• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kota dipandang sebagai lingkungan yang tidak menyenangkan. Pada umumnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kota dipandang sebagai lingkungan yang tidak menyenangkan. Pada umumnya"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota dipandang sebagai lingkungan yang tidak menyenangkan. Pada umumnya kota diasosiasikan dengan pengangguran, kemiskinan, polusi, kebisingan, ketegangan mental, kriminalitas, kenakalan remaja, seksualitas, dan sebagainya. Bukan hanya dalam lingkungan fisik saja, tetapi juga dalam lingkungan sosialnya (Sarwono, 1992). Dalam hubungan ini, Horace dan Martial pemah menyatakan kejenuhannya tentang kota sebagai berikut, "... in all the city there is no man who is so near and yet so far from me as my own nextdoor neighbour..." (Pahl, 1971; dalam Sarwono, 1992).

Problem utama yang marak terjadi ialah bahwa masyarakat Jakarta sekarang ini semakin tidak merasa memiliki kota, seperti adanya keluhan akan macet, banjir, hingga mengimajinasikan atau mengharapkan tinggal di kota lain. Masyarakat pun tidak merawat kota seperti membuang sampah sembarangan atau tidak merawat fasilitas publik seperti halte bus, bus kota, telepon umum, dan Iain-Iain; serta masyarakat saling melukai antar warga kota seperti tawuran antar pelajar dan tawuran antar warga.

Keluhan warga akan kemacetan diungkapkan oleh salah seorang warga yang merasa sudah muak dengan kemacetan di Jakarta, hampir semua warga Jakarta pun merasakan hal yang sama. Kemacetan yang sepertinya tidak pernah berkurang terjadi setiap hari di Jakarta. Ada pula pendapat lain mengatakan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah sampai pada titik kritis, tingginya kendaraan pribadi di jalan menurut saya yang menjadi penyebab utama. (Sahrial, 2012).

(2)

sering terjadi di ibu kota, terutama pada masa saat musim hujan. Keluhan pertama disampaikan oleh salah satu warga Jakarta mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi di Jakarta beberapa hari ini nyaris melumpuhkan aktifitas-aktifitas, sampah yang memenuhi saluran air berakibat fatal saat hujan turun. Banjir pun tak dapat dielakan. (Sahrial, 2012).

Selain itu, faktor kedua yang menyebabkan masyarakat semakin tidak merasa memiliki kota ialah kecenderungan warga yang sering membuang sampah sembarangan. Dinas Kebersihan DKI Jakarta menilai kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempatnya masih sekedar slogan saja. Penindakan tegas di lapangan dinilai menjadi solusi satu-satunya memecah persoalan sampah di Jakarta (Raharja, 2012).

Faktor ketiga yang membuat masyakarat semakin merasa tidak memiliki kota di antaranya disebabkan oleh tawuran. Tawuran yang terjadi antara siswa SMAN 6 dengan SMAN 70 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, mengakibatkan satu tewas dan dua luka (Maruli, 2012).

Beberapa kasus kriminalitas tersebut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan adanya gap atau kesenjangan berupa persepsi buruk yang ditimbulkan oleh masyarakat terhadap kota. Selain kasus-kasus tersebut, terdapat faktor lain yang diduga menjadi penyebab ketidaklekatan masyarakat terhadap kota, faktor lain yang diduga menjadi penyebab tidak lekatnya masyarakat terhadap kota ialah tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kepercayaan publik terhadap pemerintah serta partai politik semakin mengkhawatirkan. Penyebabnya tidak lain karena oknum pemerintahan serta partai politik menjadi pemberitaan negatif seiring terbuktinya melakukan tindakan pidana korupsi dan penyelewengan uang negara serta pelanggaran hukum lainnya.

(3)

Selain korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah kota, persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah ialah sulitnya membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) di sejumlah wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah di Kabupaten Pandeglang, Banten. Hal ini mengakibatkan sejumlah warga masyarakat yang masa berlaku KTP-nya sudah habis, menjadi enggan atau malas untuk memperpanjang kembali KTP mereka. Sementara itu, Anda Suhanda Ketua LSM Mahatidana, mengatakan bahwa inilah bukti amburadulnya aturan yang ada di Kabupaten Pandeglang ini (Rosidarta, 2012).

Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah juga terjadi di kota Bali. Menurut kepala Ombudsman RI Perwakilan Bali Umar Ibnu Alkhatab, pelayanan publik di Bali menjadi tolak ukur yang akan menentukan Indonesia juga di tengah posisi Bali sebagai daerah tujuan internasional. Beliau mencontohkan ketika seorang investor yang akan menanamkan modalnya di Bali tidak mendapatkan pelayanan publik, bisa jadi beliau memandang pelayanan Indonesia secara keseluruhan tidak jauh berbeda dengan yang didapatkannya di Bali dan akhirnya berpengaruh pada kepercayaan mereka. Menurutnya pemimpin Bali haruslah mempunyai visi pelayanan publik yang baik, dengan demikian masyarakat dapat memperoleh pelayanan dan informasi yang akurat dari pemerintah (Rhismawati, 2013).

Satu hal yang hingga saat ini seringkali masih menjadi masalah dalam kaitannya dalam hubungan antar rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service (pelayanan umum), terutama dalam hal kualitas atau mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah sebagai service provider (penyedia jasa) bagi masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang semakin berkualitas. Apalagi dalam menghadapi kompetisi di era globalisasi, kualitas dan pelayanan aparatur

(4)

pemerintah akan semakin ditantang untuk semakin optimal dan mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas pelayanan (Oktavianto, 2008).

Salah satu isu reformasi yang digulirkan oleh pemangku kepentingan pemerintahan adalah Good Governance, secara berangsur istilah tata kelola pemerintahan yang baik menjadi populer dikalangan pemerintahan, swasta maupun masyarakat secara umum. Istilah ini merujuk pada arti asli Governing yang berarti mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam suatu negeri. Karena itu Good Governance dapat diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian (Nawawi, 2012).

Salah satu bentuk good goverance yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ialah merayakan ulang tahun ibu kota Jakarta bersama masyarakat dalam berbagai kalangan. Beliau berharap dengan momen ulang tahun ini, para warga bisa lebih ikut merasa memiliki Jakarta. Sehingga mereka bisa ikut merawat ibu kota tercinta (Ferri, 2013). "Yang paling penting masyarakat ikut terlibat dalam HUT Jakarta. Sehingga merasa ikut memiliki terhadap Kota Jakarta," ujarnya (Silalahi, 2013).

Terkait dengan berbagai macam masalah sosial yang terjadi di ibu kota ini, maka dalam penelitian ini peneliti ingin menyelidiki salah satu faktor yang dianggap dapat melekatkan masyarakat terhadap kota, salah satunya adalah partisipasi dalam komunitas musik perkotaan.

Dalam sebuah komunitas perkotaan, terdapat beberapa aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Aktivitas-aktivitas

(5)

tersebut antara lain menyampaikan suatu informasi yang menghibur dan mendidik warga kota dan mengembangkan kesadaran kewargaan (citenship education); mengembangkan sikap religiositas yang bertanggungjawab sosial, penuh pengertian, damai dan solider; merancang suatu pembangunan kampung yang efisien, akomodatif, bersih dan sehat; memberikan kesadaran tentang duduk persoalan pelaksanaan pengelolaan kota; serta mengembangkan komunikasi dengan rakyat terutama pada level komunitas (Wirutomo, 2009)

Komunitas musik dibentuk oleh beberapa orang yang tergerak untuk berpartisipasi dalam suatu kelompok yang berperan penting terhadap kenyamanan masyarakat dengan menciptakan atau memainkan alat musik demi menghibur masyarakat setempat. Pembentukan suatu komunitas tidak lepas dari adanya motivasi atau keinginan untuk berpartisipasi dalam komunitas tersebut. Dengan adanya aktivitas-aktivitas tersebut maka masyarakat (dalam penelitian ini: komunitas musik perkotaan) akan menjadi lekat dengan kota.

Peneliti berkesempatan mewawancari beberapa komunitas musik di wilayah Jakarta dan Bali. Di Jakarta, peneliti mendatangi salah satu taman wilayah Jakarta. Di taman tersebut sering menjadi tempat perkumpulan para warga yang bermain musik. Komunitas musik tersebut terdiri dari beberapa individu yang berpartisipasi dalam aktivitas komunitas musik untuk belajar musik demi satu tujuan yaitu menghibur masyarakat yang datang ke taman itu. Tidak hanya bermain musik, para musisi dan orang-orang yang tergerak untuk mendalami musik yang berkumpul di taman itu sering bertukar ilmu dalam hal musik, sehingga tidak ada batasan di antara mereka. Selain itu, pengunjung bebas untuk memainkan alat musik dan bahkan mereka bebas untuk belajar bermusik di taman tersebut.

(6)

Komunitas musik tersebut fokus terhadap perkotaan. Didalamnya terdapat pertukaran informasi yang cukup intensif tentang kota, membincangkan nasib kota, mendiskusikan sejarah perjalanan dan pertumbuhan kota (dulu, kini, dan nanti), dan membuat perencanaan akan kota terkait dengan apa yang bisa dibuat untuk memajukan perkotaan.

Sedangkan di Bali, peneliti mewawancarai para pemain alat musik tradisional seperti gamelan yang bergabung dalam komunitas-komunitas musik tradisional Bali. Mereka mengatakan motif sosial untuk berpartisipasi dalam komunitas musik ialah karena sudah kewajiban bagi masyarakat Bali memainkan alat musik tradisional untuk mengisi upacara-upacara tertentu yang diadakan di Bali, serta untuk mengenalkan musik tradisi Indonesia agar terlihat sejajar dengan musik barat dan tidak ada diskriminasi terhadap musik.

Bagi masyarakat Bali, komunitas memiliki arti penting. Banyak hal-hal positif yg bisa dikerjakan dalam komunitas tersebut seperti berbagi ide, dapat dengan bebas meluapkan imajinasi, membuat karya-karya baru dengan pesan-pesan yang bisa membangun, memotivasi orang dengan karya tersebut. Kesenian pun memiliki arti yang sangat penting bagi rakyat Bali hiburan karena bisa dijadikan media untuk menyalurkan hobi dengan membuat suatu karya seni yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat luas, serta untuk melestarikan kebudayaan Bali seperti tarian dan musik. Terkait dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh anggota komunitas musik Bali tersebut, maka hal tersebut dapat membuat masyarakat menjadi lekat dengan kota.

Dalam penelitian ini membahas mengenai apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan dan kepercayaan pada pemerintah kota mampu memprediksikan kelekatan pada kota. Pada penelitian sebelumnya menyebutkan adanya

(7)

keterkaitan antara kepercayaan (trust) terhadap kelekatan (attachment). Penelitian tersebut ditunjang oleh teori yang dikemukakan oleh Ainsworth yang mengatakan bahwa individu yang memiliki kepercayaan pada orang tua cenderung memiliki kelekatan pada pada orang tua. Selain itu, salah satu karakteristik individu yang memiliki secure attachment adalah sikap hangat dalam berhubungan dengan orang lain. Individu yang secure attachment cenderung lebih bersikap hangat dalam hal ini lebih ramah dalam berhubungan dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga ataupun dalam hal pertemanan (Benokraitis, 1996; dalam Maentiningsih, 2008).

Pembahasan teori dalam penelitian ini berada dalam individual level. Sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai social level, yakni masyarakat yang memiliki kepercayaan pada pemerintah kota diduga dapat memunculkan kelekatan pada kota.

Maka terkait dengan berbagai penjabaran yang telah disebutkan, peneliti menetapkan pentingnya penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan dan kepercayaan pada pemerintah kota dapat berperan dalam melekatkan masyakarat terhadap kota.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan mampu memprediksi kelekatan pada kota?

2. Apakah kepercayaan pada pemerintah kota mampu memprediksi kelekatan pada kota?

3. Apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan dan kepercayaan pada pemerintah kota mampu memprediksi kelekatan pada kota?

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan mampu memprediksi kelekatan pada kota.

2. Untuk mengetahui apakah kepercayaan pada pemerintah kota mampu memprediksi kelekatan pada kota.

3. Untuk mengetahui apakah partisipasi dalam aktivitas komunitas musik perkotaan dan kepercayaan pada pemerintah kota mampu memprediksi kelekatan pada kota.

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya, pendekatan- pendekataan yang berkembang lebih banyak memberikan penekanan kepada proses dan kurang mementingkan aspek isi nilai; Pendekatan yang

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya perencanaan komunikasi yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Untuk maksud tersebut, bersama ini kami kirimkan daftar isian terlampir untuk diisi dan mohon segera dikirim kembali melalui email kreativitas.belmawa@qmait.com paling

Pemilihan kurva leading dan trailing edge menentukan lebar sudu, tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada daya keluaran, hanya pada efisiensi runner pada debit aliran

Hasil analisa salmonella Ikan Pinekuhe di 4 kecamatan Kabupaten Kepulauan Sangihe menunjukan bahwa Ikan Pinekuhe berada dalam keadaan aman atau tidak terkontaminasi oleh

Ini sangkaan yang tidak benar (Blanchard dan Thacker:2004). Jika rasio kurang dari 100 persen, dari biaya program lebih dari itu kembali ke organisasi. Program-program tersebut perlu

Pendidikan merupakan faktor penting dalam mendukung berkembangnya suatu bangsa. Pendidikan menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan ilmu

a) 12 kes yang melibatkan Kluster Jun Heng. b) 6 kes merupakan individu yang disaring melalui pengesanan kes secara aktif kontak kepada kes positif COVID-19. c) 3 kes saringan