BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Responsif Supervisor
Detert & Burris (2007) menjelaskan bahwa supervisor merupakan pemegang kekuasaan status quo dan memiliki wewenang untuk membuat keputusan tentang masukan suara dari karyawan. Oleh karena itu, karyawan cenderung memperhatikan bagaimana supervisor mereka
menanggapi kepentingan, pendapat, dan saran mereka yang
mengedepankan kelompok kerja. Sejalan dengan teori tersebut maka responsif supervisor di definisikan sebagai sejauh mana karyawan merasa supervisor mereka adil, tepat, tidak memihak, bersedia untuk mengambil tindakan, dan efektif dalam menangani suara mereka (Janssen & Gao, 2013).
Saunders et al. (1992) juga menjelaskan bahwa supervisor yang responsif dan adil memperlakukan suara karyawan dengan bermartabat, hormat, tidak memihak dan tepat, sangat efektif dalam menangani
masukan suara karyawan. Responsif dan perlakuan yang adil
menunjukkan pengakuan dari supervisor dan apresiasi untuk karyawan yang menyuarakan pendapat atau saran. Artinya, perlakuan yang adil dan dihormati oleh figur otoritas kelompok (supervisor) digunakan oleh karyawan untuk memperoleh kesimpulan bahwa ia dihargai, sebagai anggota kelompok berstatus tinggi. Sebaliknya, ketika seorang supervisor merespon masukan suara karyawan dengan cara yang tidak memenuhi
standar keadilan prosedural dan relasional, komunikasi seperti ini membuat karyawan merasa kurang dihormati dan kurang dihargai sebagai anggota kelompok.
Gist & Mitchell (1992) mendefinisikan self-efficacy sebagai "estimasi seseorang atau kapasitasnya untuk mengatur kinerja pada
tugas tertentu". Dalam domain pekerjaan, keyakinan self-efficacy
mengacu pada penilaian kemampuan individu seorang karyawan untuk secara efektif melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaan sampai selesai (Gist & Mitchell, 1992).
Dalam penelitian Gist & Mitchell (1992) ada tiga aspek definisi
tentang self-efficacy. Pertama, self-efficacy didefinisikan sebagai
ringkasan menyeluruh atau penilaian kemampuan yang dirasakan untuk melakukan tugas tertentu. Dalam konteks organisasi adalah informasi yang diperoleh dari individu. Dalam konteks tugas kerja di lingkungan kerja adalah dapat berkontribusi pada penilaian menyeluruh dari kemampuan. Kedua, self-efficacy adalah sebuah konsep yang dinamis. Perubahan pendapat dari waktu ke waktu sebagai informasi dan pengalaman baru yang diperoleh. Ketiga, keyakinan efficacy melibatkan komponen mobilisasi; self-efficacy mencerminkan "proses yang lebih kompleks dan generatif melibatkan konstruksi dan orkestrasi kinerja adaptif untuk menyesuaikan perubahan keadaan". Dengan demikian, orang-orang yang memiliki keterampilan yang sama dapat tampil berbeda
berdasarkan penggunaannya, kombinasi, dan urutan keterampilan dalam konteks yang terus berkembang.
Karyawan dengan keyakinan self-efficacy yang tinggi merasa bahwa mereka kompeten dan memiliki keterampilan untuk melakukan dengan baik pada tugas-tugas tertentu; sedangkan mereka dengan keyakinan self-efficacy yang rendah merasa kurang percaya diri pada kemungkinan menjadi ahli dalam melakukan tugas-tugas dan merasa tidak yakin tentang keterampilan dan kemampuan mereka agar efektif pada pekerjaan (Bandura A., 1986).
Anderson et al. (2001) menyatakan bahwa status mencerminkan keunggulan, rasa hormat, dan pengaruh seorang individu yang dimiliki menurut pandangan orang lain. Janssen & Gao (2013) berpendapat bahwa penilaian status karyawan sangat dipengaruhi oleh penilaian mereka (atasan) dari tingkat masukan suara karyawan yang biasanya mendapatkan perlakuan adil dan dihormati oleh supervisor. Sedangkan menurut Lind & Tyler (1988) dari model nilai kelompok dan model relasional otoritas (Lind & Tyler, 1992) menunjukkan bahwa individu memperoleh status berbasis kelompok dari bagaimana mereka diperlakukan oleh figur otoritas kelompok.
Sedangkan definisi self-perceived status dalam konteks kelompok kerja mengacu pada bagaimana karyawan dihargai dan dihormati sebagai individu atau sebagai anggota kelompok (Van Dijke et al., 2012).
merasa dihormati oleh orang lain dalam kelompok kerja dan cenderung
termotivasi secara sukarela untuk berkontribusi dalam kelompok
menggunakan kualitas dan kemampuan mereka (Tyler & Blader, 2003).
Employee voice didefinisikan sebagai ekspresi menantang tetapi
merupakan kepentingan yang membangun, berupa pendapat atau saran tentang isu-isu yang berhubungan dengan pekerjaan (Venkataramani & Tangirala, 2010). Sedangkan Voice behavior didefinisikan sebagai "suara promotif yang menantang status quo dan membuat saran konstruktif" (Van Dyne & LePine, 1998). Voice behavior dianggap membantu untuk identifikasi lebih awal masalah serius dan menciptakan perbaikan dan peluang inovasi dalam organisasi (Detert & Burris, 2007).
Berdasarkan teori dan definisi voice di atas, adalah
memungkinkan untuk lebih membedakan voice behavior dengan voice yang lainnya. Sebagai contoh, kita tidak menganggap prinsip perbedaan berpendapat dalam organisasi (Graham dalam LePine & Van Dyne, 1998) untuk menjadi voice karena prinsip perbedaan pendapat dalam organisasi berfokus pada keberatan berdasarkan hati nurani atau prinsip-prinsip moral dari pada menyarankan cara yang lebih efektif untuk melakukan sesuatu. Voice Behavior juga berbeda dari mengeluh. Keluhan mencerminkan ekspresi ketidakpuasan dan tidak selalu menyertakan saran untuk perubahan (Kowalski, 1996).
Karena kita mendefinisikan voice sebagai perilaku, kami
untuk prosedur keluhan. Voice berbeda dari peran normal atau diperankan sebagai perilaku ketika ekspresi tantangan yang konstruktif tidak ditentukan dalam persyaratan kerja formal. Artinya, saran konstruktif yang dibuat oleh seseorang dalam konteks persyaratan pekerjaan mereka. Salah satu contoh suara seperti yang kita definisikan adalah ketika anggota kelompok membuat saran inovatif untuk perubahan dengan prosedur operasi standar dalam rangka meningkatkan alur kerja, bahkan ketika sarannya mungkin membuat marah yang lain (Van Dyne & LePine, 1998).
Janssen & Gao (2013) menjelaskan bahwa untuk melakukan voice behavior promotif membutuhkan keahlian khusus dan kemampuan kognitif untuk mendeteksi dan mendiagnosa potensi masalah yang berhubungan dengan pekerjaan dan menghasilkan saran untuk solusi dan perbaikan. Selain itu, keterampilan sosial dan komunikasi khusus diperlukan untuk dapat menyajikan kepentingan, pendapat, dan ide-ide dalam kelompok kerja dengan cara persuasif dan efektif.
B. Hipotesis
1. sebagai mediator dalam Hubungan Antara
Responsif Supervisor dan
Model nilai kelompok (Lind & Tyler, 1988) dan model relasional otoritas (Lind & Tyler, 1992) menunjukkan bahwa individu memperoleh status berbasis kelompok dari bagaimana mereka diperlakukan oleh figur otoritas kelompok (supervisor). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
bahwa peningkatan self-perceived status disebabkan oleh perlakuan yang adil dan dihormati sehingga meningkatkan motivasi karyawan untuk
terlibat berkontribusi dalam kelompok menggunakan kualitas dan
kemampuan mereka. Selain itu dalam studi penelitian berbasis
wawancara ditemukan hasil bahwa karyawan dengan karakteristik status terkait seperti kurangnya pengalaman, jabatan atau status sebagai alasan penting mengapa mereka merasa tidak mampu untuk berbicara (Milliken
et al., 2003).
Janssen & Gao (2013) menyatakan bahwa karyawan dengan
self-perceived status lebih tinggi dalam kelompok kerja lebih mungkin untuk
terlibat dalam voice behavior dan mengekspresikan kepentingan mereka, pendapat, dan saran tentang isu-isu yang terkait dengan pekerjaan. Ketika karyawan merasa bahwa mereka dihormati dan memiliki pengaruh dalam kelompok kerja maka karyawan akan termotivasi dan terdorong untuk menggunakan kemampuannya menyuarakan pendapat atau saran tentang isu-isu yang terkait dengan pekerjaan. Hasil penelitian tersebut
menjadi dasar bahwa self-perceived status beroperasi sebagai
mekanisme mediasi yang menghubungkan responsif supervisor pada
voice behavior karyawan. Berdasarkan uraian tersebut, maka disusun
hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 1 : memediasi hubungan positif
2. sebagai moderator Hubungan Antara Responsif Supervisor dan
Hasil penelitian Janssen & Gao (2013) menyatakan bahwa
self-efficacy for voice karyawan beroperasi sebagai syarat batas yang
mempengaruhi penilaian status yang mereka dapatkan dari responsif supervisor. Perlakuan yang adil dari masukan suara oleh figur otoritas kelompok (supervisor) lebih cenderung mengakibatkan self-perceived
status meningkat ketika self-efficacy for voice karyawan tinggi, oleh
karena itu ketika merasa kompeten mereka memberikan pendapat dan saran yang dapat membuat perbedaan dan manfaat untuk kelompok.
Teori self-efficacy menunjukkan bahwa keyakinan tentang
kemampuan seseorang dalam domain tertentu secara signifikan dapat mempengaruhi motivasi seseorang untuk terlibat dalam perilaku tertentu dalam domain tersebut (Bandura, 1986). Janssen & Gao (2013) menggunakan gagasan teori self-efficacy untuk berpendapat bahwa keyakinan self-efficacy for voice dapat berfungsi sebagai moderator yang mempengaruhi hubungan antara responsif supervisor dan self-perceived
status. Karyawan dengan self-efficacy for voice relatif tinggi biasanya
percaya bahwa mereka kompeten untuk memberikan masukan suara yang berarti untuk menguntungkan kelompok, ketika keyakinan
self-efficacy positif cenderung memperkuat dan meningkatkan self-perceived status karyawan yang berasal dari respon yang adil dan dihormati oleh
atasan kelompok kerja.
efficacy yang positif cenderung memperkuat dan meningkatkan self-perceived status karyawan yang cenderung berasal dari respon yang adil
dan dihormati oleh atasan kelompok kerja. Berdasarkan uraian tersebut, maka disusun hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 2 : memoderasi hubungan antara
responsif supervisor dan
C. Kerangka Penelitian
Sumber: Janssen & Gao (2013)
Gambar II.1 Kerangka Pemikiran
Dari kerangka pemikiran diketahui bahwa variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah Voice Behavior, variabel mediasi adalah
Self-Perceived Status, variabel moderasi adalah Self-Efficacy for Voice, dan variabel
bebas (independent) adalah Responsif Supervisor.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin mengetahui apakah hubungan antara Responsif Supervisor dan Voice Behavior dimediasi oleh
Self-Perceived Status. Selain itu, untuk mengetahui apakah hubungan antara