-laki dan perempuan telah sejajar dan bias-bias kriteria tidak ada, maka prinsip proporsional dapat diterapkan.

11 Faturochman. Penilaian dan Evaluasi terhadap Pembagian Upah. Jurnal Psikologi, 22(2), 36-48., Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi, 25(2), 1-15. 1995;1998

12 Martin, S.E. & Jurik, N.C.. Doing Justice Doing Gender. Sage Publications, London. 1996

(7)

Suatu Tinjauan Psikologis Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang. Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara. Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa berawal dari penekanan pada perbedaan aspek biologis antara laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan tersebut menjadi bagian dari cara pandang dan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Karena kuatnya sistem kemasyarakatan dan budaya yang berlaku menyebabkan laki-laki dan, khususnya, perempuan menerima perbedaan itu.

Menurut Aristoteles keadilan distributif berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.13 Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan serta perlakuan yang tidak sama.

Prinsip-prinsip keadilan distributif sangat bervarias 14 . Meskipundemikian, ada tiga prinsip yang paling sering diterapkan. Prinsip pertama dikenal dengan teori equity. Secara garis besar prinsip ini mengandung dua hal pokok. Bagian yang diterima seseorang harus sebanding dengan sumbangan yang diberikan, baik dalam bentuk tenaga,

13Carl Joachim Friedrich dalam Fanani Zaenal, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Yogyakarta 2004

14Reis dalam Faturochman. Keadilan Sosial: Suatu Tinjauan Psikologi Buletin Psikologi, Tahun VII, No.1, , 13-27.1999

(8)

pikiran, uang, maupun yang lain. Di samping itu, kesebandingan bagian yang diterima seseorang juga harus dilihat dengan bagian yang diterima orang lain. Karenanya, bagian yang diterima berdasarkan sumbangan yang diberikan juga harus sebanding dengan bagian orang lain yang juga berdasarkan sumbangan orang yang bersangkutan. Prinsip proposional ini sangat ideal sekaligus tidak mudah untuk diterapkan. Untuk menerapkannya banyak syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya, sumbangan yang diberikan seseorang harus terukur. Perbandingan sumbangan antara satu orang dan orang lain dalam perusahaan juga sering sulit dilakukan. Tukang sapu dan juru ketik, misalnya, akan sulit dibandingkan. Melihat kenyataan ini maka banyak kritik dilontarkan kepadanya dan modifikasi teori pun banyak diupayakan (untuk lebih jelas lihat Greenberg, 1996)15. Prinsip kedua yang dapat digunakan dalam distribusi adalah kesetaraan atau ekualitas. Bila prinsip ini digunakan, akan terdapat variasi penerimaan yang kecil. Dimungkinkan ada variasi bila ada jenis-jenis pekerjaan atau bagian-bagian dalam satu organisasi atau kelompok. Variasi itu terjadi antarkelompok, bukan di dalam masingmasing kelompok. Prinsip ini juga sulit diterapkan. Kritik paling banyak datang berkaitan dengan pengabaian terhadap potensi dan produktivitas kerja. Orang yang lebih pandai, terampil atau produktif mestinya mendapat imbalan lebih tinggi, sementara prinsip ini tidak terlalu mempertimbangkannya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa prinsip ini tepat diterapkan pada pola hubungan bukan kerja, misalnya keluarga. Dalam suasana kerja, prinsip ini dapat diterapkan bila orientasinya adalah keharmonisan hubungan sesama pekerja. Prinsip ketiga mengutamakan kebutuhan sebagai pertimbangan untuk distribusi. Di sini dapat diinterpretasi bahwa sesorang akan mendapat bagian sesuai dengan kebutuhannya dan dalam hubungan kerja makin banyak kebutuhannya maka makin besar upah yang diterima. Sayangnya, kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip ini kurang jelas. Prinsip ini menjadi pertimbangan dalam pemberian upah pekerja/buruh di Indonesia. Kebutuhan ya ng menjadi pertimbangan adalah kebutuhan fisik minimum. Karena prinsip ini memang tidak tegas menentukan kebutuhan yang harus dipenuhi, kritik juga datang kepada ketentuan upah berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM).

15Ibid.

(9)

Suatu Tinjauan Psikologis Kritik lain terhadap konsep di atas mendasarkan pada pentingnya produktivitas yang berkaitan dengan distribusi hasil. Ada bukti-bukti bahwa makin tinggi bagian yang diterima akan makin tinggi pula produktivitasnya. Oleh karena itu, kebutuhan sebagai dasar distribusi dinilai kurang memotivasi orang untuk lebih produktif. Prinsip keadilan distributif adalah bahwa manusia secara kodrati mempunyai rasa setia kawan yang kuat yang tidak begitu saja membiarkan sesamanya hidup menderita. Oleh karena itu usaha apapun untuk menjamin suatu kehidupan yang layak bagi mereka yang secara obyektif tidak beruntung akan sangat diterima sebagai hal yang sah dan adil. Keadilan distributif ialah keadilan yang berhubungan dengan jasa, kemakmuran, atau keberadaan menurut kerja, kemampuan, dan kondisi atau keberadaan seseorang.

Kesetaraan Gender

Ada satu hal yang menarik ketika membicarakan keadilan distributif dan kesetaraan gender, yang harus dicatat dengan cermat, yaitu masalah gender. Gender sebagai definisi (kontruksi) sosial yang membedakan peran, kedudukan, perilaku, dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan dalam penilaian sosial. Banyak teori dan kajian psikologi, misalnya Beall & Sternberg, Jackson dkk.16 yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya pembedaan tersebut. Dari berbagai kajian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa psikodinamika gender berlangsung sejak individu dilahirkan hingga akhir hayatnya. Adapun latar belakang dari dinamika itu bermula dari asumsi adanya perbedaan secara biopsikologis antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini dijadikan dasar untuk memberi atribut yang berbeda antara keduanya. Karenanya, laki-laki mempelajari dan mengadopsi maskulinitas yang memiliki ciri dominan dan self-reliance, sementara perempuan belajar dan menginternalisasi femininitas sehingga menjadi suka mengalah dan hangat.17

Kesetaraan gender dipahami bahwa sebagai sebuah frasa(istilah) suci yang sering diucapkan oleh para aktifis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat negara. Istiah kesetaraan gender dalam tataran praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan, maka istilah kesetaraan gender sering terkait

16 Beall & Sternberg, Jackson dkk dalam Faturochman., Saparinah Sadli. Jurnal Psikologi Sosial. Gender dan Model Penilaian Keadilan. Vol. 8, No. 2, 2002

(10)

dengan diskriminasi terhadap perempuan seperti subordinasi, penindasan, kekerasan, dan semacamnya.18

Persoalan perempuan berkaiatan dengan kesetaraan gender dapat mengundang rasa simpati yang cukup marak dari masyarakat luas, hal ini disebabkan permasalahan kesetaraan gender erat kaitannya dengan masalah keadilan sosial, peniaian sosial, terutama dalam kerangka pendistribusian akses kerja secara adil, demikian pula isu-isu yang berkaiatan dengan kesenjangan antara kaya-miskin, mayoritas-minoritas, hingga ketimpangan ekonomi negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Kesetaraan gender ini pua dapat menimbulkan rasa ambivalensi bahkan intipatik baik dari kelompok aktifis perempuan itu sendiri maupun dari masyarakat luas. Rasa ambivalensi biasanya disebabkan oleh keterbatasan memahami tentang konsep kesetaraan gender. Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hah-haknya sebagai manusia, untuk mampu berperan dan partisipatif dalam kegiatan politik, hukum, indutri ekonmi, sosial buadaya, pendidikan, dan kesamaan menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan gender dimaknai dengan hilangnya rasa diskriminatif, antara laki-laki dan perempaun, dan adanya pemberian akses yang sama serta memperoleh manfaat yang sama secara adil.

Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan konsep yang sangat rumit dan mengundang kotroversi. Hingga saat ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ada yang mengatan bahwa kesetaraan gender itu adalah kesamaan hak dan kewajiban, ada pula yang mengartikan bahwa kesetaraan gender itu dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempauan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri namun harus sesuai dengan kodratnya asing-masing, juga adanya suatu kesaan kondisi bagi laki-laki mapun perempuan dalam memeperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam dunia industri.19

Berkaitan dengan kesetaraan gender, hal ini bertautan dengan hak asasi manusia di mana, setiap orang berhak memiliki hak yang setara

18Ratna Megawang, Membiarkan Berbeda: Sudut pandang baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), 19

19Aminah Sitti, Implementasi Kebijakan Kesetaraan Gender di Lembaga Legislatif Kabupaten Donggala Periode 2004-2009 (skripsi), 2009

(11)

Suatu Tinjauan Psikologis dengan kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan kebebasan yang serupa untuk orang lain. Hal tersebut merupakan sebuah kepedulian akan penjaminan hak asasi pribadi yang setara bagi semua warga. Pemerintah, seyogyanya menggunakan prinsip tersebut sebagai pedoman untuk menentukan sejumlah dasar hak asasi seperti kehidupan, kebebasan, dan pengejaran kebahagiaan, kepada setiap individu tanpa memperhatikan ras, agama, suku, jenis kelamin, kedudukan dan lain sebagainya. Disamping adanya hak asasi, mesti kita ingat juga dengan kewajiban asasi. Kewajiban diciptakan untuk mengimbangi hak. Begitu juga sebaliknya, hak ada untuk mendampingi kewajiban. Antara hak dan kewajiban tidak ada yang didahulukan, tidak ada yang diakhirkan. Jika kita mendahulukan hak dan mengakhirkan kewajiban, maka yang ada hanya kesewenang-wenangan dari yang mempunyai hak, batasannya adalah saat kewajiban datang menuntut untuk dilaksanakan. Sebaliknya, jika kita mendahulukan kewajiban dan mengakhirkan hak, maka yang ada hanya kesewenang-wenangan dari yang menuntut kewajiban, menjelang mendapatkan haknya, yang mempunyai hak akan merasa “tersiksa” dan terpaksa.

Penutup

Masalah keadilan distributif tidak hanya kompleks dalam tatanan operasional di masyarakat tetapi juga dalam tatanan konsep. Secara psikologis permasalahan keadilan makin kompleks karena sangat mungkin keadilan dalam tatanan nilai- nilai masyarakat menjadi berbeda dalam penilaian individu. Beberapa kajian di atas menunjukkan adanya kompleksitas tersebut. Ada dua implikasi penting dari permasalahan yang dipaparkan di atas. Pertama adalah dalam bidang penelitian dan kedua dalam penerapan di masyarakat termasuk untuk formulasi kebijakan yang menyangkut keadilan distributif. Sejauh ini tampaknya belum berkembang penelitian yang secara mendasar mencoba mengkaji masalah keadilan distributif dari sudut pandang psikologi, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu bahasan ini diharapkan dapat merangsang munculnya penelitian tentang keadilan distributif dari sudut pandang psikologi. Pada sisi lain implementasi konsep-konsep keadilan sering tidak didasarkan pada pemikiran yang matang sehingga justru sering menimbulkan konflik sosial. Untuk itu diharapkan pada masa mendatang berbagai kebijakan didasarkan pada pemikiran yang lebih matang.

(12)

Daftar Pustaka

Aminah Sitti, implementasi kebijakan kesetaraan gender di lembaga egislatif kabupaten donggala periode 2004-2009 (skripsi), 2009

Beall & Sternberg, Jackson dkk dalam Faturochman., Saparinah Sadli. Jurnal Psikologi Sosial. Gender Dan Model Penilaian Keadilan. Vol. 8, No. 2, 2002

Crosby, F., Gonzales-Intal, A.M. Relative Deprivation and Equity Theory: Felt Injustice and Undeserved Benefits of Others. In Folger, R. (ed.). The Sense of Injustice: Social Psychological Perspectives. Plenum, New York. (1984).

Cross, S.E., Markus, H.R. Gender in Thought, Belief, and Action: A Cognitive Approach. In Beall, A.E., Sternberg. R.J. (eds.). The Psychology of Gender. Guilford Press, New York. 1993

Fanani Zaenal,Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam. Yogyakarta 2004

Faturochman., Saparinah Sadli. Gender Dan Model Penilaian Keadilan. Jurnal Psikologi Sosial Vol. 8, No. 2, 2002.

Faturochman., Saparinah Sadli. Jurnal Psikologi Sosial. Gender Dan Model Penilaian Keadilan. Vol. 8, No. 2, 2002

Muhammad Arif Listyantara, (Skripsi). Pengaruh Keadilan Distributif, Keadilan Prosedural, Dan Keadilan Interaksional Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Kasus Pada Pt. Solo Sentral Taksi) Download. Rabu, 22 Desember 2010

Ratna Megawang, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999

Surbakti, R.. Demokrasi Ekonomi: Keadilan Dan Kerakyatan. Dalam Siahaan, H.M. & Purnomo, T. (Eds.). Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia. Surabaya Post Dan Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya. 1993

VandVand, Manusia dan Keadian, http://vandvand.manusia-dan-keadilan.html. Download. Rabu, 22 Desember 2010

Referensi

Dokumen terkait

ini, ekstrak air buah pepaya muda tidak menyebabkan perubahan pada jumlah leukosit secara umum yang melebihi nilai rujukan dalam waktu 24 jam. Adapun peningkatan lekosit yang

[r]

Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen antara Pemerintah RI dengan Malaysia dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 1969, dalam perjanjian tersebut menyetujui 25 (dua

a) 4 kes merupakan individu yang disaring melalui pengesanan kes secara aktif kontak kepada kes positif COVID-19. c) 2 kes melibatkan saringan petugas kesihatan di daerah Miri. e) 1

[r]

Tabel 1 menunjukkan hasil spesiasi Selenium pada berbagai jenis sayuran.Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa spesies Selenium organik yang umum terdapat pada sayuran

Penelitian ini merupakan penelitian deskritiptif korelasional dan salah satu tujuannya yaitu untuk mengetahui hubungan koordinasi mata kaki dengan ketepatan menembak

Skema BPJS yang dipermasalahkan MUI adalah BPJS untuk dua program, diantaranya: program jaminan kesehatan mandiri dari BPJS dan jaminan kesehatan Non PBI (Peserta Bantuan