• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektifitas Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 Masdin Saragih

Dosen Fakultas Hukum USI

Abstrak

Berdasarkan penelitian ternyata pidana perampasan kemerdekaan sangat merugikan baik terhadap orang yang dijatuhkan pidana maupun terhadap masyarakat. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu cara sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan, antara lain dengan meningkatkan dan mendayagunakan penerapan pidana bersyarat.

Dengan mendayagunakan pidana bersyarat maka tujuan pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi secara sekaligus dan terpadu diharapkan dapat tercapai dan akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan sosial baik bagi orang yang dikenai pidana bersyarat maupun masyarakat.

Pidana bersyarat bila didayagunakan akan dapat mencapai tujuan pemidanaan yang bersifat ingratif (pencegahan umum/khusus, perlindungan masyarakat, solidaritas masyarakat, pengimbalan), sebab dengan pidana bersyarat terpidana akan terselamatkan dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya dan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, dengan ketentuan terpidana bersyarat akan mematuhi syarat-syarat (umum/khusus). Demikian pula dengan menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat. Pidana bersyarat diharapkan dapat bermanfaat menjadi suatu kemungkinan salah satu pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula. Dalam penerapan pidana bersyarat masih ditemui hambatan-hambatan dalam sistem pengawasan dan pembinaan, belum adanya pedoman yang jelas dalam perundang-undangan.

--- Kata kunci : Penetapan, Pidana Bersyarat, Pemindanaan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, maka setiap tindakan maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh individu, mas-yarakat maupun pemerintah harus berdasarkan hukum yang dibentuk atas dasar kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Semua

tindakan yang tidak berdasarkan hukum dikatakan sebagai pelang-garan hukum dengan konsekwensi bagi sipelanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum/ perundang-undangan yang telah dilanggarnya. Dalam konteks konsekwensi pelanggaran hukum ini JTC. Simorangkir dan Woejono Sastro-pranoto mengatakan : “hukum

(2)

2 adalah peraturan yang sifatnya

memaksa, yang menentukan ting-kah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman”.

Pada umumnya setiap sar-jana hukum melihat hukum sebagai jumlah peraturan, sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai sifat yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normative karena menentukan apa yang seyogianya, apa yang tidak boleh dilakukan serta menetukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah tersebut.

Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa hukum adalah memegang peranan penting dalam mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan ber-masyarakat dan bernegara serta membawa konsekwensi bagi pelanggar hukum untuk dijatuhi hukuman, dengan tujuan supaya tercipta kerukunan dan kedamaian dalam menjalin kehidupan,

se-bagaimana dikatakan Soedjono Dirdjosisworo tujuan hukum yang sebenar-benarnya adalah meng-hendaki kerukunan dan per-damaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan dalam seluruh lapisan masyarakat.

Didalam hukum pidana, pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut dengan tindak pidana. Dalam kenyataannya bah-wa setiap tindak pidana dapat mengakibatkan kerugian-kerugian, baik yang bersifat individual mau-pun yang bersifat sosial. Oleh sebab itu hukum pidana me-ngancamkan hukuman/sanksi pelaku tindak pidana.

Membahas hukum pidana dengan segala aspeknya yaitu aspek sifat melawan hukum, kesalahan dan pidana, akan selalu menarik perhatian, berhubung de-ngan sifat dan fungsinya yang istimewa. Hukum pidana mem-punyai fungsi ganda yakni primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder sebagai sarana penga-turan tentang kontrol sosial

(3)

3 sebagaimana dilaksanakan secara

spontan atau cara yang dibuat oleh Negara dengan alat perlengka-pannya.

Dengan fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melin-dungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana tidak benar.

Kesadaran untuk menjalan-kan kedua fungsi tersebut diatas secara hati-hati akan semakin menjadi besar bilamana seseorang mendalami lebih lanjut masalah-masalah utama yang terdapat didalam hukum pidana yaitu perbuatan yang dilarang/orang melakukan perbuatan yang dila-rang dan dipidana. Berdasarkan hal tersebut diatas maka usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan. Pembaharuan hukum pidana tersebut mau tidak mau akan mencakup persoalan pelik yang berkaitan dengan tiga masalah pokok didalam hukum pidana sebagaimana telah disebutkan.

Dalam hal yang terakhir, yakni masalah pidana terdapat

suatu masalah yang dewasa ini secara universal harus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitan terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat.

Beberapa Negara, termasuk Indonesia terus berusaha untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non institusional dalam bentuk pidana bersyarat (voorwaardelijke vero-ordeling), dan pidana harta (ver-mogenstraf) misalnya denda.

B. Rumusan Masalah

1. Pengaruh penerapan pidana bersyarat terhadap tuju-an pemidtuju-anatuju-an

2. Apakah manfaat yang di-harapkan dari penerapan pidana bersyarat ?

3. Apa hambatan-hambatan da-lam penerapan pidana ber-syarat ?

(4)

4 PEMBAHASAN

A. Pengaruh Penerapan

Pida-na Bersyarat Terhadap Tujuan Pemidanaan

Pada dasarnya manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk me-ngemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Pancasila sebagai ideologi Negara dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagian hidup akan tercapai bila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhan maupun dalam mewujudkan cita-cita kebahagiaan lahir dan batin.

Dari uraian tersebut di atas, maka tujuan pidana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah tujuan pidana yang bertitik berat pada upaya untuk mem-perbaiki kerusakan individual

ataupun masyarakat (tujuan pe-midanaan yang bersifat integratif), mencakup : pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masya-rakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/ pengimbangan.

Pencegahan terhadap mak-sud melakukan kejahatan mem-punyai aspek ganda yakni yang bersifat individual dan yang bersifat umum. Dikatakan ada pen-cegahan individual, jika seorang penjahat dapat dicegah melakukan kejahatan di kemudian hari dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan ba-ginya. Dalam hal ini dianggap pidana mempunyai daya untuk memperbaiki. Bentuk pencegahan yang kedua ialah pencegahan umum, yang berarti bahwa pen-jatuhan pidana yang dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang-orang lain tercegah mela-kukan kejahatan.

Perlindungan masyarakat se-bagai tujuan pemidanaan mempu-nyai dimensi yang bersifat luas karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemi-danaan. Secara sempit hal ini

(5)

5 digambarkan sebagai

kebijaksa-naan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindungi dari ba-haya pengulangan tindak pidana.

Tujuan pemidanaan untuk memelihara solidaritas msyarakat dalam hal ini mengandung beberapa pengertian, yakni dikaitkan dengan pengertian bahwa pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan, pemidana-an juga bertujuan untuk memelihara atau mempertahan-kan kepaduan masyarakat yang utuh. Dalam solidaritasi ini terkandung juga pengertian solidaritas terhadap korban kejahatan yang erat kaitannya dengan masalah kompensasi terhadap korban.

Sedangkan bila dilihat dari tujuan pemidanaan sebagai pe-ngimbalan/ pengimbangan, dewa-sa ini sudah tidak ada lagi yang menganutnya secara fanatik. Dalam arti sudah tidak ada lagi penganut ajaran pembalasan yang klasik sebagai dasar lahirnya teori tujuan pemidanaan yang bersifat

pembalasan. Pembalasan dalam hal ini bukanlah sebagai tujuan sendiri melainkan sebagai pem-batasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana serta menghindari atau mencegah orang lain main hakim sendiri.

Dengan tujuan pemidanaan sebagaimana dijelaskan di atas, maka tujuan yang paling positif adalah perbaikan yang merupakan tujuan yang paling penting sehingga diadakan syarat-syarat khusus dan pengawasan khusus dalam pidana bersyarat, suatu hal yang mutlak perlu dipertahankan. Hal ini penting supaya lembaga pidana bersyarat berdaya guna dan tidak menimbulkan kesan merupakan pemberian yang murah hati.

Selain pencegahan khusus, maka pidana bersyarat juga mengandung dimensi lain dari tujuan pemidanaan yakni meme-lihara solidaritas masyarakat. Hal ini terlihat dari hal-hal sebgai berikut :

1. Berdasarkan Pasal 14 c KUHP, maka disamping sya-rat umum bahwa terpidana

(6)

6 tidak akan melakukan tindak

pidana, hakim dapat mene-tapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus meng-ganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya. Di samping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi semasa percobaan atau selama sebahagian masa percobaan. Kewajiban meme-nuhi syarat khusus ini merupakan pencerminan da-ri usaha untuk mengem-balikan keseimbangan sosial dalam bentuk solidaritas sosial terpidana.

2. Dalam Pasal 14 d ayat (2) KUHP ditentukan bahwa untuk memberikan pertolo-ngan atau membantu ter-pidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus, hakim dapat mewajibkannya ke-pada lembaga-lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah

penampung atau pejabat tertentu dalam bentuk partisipasi masyarakat di dalam pembinaan narapida-na bersyarat.

Pengaruh penerapan pidana bersyarat terhadap tujuan pemi-danaan berupa perlindungan mas-yarakat terlihat pada tujuan negatif pidana bersyarat yakni untuk menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana penca-butan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya. Alasan ini sangat penting bilamana benar-benar tidak perlu dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana yang lebih berat.

Dengan menghindarkan ter-pidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan, maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya pen-jahat yang lebih berat yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Sehingga dengan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di masya-rakat yang secara fakultatif dapat dibantu oleh lembaga reklasering,

(7)

7 hal ini merupakan cermin yang

mengutamakan pengakuan, peng-gunaan, dan pengimbangan atas rasa tanggung jawab yang merupakan bagian yang penting dari setiap manusia, termasuk pelaku tindak pidana, baik dipandang sebagai cara penerapan pidana ataupun dianggap sebagai pidana pokok yang mandiri, maka sifat pidana yang mengandung unsur penderitaan atau nestapa sedikit banyak tetap ada. Hal ini merupakan relevansi pidana ber-syarat dengan tujuan pemidanaan yang bersifat pengimbalan/pe-ngimbangan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pidana bersyarat pada dasarnya akan efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan yang bersifat integratif jika pen-jatuhannya oleh hakim didasari oleh pertimbangan yang bijaksana dan dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggungjawab oleh ter-pidana bersyarat dan disertai dengan pengawasan dari pihak-pihak terkait.

B. Manfaat Penerapan Pidana

Bersyarat

Pengadilan hendaknya me-nentukan sikap bahwa di dalam peradilan pidana hendaknya di-utamakan kemungkinan penjatu-han pidana bersyarat. Penge-cualian terhadap hal ini dapat dibatasi terhadap kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni kejahatan-kejahatan kekerasan yang menggunakan senjata sehingga mematikan korban, kejahatan kesusilaan yang membuat korban sangat men-derita, kejahatan terhadap kea-manan Negara, ekonom, Bandar narkoba atau korupsi.

Dalam hal menjatuhkan pi-dana bersyarat, pengadilan harus menentukan adanya bimbingan dan pengawasan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Pidana bersyarat ber-manfaat bagi terpidana maupun masyarakat. Manfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki penjahat terutama bagi penjahat pemula tanpa harus memasukkannya kedalam penjara, artinya tanpa membuat derita bagi

(8)

8 dirinya dan keluarga, mengingat

pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seseorang terpidana, teru-tama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat yang sesungguhnya. Misalnya karena terdesak untuk kebutuhan mem-beli obat anaknya ia terpaksa mencuri, kemelaratan dan untuk makan, ia mencuri sebungkus roti, kejahatan-kejahatan culpa dan lain-lain.

Manfaat lembaga pidana bersyarat ini akan tampak jelas jika dikaitkan dengan suatu ma-salah yang bersifat universal yakni adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang dalam kenyataannya terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana maupun terhadap masyarakat.

Kerugian-kerugian tersebut sebagai berikut :

1. Secara filosofis terdapat per-tentangan yakni disatu pihak

tujuan pencabutan perampa-san adalah menjamin penga-manan narapidana, tetapi dilain pihak memberikan kesempatan kepadanya un-tuk direhabilitaskan.

2. Pidana perampasan kemer-dekaan sering kali menga-kibatkan dehumanisasi si pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi pelaku tindak pidana berupa ketidakmam-puan untuk melanjutkan kehidupannya secara pro-duktif dalam masyarakat. 3. Proses sosisalisasi

nara-pidana kedalam masyarakat-masyarakat narapidana cen-derung membuat seorang narapidana menjadi residivis. 4. Pencabutan kemerdekaan,

baik yang berjangka panjang maupun yang berjangka pen-dek akan menimbulkan cap jahat (stigma) bagi narapi-dana dan bekas narapinarapi-dana yang akan menempatkan terpidana diluar lingkungan teman-temannya dan masya-rakat.

(9)

9 5. Pidana pencabutan

kemer-dekaan jangka pendek sangat tidak bermanfaat, sebab tidak dapat menunjang secara efektif kedudukan pidana perampasan kemer-dekaan, baik sebagai sarana menjadikan terpidana tidak mampu maupun sarana pencegahan baik yang bersifat umum maupun khusus.

Di berbagai Negara di dunia termasuk Indonesia, terus diusa-hakan untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat institusional dalam bentuk pidana bersyarat. Meskipun telah diadakan usaha-usaha pembaha-ruan dan perbaikan, baik yang bersifat praktis maupun teoritis untuk mengurangi akses pidana perampasan kemerdekaan, namun merupakan suatu kenyataan, bahwa disuatu pihak pidana perampasan kemerdekaan akan tetap ada, dan dilain pihak keburukan-keburukan yang mele-kat pada pidana perampasan kemerdekaan sulit dihindari. Jadi

sekalipun pidana perampasan kemerdekaan diusahakan untuk tumbuh sebagai sarana reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindakan pengamanan dan pe-ngendalian narapidana tidak dapat ditinggalkan.

Sebaliknya pidana bersyarat sebagai salah satu alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan mempunyai keunggulan-keung-gulan tersendiri disbanding pidana perampasan kemerdekaan, karena dalam hal ini pembinaan pelaku tindak pidana dilakukan di dalam masyarakat, sehingga kerugian-kerugian yang mungkin terjadi akibat penerapan pidana peram-pasan kemerdekaan dapat di-hindari.

Penerapan pidana bersyarat mengandung keuntungan-keuntu-ngan sebagai berikut :

1. Memberikan kesempatan ke-pada terpidana untuk mem-perbaiki dirinya di dalam masyarakat.

2. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasa-an-kebiasaan sehari-hari

(10)

se-10 bagai manusia sesuai dengan

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

3. Mencegah terjadinya stigma 4. Memberikan kesempatakan

kepada terpidana untuk berpartisipasi dalam peker-jaan-pekerjaan yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarganya 5. Biayanya lebih murah

dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan 6. Dengan pembinaan di luar

lembaga, maka para petugas Pembina dapat menggunakan segala fasilitas yang ada dalam masyarakat untuk mengadakan rehabilitasi terpidana.

Untuk dapat mencapai ke-untungan-keuntungan pidana ber-syarat tersebut, harus dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penerapan pidana bersyarat, sebagai bahan untuk mengambil langkah-langkah guna mendaya-gunakan pidana bersyarat, sebab dalam kenyataannya tampak bahwa penerapan pidana ber-syarat di Indonesia tidak dapat

efektif sehubungan dengan ba-nyaknya hambatan yang terjadi.

C. Hambatan-Hambatan

da-lam Penerapan Pidana Bersyarat

Sebagaimana telah dijelaskan demikian juga berdasarkan pene-litian di Pengadilan Negeri Pematangsiantar, ternyata bahwa pidana bersyarat ini masih jarang diterapkan sekalipun terhadap perkara-perkara yang tergolong ringan, seperti pencurian dengan nilai kerugian korban yang tidak terlalu besar.

Ada beberapa faktor peng-hambat yang menyebabkan pene-rapan pidana bersyarat ini masih tidak memuaskan, dalam hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Dalam sistem pengawasan dan pembinaan.

a. Pasal 284 KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas dan pengamat di dalam pelaksanaan pi-dana bersyarat ternyata belum berfungsi sebagai-mana mestinya.

(11)

11 b. Belum melembaganya

po-la-pola pengawasan yang dilakukan dalam sistem kerja sama di dalam pe-ngawasan.

c. Tidak berkembangnya lembaga-lembaga rekla-sering swasta yang se-benarnya merupakan sa-rana yang sangat penting dalam melaksanakan pe-ngawasan dan pembinaan narapidana bersyarat. 2. Dalam perundang-undangan

:

a. Belum adanya pedoman yang jelas tentang pene-rapan pidana bersyarat yang mencakup hakekat, tujuan yang hendak dica-pai serta ukuran-ukuran dalam penjatuhan pidana bersyarat.

b. Tidak adanya pedoman penerapan pidana bersya-rat tersebut, menyebab-kan timbulnya pertimba-ngan-pertimbangan yang berdasar atas subjektifitas hakim di dalam mengadili suatu perkara. Subjekti-fitas tersebut

kadang-kadang terlalu bersifat psikologis yang saa sekali tidak relevan untuk dijadikan dasar penjatu-han pidana bersyarat. 3. Dalam bidang teknis dan

administrasi :

a. Terpidana tidak ditemui (tidak ada) di rumah. b. Terpidana berdomisili di

wilayah yang sulit untuk dijangkau.

c. Terpidana pindah tempat tinggal secara diam-diam. 4. Dalam bidang sarana dan

prasana

a. Kurangnya sarana ang-kutan untuk pelaksanaan tugas pengawasan

b. Petugas-petugas penga-was (BAPAS) jumlah sangat terbatas.

c. Anggaran perjalanan dinas untuk pengawasan juga sangat terbatas jumlahnya. 5. Dalam proses penjatuhan

pidana :

a. Jaksa dan hakim masih sangat selektif dan mem-batasi diri di dalam me-nuntut atau menjatuhkan sanksi pidana bersyarat,

(12)

12 walaupun sebenarnya

KUHP memberikan ke-mungkinan untuk mene-rapkan sanksi bersyarat secara lebih luas. Hal ini tampak pada masih se-dikitnya jenis-jenis tindak pidana yang menjadi dasar bagi hakim untuk men-jatuhkan pidana bersyarat dan masih sedikitnya penjatuhan pidana ber-syarat dibandingkan de-ngan penjatuhan pidana perapasan kemerdekaan, dalam hal mana pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek berupa pidana kurungan masih banyak dijatuhkan.

b. Terpidana tidak diberikan penjelasan tentang syarat-syarat pidana bersyarat-syarat, sehingga tidak mengetahui secara jelas pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si terpidana bersyarat.

c. Hakim tidak memperoleh laporan pemeriksaan

pri-badi pelaku tindak pidana yang sangat penting se-bagai bahan untuk memu-tuskan pidana secara te-pat.

d. Pedoman penjatuhan pi-dana bersyarat tidak ha-nya meha-nyangkut hal-hal yang bersifat objektif (yang menyangkut per-buatannya), tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat subjektif (yang menyangkut si pembuat). Pelaksanaan pidana bersya-rat, harus selalu dihubungkan de-ngan keseluruhan sistem pe-nyelenggaraan hukum pidana dalam arti luas, sebab hampir segala sub sistem di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana dalam arti luas ini terlibat di dalamnya. Rasa keterlibatan ter-sebut masih harus di tingkatkan secara sistematis, sebab pelak-sanaan pidana bersyarat sampai saat ini belum mencerminkan asas-asas umum yang mendasari pidana bersyarat.

Melihat kenyataan tersebut, maka kiranya cukup beralasan untuk meningkatkan usaha-usaha

(13)

13 guna melembagakan pidan

ber-syarat ini di dalam masyarakat. Lembaga legislatif baik pusat maupun di daerah di harapkan dapat memikirkan pembiayaan yang cukup memadai. Individu dan organisasi-organisasi sosial di dalam masyarakat serta lembaga-lembaga pemerintah yang di tugasi dalam pelaksanaan pidana ber-syarat ini sudah seharusnya mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat serta badan legislatif, dalam rangka memperkenalkan dan menggalakan pentingnya penanganan pelaksanaan pidana bersyarat secara sungguh-sungguh.

Demikian pula kurangnya partisipasi individu-individu serta lembaga-lembaga reklasering swasta di dalam menunjang pembinaan narapidana bersyarat perlu mendapat perhatian. Untuk mengatasi kelemahan ini perlu dipikirkan adanya pedoman mi-nimum pembinaan yang mencakup standar pengawasan, riset dan statistik, persyaratan-persyaratan kerja dan subsidi pemerintah

terhadap lembaga-lembaga rek-lasering swasta.

Suatu hal yang sangat stra-tegis kedudukannya di dalam pe-laksanaan pidana bersyarat adalah petugas pembinaan terpidana ber-syarat, yakni semacam probation officers di Inggris dan Amerika Serikat. Jabatan petugas Pembina ini merupakan propesi yang memerlukan persyaratan-persya-ratan cukup tinggi, khususnya dalam kaitannya dengan latar belakang pendidikan. Dalam hal ini di utamakan bagi mereka yang mempunyai bidang studi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu tentang perilaku manusia serta penga-laman kerja di dalam pekerjaan-pekerjaan sosial. Mengingat bahwa petugas Pembina tersebut berasal dari lingkungan pendidikan dan lingkungan sosial yang berbeda-beda, maka diperlukan pendidikan khusus yang seragam dalam bidang-bidang studi yang ber-kaitan dengan tugasnya sebagai Pembina, sebelum yang ber-sangkutan menjalankan tugasnya.

Di dalam menjalankan tu-gasnya, maka petugas Pembina ini sebaiknya mendapatkan bantuan

(14)

14 daripada sukarelawan yang

mem-punyai pengalaman dengan pelaku tindak pidana. Mereka ini sangat penting untuk menunjang prog-ram-program perbaikan narapi-dana bermaysarakat di mas-yarakat, sebab seringkali per-soalan-persoalan yang timbul tidak mungkin di pecahkan oleh petugas Pembina sendiri disebabkan kemungkinan tidak mempunyai kemungkinan untuk itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam hal ini masalah-masalah yang menyangkut psikologi dan psikiatri hanya mungkin dipe-cahkan oleh para ahli-ahli psikologi dan psikiatri, sebab mereka inilah yang dapat mematahkan hambatan komu-nikasi yang ada di antara manusia-manusia dengan latar belakang yang bermacam-macam.

Selanjutnya untuk mening-katkan kemampuan para petugas Pembina, maka harus ada ker-jasama antara lembaga-lemabaga yang mempunyai wewenang di dalam pembinaan petugas pem-binaan dengan lebaga-lembaga pendidik terutama perguruan tinggi, sebab dengan

meng-kombinasikan pengalaman kerja mereka serta latihan-latihan yang telah diperolehnya dengan ilmu pengetahuan kemanusiaaan dan perilaku, maka diharapkan hasil yang diperoleh di dalam tugas-tugas pebinaan akan lebih efektif.

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penerapan pidana bersyarat bila didayagunakan akan mencapai tujuan pemidaan yang bersifat integratif (pencegahan umum/khusus, perlindungan masyarakat, solidaritas masyarakat, pengimbalan), sebab dengan pidana bersyarat terpidana akan terselamatkan dari penderitaan pidana penca-butan kemerdekaan khusus-nya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya dan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, dengan keten-tuan pidana bersyarat akan mematuhi syarat-syarat (um-um/khusus). Demikian pula

(15)

15 dengan menghindarkan

ter-pidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemer-dekaan maka masyarakat akan terlindungi dan ke-mungkinan timbulnya pen-jahat yang lebih berat.

2. Penjatuhan pidana bersyarat diharapkan dapat berman-faat menjadi suatu ke-mungkinan pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula.

3. Dalam penerapan pidana bersyarat masih ditemui hambatan-hambatan dalam sistem pengawasan dan pem-binaan, belum adanya pedo-man yang jelas dalam per-undang-undangan, hambatan dalam tekhnis administrasi, kurangnya sarana dan prasarana serta sikap jaksa dan hakim yang masih sangat membatasi diri untuk me-nuntut/ menjatuhkan pidana bersyarat.

B. Saran

1. Diperlukan keberanian ha-kim untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi pelaku tindak pidana dalam perkara-perkara tertentu yang sifat-nya berdasarkan keadaan-keadaan tertentu dan menurut penilaian hakim patut untuk dijatuhi pidana bersyarat.

2. Agar pemerintah dapat me-nyediakan anggaran pem-biayaan yang cukup dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pidana bersya-rat tersebut.

3. Perlu dirumuskan dan ditetapkan sistem untuk keseragaman, baik didalam pola pengawasan maupun sistem kerjasama di antara pihak-pihak yang terlibat didalam pengawasan pidana bersyarat tersebut, sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk keberhasilan pengawasan.

DAFTAR PUSTAKA Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum

(16)

16 Grafindo Persada,

Jaka-rta,2010.

Dirdjosisworo, Soedjono, Pengan-tar Ilmu Hukum, Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum,

Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Lamintang, PAF., Hukum

Penin-tensier Indonesia, Armico, Bandung, 1998.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung, 2008.

Prakoso Djoko, Hukum Penin-tensier, Liberty, Yogjakarta, 1968.

Priyatno, Dwidja, Sistem Pelak-sanaan Pidana Penjara di Indonesia, refika Aditama, Bandung, 2006.

Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, 2004.

KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Asa Mandiri, Jakarta, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made di Sabu adalah orang Sabu diaspora yang telah merantau dan meninggal di tanah rantau telah kembali dalam rumah

BAB II GAYA BELAJAR BERDASARKAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA KONSEP SISTEM PERNAPASAN MANUSIA A.. Gaya

Proses pembebanan untuk membuat hak tanggungan di atur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan didahului janji untuk

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa keempat pengajar telah sepakat bahwa teknik komunikasi yang dilakukan dengan anak autis dalam berkomunikasi di kelas

Seperti yang diungkapkan oleh Arikunto (2006, hlm. 86) yang menjelaskan bahwa pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang digunakan oleh peneliti dalam memneliti

Perbandingan Latihan Toss Ball Menggunakan Metode Bagian Dengan Metode Keseluruhan Terhadap Hasil Pukulan Dalam Olahraga Permainan Softball. Universitas Pendidikan Indonesia |

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran brainstorming pada mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan efektif dalam proses

Hal ini mengandung makna bahwa memberikan peran yang lebih besar kepada Apratur pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengendalian APBD, serta penerapan akuntansi keuangan