• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kemanusiaan, menurut bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar. Berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kemanusiaan, menurut bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar. Berarti"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, menurut bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar. Berarti setiap orang berhak untuk mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan bidang yang diminatinya, bukan dengan paksaan dan dipaksa. Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan dalam hidupnya manusia dituntut untuk bekerja. Setiap manusia yang bekerja pada umumnya adalah disebut pekerja.1 Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yang telah melaksanakan kerja baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja (perseorangan ataupun perusahaan) dan atau jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hak untuk mendapatkan pembayaran/upah atas hasil kerja timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus.

Terciptanya suatu hubungan antara pekerja dengan pengusaha dinamakan dengan hubungan kerja.2 Hubungan kerja merupakan bentuk hubungan hukum yang lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.3 Lahirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja didasarkan pada perjanjian kerja yang memuat syarat-syarat kerja beserta hak dan kewajiban para pihak. Salah satu prinsip dasar hubungan kerja adalah

1 Zainal Asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h.1. 2 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Bidang Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2013, h.50.

(2)

2 menciptakan suatu hubungan yang serasi dan harmonis serta berkeadilan bagi pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian kerja, serta mendapatkan proteksi jaminan sosial yang memadai yang dapat menjamin kelangsungan dalam bekerja dan berusaha. Harmonisasi hubungan kerja merupakan modal dasar untuk menciptakan produktifitas yang baik secara berkesinambungan.4

Berbicara mengenai harmonisasi, terdapat tiga nilai-nilai dasar yang dikemukan oleh Gustav Radbruch mengenai tujuan hukum tersebut adalah kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sebagaimana diketahui bahwa dari adanya tujuan hukum tersebut orientasinya adalah untuk menciptakan harmonisasi pelaksanaan hukum yang kondusif termasuk di Indonesia. Tujuan dari hukum adalah untuk mengayomi manusianya, namun demikian, dalam prakteknya terkadang masyarakat tidak merasa puas dan bahkan menganggap bahwa hukum di Indonesia tidak membawa keadilan bagi masyarakatnya. John S. Mill menyadari bahwa kekuatan dari perasaan-perasaan yang dimiliki setiap orang mengenai keadilan, dan perasaan kecewa mereka jika terjadi ketidak-adilan seperti pada kasus pemberian hukuman berlebih-lebihan terhadap orang yang tidak bersalah. Kuatnya perasaan ini membuat manusia sulit melihat keadilan sebagai bagian dari kemanfaatan.5 Dalam hubungan kerja perlu juga mencerminkan keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak terlebih antara pekerja dengan pengusaha, agar dalam prakteknya dapat tercipta harmonisasi yang baik sehingga tujuan dari adanya hubungan kerja dapat benar-benar terlaksana secara bertanggungjawab.

4 Juanda Pangaribuan, Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Bumi

Intitama Sejahtera, Jakarta, 2010, h.1.

(3)

3 Hubungan kerja atau yang dalam hal ini sering pula disebut hubungan industrial oleh karena sebagian besar berhubungan dengan pekerja dan pengusaha dalam bidang industri. Dalam hal pelaksanaannya, hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha tidak selamanya terjalin dengan harmonis dan dinamis, tidak tertutup kemungkinan setiap saat hubungan itu akan diwarnai perselisihan.6 Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya perselisihan antara pekerja dibutuhkan peran seorang pengusaha yang mampu membangun kepercayaan dari pekerja/buruh untuk tetap pada satu tujuan yang ingin dicapai perusahaan tersebut. Untuk itu perusahaan dapat dikatakan berhasil indikasinya adalah dengan mempertahankan ritme kinerja perusahaan agar dapat mempertahankan pekerjanya. Dalam hal ini perlu adanya loyalitas dari pekerja sebagai dasar tolak ukur untuk melihat seberapa loyal pekerja tersebut terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Keputusan pemutusan hubungan kerja menjadi halal apabila dijatuhkan terhadap pekerja yang dianggap telah melakukan kesalahan yang dapat merugikan perusahaan. Sebaliknya, akan menjadi permasalahan hukum baru apabila dilakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pihak pengusaha tanpa didasari alasan yang kuat dalam melaksanakan keputusan tersebut.

Dalam bidang ketenagakerjaan timbulnya suatu perselisihan antara pengusaha dengan para pekerjanya biasanya berpokok pangkal karena adanya perasaan-perasaan tidak puas akan suatu hal. Pengusaha memberikan kebijakan-kebijakan yang menurutnya sudah cukup baik dan akan diterima oleh pekerja, namun hal tersebut terkadang bertolak belakang dengan pertimbangan dan

6 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

(4)

4 pandangan yang diharapkan oleh pekerja. Oleh karena itu, akibatnya kebijakan yang diberikan kurang maksimal untuk dirasakan oleh setiap pekerja. Dan hal tersebut terkadang akan berdampak pada kinerja para pekerja/buruh, bagi yang menyambut baik kebijakan tersebut akan semakin bersemangat bekerja, akan tetapi berdampak sebaliknya bagi pekerja yang tidak sependapat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pengusaha.

Berbagai macam perselisihan hubungan industrial antara pihak pekerja dengan pengusaha terkadang dapat berdampak buruk bagi kedua belah pihak, bahkan mengalami kerugian secara materiel akibat dari dampak perselisihan tersebut. Kasus yang sering kali terjadi berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial adalah masalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Dasar hukum pemutusan hubungan kerja sendiri terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan secara khusus mengenai tata cara pelaksanaannya terdapat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselsihan Hubungan Industrial. Dalam hal pemutusan hubungan kerja dengan alasan rasional atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Akan tetapi dengan segala upaya pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka wajib bagi pengusaha untuk merundingkan maksud dari pemutusan hubungan kerja tersebut kepada pihak pekerja.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) terkadang merupakan permulaan dari berakhirnya pekerja dalam memperoleh pekerjaan, yang artinya bahwa akan

(5)

5 berdampak terhadap kemampuannya untuk mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari bagi dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Sebagai contoh kasus yang akan penulis angkat sebagai obyek penelitian hukum adalah pada Putusan Nomor 1022 K/Pdt.Sus-PHI/2016. Dimana dalam kasus tersebut yang menjadi perhatian adalah terjadi suatu pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pihak perusahaan yang dalam hal ini adalah PT.Blue Sea Industry. Dalam kasus tersebut pihak perusahaan telah melakukan PHK secara sepihak tanpa alasan yang jelas serta tidak memberikan kepada para pekerja pesangon yang sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah pada pemberian upah proses oleh pengusaha kepada para pekerja/buruh selama proses penyelesaian perselisihan.

Kasus posisi tersebut bermula ketika Para Penggugat yang dalam hal ini adalah 5 orang pekerja/buruh PT.Blue Sea Industry hendak mengajukan tuntutan hak-hak normatif terhadap pengusaha sebagai Tergugat. Akan tetapi sampai pada waktu tertentu tuntutan tersebut tidak ada kesepakatan, sehingga Para Penggugat melakukan aksi mogok kerja dengan resmi melalui prosedur hukum yang berlaku setelah sebelumnya mengadakan perundingan terlebih dahulu dan menghasilkan kesepakatan Perjanjian Bersama (PB) bersama Tergugat. Akan tetapi seiring berjalannya waktu Perjanjian Bersama yang telah disepakati tersebut tidak kunjung direalisasikan, sehingga Para Penggugat menemui pihak Tergugat diwakili oleh ketua PPA.PPMI. PT.Blue Sea Industry dengan harapan Tergugat merealisasikan PB yang telah disepakati. Akan tetapi pihak Tergugat tidak dapat memenuhi permintaan Para Penggugat. Di kemudian hari pihak Penggugat

(6)

6 menemui kembali pihak Tergugat dan meminta untuk bisa membahas masalah PB yang telah disepakati, akan tetapi mendapatkan jawaban ‘tidak bisa’.

Bahwa kemudian pihak perusahaan mengeluarkan pengumuman yang berisi tentang PHK terhadap 22 orang Para Penggugat dengan alasan kontrak sudah habis. Para Penggugat kemudian menanyakan perihal tersebut kepada pihak Tergugat, akan tetapi mendapatkan jawaban ‘siapa yang ikut protes akan di PHK semuanya’. Selanjutnya pihak perusahaan kembali mengeluarkan pengumuman tentang PHK kepada 17 orang Penggugat anggota PPA.PPMI PT.Blue Sea Industry. Sehingga Para Penggugat mengajukan permintaan perundingan Bipartit tetapi ditolak, dan pihak perusahaan kembali melakukan PHK kepada 1 orang Penggugat sehingga jumlah keseluruhan pekerja yang di PHK berjumlah 41 orang.

Bahwa pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat bertentangan dengan Pasal 151 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. PHK sepihak yang ditetapkan oleh pihak perusahaan dapat dinyatakan batal demi hukum, oleh karena adanya PHK tersebut tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan “... pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum...”.

Putusan PHI pada Pengadilan Negeri Semarang menyatakan, pihak Tergugat dianggap telah melanggar mengenai ketentuan Pasal 155 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan yang mana menentukan bahwa pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. Oleh sebab

(7)

7 itu, Hakim berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh Tergugat adalah batal demi hukum dan harus mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayarkan upah dan hak yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja sesuai dengan Pasal 170 Undang-undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan putusan tingkat satu tersebut, Hakim memutuskan bahwa menolak eksepsi seluruhnya Tergugat dan mengabulkan gugatan dari Penggugat Konpensi seluruhnya. Bahwa menurut Pasal 169 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan Tergugat wajib untuk membayarkan upah proses pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan pasal tersebut.

Kemudian merasa kurang puas terhadap putusan Hakim pada pengadilan tingkat pertama, pihak pengusaha yang dahulu Tergugat dan sekarang menjadi Pemohon Kasasi mengajukan gugatan terhadap para pekerja yang dahulu Penggugat menjadi Termohon Kasasi. Dalam putusan Kasasi tersebut pada pokoknya Hakim memperkuat putusan PHI Pengadilan Negeri Semarang, yang intinya adalah menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT.Blue Sea Industry, dan mengabulkan Penggugat Konvensi seluruhnya, serta menyatakan hubungan kerja antara kedua belah pihak telah berakhir putus sejak adanya putusan, menghukum Tergugat untuk membayar hak PHK kepada para Penggugat sebesar yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Dalam pertimbangannya Hakim melihat pada memori kasasi dan dihubungkan dengan pertimbangan Judex

Facti, yang pada intinya adalah memperkuat putusan Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang. Perbuatan Termohon Kasasi bukan alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 82 Undang-undang Nomor 2

(8)

8 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun demikian, hak atas upah proses dari Januari 2015 sampai pada putusan berkekuatan hukum tetap harus diperbaiki karena bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 sehingga upah proses adalah terhitung 6 bulan.

Dalam hal menjatuhkan putusan pengadilan pada perkara PHI tersebut, terdapat beberapa perbedaan dalam pertimbangan Majelis Hakim antara Putusan Tingkat Pertama dan Putusan Tingkat Kasasi. Dalam putusan pengadilan Tingkat Pertama Majelis Hakim dalam memutus mengacu pada Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah dilakukan Judicial Review MK dengan No.37/PUU-IX/2011 mengenai pembayaran upah proses kepada pekerja/buruh sampai perkara memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini mewajibkan pengusaha untuk membayarkan upah proses tanpa batas waktu yang pasti sampai putusan berkekuatan hukum tetap (BHT). Akan tetapi, dalam Putusan Kasasi, Majelis Hakim memberikan pertimbangan serta memutus berpegang pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.03 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa pembayaran kewajiban atas upah proses tersebut ditetapkan maksimum selama 6 bulan upah, yang berarti bahwa dalam memenuhi kewajibannya untuk membayarkan upah selama proses penyelesaian sengketa pihak pengusaha cukup membayarkan upah proses selama 6 bulan upah tanpa perlu menunggu perkara BHT.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua pemahaman praktis antara putusan MK dan SEMA terhadap penerapan hak atas upah proses. Sebagai gambaran bahwa putusan MK merupakan produk dari hasil uji materi

(9)

9 Undang-undang terhadap UUD 1945. Putusan MK berkekuatan hukum tetap dan final, yang artinya bahwa putusan tersebut haruslah ditaati oleh semua pihak (erga

omnes). MK tidak memiliki kewenangan eksekutorial terhadap uji materi

Undang-undang, sehingga tingkat kepatuhan terhadap putusan MK menjadi rendah. Sedangkan SEMA,merupakan salah satu produk hukum dari MA yang bersifat internal, yang mana dalam kasus ini SEMA No.3 Tahun 2015 merupakan pemberlakuan dari rumusan hasil rapat pleno kamar di MA sebagai pedoman pelaksanaan tugas di pengadilan dalam menangani suatu perkara di Mahkamah Agung maupun pengadilan di bawahnya. Sehingga tujuan dari penerapan sistem satu kamar adalah untuk menjaga kesatuan penerapan dan konsistensi putusan.

Dengan pemahaman praktis seperti dikemukakan di atas, maka sudut padang praktis yang dapat dilihat dari pihak pengusaha adalah mengikuti SEMA karena permasalahan mengenai kesalahan berat dan pembayaran upah proses selama 6 bulan dipercaya akan diterapkan oleh hakim dalam memeriksa serta memutus perkara PHI. Di lain sisi, pemahaman praktis juga dipergunakan oleh pihak pekerja dengan sudut pandang mengikuti putusan MK, karena mereka meyakini bahwa alasan PHK karena kesalahan berat tidak dapat lagi digunakan sebagai alasan PHK dan upah proses harus tetap dibayarkan sampai putusan BHT. Melihat pada realita proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial di pengadilan yang terhitung cukup lama dan tidak jarang pengusaha kerap kali menempuh upaya hukum kasasi, maka putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011 dirasa tidak cukup adil bagi pengusaha. Maka terbitlah SEMA Nomor 3 Tahun 2015 pada ketentuan butir B angka 2 huruf f, yang mana menyatakan:

“Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan upah proses maka isi amar

(10)

10 putusan adalah MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR

UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggungjawab para Pihak”.7

Dalam Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung Majelis Hakim dalam pertimbangannya memberikan pendapat sebagai berikut; bahwa upah proses dari Januari 2015 sampai putusan berkekuatan hukum tetap harus diperbaiki karena bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 2015 sehingga upah proses adalah 6 bulan upah.

Berkaitan mengenai hak pekerja atas upah proses selama masa penyelesaian perselisihan di pengadilan, sempat diatur dalam Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 yang mana mengatur mengenai teknis penyelesaian dan kewajiban pengusaha berkaitan dengan PHK. Akan tetapi setelah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan dalam Kepmenaker tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pasal yang mengatur mengenai pengenaan atas upah proses terdapat dalam Pasal 155 ayat (2) yang mana berbeda dengan ketentuan dalam Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000. Dalam perkembangannya muncul adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 37/PUU-IX/2011 yang mana pada pokoknya memutus perihal mengenai penggunaan frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Dengan adanya putusan MK tersebut maka jangka waktu upah proses yang diatur dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengenai anak kalimat “belum ditetapkan” harus dimaknai

7 Butir B angka 2 huruf f Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

(11)

11 “belum berkekuatan hukum tetap (BHT)”. Itu artinya bahwa setelah adanya putusan MK tersebut pada pokoknya memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk tetap memberikan tugas dan tanggungjawab para pekerja selama menunggu proses penyelesaian perselisihan dengan tetap membayarkan hak-hak yang biasa diterima oleh pekerja serta masing-masing pihak tetap melaksanakan kewajibannya.

Untuk melihat secara keseluruhan problematika hukum yang ada mengenai berapa lama pemberian upah proses berdasarkan putusan pengadilan, maka perlu dilihat kembali dari awal dari tujuan hukum itu sendiri.

Bahwa penulis terhadap dua dasar pertimbangan hukum pada perkara pemberian hak upah proses lebih memposisikan diri dan setuju terhadap pertimbangan hukum putusan tingkat pertama yang di dasarkan pada putusan MK, karena jika melihat pada tujuan hukum itu sendiri yaitu rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum lebih memihak kepada para pekerja sebagai korban atas tindakan kesewenang-wenangan pemangku kepentingan yang dalam hal ini adalah pengusaha. Pekerja diposisikan sebagai korban oleh karena secara pribadi dia tidak dapat menentukan pilihannya sendiri terhadap pekerjaannya karena berada di posisi yang lemah.

Berkaitan dengan putusan kasus tersebut di atas mengenai penyelesaian hak upah proses pekerja yang mengalami PHK, sebagai obyek sengketa adalah hak atas upah proses yang belum dibayarkan pihak Tergugat yaitu pengusaha. Berdasarkan hal tersebut, penulis perlu melihat lebih jauh bagaimana penyelesaian lebih lanjut terhadap hak atas upah proses apakah sudah sepatutnya terpenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk melihat pula

(12)

12 apakah putusan Pengadilan Hubungan Industrial sudah memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi para pihak, oleh sebab itu penulis akan menulis skripsi dengan judul “Hak atas Upah Pekerja Selama Proses Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (Studi Putusan Nomor 17/Pdt.Sus-PHI/G/2016/PN.Smg & Putusan Kasasi Nomor 1022K/PDT.SUS-PHI/2016).”

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti adalah:

Apakah Putusan Nomor 17/PDT.SUS-PHI/G/2016/PN.Smg dan Putusan Kasasi Nomor 1022K/PDT.SUS-PHI/2016 tentang hak atas upah selama proses penyelesaian perselisihan sudah menerapkan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi pekerja?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah penelitian hukum tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian hukum ini adalah; Apakah hak atas upah proses selama proses penyelesaian perselisihan pada Putusan Kasasi Nomor 1022K/PDT.SUS-PHI/2016 sudah menerapkan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi para pihak yang sedang bersengketa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penulisan dalam penelitian ini mencakup keguanaan secara teoritis dan praktis:

1. Manfaat Teoritis: Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kemanfaatan perkembangan ilmu pengetahuan di

(13)

13 bidang hukum pada umumnya dan secara khusus sesuai dengan disiplin Ilmu Hukum Ketenagakerjaan.

2. Manfaat Praktis: Hasil penelitian ini diharapkan secara khusus dapat dipergunakan oleh penulis untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Adapun manfaat lain untuk dapat dipergunakan oleh mahasiswa lainnya untuk mencari inspirasi dalam penulisan skripsi yang berkaitan tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Serta dapat memberi masukan kepada Hakim terhadap kasus serupa yang terjadi.

E. Metode Penelitian

Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum yang mempunyai tujuan utama dalam hal penanganan masalah tentang pemberian Hak Atas Upah Proses. Metodologi pnelitian yang digunakan antara lain, meliputi:

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan terhadap peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan topik skripsi ini yaitu “Hak Atas Upah Pekerja Selama Proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Studi Putusan Nomor 17/Pdt.Sus-PHI/G/2016/PN.Smg dan Putusan Kasasi Nomor 1022K/Pdt.Sus-PHI/2016)”.

2. Jenis Pendekatan

Sehubungan dengan penelitian yang dipergunakan secara normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kasus (Case Approach). Dalam penelitian normatif, pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari penerapan

(14)

14 norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.8 Terutama mengenai kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi fokus penelitian.

3. Jenis & Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan proposal skripsi ini, penulis memilih jenis data sekunder untuk menyusun penulisan ini. Yang mana dengan maksud bahwa data sekunder lebih cocok dalam penulisan ini, yang mana lebih membahas pada sumber data yang sudah ada dalam bentuk putusan yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yakni pengadilan, dan diolah kembali sehingga dapat diketahui isu hukum yang terkandung di dalam data sekunder tersebut.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan studi dokumen/studi pustaka dari bahan-bahan pustaka.9 Data sekunder sendiri merupakan data yang umumnya telah dalam keadaan siap terbuat (ready made). Adapun sumber data berupa data sekunder yang biasa digunakan dalam penelitian normatif terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yaitu undang Dasar 1945, undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Putusan Mahkamah Konstitusi No.37/PUU-IX/2011

8 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2008,

h.321.

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,

(15)

15 tanggal 6 September 2011, Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.17/Pdt.Sus-PHI/G/2016/PN.Smg tanggal 25 Juli 2016, Putusan Mahkamah Agung No.1022K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 21 Desember 2016.

b. Bahan hukum sekunder yaitu jurnal hukum, dan doktrin hukum.

c. Bahan hukum tersier yaitu kamus hukum (Black Dictionary Law), ensiklopedia, kamus bahasa indonesia dan sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fitriana yang berjudul Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Seks Selama Kehamilan dengan Melakukan Hubungan

:arena sudah menerapkan sistem informasi berbasis komputer namun  belum menerapkan  %atabase Management System ("-MS) ke dalam proses kerjanya, sehingga masih

Adanya pasar tahunan (Jaarmarkt) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti karena ternyata hiburan yang sejenis dengan

Badan Pendapatan Daerah Provinsi Riau sebagai salah satu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengelola pendapatan daerah yang

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara

Penyusunan Rencana Program dalam RENSTRA 2009-2012 berlandaskan upaya menjadikan Program Studi Pendidikan Bidan menjadi institusi pendidikan bidan yang terkemuka

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,