• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORETIS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Konsep Agraria

Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan

agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius

mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, pertanian”. Dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan lahan dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian “Tanah” adalah menurut pasal 4 ayat 1 “tanah” adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian “Bumi” menurut pasal 1 ayat 4, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu perairan pedalaman (“inland waters”) dan laut wilayah (“territorial waters”) melainkan bumi yang berada di bawah air laut diluar batas-batas itu.

Hubungan agraris menurut Wiradi (2009) secara garis besar mencakup berbagai jenis hubungan sebagai 1) hubungan antara tanah dengan lingkungannya, 2) hubungan antara manusia dengan tanah, 3) hubungan antara manusia dengan tanaman, 4) hubungan antara manusia dengan hewan, dan 5) hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam studi agraria, hubungan antara manusia dengan manusia ini yang dianggap paling penting karena menyangkut hubungan sosial secara keseluruhan. Sedangkan hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan) hanya memiliki makna sepanjang hubungan itu merupakan hubungan aktivitas karena melalui hubungan aktivitas ini akan menimbulkan

(2)

implikasi terhadap hubungan dengan manusia lain. Berkaitan dengan hubungan antara manusia, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi (produsen langsung seperti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan mereka yang tidak berproduksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk mengklaim sebagian dari hasil produksi secara langsung maupun tidak langsung.

Klaim hasil produksi baik langsung maupun tidak langsung didasarkan atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah. Hubungan-hubungan tersebut Wiradi (2009) menterjemahkan secara konkret dalam konteks hubungan antara “siapa” dengan “siapa”, maka berdasarkan masalah-masalah yang secara empiris muncul di Indonesia seperti: 1) antara petani dan buruh tani, 2) antara petani dan bukan petani, 3) antara petani dan perusahaan (HGU/HPH/pertambangan, dll), 4) antara petani dan proyek-proyek pemerintah, 5) antara proyek-proyek pemerintah sendiri, 6) antara petani dan satuan desa/lembaga adat, dan 7) antara perusahaan besar (HGU/HPH/pertambangan, dll) dan Negara. Dalam setiap hubungan agraris yang dijelaskan, terdapat tiga atribut yang melekat yaitu masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi dan masalah hierarki sosial (Ghose 1983 dalam Wiradi 2009). Ketiga atribut ini membentuk jaringan hubungan yang saling terkait satu sama lain dan pada gilirannya akan menentukan corak kehidupan secara keseluruhan.

2.1.2 Struktur Agraria

Tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut sebagai “Struktur Agraria”. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah melainkan menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan

(3)

pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya.

Wiradi (2009) menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan masalah yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Ada dua istilah penting yang menyangkut struktur agraria yaitu land tenure dan land

tenancy. Land tenure memiliki arti hak atas tanah atau penguasaann tanah. Istilah

ini biasanya dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Sedangkan land tenancy berasal dari kata tenant yang memiliki arti orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hak-hal yang menyangkut hubungan penggarap tanah. Obyek penelaahan ini yaitu pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa dan lain sebagainya.

Struktur agraria menurut Wiradi (2009) ini perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan penguasahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjukan kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya saja sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata “pengusahaan” sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Tatanan hubungan dalam struktur agraria dapat berubah akibat kerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya. Wiradi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan perubahan tata hubungan itu antara lain yaitu 1) perubahan struktur politik, 2) perubahan orientasi politik, 3) perubahan kebijakan ekonomi, 4) perubahan teknologi dan 5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini dapat terjadi secara perlahan atau dapat terjadi melalui, juga menimbulkan suatu gejolak sosial.

(4)

2.1.2.1 Pengertian Tanah dan Penguasaannya

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

“atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.

Menurut Firey dalam Johara (1992) penggunaan tanah menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan berkesimpulan bahwa ruang merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang tanah). Berhubungan dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992) menggolongkan tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki:

1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah dipasaran bebas

2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat

3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya.

Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan.

Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, jika mengingat bahwa tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan cenderung mendekati pola ke arah pendayagunaan dan pengaturan fungsi ketatalaksanaan lahan. Menurut Bappenas-PSE-KP (2006) dalam Darwis (2009), pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang

(5)

menentukan keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah.1 Sama halnya yang tercantum dalam ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut dengan tanah. Tanah yang merupakan salah satu aspek dari lahan yang dimaksudkan bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspek yaitu tanah dalam pengertian yurudis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.

Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam artian fisik dan dalam arti yuridis, beraspek privat maupun publik. Penguasaan secara yuridis merupakan penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya, misalnya pemilik tanah mempergunakan dan mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya, tidak diserahkan kepada pihak lain.2 Adanya penguasaan secara yuridis walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang hak secara fisik, namun kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh orang lain. Misalnya saja, seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakannya sendiri melainkan tanah tersebut disewakan kepada orang lain. Tetapi ada juga yang penguasaan secara yuridis tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada pemegang hak atas tanah.

Menurut Sudiyat dalam Hamid (1992) bahwa demi hidup dan penghidupannya untuk kepentingan setiap bagian fungsi hidupnya (pekerjaan, sandang, pangan, kandang, istirahat dan rekreasi) setiap orang membutuhkan penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak

1 Valeriana Darwis. Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai faktor Utama Penentu Pendapatan Petani. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2009 .http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MP_Pros_A8_2009.pdf. diakses tanggal 20 November 2010

2 Urip Santoso, S.H., M.H. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Kencana Prenada Media Group.2007, h.73

(6)

menentu.3 Dari hal yang dikatakan di atas jelaslah bahwa penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis, jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling kuat, seperti hak pakai, memetik kemudian menikmati hasil, hak memelihara/mengelola/mengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan dalam segala bentuk.

Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya.

2.1.2.2 Pola Penguasaan Lahan

Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi atau bidang tanah yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut terplaatse (Sayogyo 1982) yang merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat mengembala ternak dan sebagainya.4 Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata cara kerjasama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu dalam menentukan

3 ibid, h.41 4

(7)

hak serta kewajiban masing-masing (Hayami dan Kikuchi, 1982 dalam Kasryno 1984 dalam Joula 2002).

Mengambil pemikiran Wiradi bahwa pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA tahun 1960 yang secara hukum adalah 1) “peruntukan” (mana untuk keperluan negara, mana untuk masyarakat, mana untuk perorangan), 2) cara memperoleh, 3) hak penguasaan, 4) masalah pengguanaannya. Dapat dilihat bahwa kelembagaan agraria merupakan suatu bentuk kegiatan mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang saling tergantung (interdependensi) antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah.

Masyarakat Jawa yang agraris tanah merupakan sumber utama pendapatan. Menurut tradisi, Raja adalah pemilik tanah satu-satunya yang secara teoritis berkuasa atas tanah. Pangeran dan priyayi diberi lungguh (apanage) atau tanah gaji untuk keperluan sendiri yang biaya kegiatan yang dilakukan. Namun,

lungguh ini akan dikembalikan kepada raja apabila pemegangnya meninggal

dunia atau dipecat. Dengan pemilikan oleh raja atas seluruh tanah serta penggunaannya mencegah tumbuhnya kaum ningrat penguasa tanah yang kokoh.

Lungguh tersebut tidak dihitung berdasarkan luas dalam hektar tetapi menurut

jumlah penduduknya (cacah). Ada faktor yang mencegah berkembangnya pengertian yang kuat mengenai hak milik atas tanah diantara kaum priyayi yaitu agar dapat menguasai kaum elit, raja mengatur supaya cacah pengikut seorang pemegang lungguh tercerai-berai tinggalnya sehingga memudahkan raja untuk melaksanakan kebijaksanaannya dan mencegah seorang lungguh mempunyai suatu kesatuan tanah yang besar tempat seluruh pengikutnya berkumpul.

Kaum elite terpisah jauh dari produksi dan tidak menghargai tanah namun tidak demikian dengan para petani. seorang petani penggarap tanah dan penghidupan utamanya diperoleh dari tanah. Perbedaan kelas antara kaum petani berdasarkan atas cara dia menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep (mereka yang menanggung beban tanah) mempunyai numpang (tanggungan) juga belum menikah (bujang) yang merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Makanan dan tempat tinggal petani numpang tergantung kepada sikep kepada siapa dia mempersembahkan seluruh pekerjaannya. Disamping sikep yang

(8)

elite di antara kaum petani dan numpang ada golongan petani menengah. Petani

numpang yang menikah dan telah cukup lama melayani sikepnya diberi

pembagian dari tanah desa atau persekutuan. Namun, pembagian tanah persekutuan tidak dikuasai secara tetap oleh petani menengah melainkan digilirkan diantara petani-petani menengah lainnya. Dapat kita lihat pada Tabel 12 bentuk penguasaan tanah pertanian dan penyebarannya di Jawa dan Madura.

Tabel 2. Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984

Karesidenan Jumlah desa

disurvei Desa tanpa sawah Desa tanpa tegalan Banten Karawang Kabupaten Priangan Cirebon 56 10 105 53 1 1 1 4 15 15 Tegal Banyumas Pekalongan Bagelen Semarang Jepara 32 40 26 50 50 34 1 1 3 2 18 8 13 5 25 22 Rembang Madiun Kediri Surabaya Pasuruan Probolinggo Besuki Banyuwangi Madura 54 63 59 56 44 26 36 6 6 2 2 9 3 3 4 17 38 22 33 17 6 5 1

Sumber: Hiroyoshi Kano. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.43

Pola penguasaan tanah orang jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada. Bentuk bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam

(9)

kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat telah terganggu dan apa yang disebut kesetiaan “fungsional” baru menjadi nyata di masyarakat desa, terutama di kalangan proletariat pedesaan.

Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar diakibatkan kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa daripada di luar Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu 1) sumberdaya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan diluar Jawa, 2) anggaran atau biaya pencetakan sawah di Jawa lebih murah, dan 3) masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut.

Bentuk tradisional yang paling umum di Jawa adalah hak penguasaan secara komunal. Dengan adanya sistem ini maka semua tanah baik yang dapat ditanami maupun yang merupakan tanah cadangan, dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Bentuk ini tidak menutup adanya hak atas tanah yang dikuasai seorang desa sebagai bagian dari tanah komunal. Dengan bentuk ini, seorang tersebut dapat menggunakan terus-menerus sebidang tanah yang cukup luas untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Tanah tersebut pun dapat diwariskan kepada ahli warisnya untuk dimanfaatkan, walaupun pengalihan hak (alienation) keluar desa tidak mungkin. Namun, semakin lama penguasaan atas tanah di Jawa semakin meningkat hak-hak pribadi atas tanah sehingga mengakibatkan melemahnya pengawasan komunal. Tahun 1927 Poertjaja Gadroen dan Vink di daerah Jawa Timur menemukan bentuk-bentuk pemilikan tanah sebagai berikut:5

1. pemilikan tanah komunal dengan penggarap secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai wewenang untuk memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta;

2. pemilikan tanah komunal, tetapi dengan jumlah penggarap terbatas;

3. pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap;

5 Justus M van der Kroef. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.148

(10)

4. pemilikan tanah komunal dengan hak-hak perorangan tetentu. Hak-hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal;

5. seperti pada no.4 tetapi dengan kepastian hak waris;

6. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah yang bersangkutan kepada penduduk lain sedesa;

7. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah menjual sebagian tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembelian bukan sedesa tersebut;

8. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal;

9. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban kerja komunal; dan

10. pemilikan tanah pribadi bercorak barat dan dapat digadaikan (dihipotekkan).

2.1.3 Pemilikan Tanah dan Pelapisan Masyarakat Desa 2.1.3.1 Pengertian Diferensiasi dan Statifikasi

Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta merupakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam membandingkan masyarakat desa. Diferensiasi merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial yang terbagi di antara institusi sosial yang berbeda-beda. Diferensiasi juga menggambarkan terjadinya peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadinya peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat desa. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan menunjuk pada gejala terjadinya penambahan kelas-kelas petani. Diferensiasi tersebut kemudian akan membentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin berlapis (terstratifikasi) atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi.

(11)

Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur sosial masyarakat tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria yang dijalankan kaum tani. Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi (1987) dalam Fadjar (2009) mengartikan stratifikasi sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan, yakni lapisan “petani luas komersial yang kaya” dan lapisan “buruh tani tunakisma yang miskin”.6

Pendapat lain mengenai pengertian startifikasi dikemukakan oleh Sorokin dalam Soekanto (1982) Sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification.

Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke daalm

kelas-kelas secara bertingkat (Hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang rendah. Sorokin pun mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.

Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut:

1. ukuran kekayaan: seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk lapisan teratas. Kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara berpakaian serta bahan pakaian yang dipakai, kebiasaan berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya; 2. ukuran kekuasaan: Seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai

wewenang terbesar menempati lapisan teratas;

3. ukuran kehormatan: ukuran kehormatan tersebut terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati

6 Undang Fadjar. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani (Disertasi).2009, h. 33

(12)

mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional; dan

4. ukuran ilmu pengetahuan: ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Namun ukuran tersebut terkadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran tetapi gelar kesarjanaannya.

2.1.3.2 Struktur Pelapisan Masyarakat

Menurut Fadjar dkk (2002) perubahan struktur sosial masyarakat agraris menunjukkan kepada mekanismenya yang mengarah ke bentuk stratifikasi (seperti berlangsungnya sistem pewarisan dan sistem bagi hasil) dan ke bentuk polarisasi (seperti berlangsungnya sistem pembelian kebun dan penyewaan kebun oleh petani kaya). Namun, Scott (1989) mengemukakan bahwa bentuk kapitalis dalam pemilikan tanah yang disertai dengan pertambahan penduduk yang pesat telah mendorong perubahan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil (bukan buruh upahan).7 Terlebih lagi menurut Sajogyo (1985) dan Rusli (1982) menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin kecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, semakin bertambahnya penduduk tak bertanah, dan munculnya fraksionalisasi lahan.8

Struktur kelas dalam masyarakat desa sangat menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari anggota masyarakat desa. 9

1. golongan tuan tanah: terdiri dari para pemilik tanah lima sampai ratusan hektar yang disewakan kepada penyakap. Kebanyakan dari mereka merupakan orang kaya baru dan mampu mengumpulkan tanah selama masa pendudukan Jepang dan Zaman Revolusi;

2. petani kaya: terdiri dari mereka yang memiliki tanah (mis: 5-10 hektar) tetapi dikerjakannya sendiri. Meskipun golongan ini dapat menyewakan tanahnya,

7 Undang Fadjar. Transformasi Struktural Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani (Disertasi). 2009, h. 37

8 Ibid, h.37 9

(13)

namun mereka lebih senang mempekerjakan buruh tani daripada penyakap untuk menggarap tanahnya;

3. petani sedang: memiliki tanah sampai 5 hektar sekedar cukup untuk kepentingan sendiri dan tidak mempekerjakan buruh tani atau penyakap. Sebagian besar golongan ini berkecimpung dalam bidang perdagangan hasil surplus pertanian;

4. petani miskin: dicirikan oleh pemilikan tanah yang sempit (kurang dari 1 hektar) yang tidak mencukupi untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagian besar mereka terpaksa bekerja sebagai buruh tani atau petani bagi hasil; dan

5. buruh tani tak bertanah: banyak yang tidak memiliki alat-alat pertanian sama sekali, dan bertempat tinggal diatas tanah orang lain atau menumpang. Bersama petani miskin, secara politik mereka merupakan unsur yang mudah meledak di masyarakat pedesaan Jawa.

Secara teori, struktur kelas di atas dapat dibagi menjadi lima golongan seperti yang disebutkan di atas. Kenyataannya, desa yang mengalami stratifikasi sosial berdasarkan luasan tanah yang dimiliki penduduk desa terbagi menjadi empat golongan petani pedesaan yaitu petani kaya berlahan luas, petani berlahan sedang, petani berlahan sempit dan buruh tani. Hanya 10-20 persen luasan tanah yang dikuasai penduduk desa sedangkan sisanya telah dikuasai oleh mayoritas orang-orang dari luar desa. Pendapatan rumah tangga masyarakat agraris diperoleh dari kegiatan usahatani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, kepemilikan atau penguasaan lahan selain mencerminkan kesejahteraan petani juga sangat penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga.

2.2 Kerangka Pemikiran

Penguasaan lahan merupakan kemampuan seseorang dalam memiliki, mengelola, memanfaatkan dan memperoleh keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan lahan. Penguasaan lahan biasanya berkaitan dengan bentuk hubungan antara manusia dengan lahan. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk hubungan penguasaan lahan, seperti pemilik sekaligus penggarap; pemilik bukan penggarap;

(14)

bukan pemilik, penggarap; bukan pemilik dan bukan penggarap. Tingkat penguasaan lahan dipengaruhi oleh faktor yaitu akses terhadap lahan dan kebijakan pemerintah. Akses terhadap lahan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam mengelola, memanfaatkan dan memperoleh lahan, sedangkan kebijakan pemerintah dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan hak akses terhadap lahan.

Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa

Keterangan:

= mempengaruhi = kualitatif

= memiliki hubungan = kuantitatif

= mempengaruhi (kualitatif) = keterkaitan

Tingkat penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai dan status lahan yang dikuasai. Luas lahan adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh seseorang dalam satuan hektar, sedangkan status lahan adalah suatu ukuran yang dimiliki seseorang dalam hal bentuk hubungan dengan tanah. Adapun dengan

Faktor-faktor penguasaan lahan:

akses terhadap lahan kebijakan pemerintah Kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani: Tingkat penguasaan lahan: luas lahan yang

dikuasai status kepemilikan lahan tingkat penda patan tingkat pendid ikan kepemilikan asset dan modal Karakteristik rumah tangga petani: jumlah tanggungan rumah tangga pendidikan keluarga tingkat ketergantun gan pada lahan

(15)

tingkat penguasaan lahan yang dilihat dari luas lahan dan status lahan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani. Kondisi sosial ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan kepemilikan asset dan modal rumah tangga petani. Pertama, tingkat pendapatan dilihat dari besarnya pendapatan petani yang diterima setiap bulannya. Kedua, tingkat pendidikan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anggota keluarga (usia sekolah). Pengukuran tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dapat dilihat dari karakteristik rumah tangga petani yang dilihat dari jumlah tanggungan keluarga, pendidikan keluarga dan ketergantungan terhadap lahan. Ketiga, yaitu kepemilikan asset dan modal dapat dilihat dari lahan yang dikelola atau dimiliki petani untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, peneliti mengajukan satu hipotesis utama yaitu tingkat penguasaan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.

2.4 Definisi Operasional

1. Luas lahan adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar. Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas lahan menurut kondisi lapang.

Pengukuran:

a. Luas (> 1) = kode 3 b. Sedang (0,5-1) = kode 2 c. Sempit (< 0,5) = kode 1

2. Status hubungan sosial dengan lahan lahan adalah suatu ukuran yang dimiliki oleh responden dalam hal bentuk hubungan dengan tanah.

Pengukuran:

Pemilik-penggarap = kode 3

Pemilik- bukan penggarap = kode 2 Bukan pemillik-penggarap = kode 1 Bukan pemilik-bukan penggarap = kode 0

(16)

3. Stratifikasi sosial yaitu jenjang pelapisan sosial yang terdapat di dalam masyarakat dengan ukuran. Dalam penelitian ini stratifikasi sosial berdasarkan luas lahan yaitu luas, sedang, dan sempit dengan ukuran sebagai berikut: Luas (> 1) = kode 3

Sedang (0,5-1) = kode 2 Sempit (< 0,5) = kode 1

4. Kepemilikan asset dan modal merupakan lahan yang dimiliki atau dikelola oleh responden untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Asset adalah lahan yang dimiliki seseorang atau responden yang tidak digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan modal adalah lahan yang mereka miliki atau kuasai dan digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup responden. Dapat diukur sebagai berikut:

1. memiliki lahan sebagai asset dan sebagai modal = kode 3 2. memiliki lahan sebagai asset dan bukan sebagai modal = kode 2 3. memiliki lahan sebagai modal saja = kode 1 4. tidak memiliki lahan sebagai asset dan modal = kode 0 6. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap

penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden.

Pengukuran:

1. tinggi = kode 2 2. rendah = kode 1

7. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan responden dalam memenuhi kebutuhan hidup sampai sekarang.

Pengukuran jumlah tanggungan ini dapat dikategorikan dengan sedikit dan banyaknya jumlah tanggungan keluarga. Pengukurannya yaitu :

> 4 = Banyak 2 < x ≤ 4 = Sedang ≤ 2 = Kecil

(17)

8. Pendidikan keluarga adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Pengukuran pendidikan keluarga dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:

Perguruan tinggi,DI,DII,DIII/Sederajat (Sangat berpendidikan) = kode 3 Tamat SMA, tamat SMP/sederajat (Berpendidikan) = kode 2 SD, tidak tamat SD, tidak sekolah, (Kurang berpendidikan) = kode 1

Gambar

Tabel 2. Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984  Karesidenan  Jumlah desa
Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap  Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa

Referensi

Dokumen terkait

cyanea memiliki mata palsu (ocellus) berwarna hitam yang dikelilingi lingkaran terang pada bagian dalam dan warna gelap di bagian luar; Octopus sp.1 memiliki warna

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan strategi pengadopsian konvergensi media yang dilakukan Koran Tribun dalam membangun pasar

Apabila dari hasil rekomendasi yang diberikan sistem memiliki salah satu kriteria wisata yang diinginkan oleh user maka dapat dikatakan tingkat akurasi dari metode Simple

Nilai kearifan lokal yang terdapat di lokasi penelitian dapat dikelompokkan kepada (a) nilai kearifan lokal yang ada sejak dahulu dan masih berkembang sampai saat

Menggunakan operasi dan manipulasi aljabar dalam pemecahan masalah yang beraitan dengan: bentuk pangkat, akar, logaritma, persamaan dan fungsi komposisi

1) Penggunaan alat peraga dalam proses belajar mengajar itu sendiri bukan meupakan fungsi tambahan tetapi juga mempunyai fungsi tersendiri yaitu sebagai alat

Sementara berdasarkan analisis independent t-test terhadap gain score angket, diperoleh nilai thitung&gt;ttabel (5,544&gt;1,994) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima,

Indonesia, hereinafter referred to as BPPT and The Scientific and Technical Research.. Council of Turkey, hereinafter referred to as TUBITAK, both of them