• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alumni Unair Juara Karya Tulis Antikorupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Alumni Unair Juara Karya Tulis Antikorupsi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Alumni Unair Juara Karya

Tulis Antikorupsi

Alumni Jurusan Komunikasi Universitas Airlangga Catur Ratna Wulandari berhasil meraih juara pertama dalam lomba karya tulis anti korupsi. Bersama rekannya, Tri Joko Heriadi, sesama wartawan Pikiran Rakyat, dia menulis artikel tentang Kantin Kejujuran berjudul “Apa Kabar Kantin Kejujuran: Jerih Payah Jujur Di Sekolah, Komitmen Jujur ala Komunitas, dan Rumus Sederhana Tentang Kejujuran”. Mereka menjadi yang terbaik di kategori Jurnalis.

Dalam kegiatan yang digelar oleh KPK dan Konsorsium Komunitas Festival Antikorupsi 2015 tersebut, berhasil menyabet peringkat kedua Aghnia Adzkia dari CNN Indonesia, Jakarta dengan tulisan berjudul “Aksi Perempuan Agen ‘007’ Cegah Korupsi”, dan Eva Fahas dari Harian Pikiran Rakyat Bandung, dengan judul “Belajar Nilai Integritas Mulai Dari Rumah”.

Sekelumit Tentang Oposisi

Biner Rakyat dan Pemimpin

Peter Northouse mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses yang melibatkan seseorang mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui tentang apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara untuk memenuhinya.

Yang jelas, melalui definisi ini, dapat dipilah beberapa konsep mengenai kepemimpinan, antara lain: kepemimpinan adalah sebuah proses, kepemimpinan membutuhkan satu individual pemimpin, kepemimpinan melibatkan sekelompok individual lain

(2)

yang dipimpin, dan kepemimpinan melibatkan sebuah tujuan bersama yang akan dituju.

Dalam perspektif sosiologis dan antropologis, kepemimpinan dalam masyarakat dibentuk melalui mekanisme dan model primus

inter pares. Maksudnya, seseorang dikatakan sebagai pemimpin

yang ideal karena kompetensi, garis genealogi, kekayaan, kekuatan dan kesempurnaan lahiriah/batiniah maupun karena usia, pengalaman, pendidikan, status dan otoritas sosial yang dimilikinya.

Tidak hanya itu, pemimpin harus diakui oleh masyarakat pengusungnya sebagai pemimpin utama dan menjadi pelaksana kepemimpinan dan kehidupan masyarakatnya (Suwirta dan Hermawan, 2012). Melalui perspektif ini, kepemimpinan dan pemimpin adalah sesuatu yang dibentuk dan membentuk masyarakat. Seseorang menjadi pemimpin dan berada dalam kepemimpinan karena ia dilahirkan sebagai pemimpin, seperti pada pemerintahan monarki dan otoriter, atau menjadi pemimpin karena pengalaman, kemampuan, usaha, atau proses yang membuatnya menjadi seorang pemimpin.

Sebagai sebuah negara, konsepsi kepemimpinan politik di Indonesia mengalami beberapa era terkait dengan sistem kemasyarakatan. Secara garis besar, Subiakto dan Ida (2014) membagi era tersebut ke dalam sejumlah sistem kemasyarakatan yaitu euforia kemerdekaan, berdaulat, demokrasi terpimpin, orde baru, dan reformasi.

The Great Man Theory

Dalam perspektif historiografi konvensional dikenal istilah

the great men theory, dimana peristiwa-peristiwa penting dan

perubahan sosial itu dalam banyak hal digerakkan oleh “orang-orang besar” (Sjamsuddin, 2007; dan Suwirta, 2012). Perspektif ini dapat dilekatkan pada unsur kebangsawanan atau priyayi dan ketokohan yang sangat melekat pada karakter pemimpin Indonesia.

(3)

Sebaliknya, konsep rakyat kerap diidentikkan sebagai orang-orang dari golongan marjinal (jelata), yaitu mereka yang hidup terpinggirkan seperti petani, buruh, dan karyawan kecil. Hal ini senada dengan tuturan Iqra Anugrah (2013) dalam tulisannya di jurnal Indoprogress; Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan. Dia menjelaskan bahwa kondisi oposisi biner antara pemimpin dan rakyat umum terjadi di Indonesia. Dia menuliskan,

“Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ yaitu para tokoh yang menggerakkan roda jaman dan perubahan, sedangkan rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah,”

Oposisi biner antara pemimpin dan rakyat dalam hal ini dapat kita cermati secara jelas dari bagaimana sosok pemimpin di Indonesia sangat erat dengan unsur-unsur kerajaan, terutama dengan kekeratonan Jawa, atau dengan unsur-unsur keturunan tokoh-tokoh besar di Indonesia.

Pemimpin di Indonesia kerap menggunakan faktor keturunan dari tokoh-tokoh besar, atau setidaknya berusaha menunjukkan kesamaan ide atau pemikiran dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai sebuah penanda kesepahaman atau sekedar mengikuti popularitas tokoh tersebut di mata masyarakat. Contoh yang paling umum digunakan adalah penggunaan sosok Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dalam kampanye-kampanye politik di Indonesia. Soekarno seringkali dijadikan sebagai panutan dan sosok ideal bagi pemimpin-pemimpin di Indonesia.

Agus Sudibyo (2001) dalam bukunya yang berjudul Politik Media

dan Pertarungan Wacana mengatakan bahwa sosok Soekarno kerap

digambarkan sebagai simbol nasionalisme, tokoh yang populer dan berkharisma bagi rakyat dan internasional, serta tokoh yang memiliki kontribusi dalam sejarah perjuangan bangsa. Kualitas-kualitas yang melekat pada Soekarno tersebutlah yang seringkali dijadikan ajang “promosi” para pemimpin Indonesia., dan hal ini memberikan sebuah Gambaran bahwa pemimpin sering

(4)

dicitrakan memiliki kualitas yaitu dikagumi, dicintai, dan berjasa bagi pihak lain, yang dalam hal ini adalah rakyat. Marginalisasi Kelompok Bungkam

Rakyat atau kaum marjinal diidentifikasikan sebagai mereka yang berada pada posisi sebagai kelompok bungkam. Kelompok ini dikonsepkan oleh Edwin dan Shirley Ardener sebagai,

“Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, yang harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan,”

Dengan konsepsi abstrak mengenai kelompok bungkam atau kelompok marjinal ini, maka ide atau konsep mengenai rakyat berkaitan dengan kedudukannya dibandingkan pemimpin menjadi jelas. Ia merupakan kelompok marjinal terpinggirkan yang mengikuti bagaimana sebuah sistem hierarki dan struktur sosial dibangun oleh kelompok dominan atau pemimpin.

Tidak hanya unsur kebangsawanan (elitisme) dan keterkaitan dengan seorang tokoh yang melekat pada figur sosok pemimpin, dalam usaha untuk meraih kekuasaan seringkali sosok pemimpin direpresentasikan melalui tradisi dan kepercayaan (budaya). Hal ini merupakan bagian dari perspektif historiografi tradisional dan secara lebih spesifik dikaitkan dengan unsur agama dan suku. Unsur agama yaitu Islam, dan suku Jawa tidak terbantahkan sangat dominan dimanfaatkan oleh pemimpin dan menjadi bagian dari corak kepemimpinan di Indonesia.

Oposisi biner yang dijelaskan di atas antara pemimpin dan rakyat merupakan sebuah bagian dari strukturisasi dalam masyarakat. Hal ini tercipta karena adanya wacana sosial (social discourse) tentang bagaimana sosok pemimpin itu dimaknai dalam sistem masyarakat. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kuasa, terutama atas media, mampu untuk membuat kode (code) yang melaluinya konsep pemimpin itu dikomunikasikan melalui pesan-pesan yang ada baik secara

(5)

langsung (intended) maupun simbolik.

Sego Bungkus: Berbagi dengan

Kesederhanaan

Kehidupan memang mengajarkan tentang banyak hal. Salah satunya adalah mengajarkan untuk berbagi kepada yang membutuhkan. Model berbagi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Tak ubahnya sekedar memberi sebungkus nasi kepada yang membutuhkan, seperti yang dilakukan oleh Komunitas Sego Bungkus atau yang lebih akrab dikenal dengan SEBUNG.

Komunitas yang lahir pada 12 Desember 2012 ini mengawali kegiatan kemanusiaan dengan cara yang sederhana, yaitu memberi sebungkus nasi. Awalnya kegiatan berbagi sebungkus nasi ini mengandalkan dana dari donasi seadanya. Dari hasil donasi tersebut langsung dibelikan nasi bungkus sesuai dengan donasi yang masuk. Namun seiring berjalannya waktu, saat donasi yang masuk terus mengalir baik dari kalangangan mahasiswa, dosen, pengusaha, PNS dan bahkan seorang pengantar surat juga ikut berdonasi, maka mulai ada sistem manajemen donasi agar nasi yang dibagikan lebih tepat guna.

Saat ini, SEBUNG diketuai oleh Febryan Kiswanto (FH/2011). SEBUNG mengawali rutinitas mingguannya setiap Jumat malam. “Kami memulai kegiatan setiap Jumat malam, pukul 20.00 WIB,” ungkap mahasiswa yang sekarang menempuh semester 7.

Komunitas yang semula beranggotakan sekitar 30 anggota aktif dan beberapa anggota sukarela ini memiliki target area untuk pembagian sebungkus nasi. Target yang dituju mulai dari depan halaman Perpustakaan Pusat Kampus B menuju ke arah Jalan Kertajaya, terus menyusur ke arah Mulyosari, hingga sampai ke

(6)

arah ITC, Kya-Kya, makam Sunan Ampel, Genteng Kali, Undaan, Pasar Besar, Alon-alon Contong dan diakhiri di Hotel Majapahit.

Saat bulan Ramadhan tiba kegiatan Sebung tidak berhenti. Rutinitas kegiatan pekanan yang biasanya dimulai pukul 20.00 WIB, beralih menjadi pukul 24.00. Waktu kegiatan yang lebih malam ini menjadikan kegiatan yang semula memberi makan malam kepada yang membutuhkan beralih menjadi memberikan makan sahur atau yang lebih akrab dinamai dengan sahur on the road. Tidak hanya itu, kegiatan bagi-bagi takjil di jalanan juga dilakukan saat bulan puasa tiba. Menariknya lagi, yakni pemberian santunan kepada anak-anak yang berada di lokalisasi Dolly. Inovasi SEBUNG

Komunitas ini terus berkiprah dan berinovasi dalam mengembangkan kegiatan kemanusiaan yang lebih kreatif dan pastinya tetap bermanfaat. Model kegiatan yang inovatif diharapkan agar tidak membosankan baik bagi komunitas maupun rekan-rekan yang dengan sukarela membantu proses berjalannya kegiatan kemanusiaan ini. “Kami terus lakukan inovasi kegiatan agar tidak jenuh, namun tetap mengarah pada kegiatan kemanusiaan,” imbuh Febryan.

SEBUNG yang semula hanya membagikan nasi bungkus ke jalan-jalan diinovasi menjadi sedekah bungkusan dengan tetap menggunakan nama SEBUNG namun arah kegiatan ini lebih diperluas. Dengan berbagi sedekah bungkusan yang sasarannya juga lebih diperluas menjadikan SEBUNG lebih berarti dan bermanfaat bagi banyak orang. Sasaran kegiatan berbagi sedekah bungkusan ini mulai dari panti asuhan, panti jompo, panti grahita dan bahkan ke panti anak berkebutuhan khusus. Model kegiatan berbagi sedekah bungkusan ini bentuknya lebih bervariasi.

“Untuk sedekah bungkusan kami memberi donasi berupa sembako, buku-buku, baju bekas dan terkadang uang,” papar mahasiswa FH

(7)

itu.

Sekarang, komunitas sejenis ini tidak hanya berada di Surabaya. Virus-virus kebaikan itu telah menyebar ke berbagai kota di Tanah Air, antara lain Makasar, Malang, Solo, Samarinda dan bahkan hingga ke Bengkulu. Kebaikan semacam inilah yang diharapkan terus tumbuh di kalangan manusia. Dengan kebersamaan berbagi hidup akan terasa lebih berarti. “Berbagai itu asyik jika dilakukan bersama-sama,” pungkasnya. (nui)

MYMA: Diskusi, Debat, dan

Lomba

Mengantongi prestasi sembari memperdalam pemahaman terkait b i d a n g p r o f e s i j u r u s a n k i t a , p a s t i n y a a k a n s a n g a t menyenangkan. Tak hanya sekedar duduk mendengarkan dosen tapi juga melakukan praktik untuk mengasah kemampuan kita. Hal inilah yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa Fakultas Hukum di bawah asuhan MYMA (Masyarakat Yuris Muda Airlangga). Komunitas ini sudah berhasil merangkul anggota lebih dari 40 mahasiswa fakultas hukum.

Pencetus MYMA ini adalah Dimas Satrya Utomo, mahasiswa FH angkatan 2009 yang saat ini telah lulus. Keinginan untuk membentuk komunitas ini muncul didasari keinginan Dimas untuk berbagi ilmu dan pengalaman saat ia mengikuti lomba. Menurutnya, hal ini akan jauh lebih efektif jika dibentuk komunitas dengan struktur kepengurusan yang jelas.

Tujuan utama dari pembentukan MYMA ini adalah menyediakan forum diskusi terkait keilmuan hukum sembari mematangkan persiapan jika ada perlombaan terkait hukum. Jika ada

(8)

perlombaan, MYMA akan melakukan seleksi, memilah, mempersiapkan hingga memberangkatkan peserta, dan memenangkan lomba. Awalnya peran ini dipegang oleh KOMAHI (Komite Mahasiswa Hukum Airlangga), namun pada perjalanannya, visi misi dirasa tidak sejalan. Lalu, lahirlah MYMA yang fokus mengurusi perlombaan dan diskusi keilmuan hukum seperti yang lantang dijargonkan oleh komunitas ini “Speak And Write For

Truth And Justice.”

“KOMAHI ditujukan pada advokasi kebijakan publik dan mengoreksi kebijakan pemerintah, sedang MYMA fokusnya pada perlombaan,” papar M. Athfal Rofi’udin, selaku ketua atau Dirjen MYMA.

Hingga saat ini, prestasi yang berhasil diraih oleh komunitas ini setidaknya ada 6 lomba nasional, seperti juara 1 Lomba Debat Sciencetional Universitas Indonesia 2013 dan Best S p e a k e r I I I , j u a r a 2 l o m b a d e b a t P i a l a S o e d i r m a n Kartohadiprojo Universitas Parahyangan 2013 dan juara 1 di tahun 2014, juara 3 lomba debat Sciencetional Universitas Indonesia 2014, juara 2 lomba karya tulis migas di Universitas Negeri 11 Maret 2014, dan sebagai finalis dalam berbagai lomba.

Agar lebih optimal dalam tugas dan fungsinya, MYMA membagi struktur keorganisasiannya menjadi tiga departemen, yaitu Departemen Infokom yang membawahi Divisi Internal dan Divisi Ekstenal. Wilayah kerja dari Divisi Eksternal ini termasuk sambung silaturrahim dengan fakultas hukum universitas lain; Departemen Riset dan Pengembangan; Departemen Kompetisi yang dibagi lagi menjadi Divisi Debat dan Divisi Legal Writing. Salah satu kegiatannya adalah melakukan diskusi kelas untuk membahas isu-isu hukum terkini dan ada panelis yang menulis kesimpulannya, dilaksanakan 2 minggu sekali setiap hari Kamis. “Rencananya nanti kita buat standar kompetensinya tentang penjabaran materi apa saja yang akan disampaikan secara berkelanjutan, dan juga melakukan simulasi debat untuk

(9)

mengasah skill debat. Lulus dapat sertifikat,” terang Afrida Dwi Oktavianti, Irjen MYMA.

Divisi Legal Writing, kegiatannya terfokus pada pelatihan karya tulis, yang mana untuk karya tulis hukum itu beragam, seperti LKTI pada umumnya; legal opinion yang memuat pemecahan kasus, menguraikan pendapat hukumnya hingga menelurkan solusi;

legislative drafting seperti latihan membuat undang-undang; constitutional drafting; kontrak drafting; esai dan analisis

putusan hukum.

Awalnya MYMA fokus pada hukum tata negara. Namun, MYMA turut menyesuaikan dengan departemen di FH Unair, yaitu hukum bisnis, peradilan, pemerintahan, dan internasional. Departemen hukum pemerintahan terbagi menjadi dua yaitu Administrasi dan Hukum Tata Negara.

“Karena umumnya lomba debat itu temanya lekat dengan hukum tata negara, jadi kami lebih dekat dengan dosen hukum tata negara. Kalau ada permasalahan, curhatnya ke dosen tata negara seperti Ibu Endang Sayekti,” ungkap Siti Jihan Syahfauziah, Ketua Departemen Riset dan Pengembangan.

Namun, Jihan lebih lanjut menjelaskan, ada kemungkinan bahan diskusi akan meluas ke departemen hukum lainnya. “Tidak menutup kemungkinan juga bahasan diskusi kami meluas ke departemen hukum lainnya, karena tujuan kami juga diskusi tentang keilmuan hukum itu. Meskipun nantinya banyak yang dibahas dalam diskusi keilmuan hukum, tapi ya memang banyak hal yang diotak-atik di hukum, dan ketika bekerja tidak akan jauh-jauh dari itu.” (lis)

(10)

Airbone, Bonek Kampus Unair

Jika mendengar Persebaya, maka spontanitas kaum Bonek akan menyuarakan diri sebagai suporter loyalnya. Begitulah yang selama ini terlihat. Loyalitas Bonek begitu kentara terlihat di setiap pertandingan Persebaya tampil. Kaum Bonek inipun eksis di kampus biru kuning bernama Unair. Mereka menamakan dirinya dengan Airlangga Bonek atau disingkat dengan Airbone, bahkan mereka mempunyai jargon tersendiri yaitu, “From UNAIR for green force”, dan “Nekat, excellent with morality”.

Komunitas Bonek digagas pertama kali pada tahun 2007 oleh beberapa mahasiswa FISIP dan FEB. Salah satunya adalah Bagus Tedy Prasetyo yang kini sudah lulus. Awalnya, Airbone didirikan untuk mengkoordinir mahasiswa UA pencinta Persebaya dan menjadi wadah untuk berkumpul. “Terlebih jika hendak ada pertandingan kita biasanya kumpul di bawah bendera depan Pinlabs lama”, ujar Bayu Ganang Dwi Prasetyo, bagian

merchandise dan ticketing.

Di awal berdirinya, Airbone masih mengalami kendala terkait koordinasi antar fakultas. Baru pada tahun 2009 mulai dibentuk kepengurusan struktural yang jelas. Sejak tahun 2013, ketua dari Airbone adalah Nico, mahasiswa FEB jurusan Akuntansi. Hingga kini, anggota yang terdata sudah lebih dari seratus mahasiswa. Bahkan di dalamnya turut serta beberapa suporter Persebaya yang juga anggota perempuan yang disebut Bonita.

Rabu malam merupakan kegiatan rutin untuk berkumpul bagi para Airbone ini. Tempat berkumpul mereka biasanya di bawah bendera depan Pinlabs lama. Saat yang paling ramai berkumpul adalah jika Persebaya hendak bertanding. Biasanya rabu malam itu digunakan untuk mendata siapa saja yang hendak berpartisipasi nonton pertandingan tersebut. Rekor terbanyak dari Airbone berkumpul untuk nonton bareng sebanyak 70 mahasiswa. Meskipun nonton bola lekat dengan imej tawuran, kisruh dan lain sebagainya, tapi Airbone lebih memilih sikap tidak turut andil

(11)

dalam tawuran atau kekisruhan itu.

Tak hanya sekedar berkumpul dan meramaikan stadion tatkala Persebaya bertanding, Airbone pun pernah melakukan kegiatan sosial. Saat Ramadhan tiba, komunitas Airbone membagikan takjil kepada masyarakat.

Airbone pernah bekerjasama dengan Bonek dari kalangan mahasiswa ITS dan UPN menggelar donor darah saat memperingati hari lahirnya Persebaya pada 18 Juni beberapa tahun yang lalu. Bertepatan dengan Hari Kartini 21 April 2012 lalu, para Bonita pernah diundang radio HardRock FM untuk ikut merayakan momen tersebut. Awal tahun 2013 kemarin pun sempat mengadakan

welcome party di belakang perpustakaan kampus B untuk menggaet

mahasiswa baru.

Wadah perkumpulan para Bonek ini yang tergabung dalam Airbone, menjadi suatu komunitas yang menarik dan menyenangkan bagi para anggotanya. “Seru. Dapat keluarga, dan pengalaman baru. Bahkan senang sekali jika bisa ikut mendukung Persebaya sampai keluar kota. Di stadion tidak sendiri, ada yang bisa diajak bicara. Selama nontonpun ada dresscode seperti baju dan syal yang tambah merasa punya banyak saudara”, papar Bayu, mahasiswa jurusan Pariwisata FISIP, ketika ditanya kesannya selama bergabung di Airbone.

Meskipun kini tengah terjadi konflik dualisme dalam tubuh Persebaya, Airbone sendiri menyikapinya dengan positif. “Intinya kita tetap satu suara untuk mendukung Persebaya yang asli, yaitu yang lahir tahun 1927. Bonek di Airbone ini tetap terkoordinir dengan baik agar tidak goyah” papar Rendy Dwi Prabowo dari FEB, wakil ketua Airbone. Lebih lanjut, Rendy memaparkan bentuk dukungan itu semisal Airbone bersama ribuan Bonek 1927 lainnya menagih janji Walikota Surabaya Tri Rismaharini untuk menolak Konferensi Luar Biasa (KLB) PSSI yang hendak diselenggarakan di Surabaya. (lis)

Referensi

Dokumen terkait

Iklan merupakan bagian dari promosi, oleh karena itu sebagai salah satu media promosi dalam mencapai sasarannya memengaruhi konsumen harus mampu memberikan kesan yang

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Bercak-bercak pu -bercak putih yang tih yang tidak gatal d tidak gatal di dada dan pungg i dada dan punggung ung kanan atas kanan atas bertambah banyak sejak sejak

Data yang digunakan untuk monitoring dan evaluasi kehadiran mahasiswa dalam proses pembelajaran diambil dari data Sistem Informasi Kampus (Sisfokampus) sebagai media bagi dosen

◦ Method 2 : digunakan untuk mendapatkan flag dari item-item yang sedang dipilih dalam List dengan tipe MULTIPLE. Selanjutnya nilai yang didapat akan ditampung di dalam array

Dilihat dari sudut pelaksanaan program JPS-BK selain ditujukan utamanya bagi keluarga miskin yang menjadi kelompok sasaran (Pra KS dan KS I, yang miskin secara ekonomi,

Konsep industri budaya ini masih belum mendapatkan definisi baku mengenai penjelasan industri budaya, akan tetapi hal ini diperkenalkan oleh pemerintah Korea

Memastikan agar layanan atau komponen layanan tetap dapat diakses oleh pengguna pada kondisi-kondisi penyelenggaraan layanan yang tidak ideal.