• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Teori Penokohan. Mido dalam Abriani (2006:8) menjelaskan bahwa sebuah cerita tentu terdiri dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Teori Penokohan. Mido dalam Abriani (2006:8) menjelaskan bahwa sebuah cerita tentu terdiri dari"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Teori Penokohan

Mido dalam Abriani (2006:8) menjelaskan bahwa sebuah cerita tentu terdiri dari peristiwa atau kejadian. Suatu peristiwa terjadi karena aksi atau reaksi tokoh-tokoh. Mungkin antara tokoh dengan tokoh, antara tokoh dengan lingkungan atau mungkin pula antara tokoh dengan dirinya sendiri.

Nurgiantoro dalam Abriani (2006:8) juga menjelaskan bahwa dalam pembicaraan sebuah fiksi, istilah ’tokoh’ menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya. Penokohan dan karakterisasi - karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh2 tertentu dengan watak2 tertentu dalam sebuah cerita

Menurut Nurgiantoro dalam Pertiwi (2006:8) menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang di tampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan juga mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita. Sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada tekhnik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.

Nurgiantoro dalam Abriani (2006:8-9) menerangkan bahwa istilah ”karakter”, yaitu:

Penggunaan istilah karakter (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda yaitu sebagai tokoh - tokoh

(2)

cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh – tokoh tersebut.

Menurut Oemarjati dalam Abriani (2006:9) menerangkan bahwa tokoh hidup dalam cerita ialah tokoh yang mmpunyai tiga dimensi, yaitu:

1. Dimensi fisiologis, yaitu ciri – ciri fisik sang tokoh: jenis kelamin, umur, keadaan tubuh/tampang, ciri – ciri tubuh, raut muka dan sebagainya.

2. Dimensi sosiologis, yaitu unsur – unsur status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, pendidikan, pandangan hidup, agama dan kepercayaan, dan lain-lain.

3. Dimensi psikologis, yaitu mentalitas, tempramen, perasaan – perasaan dan keinginan pribadi, sikap dan watak, kecerdasan, dan lain-lain.

2.2 Teori Keluarga

Keluarga menurut Osada dalam Prayogo (2007:18-19) adalah sebagai berikut:

家族は「夫婦を中心とし、親子、兄弟などの近親の血緑者を構成員とす

る.互の哀情と信頼の性で結ばれた小集団である」という定義である。 Terjemahan:

Definisi dari keluarga adalah ”suami istri sebagai pusat, anggota kerabat dekat yang mempunyai hubungan darah adalah orang tua dan anak, kakak adik dan lain – lain. Anggota tersebut saling mengasihi satu sama lain dan mempunyai ikatan kepercayaan yang mengikat.

Suparlan dalam Tobing (2006:1) mendefenisikan keluarga sebagai unit terkecilri masyarakat dan merupakan pranata sosial yang sangat penting bagi kehidupan sosial setiap masyarakat. Keluarga juga merupakan suatu satuan kekerabatan dan satuan

(3)

tempat tinggal. Suatu keluarga dapat ditandai dengan adanya kerjasama ekonomi antar anggota keluarga.

Definisi keluarga Jepang menurut Kiyomi dalam Soelistyowati (2003:18) adalah sebagai berikut:

家族とは夫妻関係を基礎として、親子、きょうだいなど近親者 を する、感情 裔虫合に支えられた、第一次的福祉追求の集団である。 Terjemahan :

Suatu kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak- adik dan orang tua – anak dengan suami istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan. Orang tua dapat mempengaruhi perkembangan anak-anaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui pelaku orang tua sebagai model yang dapat diamati oleh anak-anaknya, hal ini disebabkan oleh pengalaman masa lalu dan kepribadian orang tua sehingga secara tidak sadar mempengaruhi penerapan pola asuh pada anaknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua pada tiap keluarga berbeda satu sama lainnya. Perbedaan ini bergantung pada pandang hidup, pendidikan, status sosial dan karakteristik yang ada pada diri masing – masing orang tua (Kail,2001:395).

Menurut Gunarsa (2004:1) pemberian kasih sayang dan pola asuh yang baik serta sesuai dengan perkembangan anak merupakan faktor yang kondusif dalam mempersiapkan anak menjadi pribadi yang sehat. Karena keluarga merupakan suatu wadah atau tempat dalam memenuhi kebutuhan manusia, terutama dalam hal biologis maupun pengembangan kepribadian dan pertahanan hidupnya.

(4)

Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya (Yusuf, 2007:38).

Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menerapkan pola asuh dan menjalankan fungsi – fungsinya sebagai orang tua secara tepat dan sesuai kebutuhan pada anak. Kesalahan dalam menerapkan pola asuh akan berakibat buruk pada perkembangan anak (Yusuf , 2007:43-44).

Yusuf (2007:41) juga mengatakan bahwa bimbingan kedua orang tua sangat berperan penting dalam memberikan pemahaman atau wawasan tentang dirinya (anak) dan lingkungannya, dan juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupan.

Menurut Manurung (1995:73) ciri – ciri keluarga normal adalah sebagai berikut:

1. Keluarga yang lengkap strukturnya (ayah, ibu dan anak).

2. Interaksi sosial yang harmonis.

3. Adanya kesepahaman merumuskan norma – norma tidak akan menimbulkan pertentangan pada norma atau peraturan tersebut.

Apabila di dalam suatu keluarga terjadi perubahan sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya, maka akan terjadi disorganisasi dalam keluarga (Soekanto, 2002:370).

(5)

Keluarga yang harmonis adalah apabila struktur keluarga itu utuh dan interaksi di antara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis diantara mereka cukup memuaskan dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Apabila struktur keluarga itu tidak utuh lagi misalnya karena kematian diantara orang tua atau karena perceraian, maka kehidupan keluarga tidak harmonis lagi. Keadaan seperti itu dinamai keluarga pecah dengan bahasa asing yang disebut ”broken home” (Willis, 1994:64).

Hawari (1996:179) juga menambahkan bahwa di dalam sebuah keluarga yang tidak harmonis adalah keluarga dengan struktur yang tidak lengkap. Ketidaklengkapan struktur keluarga ini disebabkan kematian, perceraian, perpisahan ataupun karena pertengkaran ayah dan ibu, sehingga mengganggu hubungan interpersonal antar anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga seperti ini mengalami yang di sebut disharmonis atau disfungsi dalam keluarga.

Broken home dapat juga terjadi apabila Ayah dan Ibu sibuk mengurus kepentingannya di luar rumah, Sehingga jarang sekali berkumpul bersama anak- anak mereka (Willis, 1994:64).

Keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan (broken home) merupakan faktor penentu bagi berkembangnya kepribadian anak yang tidak sehat. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, ditemukan bahwa hubungan interpersonal dalam keluarga yang patologis atau tidak sehat telah memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap sakit mental seseorang (Yusuf, 2007:44).

Keluarga merupakan suatu sistem kesatuan yang terdiri dari anggota yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Perubahan pada salah suatu anggota dan

(6)

keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain (Zeits & Prince, dalam Kilis 2003:1).

2.3 Konsep Keluarga Jepang Dewasa Ini

Menurut Cudill dalam Kartikawati (2000:41-42) menyatakan bahwa apabila dibandingkan dengan ibu-ibu di Amerika Serikat, ibu-ibu Jepang lebih banyak melewatkan waktu bersama anak-anaknya di rumah.

Dikatakan pula menurut Vogel dalam Kartikawati (2000:41-42) bahwa selama masa pengasuhan anak, ibu-ibu Jepang pada umumnya jarang sekali meninggalkan anaknya sendirian di rumah, bagi ibu-ibu Jepang mengasuh anak merupakan tugas yang harus dilakukan sendiri. Anak-anak Jepang jarang sekali berpisah dengan ibunya, dan sebaliknya, ibunya pun tidak akan membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain seperti yang banyak dilakukan ibu-ibu di negara-negara Barat.

Menurut Imamura dalam Kartikawati (2000:40) bahwa bagi wanita Jepang, peran seorang ibu rumah tangga merupakan hal yang sangat serius, dan sering pula disebut sebagai profesi yang merupakan karir seorang wanita seumur hidup (eikyu shoshoku), sedangkan bekerja di kantor merupakan pekerjaan sementara (koshikake).

Ohinata dalam Erawati (1998:4) mengatakan pembangunan ekonomi itulah menuntut wanitanya untuk ikut berperan tidak saja sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai pekerja yang bisa menghasilkan uang.

(7)

Hatmadji, Siregar dan Saputra dalam Erawati (1998:4) menambahkan bahwa keadaan ekonomi keluarga menuntut wanita bekerja agar dapat menambah penghasilan keluarga dengan semakin meningkatnya kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Dengan demikian keadaan telah mendorong wanita untuk secara aktif berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja

Begitu juga dengan peran ayah di dalam keluarga sangat penting bagi perkembangan dan kepandaian anaknya, karena masyarakat Jepang mempercayai bahwa ayah mengajarkan anak – anaknya tentang norma masyarakat yang diperlukan dalam hubungan sosial dengan orang lain selain dengan orang – orang di dalam keluarga batih. Setelah Perang Dunia II, sejak giat-giatnya Jepang membangun negaranya, peran ayah lebih banyak di tempat kerjanya daripada di rumah. Sering kali juga kantor mengharuskan ayah untuk bertugas ke luar kota, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kantor untuk mengerjakan pekerjaan kantornya. Kesibukan ayah di kantor menyebabkan munculnya ungkapan hatarakibachi (働き蜂) atau lebah pekerja, yaitu ayah yang tugasnya hanya sebagai pencari nafkah tidak memikirkan kehidupan dirumahnya. Selain itu, ada juga ungkapan kaishaningen (会社人間) atau manusia

perusahaan, karena keberadaannya lebih banyak di perusahaan daripada di rumah (Madubrangti, 2008:55-56).

2.4 Teori Remaja

Menurut Konopka dalam Yusuf (2007:184) bahwa masa remaja ini meliputi remaja awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (19-22 tahun). Dalam

(8)

buku yang sama, Salzman dan Pikunas mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat – minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai – nilai estetika dan isu-isu moral. Mereka juga mengemukakan, bahwa periode remaja ini di pandang sebagai masa “storm & stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan social budaya orang dewasa.

Yusuf (2007:209) juga berpendapat bahwa remaja sebagai individu sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi becoming, yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, remaja memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Erikson dalam Yusuf (2007:188) berpendapat bahwa remaja bukan sebagai periode konsolidasi kepribadian, tetapi sebagai tahapan penting dalam siklus kehidupan. Masa remaja berkaitan erat dengan perkembangan “sence of identity vs role confusion”, yaitu perasaan atau kesadaran akan jati dirinya. Apabila remaja berhasil memahami dirinya, peran-perannya, dan makna hidup beragama, maka dia akan menemukan jati dirinya, dalam arti dia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya apabila gagal, maka dia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingungan ini berdampak kurang baik bagi remaja. Dia cenderung kurang dapat menyesuaikan dirinya, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.

(9)

Soekanto dalam Aswati (2000:1) mengemukakan bahwa masa remaja sebagai suatu masa transisi dari masa anak – anak kemasa dewasa yang mempunyai permasalahan tersendiri yang menarik untuk di simak, misalnya tentang kenakalan remaja, kemerosotan moral remaja, pelanggaran seksual, aktivitas – aktivitasnya, keberaniannya menghadapi tantangan – tantangan.

Menurut Ali dan Asrori (2005:91) berpendapat bahwa masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Kemiskinan akan hubungan atau perasaan kesunyian remaja disertai kesadaran sosial psikoligis yang mendalam yang kemudian menimbulkan dorongan yang kuat akan pentingnya pergaulan untuk menemukan suatu bentuk sendiri.

Menurut Yusuf (2007:61) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya mempunyai kontribusi yang sangat positif terhadap perkembangan kepribadian remaja. Namun di sisi lain, tidak sedikit remaja yang berperilaku menyimpang, karena pengaruh teman sebayanya. Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orangtuanya kurang baik. Apabila hubungan remaja yang sehat, dapat melindungi remaja tersebut dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat. Tidak sedikit remaja yang berperilaku menyimpang, karena pengaruh teman sebayanya.

(10)

2.5. Teori Penyimpangan Seksual

Menurut Gea (2004) berpendapat bahwa nilai dan norma memiliki kaitan sangat erat. Oleh karena itu, berhadapan dengan suatu norma, aturan, atau hukum, seharusnya tidak boleh berhenti pada norma, aturan, atau hukum itu sendiri, melainkan berusaha mencari tahu nilai apa yang ingin ditegakkan, di bela, atau di junjung tinggi di belakang norma itu. Dari pencarian yang kritis itu dapat diketahui apakah suatu norma pantas atau tidak pantas untuk ditaati. Tindakan seperti itu akan menghindarkan dari sikap tunduk pada norma atau aturan secara buta, yaitu menaati suatu norma demi norma itu sendiri dan bukan demi suatu nilai yang terbentang didalamnya.

Seringkali dalam masyarakat terdapat pengertian bahwa tingkah laku seksual khususnya yang tidak sesuai dengan norma – norma agama atau norma – norma hukum atau asusila yang dilakukan remaja adalah kelainan atau gangguan atau penyimpangan seksual (Sarwono, 2001:164).

Sarwono (2001:166) juga menjelaskan bahwa gambaran utama dari gangguan ini adalah ketidaksesuaian antara alat kelamin dengan identitas jenis yang terdapat pada diri seseorang. Jadi seseorang yang beralat kelamin laki – laki merasa dirinya wanita, atau sebaliknya. Identitas jenis yang menyimpang ini dinyatakan dalam perbuatan (cara berpakaian, atau sebaliknya), ucapan maupun objek seksualnya. Salah satu penyimpangan seksual adalah hubungan percintaan sesama jenis atau yang lebih di kenal dengan homoseksual.

(11)

2.5. Teori Homoseksual

Perilaku homoseksual selama ini dikenal sebagai perilaku yang menyimpang dari norma perilaku seksual di masyarakat. Meskipun kebanyakan masyarakat di dunia dewasa ini menolak keberadaan perilaku homoseksual, secara history ternyata perilaku ini pernah diterima oleh hampir 150 suku bangsa di dunia ini (Humprey dan Miller dalam Tobing, 2003:3).

Kata homosexual secara etimologi, berasal dari prefix homo- dari Yunani yang berarti “sama” (dibedakan dari prefix homo-, yang berarti manusia) dan kata lain sex yang berarti “jenis kelamin” sehingga kata homosexual berarti seseorang yang orientasi seksualnya tertuju kepada anggota dari gender yang sama (Hyde, 1990:418).

Seseorang lelaki dengan orientasi seksual homoseksual umumnya disebut gay. Sedangkan istilah gay secara jamak (gays, gay people) juga dipakai untuk mengidentifikasikan lelaki (gay) dan perempuan (lesbian) homoseksual secara kolektif (Nevid, 1995:272).

Homoseksual adalah relasi dengan jenis kelamin yang sama atau rasa tertarik dan mencintai jenis kelamin yang sama (Kartono,1991:247).

Homoseksual juga merupakan keadaan seseorang antar anggota jenis kelamin yang sama atau daya tarik seksual bagi anggota jenis kelamin yang sama (Chaplin,2001:228).

Menurut Rathus, Nevid & Rathus (1993:162) mengemukakan bahwa pada umumnya pelaku homoseksual cenderung tetap konsisten dengan gender biologisnya dan tidak akan berusaha merubah alat kelaminnya.

(12)

Handoyo dalam Novita (1996:43-44) mengemukakan jenis – jenis homoseksual yang ditinjau dari segi kejiwaan, terutama dampak kejiwaan yang dialami oleh individu yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut:

1. Homoseksual yang ego-distonik (ego-dystonik homosexuality)

Ego-distonik, yaitu seorang individu yang merasa dirinya homoseksual namun ia merasa tertekan dengan keadaan dirinya tersebut sehingga ia berusaha tampil sebagai seorang yang heteroseksual. Individu tersebut merasa tertekan karena ia tidak dapat menampilkan keadaannya yang homoseksual. Hal ini disebabkan pendidikan moral dan agama yang terlalu kuat dan ketat, tekanan dari keluarga atau masyarakat yang tidak menerima homoseksualitas.

2. Homoseksual ego-sistonik (ego-systonic homosexuality)

Ego-sistonik, yaitu individu homoseksual yang dapat menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya. Ia menyadari bahwa keadaan homoseksual yang ada pada dirinya itu adalah bagian dari kepribadiannya yang sukar atau bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan atau diubah. Pada umumnya individu yang seperti ini dapat hidup, bekerja, bergaul atau menjalankan aktivitasnya sehari-hari secara wajar, tanpa risih atau merasa dirinya aneh.

Menurut Kartono (1991:247) ada beberapa faktor yang menjelaskan sebab – sebab terjadinya homoseksual, antara lain:

(13)

2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal.

3. Seseorang yang selalu mencari kepuasan relasi homoseksual yang menyenangkan pada masa remajanya.

4. Seorang anak wanita atau laki – laki yang pernah mengalami traumatis dengan ayah atau ibunya, sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ayah atau ibunya dan semua laki – laki atau wanita lalu muncul dorongan homoseksual yang jadi menetap.

Referensi

Dokumen terkait

Persentase terbesar penyebab cacat disebabkan oleh jumlah jahitan muka mleot (C1) dengan penyebab ketidaksesuaian Aspek manusia (Personel) meliputi ngantuk, bekerja secara

paragraph Tidak konsisten Konsisten dan sesuai baku Bhs Indonesia …………. Format

Faktor-faktor stresor kerja diatas erat kaitannya dengan para pekerja tambang, contohnya dengan kondisi lingkungan yang kurang stabil para pimpinan dilapangan atau biasa

Pada hasil kromatogram didapat nilai rasio sampel sumur Duri (Gl-47) sebesar 1,266 dan sampel sumur Bangko (PN-026) berkisar 1,035 sehingga mengindikasikan sama-sama

Sehingga masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai penonton dari kegiatan pariwisata, tetapi juga sebagai tuan rumah dan berperan aktif untuk memperoleh manfaat

1. Bayu Widagdo dan Winastwan Gora.S, Produser adalah orang yang bertugas menjadi fasilitator dan menyiapkan segala kebutuhan produksi dari tahap awal hingga tahap akhir,

dapat didekati dengan dua buah garis lurus asimtot, satu garis lurus pada 0 dB untuk daerah frekuensi 0<  <1/T, dan garis lurus dengan kemiringan –20 dB/dekade atau –

penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat Collaborative Governance dalam Penanganan Kasus Eksploitasi Seksual