2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Bercak Daun pada Kacang Tanah
Penyakit bercak dqun menjangkiti pertanaman kacang tanah yang telah berumur satu atau dua bulan. Pada se- rangan berat, banyaknya bercak daun menjadikan tanamran me- lemah secara menyeluruh sehingga terjadi pengguguran daun (defoliasi) yang sangat mengurangi kapasitas fotosintesis tanaman, Akibatnya jumlah polong total, jumlah polong bernas dan bobot biji per tanaman turun (Jusfah, 1985)- Boote et al. (1980) melaporkan bahwa serangan berat pato- gen bercak daun laiengurangi indeks luas daun, pengaabilan C 0 2 dan pertukaran C02 dalam tajuk berturut-turut hingga 80, 85 dan 93 %.
Terdapat dua macam penyakit bercak daun pada kacang tanah, yaitu penyakit bercak daun coklat ('early leaf- spot8) dan bercak daun h i m ('late leafspot'). Gejala kedua penyakit mudah dibedakan, Patogen bercak daun hitam meninbulkan bercak berbentuk hanrpir bulat dengan diameter 1-6 ?am, berwarna coklat muda hingga coklat gelap pada permukaan atas daun dan hitam pada permukaan bawah daun. Bercak sering dilingkari halo berwarna kuning, akan tetapi adanya halo ini rfiperqaruhi oleh genotipe tanaman dan kondisi lingkungan. Konidia terutama terbentuk pada bercak di permukaan bawah daun dan bantalan konidiofor
terlihat berupa bintik-bintik hitam tersusun melingkar (Singh, 1978). Di lain pihak, bercak yang ditimbulkan oleh patogen bercak daun coklat berbentuk lonjong hingga tidak beraturan, dengan diameter 1-10 mm. Bercak berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua pada pernukaan atas daun, sedang pada permukaan bawah daun berwarna coklat te- rang. Konidia terutama terbentuk pada bercak di pemukaan atas daun meskipun kadang-kadang diternukan pula pada ber- cak pada permukaan bawah daun. Di bawah mikroskop stereo,
q
rumpun konidiofor bercak hitam terlihat r a p t , sangat berbeda dari rumpun konidiofor bercak coklat yang jarang.
Penyakit bercak daun coklat berjangkit lebih awal di- banding penyakit bercak daun hitam. Semua bagian tanaman di atas permukaan tanah dapat diserang oleh kedua jenis patogen. Pada stadia awal gejala umumnya hanya berupa bercak pada daun, tetapi pada tahap lanjut juga dapat ter-
jadi lesio pada batang (Semangun, 1991).
Dibanding bercak daun coklat, bercak daun hitat lebih merusak; patogennya menghasilkan konidia lebih banyak dan terpencar lebih cepat. Defoliasi daun terjadi lebih ce- pat, sehingga sangat mempengaruhi jumlah maupun mutu hasil polong (Wheeler, 1969; Singh, 1978; Senrangun, 1991)
Kedua penyakit disebabkh oleh jenis fungi patogen yang berbeda. Bercak daun coklat disebabkan oleh Cercos- pora arachidicola Hori., sedang bercak daun hitar disebab- kan oleh Phaeoisariopsis personata (Berk. & Curt.) v. Arx.
( = Cercosporidium personatum (Berk. & Curt, ) Deighton; = Cercospora personata (Berk, & Curt.) Ellis & Everhart)
(McDonald et al., 1985). Keduanya merupakan anggota famili Dematiaceae ordolMoniliales kelas Deuteromycetes. Teleomorf (stadium sempurna) kedua jenis fungi tergolong dalam famili Dothideaceae ordo Dothideales kelas Ascomy- cetes (Alexopoulus dan Hims, 1979).
Konidiofor P. personata membentuk rumpun yang rapat, coklat muda sampai coklat kehijauan, licin, meapunyai
I
bengkokan seperti lutut, tidak bersekat atau bersekat jarang, 10-100 x 3-6.5 pm; bekas tempat nelekat konidium tampak jelas, melebar dan menonjol, dengan lebar 2-3 p.m.
Konidium coklat kehijauan, kebanyakan mempunyai warna yang sama dengan konidiofornya, seperti tabung atau gada terba- lik, biasanya lurus atau agak lengkung. Jika diperhatikan dinding konidium tarpak kasar, ujungnya membulat, pang- kalnya meruncing pendek dengan hilum yang jelas, bersekat 1-9, biasanya 3-4, tidak menyaupit pada sekat, dan beru- kuran 20-70 x 4-9 pm fMdbnald et al., 1985).
P. personata dapat membentuk peritesim, dan stadium sempurnanya disebut HycosphaerefIa berkeleyii. Akan tetapi peritesim tersebut jarang d i t e d a n , sedang stadia konidia selalu ditemkan. 0l'eh karena itu Wheeler (1969) berpendapat bahwa peritesium bukan merupakan faktor esen- sial dalam siklus penyakit.
Patogen bercak daun coklat maupun bercak daun hitam bersifat penginvasi tanah (.'soil invader'). Bila kacang tanah ditanam pada lahan yang pada musia sebelumya juga ditanami kacang tanah, Penyakit muncul lebih cepat dan akibat serangannya lebih parah. Menurut McDonald et al.
(1985), konidia yang dihasilkan langsung dari miselium yang terdapat pada sisa tanaman akan mengawali siklus infeksi bila terdisposisi pada daun kacang tanah oleh percikan air hujan atau angin (Gambar 2.1).
f
Gambar 2.1. Siklus Penyakit Bercak Daun H i t a m yang Disebabkan oleh P. personata
Konidia yang berasal dari sisa tanaman merupakan inokulum primer, sedang konidia yang dihasilkan oleh bercak nekrotik merupakan inokulum sekunder. Askospora, klamidospora, dan fragmen miselia juga merupakan inokulum yang potensial (Singh, 1978; Porter et al., 1982).
Kedua patogen menginfeksi inang melalui kedua permu- kaan daun (Singh, 1978). Oleh karena itu Butler, Wadia dan Jadhav (1994) mengingatkan agar memastikan bahwa kedua permukaan daun terbasahi oleh suspensi inokulum pada saat inokulasi. Penetrasi terutama terjadi melalui stomata, meskipun penetrasi melalui permukaan utuh juga dilaporkan (Jenkins, 1938; Hemingway, 1955). P. personata membentuk miselium interseluler dengan haustoria (Gambar 2.1). Masa inkubasi berkisar antara 8-10 hingga 15-16 hari (Singh, 1978). Pada stadia awal perkembangan gejala, kedua macam bercak tidak berbeda.
Gejala awal y a q dapat diamati adalah agak memucatnya area pada p e w u k a a n daun bagian atas, sedang pada area yang sama di permukaan daun bagian bawah tampak sel-sel epidermis mulai mengering karena kehilangan hubungan de- ngan nesofil di atasnya (Singh, 1978). Pada sekitar 10 hari setelah infeksi, tampak gejala bintik klorotik pada pernukaan daun, dan sekita; lima hari kemudian bintik telah berkembang menjadi lesio tempat terjadinya sporulasi patogen (McDonald et a l . , 1985).
Perkembangan patogen bercak daun pada kacang tanah sangat .khas. Ia menginfeksi dan membunuh jaringan inang dan bersporulasi pada jaringan yang telah mati pada inang yang hidup. Luttrell (1974) memasukkan M . hrkeleyii (stadia sempurna P. personata) ke dalam kelompok parasit hemibiotrof. Kelompok parasit tersebut meatiliki sifat- sifat: melengkapi siklus hidup dan bersporulasi pada ja- ringan terinfeksi yang telah mati yang ada pada inang hi- dup, menginfeksi jaringan hidup sebagairnana parasit bio-
I
trof akan tetapi setelah suatu periode inkubasi maka ja- ringan terinfeksi mati, dan pertumbuhan saprofitiknya ter- batas pada jaringan atau organ terinfeksi yang telah aati pada inang yang hidup. Daub (1982) melaporkan bahwa spesies Cercospora menghasilkan toksin fotosensitif ber- spektrum luas, yaitu cercosporin, yang berperan meaaatikan jaringan tanaman inang. Venkatarami (1967) tefah mengiso- lasi cercosporin yang dihasilkan C. personata (= P. per- sonata).
Perkembangan kedua macam penyakit bercak daun sangat dipengaruhi oleh kelembaban. Wenurut Semangun (1991), dalam cuaca kering penyakit baru berkembang cepat bila tanaman berumur 70 hari, sedang dalam c\taca lembab ha1 ini b l a h terjadi pada umur 40-45'hari. Singh (1978) mengemu- kakan bahwa kondisi optimum untuk berkembangnya penyakit b r e a k ini adalah suhu 24-28'~ disertai kelembaban udara
tinggi, sedang menurut Porter et al. (1982) ha1 yang sama dipenuhi pada lingkungan pada kisaran suhu 26-31°c dengan variasi harian yang rendah disertai periode kelembaban tinggi yang lama.
Menurut Semangun (1991), kedua jenis patogen bertahan hidup pada sisa tanaman sakit dan pada kacang tanah yang tumbuh liar, McDonald et al, (1985) melaporkan bahwa tidak ada bukti inang kedua jenis patogen di luar genus Arachis. Sebaliknya, Porter et al. (1982) dengan merang- kum beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa inang kedua jenis patogen bercak tidak terbatas hanya pada genus Arachis; Voandzeia subterranea (kacang Bogor) dilaporkan merupakan inang C , arachidicola, dan patogen yang sama
juga dilaporkan dapat menginfeksi dan bersporulasi pada beberapa jenis tanaman legum yang lain maupun non-1- berdasarkan inokulasi buatan dengan teknik daun dipetik.
Di Amerika Serikat, P. personata menimbulkan epidemi sekali dalam tiap empat tahun. Pemupukan N atau P mening- katkan tirbulnya kedua macam penyakit bercak d a m , seba- liknya pempukan Kalium agak menurunkan tiarbulnya penya- kit. Tanaman yang kekurangan Magnesium lebih rentan terhadap k&a jenis patogen bercak daun dibanding tanstlaan yang cukup nutrisinya (Port& et a1
.
,
1982; Sentangun, 1991). Porter dan Wright (1991) meneliti pengaruh pengo- lahan tanah sistem konvensional dan sistem konservasiterhadap perkembangan penyakit dan daya hasil. Hasil percobaan yang mereka lakukan selama empat tahun menunjuk- kan bahwa keberadaan maupun keparahan penyakit nyata lebih tinggi pada pertanaman dengan sistem konvensional diban- ding ha1 yang sama pada sistem konservasi, akan tetapi daya hasil pada plot konvesional lebih tinggi dibanding daya hasil pada plot konservasi.
Pengujian untuk mempelajari respons inang terhadap penyakit -pat dilakukan di lapangan maupun di rumah kaca. Untuk percobaan di rumah kaca, inokulasi diterapkan terha- dap tanaman atau terhadap daun yang dipetik dan dipelihara dalam kultur air steril atau dalam kultur hara misalnya dalan larutan Hoagland (Melouk dan Banks, 1978). Untuk pengujian di lapangan, lazimnya dimanfaatkan inokulum alami, sedang pada percobaan di rumah kaca dilakukan inokulasi buatan. Untuk inokulasi buatan, Sundaran (1965 dalam Singh, 1978) melaporkan bahwa infeksi makshum terjadi bila tanaman diinokulasi pada umur 30 hari. Di lain pihak, Prasetyo dan Santoso (1989) menyimpulkan bahwa tanaman telah dapat diinfeksi bercak daun hitam sejak umur 20 hari. Kerapatan inokulum yang diterapkan, dalam bentuk Ronidia per mililiter suspensi inokulum, juga berbeda, a n b r a lain 10 000 (Amir, 199i), dan 20 000 (Shew, Beute, dan Wynne, 1988). Untuk bercak daun hitam, konidia yang dipanen dari tanaman sakit di lapangan atau dari tanaman
rentan yang dipelihara sebagai stok inokulum, lazim digu- nakan sebagai inokulum. Knauft dan Gorbet (1989) mela- porkan bahwa skor penyakit bercak daun pada genotipe- genotipe yang ditanam pada jarak 30 cm nyata berkorelasi dengan skor penyakit yang sama untuk jarak tanam 5 cmn, dan tidak terdapat interaksi antara genotipe dengan jarak tanam.
2 . 2 . Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun
Ketahanan inang terhadap serangan patogen pada da- sarnya menunjukkan kemampuan inang untuk menghambat atau mencegah pertumbuhan atau perkembangan patogen atau menghambat keberlangsungan proses infeksi. Secara umum proses infeksi patogen akan mengikuti tahap-tahap : (1) inokulasi, (2) perkecambahan spora, (3) pembentukan struk- tur khusus untuk penetrasi ke dalam jaringan inang (4) penetrasi, (5) kolonisasi, dan (6) sporulasi unt* memben- tuk inokulunt-inokulum baru hingga matinya patogen pada jaringan terinfeksi tersebut (Brown, 1980). Proses infek- si patogen bercak daun secara m u m juga mengikuti tahap- tahap tersebut.
Tanasan menjadi sakit karena patogen hanya bila inang rentan, patogenisitas patogen tinggi (patogen virulen), dan kondisi lingkungan kondusif yang mendukung timbul dan berkembangnya penyakit. Intensitas penyakit, baik dalam
bentuk keberadaan maupun keparahan penyakit, merupakan hasil akhir serangkaian proses interaksi patogen-inang disertai pengaruh faktor lingkungan. Pada tiap tahap proses infeksi, patogen memiliki mekanisme untuk menguasai inang, sebaliknya inangpun memiliki kemampuan berupa mteka- nisme untuk bertahan. Oleh karena itu penilaian ketahanan terhadap penyakit dapat dilakukan melalui dua sisi, yaitu dari sisi patogennya melalui evaluasi perkembangan penya- kit, atau dari sisi tanamannya melalui evaluasi mekanisme ketahanan.
Komponen ketahanan dari sisi patogen mencakup ekspre- si penyakit pada tiap tahap proses infeksi (Zadoks dan Schein, 1979), yang digambarkan antara lain dalam karak- tes-karakter: periode laten, periode infeksius, kapasitas bersporulasi, ukuran bercak, dan jumlah lesio per daun. Tanaman tahan lazimnya berasosiasi dengan periode laten panjang, periode infeksius pendek, bercak kecil, dan jumlah lesio per daun rendah. Istilah 'ketahanan parsialr mengacu pada penilaian ketahanan tanaman dari sisi pato- gen
.
Pada kacang tanah, ketahanan parsial terhadap penya- kit bercak daun telah banyak diteliti, bahkan pendugaan parameter genetik penting t e h h dilakukan hingga bahasan implikasinya dalam pemuliaan (Iroume dan Knauft, 1987a&b, Jogloy, Wynne dan Beute, 1987; Anderson, Holbrook dan Wynne, 1991).
Chiteka et al. (1988a) mengevaluasi komponen ketahan- an 116 galur kacang tanah terhadap penyakit bercak daun hitam, melalui pengujian di rumah kaca dua kali dan di lapangan satu kali. Mereka mendapatkan.perbedaan sangat nyata antar genotipe untuk karakter-karakter: periode inkubasi, periode laten, jumlah lesio per daun, persentase area nekrotik pada daun, ukuran lesio, dan tingkat sporu- lasi. Disimpulkan bahwa genotipe tahan menghasilkan lesio lebih kecil, periode laten 1,ebih pan jang, dan sporulasi yang rendah. Selanjutnya, Chiteka et al. (1988b) mela- porkan bahwa periode laten, diameter lesio, dan sporulasi merupakan komponen ketahanan yang penting sumbangannya terhadap penampakan skor gejala visual.
Chiyembekeza, Knauft dan Gorbet (1993) mempelajari beberapa komponen ketahanan di dua lokasi yang berbeda, yaitu di Florida dan Malawi. Hasilnya menun jukkan bahwa periode laten, diameter lesio, dan tingkat sporulasi pada percobaan di Florida nyata berkorelasi positif dengan karakter yang sama pada percobaan di Malawi,
Dari sisi tanasan, nekanisme bertahan tanaman terha- dap serangan patogen dapat bersifat pasif (ketahanan sudah ada sebelum patogen atenyerang) ataupun aktif (ketahanan
.
yang dipicu oleh serangan patogen) (Agrios, 1988; Goodman, Kiraly dan Wood, 1986; Brown, 1980).
Ketahanan pasif timbul oleh sifat tanaman inang yang memiliki mekanisme untuk rerintangi patogen menemukan
'pintu' untuk mempenetrasi maupun untuk merintangi perkem- bangan patogen: Rintangan tersebut dapat berupa rintangan fisik atau rintangan biokimia.
Rintangan fisik dapat berupa lapisan lilin atau kuti- kula yang tebal, adanya bulu-bulu halus pada peratukaan or- gan tanaman, dinding terluar sel-sel epidermfs yang tebal dan kuat, stomata yang membuka sempit atau yang membuka hanya pada saat tertentu atau yang posisinya mengakibatkan sukar dikenali patogen, atau terdapatnya jaringan yang sel-selnya memiliki dinding yang tebal dan kuat, Adapun rintangan biokimia dapat berupa zat penghambat yang diek- 'sudasi tanaman ke lingkungan tumbuhnya, tidak dirilikinya
faktor esensial bagi pertubuhan dan perkembangan patogen, atau adanya zat penghambat yang terdapat dalam dinding dan/atau sel tanaman h a n g (Agrios, 1988; B r o m , 1980).
Mekanismae ketahanan aktif dapat bersif at struktural atau biokimia. Infeksi patogen dapat ntemicu terbentuknya
lapisan gabus, lapisan absisi, tilosis, selubung di seke- liling paku infeksi patogen, atau terjadinya nekrosis sel tempat penetrasi patogen, Struktm yarrg terbentuk terse- but menghambat penularan pa&en ke sel atau jaringan lain tanaman inang yang sehat, Peningkatan kandungan bahan
fenolik, terbentuknya fitoaleksin, inaktivasi enzim pato- gen atau detoksifikasi toksin patogen, dan perubahan metabolisme inang merupakan contoh mekanisme ketahanan aktif yang bersifat 'biokimia (Agrios, 1988).
Terhadap penyakit bercak daun, stomata kecil dan lapisan palisade tebal merupakan mekanisare ketahanan yang bersifat pasif-fisik yang dilaporkan berasosiasi dengan ketahanan kacanq tanah terhadap penyakit bercak daun.
(Hemingway, 1957).
I
Mazzazani et al, (1972 dalam Cook (1981) mengemukakan bahwa daun dengan lebar sel penjaga stomata berukuran 14
-
15 pm lebih tahan dibanding daun dengan lebar sel penjaga stomata berukuran 16 pllt atau lebih, Pembukaan stomata yang lebih sempit dari diameter tabung kecambah konidia fungi patogen akan dapat menghambat penetrasi patogen. Lapisan palisade tebal bila diikuti kandungaa kloroplas tinggi, yang berarti kandungan klorofilnya tinggi, diduga berperan sama dengan aekanisme ketahanan yang ditimbulkan oleh w a r m daun h i j a u tua.Asosiasi j-ah sel-sel yang mengandung tannin dengan ketahanan terhadap penyakit bercak d a m , merupakan meka- nisme biokimia pasif yang juga telah dilaporkan {Taber et a1
.
dalam Norden et al ,,
1982). Tannin m e ~ p a k a n polimer fenolik yang &pat raengendapkan protein sehingga bersifat menghambat pertumbuhan patogen. Dengan demikian senyawaini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen sesudah ter jadi penetrasi
,
sehingga inf eksi lebih Ianjut patogen dapat dicegah. Daun atau buah muda lazimnya me- ngandung tannin dalam konsentrasi tinggi, yang akan-terus berkurang dengan makin menuanya daun atau buah bersang- kutan. Sebagaimana telah dikemadcan, patogen bercak daun menyerang dedaunan kacang tanah yang sudah relatif tua. Kemungkinan fenomena tersebut berasosiasi dengan berku- rangnya konsentrasi tannin pada daun yang makin menua.1
Karakter warna daun hijau tua yang dilaporkan beraso- siasi dengan ketahanan terhadap bercak daun (Hemingway, 1957), diduga merupakan mekanisxte biokimia pasif, Warna hijau tua diduga ditimbulkan oleh kandungan klorofil yang tinggi dan diduga diikuti oleh kandungan karotenoid yang tinggi pula karena karotenoid berperan sebagai fotoprotek- tif alat-alat fotosintesis terhadap kerusakan akibat aktivitas klorofil. Karotenoid dilaporkan dapat berperan sebagai 'quencher8 singlet oksigen yang dihasilkan toksin cercosporin (Daub dan Payne, 1989). Dalam kasus ini, diduga kandungan karotenoid yang tinggi mempengaruhi ke- matian jaringan terinfeksi sehingga mempengaruhi kolonisa- si oleh patogen.
Wedicarpin (dimethy1hoato~erocarpin) adalah senyawa fitoaleksin yang dilaporkan dihasilkan oleh daun kacang tanah yang terinfeksi patogen karat dan bercak daun (Stra- nge, 1987; Rao et a1
.
,
1988). Fitoaleksin merupakansebutan umum bagi senyawa fenolik yang disintesis dan dia- kumulasi tanaman inang mengikuti interaksi tanaman inang dengan patogen, dan bersifat antifungal. Sintesis fitoa- leksin ini dirangsang oleh adanya elisitor yang menginduk- si enzim yang terlibat dalam siklus metabolisme pemben- tukan fitoaleksin tersebut. Dengan demikian infeksi primer (infeksi yang terjadi pertama kali) menjadi pemicu sintesis dan akumulasi medicarpin, yang selanjutnya akan menghambat infeksi sekunder pada tanaman yang sama.
Edward dan Strange (1991) telah memisahkan dan mengi- dentitifikasi mredicarpin dan lima metabolit sekunder lain- nya yang dihasilkan oleh kacang tanah terinfeksi C, ara- chidicola. Mereka juga telah mengembangkan metode deter- minasi fitoaleksin tersebut dengan teknik kromatografi cair kinerja tinggi.
Abdou, Gregory dan Cooper (1974) melaporkan terjadi- nya deposit zat pektik &lam dinding dan ruang antar sel tempat infeksi patogen bercak daun pada genotipe kacang tanah yang sangat tahan, Pektik merupakan suatu polisa- karida yang terutama tersusun oleh rantai galakturonan. Fragmren galakturonan diketahui dapat berperan sebagai elisitor endogenus (Agrios, 1988). Oleh karena itu diduga deposit zat pektik tersebut'berperan sebagai perangsang
2.3. Genetika Ketahanan Kacang Tanah terhadap Penyakit Bercak Daun dan Metode Peruliaannya
Penyakit bercak daun tersebar luas di tiap tempat kacang tanah ditanam. Dari kegiatan pemuliaan untuk men- dapatkan kacang tanah tahan penyakit bercak daun yang telah dilakukan selama beberapa tahun, diketahui bahwa sifat tahan berasosiasi dengan daya hasil rendah dan umur dalam (Norden et al., 1982). Oleh karena -itu dalam pemuliaan untuk memperoleh gpnotipe berdaya hasil tinggi, genotipe yang tahan terhadap penyakit bercak daun selalu akan tereleminir. Akibatnya semua varietas kacang tanah yang dibudidayakan secara luas rentan terhadap kedua jenis patogen bercak daun (Porter et al., 1982).
Sharief et af. (1978) mengemukakan bahwa ketahanan terhadap penyakit bercak daun coklat dikenctalikan secara terpisah dari ketahanan terhadap bercak daun hitam. Di
lain pihak, Anderson et al. (1991) menemukan korelasi moderat hingga tinggi untuk karakter yang sama antara komponen ketahanan terhadap penyakit bercak daun hitaxi dan terhadap penyakit bercak daun coklat, sehingga aereka menduga kemungkinan adanya keterkaitan genetik atau fi- siologi inang yang berperan pada ketahanan terhadap kedua
jenis patogen pada populasi inang yang saw.
Cof f elt dan Porter ( 1986) menelaukan perbedaan nyata ketahanan terhadap bercak daun coklat pada galur-galur
lanjut pada persilangan resiprokal antara Chico dan Florigiant.. Hereka menyimpulkan bahwa faktor sitoplasmik sekaligus aditif genetik berperan dalam menentukan keta- hanan
.
Anderson et al. (1991) mengemukakan bahwa karakter ketahanan terhadap bercak daun hitam maupun coklat bersi- fat kuantitatif, yang menunjukkan bahwa pengendaliannya bersifat poligenik. Sharief et 91. (1978) dan Kornegay et al. (1980) juga mengemukakan pengendalian poligenik terse-
I but.
Penanganan karakter kuantitatif dalam pemuliaan tidak sesederhana karakter kualitatif yang dapat dianalisis de- ngan menggunakan genetika Mendel. Pendekatan statistika melalui analisis nilai tengah, ragam dan peragam dilakukan terhadap karakter kuantitatif untuk menduga parameter ge- netik yang penting dalam pemuliaan tanaman, seperti heri- tabilitas dan korelasi genetik.
Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif peran faktor genetik (mewaris) dibanding faktor lingkuqan dalan memberikan pengaruh pada keragaan akhir atau feno- tipe suatu karakter (Allard, 1960). Melalui heritabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang tilabul pada suatu
karakter terutama disebabkan dleh faktor genetik atau oleh faktor lingkungan. Dengan demikian pemulia tananmn dapat
memperkirakan karakter mana yang dapat memberikan respons terhadap usaha perbaikan yang akan dilakukan. Meskipun heritabilitas merupakan parameter genetik yang meraberi arti besar dalam pemuliaan tanaman, tetapi bukan merupakan konstanta yang bernilai tetap.
Dalam kegiatan pemuliaan tanaman, seleksi terhadap suatu karakter kuantitatif tertentu secara tidak sengaja dapat mengakibatkan ikut terseleksinya karakter lainnya, dan ha1 tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan.
1
Oleh karena itu penting diketahui dengan pasti hubungan (korelasi) antar karakter tanaman yang ditangani. Karak- ter-karakter kuantitatif tanaman serta hubungan antar karakter perlu dipahami secara baik agar program seleksi dapat diterapkan dengan efisien. Hubungan genetik antar karakter sangat penting artinya bagi pemulia tanaman, karena dapat membantu merumuskan metode pemuliaan yang efektif sehingga bentlrk seleksinya dapat disederhanakan
(Povifaitis, 1965).
Koefisien korelasi genetik merupakan ukuran hubungan genetik antar karakter, dan merupakan petunjuk bagi karak- ter yang mungkin dapat digunakan sebagai indikator bagi karakter lain yang lebih penting (Miller et al. 1957). Perubahan suatu karakter yang* terhadapnya tidak dilakukan seleksi dapat diramalkan bila korelasi genotipik dan heritabilitas kedua karakter diketahui (Falconer, 1972).
Jogloy et al. (1987). menggunakan populasi generasi F2, memperoleh nilai dugaan heritabilitas dalam arti luas rendah hingga sedang (13
-
68%) untuk beberapa karakter komponen ketahanan parsial yang mereka pelajari, akan tetapi heritabilitas dalaa arti sempit karakter yang sarma konsisten rendah ( 0-
12.8%). Berdasarkan korelasi gene- tik antar karakter komponen ketahanan yang diperoleh, me- reka menyatakan bahwa seleksi dapat dilakukan untuk mem- peroleh gal- dengan periode laten panjang, lesio kecil, produksi lesio dan spora rendah, dan persen defoliasi ke- cil. Meskipun demikian seleksi hendaknya tidak dite- rapkan pada populasi F2 karena tidak akan efektif.Anderson et al. (1991) melakukan pendugaan heritabi- litas dan respons seleksi untuk ketahanan terhadap bercak d a m . Seleksi dilakukan pada generasi F3 berdasarkan rataan famili generasi F2 untuk karakter defoliasi, infek- si dan sporulasi. Pengujian dilakukan pada generasi F4 berdasarkan karakter skor gejala visual dan defoliasi. Nilai dugaan heritabilitas dalam arti luas untuk karakter komponen ketahanan yang dipelajari berkisar 1248%. Seleksi berdasarkan rataan famili lebih memberi harapan keberhasilan, sedang seleksi individu tanaman dalan famili tidak nyata meningkatkan keaajuan genetik.
Iroume dan Kauft (1987a) meneliti korelasi genetik dan heritabilitas antara daya hasil dengan ketahanan ter- hadap penyakit bercak daun pada beberapa famili hasil per- silangan kacang tanah berdaya hasil tinggi dan yang tahan bercak d a m laelalui pengujian di lapangan. Tingkat keta- hanan, yang diukur dengan peubah area nekrotik dan defoli- asi, berkorelasi negatif dengan daya hasil. Terdapat korelasi positif antar peubah tingkat ketahanan, dan ko- relasi genetik semua peubah tingkat ketahanan searah de- ngan korelasi fenotipiknya. Korelasi genetik dan fenoti- pik yang searah ini penting dalam seleksi, karena seleksi didasarkan atas fenotipe karakter yang dikehendaki. Nilai dugaan heritabilitas &lam arti sempit semua karakter yang diamati berkisar 26-27% berdasarkan keragaan individu gal- S1. Dikerukakan bahwa seleksi genotipe dalan persi- langan merupakan strategi yang tidak maenjanjikan bila diterapkan pada generasi awal.
Mengingat sifat ketahanan yang kuantitaif tersebut, Foster, Beute dan Wynne ( 1980 ) menyarankan dilakukannya seleksi daur ulang untuk menyatukan sebanyak m g k i n gen- gen pengendali ketahanan sehingga dapat diperoleh tingkat
keta-an m a h i - .
I r o m dan Knauft ( 1987b) melakukan seleksi indeks untuk menyeleksi secara simultan karakter daya hasil dan sekaligus ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Mereka
melaporkan bahwa efisiensi seleksi indeks untuk daya hasil dan pengurangan kerentanan berturut-turut sebesar 87% dan 100% terhadap seleksi langsung untuk masing-masing karak-
I ter. Meskipun demikian peragam antara daya hasil dengan
semua karakter koglponen ketahanan bernilai negatif, yang menunjukkan korelasi negatif antara daya hasil dan keta- hanan terhadap bercak daun.
Korelasi negatif antara daya hasil dengan ketahanan mengarahkan pada saran dilakukannya seleksi pada kondisi
I
ada tekanan penyakit untuk mengemhangkan genotipe varietas berdaya hasil tinggi yang toleran, sebagaimana dikemukakan oleh Iroume dan Knauft (1987a). Dari segi epidemiologi penyakit, genotipe toleran ktrrang baik dikembangkan karena dapat menjadi sumber inokulum bagi genotipe-genotipe lain yang rentan. Adapun Gorbet, Knauft dan Shokes (1990) me- ngemukakan kemungkinan dikembangkannya kultivar kacang tanah yang dapat diterima secara komersial dengan tingkat ketahanan yang dapat mengurangi kebutuhan pengendalian dengan fungisida
.
Gen merupakan faktor pengendali karakter yang tereks- presi. Dalam kasus karakter poligenik, banyak gen yang berbntribusi mengekspresikan karakter tersebut, dan tiap gen bertztnggung jawab mengenddlikan ekspresi tiap konrponen karakter tersebut.
Terekspresinya suatu karakter merupakan hasil akhir serangkaian proses biokimia yang melibatkan sejumlah reaksi enzimatik dalam tanaman. Setiap jenis enzim yang terlibat dalam proses tersebut, sintesisnya dikendalikan secara genetik. Dengan demikian mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangan suatu patogen, baik mekanisme tersebut bersifat aktif atau pasif, fisik/struktural atau biokimia, juga dikendalikan secara genetik. Oleh karena itu apapun mekanisme ketahanan yang ada, dapat diupayakan ditingkatkan melalui perbaikan genetik secara konvensio- nal, dengan syarat terdapat keragaman genetik untuk eks- presi mekanisme yang dikehendaki.
Dengan mempelajari mekanisme ketahanan yang terjadi, dapat diketahui karakter apa saja yang terlibat dalam terekspresinya ketahanan tersebut. Kemudian dapat dilaku- kan pengujian korelasi genetik antara unit ukuran tiap karakter mekanisme ketahanan dengan tingkat ketahanan yang terekspresi, sehingga dapat diketahui karakter-karakter mana yang berperan mnenentukan tingkat ketahanan yang ter- ekspresi tanpa lneniabulkan konsekuensi fisiologis yang bersifat negatif terhadap karakter agronomik penting lainnya. Karakter ntekanisme ketahanan tersebut selanjut- nya dapat dijadikan sebagai Kriteria seleksi dalam upaya mendapatkan genotipe-genotipe tahan. Diharapkan perbaikan genetik karakter tersebut akan diikuti oleh peningkatan
ketahanan. Pendekatan ini diharapkan dapat memberi hasil lebih baik dibanding dengan penil.aian secara langsung tingkat ketahanan yang terekspresi, yang pada banyak pe- nelitian menunjukkan bahwa ketahanan yang tinggi berkore- lasi dengan daya hasil rendah.