• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi daya hasil galur-galur kacang Tanah (arachis hypogaea l.) Tahan penyakit Bercak daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi daya hasil galur-galur kacang Tanah (arachis hypogaea l.) Tahan penyakit Bercak daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG TANAH

(

Arachis hypogaea

L.) TAHAN PENYAKIT BERCAK DAUN

DI KECAMATAN CIRANJANG KABUPATEN CIANJUR

DEDE ROSYANA BUDIMAN

A24070074

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

DEDE ROSYANA BUDIMAN. Evaluasi Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. (Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU E.K.)

Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu upaya untuk mengatasi gangguan penyakit bercak daun yang dapat menghambat produksi dan produktivitas kacang tanah. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi daya hasil 16 galur GWS kacang tanah tahan penyakit bercak daun hasil persilangan antara varietas Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur pada bulan Februari sampai bulan Mei 2011.

Digunakan 16 galur GWS kacang tanah dan empat varietas pembanding yaitu Gajah, Sima, Jerapah, dan Zebra Putih. Gajah sebagai varietas pembanding yang rentan terhadap penyakit bercak daun, sedangkan tiga lainnya yaitu Sima, Jerapah, dan Zebra Putih sebagai varietas pembanding yang toleran terhadap penyakit bercak daun.

Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor yaitu genotipe (20 genotipe kacang tanah) dengan tiga ulangan. Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah tiap galur GWS dengan varietas Gajah dan varietas terbaik tiap karakter pengamatan yang berbeda nyata menggunakan uji t-Dunnett. Uji kontras ortogonal digunakan untuk karakter-karakter yang menjadi kriteria seleksi daya hasil dan ketahanan terhadap bercak daun. Analisis data lainnya digunakan untuk menduga nilai heritabilitas arti luas, koefisien keragaman genetik, dan korelasi antar karakter yang diamati.

(3)

indeks panen kering, sedangkan untuk karakter yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan bobot biji/ubinan.

Karakter-karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas sedang yaitu bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan indeks panen kering, sedangkan karakter dengan nilai heritabilitas rendah terdapat pada jumlah polong cipo.

Hasil perhitungan nilai koefisien keragaman genetik (KKG) menunjukkan bahwa karakter jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji per tanaman, bobot 100 butir biji, bobot polong cipo, dan indeks panen kering memiliki nilai KKG yang sempit. Nilai KKG yang agak sempit dimiliki oleh karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong total, dan bobot brangkasan. Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong bernas memiliki nilai KKG yang besar.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat enam dari 14 karakter pengamatan yang berkorelasi nyata dan positif dengan bobot biji per tanaman sebagai karakter daya hasil. Karakter tersebut yaitu jumlah cabang, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot polong total, bobot polong bernas, dan bobot brangkasan.

(4)

in District of Ciranjang, Cianjur Regency

Dede Rosyana Budiman

Abstract

This research was aimed to evaluate the yield of 16 peanut leafspot resistant lines derived from cross between Gajah variety and GPNC-WS 4 line with four check varieties of peanut. The four check varieties of peanut consist of Gajah, Jerapah, Zebra Putih, and Sima. The experiment was carried out at Ciranjang District, Cianjur Regency, West Java, from February 2011 to May 2011. This research was arranged in randomized complete block design with three replications.

The result showed that GWS 39 D, GWS 110 D, GWS 18 A1, GWS 79 A, and GWS 110 A2 were identified as lines with high yield.GWS 74 D, GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, and GWS 110 A1 were identified as lines with high resistant level to leafspot of peanut. Two of sixteen lines had high yield and high resistant level to leafspot, they were GWS 79 A and GWS 18 A1.

(5)

EVALUASI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG TANAH

(

Arachis hypogaea

L.) TAHAN PENYAKIT BERCAK DAUN

DI KECAMATAN CIRANJANG KABUPATEN CIANJUR

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEDE ROSYANA BUDIMAN

A24070074

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul :

EVALUASI DAYA HASIL GALUR-GALUR KACANG

TANAH (

Arachis hypogaea

L.) TAHAN PENYAKIT

BERCAK DAUN DI KECAMATAN CIRANJANG

KABUPATEN CIANJUR

Nama :

DEDE ROSYANA BUDIMAN

NIM :

A24070074

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS. NIP. 19631107 198811 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr. NIP. 19611101 198703 1 003

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandung, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 29 Januari 1989. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Dedi Suryana dan Ibu Titin Roswati.

Pendidikan formal yang telah dilalui, pada tahun 2001 penulis lulus dari SDN Sukaluyu I Bandung, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMPN 14 Bandung dan pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 10 Bandung. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dengan judul penelitian “Evaluasi Daya Hasil Galur-Galur Kacang Tanah (Arachis hypogaea

L.) Tahan Penyakit Bercak Daun di Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS. yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ir. Is Hidayat Utomo, MS. yang telah memberikan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah berjasa dalam memberikan bantuan dan dorongan yang tulus baik moril maupun materiil. Semua pihak, khususnya rekan-rekan mahasiswa Agronomi dan Hortikultura angkatan 44 yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Botani Kacang Tanah ... 3

Penyakit Bercak Daun ... 4

Pemuliaan Kacang Tanah Tahan Penyakit Bercak Daun ... 6

BAHAN DAN METODE ... 8

Waktu dan Tempat ... 8

Bahan dan Alat ... 8

Metode Penelitian ... 9

Pelaksanaan Penelitian ... 9

Pengamatan ... 10

Analisis Data ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Kondisi Umum ... 13

Keragaan Umum Karakter Genotipe yang Diuji ... 16

Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun ... 20

Karakter Hasil dan Komponen Hasil ... 24

Pendugaan Parameter Genetik ... 30

Korelasi Antar Karakter yang Diamati ... 32

Seleksi Galur-Galur GWS Terbaik ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

Kesimpulan ... 39

Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Analisis Komponen Ragam ... 11 2. Rekapitulasi Uji F Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah ... 17 3. Nilai Tengah, Nilai Maksimum, dan Nilai Minimum Karakter

pada 20 Genotipe Kacang Tanah ... 18 4. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, dan Persentase

Panjang Batang Utama Berdaun Hijau ... 21 5. Nilai Tengah Bobot Brangkasan dan Kadar Klorofil ... 23 6. Nilai Tengah Jumlah Polong Total, Jumlah Polong Bernas, dan

Jumlah Polong Cipo ... 25 7. Nilai Tengah Bobot Polong Total, Bobot Polong Bernas, dan

Bobot Polong Cipo ... 27 8. Nilai Tengah Bobot Biji Per Tanaman, Bobot 100 Butir Biji, dan

Indeks Panen Kering ... 28 9. Nilai Tengah Bobot Biji/Ubinan dan Hasil Konversi

Bobot Biji/Ha ... 29 10.Parameter Genetik Beberapa Karakter Pengamatan pada 20

Genotipe Kacang Tanah ... 31 11.Hasil Analisis Korelasi Antar Karakter Pengamatan ... 34 12.Nilai Duga Heritabilitas dan Koefisien Korelasi Empat

Karakter yang Menjadi Kriteria Seleksi Daya Hasil ... 36 13.Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Polong Total

Beberapa Galur GWS Terpilih ... 37 14.Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Persentase Panjang Batang

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penyakit yang Menyerang Tanaman Kacang Tanah, Bercak

Daun (A), Karat (B), Layu Bakteri (C), dan Virus Belang (C) ... 15

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Daftar 20 Genotipe Kacang Tanah yang Diuji ... 45

2. Deskripsi Tanaman Kacang Tanah Varietas Gajah dan Sima ... 46

3. Deskripsi Tanaman Kacang Tanah Varietas Jerapah dan Zebra Putih ... 46

4. Rekapitulasi Analisis Ragam Karakter-Karakter Pengamatan ... 47

5. Hasil Analisis Tanah ... 49

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman yang mempunyai arti ekonomi cukup penting karena berperan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional sebagai sumber protein nabati, minyak, dan nutrisi lainnya (Rukmana, 2009). Selain digunakan sebagai bahan pangan, kacang tanah juga digunakan sebagai bahan pakan yang bernilai gizi tinggi.

Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun meningkat sekitar 4,4% sedangkan produksi kacang tanah hanya meningkat sebesar 2,5% (Widjanarko et al., 2009). Perhitungan di tingkat nasional, pada tahun 2008 produksi kacang tanah tercatat sebesar 773,8 ribu ton dengan produktivitas 1,2 ton/ha, sedangkan kebutuhannya telah mencapai 856,1 ribu ton, sehingga peningkatan produksi dan produktivitas kacang tanah perlu dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Marwoto, 2009). Saat ini terdapat banyak permasalahan yang menjadi penghambat dalam upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kacang tanah nasional, salah satu penyebabnya adalah gangguan penyakit.

Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh dua macam jamur, yaitu

Cercosporidium personatum (Berk. & Curt.) Deighton dan Cercospora arachidicola ini merupakan penyakit yang dominan pada pertanaman kacang tanah di Indonesia, baik yang ditanam di lahan kering maupun di lahan sawah (Jaslit, 2009). Pada skala dunia, penyakit bercak daun merupakan penyakit yang paling penting pada kacang tanah (Subrahmanyam et al., 1980). Banyak penyakit pada kacang tanah memiliki jangkauan geografis yang terbatas, tetapi lain halnya dengan penyakit bercak daun ini yang dapat terjadi di berbagai wilayah yang menanam kacang tanah (Shokes dan Culbreath, 1997).

(14)

Tergantung dari cepat atau lambatnya penyakit ini timbul, bercak daun dapat mengurangi produksi tanaman hingga 50%.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan penyakit bercak daun adalah dengan penggunaan varietas unggul yang dihasilkan melalui teknik pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman ini ditujukan untuk merakit varietas baru kacang tanah yang tahan penyakit bercak daun dan berdaya hasil tinggi.

Sebelum dilepas sebagai varietas, galur-galur kacang tanah hasil persilangan harus melalui tahap uji daya hasil. Galur-galur kacang tanah yang diuji dalam penelitian ini merupakan galur generasi lanjut hasil persilangan antara kultivar Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Informasi yang diharapkan didapat dari penelitian ini yaitu diketahuinya galur-galur generasi lanjut hasil persilangan tersebut yang mendukung ketahanan terhadap penyakit bercak daun sekaligus berdaya hasil tinggi.

Galur yang terbukti tahan terhadap penyakit bercak daun dan berdaya hasil tinggi dapat diproses lebih lanjut untuk diajukan dan dilepas sebagai varietas baru kacang tanah yang unggul. Melalui penggunaan varietas unggul ini dan didukung oleh sistem budi daya tanaman yang baik, diharapkan dapat menjadi pendorong dalam upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kacang tanah.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi daya hasil 16 galur kacang tanah (Arachis hypogaea L.) tahan penyakit bercak daun hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

Hipotesis

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kacang Tanah

Kedudukan tanaman kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan ke dalam ordo Leguminales, famili Papilionaceae, genus Arachis, dan spesies Arachis hypogaea. Tubuh tanaman kacang tanah tersusun atas organ akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji (Rukmana, 2009).

Kacang tanah merupakan tanaman tahunan yang terdiri dari dua tipe pertumbuhan tanamannya, yaitu tipe tegak dan tipe menjalar (Chapman dan Carter, 1976). Tipe tegak mempunyai percabangan yang tumbuh melurus ke atas dan umurnya genjah, yaitu antara 100 sampai 120 hari, sedangkan tipe menjalar mempunyai percabangan lebih panjang dan tumbuh ke samping, hanya bagian ujung yang mengarah ke atas. Umur tanaman tipe menjalar ini dapat mencapai enam bulan (Trustinah, 1993).

Umumnya, kacang tanah merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Setelah mengalami penyerbukan, kacang tanah memiliki struktur khusus yang disebut ginofor yang kemudian akan berkembang menjadi polong. Ginofor ini merupakan pertumbuhan bagian meristem pada dasar ovarium di dalam bunga (Chapman dan Carter, 1976). Ginofor tersebut akan terus masuk menembus tanah sedalam 2-7 cm. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan tanah dan masuk ke dalam tanah ditentukan oleh jarak dari permukaan tanah. Ginofor-ginofor yang letaknya lebih dari 15 cm dari permukaan tanah biasanya tidak dapat menembus tanah dan ujungnya mati (Trustinah, 1993).

Kacang tanah membutuhkan keadaan tanah yang berstruktur ringan, seperti tanah regosol, andosol, latosol, dan aluvial. Kacang tanah dapat dibudidayakan di lahan sawah berpengairan, sawah tadah hujan, lahan kering tadah hujan, dan lahan bukaan baru (Rukmana, 2009).

(16)

menyediakan kalsium yang cukup di sekitar tanaman. Adisarwanto (2001) menambahkan bahwa kebutuhan unsur kalsium dapat disediakan dengan memberikan kapur pertanian (kaptan) maupun dolomit sebanyak 300-400 kg/ha.

Di Indonesia, tanaman kacang tanah cocok ditanam di dataran rendah yang berketinggian di bawah 500 meter di atas permukaan laut (dpl.). Iklim yang dibutuhkan tanaman kacang tanah adalah bersuhu tinggi (panas) antara 28o C-32oC, curah hujan 800 mm-1300 mm per tahun, dan mendapat sinar matahri penuh (Rukmana, 2009). Pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman terutama berkaitan dengan laju fotosintesis. Pada suhu 30oC laju fotosintesis mencapai maksimum, sedangkan pada suhu 20oC hanya mencapai 75% dari laju maksimum. Suhu yang lebih tinggi dari 30oC atau kurang dari 20oC dapat menurunkan laju fotosintesis (Sumarno dan Slamet, 1993).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kacang tanah adalah cahaya. Kacang tanah termasuk tanaman hari pendek, sedangkan pembungaan tidak tergantung pada fotoperiode. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembentukan ginofor akan mengurangi jumlah ginofor. Di samping itu, rendahnya intensitas penyinaran pada masa pengisian polong akan menurunkan jumlah dan berat polong serta akan menambah jumlah polong hampa (Adisarwanto, 2001). Ditambahkan oleh Sumarno dan Slamet (1993) bahwa rendahnya intensitas cahaya atau radiasi matahari ini akan berakibat pada rendahnya pembentukan biomassa tanaman dan indeks panen.

Penyakit Bercak Daun

Penyakit bercak daun pada tanaman kacang tanah disebabkan oleh dua macam jamur, yaitu Cercosporidium personatum (Berk. & Curt.) Deighton dan

Cercospora arachidicola yang untuk pertama kali ditemukan oleh Raciborski di Jawa pada tahun 1898, dan disebutnya sebagai Septogloeum arachidis Rac. (Semangun, 2004).

(17)

arachidicola disebut juga sebagai bercak daun awal sedangkan C. personatum

disebut sebagai bercak daun akhir (Sumartini, 2008). Infeksi jamur bercak daun dapat terjadi melalui kedua sisi daun dengan cara penetrasi langsung menembus sel-sel jaringan epidermis atau melalui mulut daun (stomata). Infeksi pada daun banyak melalui epidermis atas (Saleh, 2010). Gejala bercak ini dimulai dengan lepasnya spora dari permukaan atas daun yang terinfeksi, kemudian menginfeksi daun yang sehat, miselium (benang-benang hifa cendawan) masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga jaringan tanaman tersebut menjadi rusak dan terlihat seperti bercak-bercak (Sumartini, 2008). Pada cuaca kering penyakit baru berkembang banyak saat tanaman berumur 70 hari, sedangkan dalam cuaca lembab penyakit berkembang pada umur 40-45 hari (Semangun, 2004).

Gejala bercak yang ditimbulkan oleh penyakit ini terdapat pada daun-daun bagian bawah, kemudian berkembang ke arah yang lebih atas. Mula-mula terdapat bercak kecil berwarna coklat, kemudian berkembang membentuk bercak yang lebih besar. Bercak yang disebabkan oleh C. arachidicola berwarna coklat muda hingga coklat tua ditandai dengan warna kuning di sekitar bercak (halo kuning). Bercak yang disebabkan C. personatum berwarna coklat kehitaman. Biasanya C. arachidicola menginfeksi kacang tanah pada fase pertumbuhan yang lebih awal daripada C. personatum (Sumartini, 2008). Gejala bercak-bercak tersebut berbentuk tidak teratur sampai bulat dan ukurannya bervariasi. Bercak-bercak tersebut dapat bertambah besar dan mengakibatkan daun mengering kemudian rontok (Nugrahaeni, 1993; Saleh, 2010). Penyakit bercak daun akhir dianggap lebih dominan dan merugikan dibandingkan penyakit bercak daun awal (Saleh, 2010; Nugrahaeni, 1993; Yudiwanti et al., 1998).

(18)

pada tanaman kacang tanah volunter atau pada sisa-sisa daun tanaman kacang tanah yang telah dipanen.

Pemuliaan Kacang Tanah Tahan Penyakit Bercak Daun

Penyakit bercak daun dapat dikendalikan dengan penyemprotan bermacam-macam fungisida yang umum. Namun, peningkatan produksi yang diperoleh sering tidak dapat mengimbangi biaya pengendalian (Semangun, 2004). Oleh karena itu, menanam varietas unggul yang tahan penyakit bercak daun merupakan cara yang paling murah, mudah dilaksanakan, tidak mencemari lingkungan, serta merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang stabilitas hasil (Sumartini 2008; Saleh, 2010; Nugrahaeni, 1993).

Kegiatan pemuliaan tanaman yang meliputi persilangan, penggaluran, dan evaluasi daya hasil merupakan suatu upaya untuk mendapatkan varietas unggul yang tahan penyakit utama (bercak daun dan karat) serta berdaya hasil tinggi (Rukmana, 2009). Sumber genetik untuk mendukung proses pembuatan varietas unggul yang tahan terhadap penyakit bercak daun ini dapat berasal dari koleksi varietas liar, varietas lokal, varietas unggul lama, galur-galur homozigot hasil persilangan, dan varietas atau galur introduksi dari luar negeri (Adisarwanto, 2001; Nugrahaeni, 1993). Apabila tidak didapatkan sumber ketahanan pada populasi-populasi varietas atau galur tersebut, sumber gen ketahanan dapat dicari dari spesies atau genera lain. Akan tetapi, semakin jauh kerabat antara sumber ketahanan dengan varietas yang diperbaiki, semakin sulit untuk memindahkan gen tahan tanpa terikutnya gen-gen atau kompleks gen lain yang tidak dikehendaki (Nugrahaeni, 1993). Introduksi varietas atau galur kacang tanah sebagai bahan untuk pemuliaan kacang tanah dapat memberikan keuntungan tertentu, terutama adalah menambah keragaman genetik beberapa sifat yang diinginkan misalnya tahan jamur aflatoksin, toleran kekurangan Fe, tahan kekeringan, dan tahan penyakit bercak daun (Adisarwanto, 2001).

Metode pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit tidak berbeda secara mendasar dari pemuliaan untuk karakteristik lainnya, dengan syarat gen pemberi

(19)

resistensi pada varietas komersil, tetapi hanya terdapat pada tipe yang tidak unggul secara komersil karena sifat agronominya yang tidak cocok maka metode

backcross atau metode pedigree biasanya digunakan. Metode backcross

digunakan jika tetua yang resisten hanya menyumbangkan gen resisten dan tidak unggul dalam sifat agronomi lainnya (Allard, 1989).

Galur hasil persilangan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode pemuliaan tertentu pada akhirnya akan diperoleh beberapa galur harapan sebagai calon varietas baru. Dari galur-galur harapan tersebut kemudian diuji atau dievaluasi mengenai potensi daya hasil. Pengujian atau evaluasi daya hasil merupakan tahapan lanjutan dari proses pembentukan varietas unggul (Adisarwanto, 2001).

(20)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur yang dimulai dari bulan Februari 2011 sampai bulan Mei 2011. Selain itu, penelitian juga dilaksanakan di laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Fakultas Pertanian IPB, untuk melakukan pengujian dan pengukuran kadar klorofil daun.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan adalah 20 genotipe kacang tanah yang terdiri atas 16 galur generasi lanjut GWS sebagai galur yang diuji, dan empat varietas unggul nasional sebagai varietas pembandingnya (Lampiran 1). Satu dari empat varietas pembanding yaitu varietas Gajah digunakan sebagai pembanding untuk varietas tanaman yang rentan terhadap penyakit bercak daun, sedangkan tiga varietas unggul nasional lainnya yaitu varietas Sima, Jerapah, dan Zebra Putih digunakan sebagai pembanding untuk varietas tanaman yang toleran terhadap penyakit bercak daun (Lampiran 2 dan 3).

Enam belas galur GWS yang diuji merupakan hasil persilangan antara varietas Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Galur-galur GWS ini diperoleh dari koleksi laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

Bahan lain yang digunakan yaitu pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCL), pupuk kandang dari kotoran sapi, kapur dolomit, dan karbofuran 3G. Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang lazim digunakan dalam budidaya kacang tanah. Spektrofometer UV-1800 digunakan untuk menentukan kadar klorofil pada daun.

(21)

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan perlakuan faktor tunggal yaitu genotipe (20 genotipe kacang tanah). Setiap genotipe diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 60 satuan percobaan. Satuan percobaanya berupa petakan lahan berukuran 4 m x 3 m. Adapun model linier RKLT yang digunakan adalah : Yij = μ + i βj + ij ; (i=1,....t, j=1,....r)

Keterangan :

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Rataan umum

i = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh ulangan ke-j

ij = Pengaruh galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Pengolahan data dilakukan dengan uji F, perlakuan yang berpengaruh nyata diuji dengan uji lanjut t-Dunnett pada taraf nyata 5% dan uji Kontras Ortogonal untuk karakter-karakter yang menjadi kriteria daya hasil dan ketahanan terhadap bercak daun.

Pelaksanaan Penelitian

Dua minggu sebelum penanaman, terlebih dahulu dilakukan pengolahan lahan dengan menggemburkan tanah sampai kedalaman 15-20 cm, kemudian dibuat petak percobaan sebanyak 60 petak yang berukuran 4 m x 3 m setiap petak. Pupuk kandang yang telah masak dan kapur dolomit diberikan satu minggu sebelum penanaman dengan dosis berturut-turut sebanyak 2 ton/ha dan 500 kg/ha.

(22)

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan pembumbunan, dan pengairan. Sistem pengairan dilakukan melalui pengairan tadah hujan. Penyulaman dilakukan pada 1 MST (Minggu Setelah Tanam). Penyiangan dilakukan setiap minggu sampai tanaman berumur 5 MST dan pembumbunan dilakukan saat 5 MST.

Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 100. Pengeringan polong dan brangkasan tanaman dilakukan dengan cara dijemur ± 8 jam setiap hari saat cuaca cerah selama 3 hari.

Pengamatan

Pengamatan untuk hasil dilakukan dengan menggunakan ubinan 1 m x 1 m pada masing-masing petak percobaan. Pengamatan untuk karakter lainnya dilakukan pada 10 tanaman contoh yang diambil secara acak dari tanaman di setiap ubinan. Peubah yang diamati antara lain:

1. Tinggi tanaman saat panen yang diukur dari batas antara batang dengan akar sampai dengan titik tumbuh pada batang utama.

2. Jumlah cabang yang tumbuh pada tiap tanaman saat panen. 3. Panjang batang utama berdaun hijau.

4. Persentase panjang batang utama berdaun hijau pada saat panen. Dihitung dengan rumus : (panjang batang utama berdaun hijau / tinggi tanaman saat panen) x 100%.

5. Kadar klorofil daun yang diamati pada saat 8 MST. Pengukuran kadar klorofil ini dilakukan dengan mengambil sampel daun secara acak pada tanaman dalam ubinan 1 m2 sebanyak satu daun tetrafoliate untuk setiap petak percobaan. Sampel daun yang diambil adalah daun ke-8 pada batang utama dengan daun pertama dihitung dari daun bagian atas yang telah membuka sempurna.

6. Indeks panen kering, yang dihitung dengan rumus : bobot polong bernas / bobot brangkasan.

7. Jumlah polong total, polong bernas, dan polong cipo per tanaman yang dihitung setelah tanaman contoh dikeringkan.

(23)

9. Bobot biji per tanaman, merupakan bobot biji dari tanaman contoh yang sudah dikeringkan.

10.Bobot 100 biji kering.

Analisis Data

Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis ragam (Tabel 1) dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah tiap galur generasi lanjut GWS dengan varietas Gajah dan varietas pembanding terbaik tiap karakter yang berbeda nyata menggunakan uji t-Dunnett. Karakter-karakter yang menjadi kriteria seleksi daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak daun digunakan uji Kontras Ortogonal sebagai penunjang untuk menilai galur yang terbaik pada karakter-karakter tersebut.

Tabel 1. Analisis Komponen Ragam Sumber Keragaman

(SK)

Derajat Bebas (DB)

Kuadrat Tengah (KT)

Harapan Kuadrat Tengah E (KT)

Ulangan r-1 M1

Perlakuan (Genotipe) g-1 M2 σ²e + rσ²g

Galat (r-1)(g-1) M3 rσ²e

Keterangan : r = ulangan, g = perlakuan (genotipe)

Selanjutnya dilakukan pendugaan ragam lingkungan (σ²e), ragam genetik (σ²g), dan ragam fenotipik (σ²p) berdasarkan komponen ragam. Rumus yang digunakan untuk menentukan komponen ragam tersebut yaitu :

Ragam lingkungan (σ²e) = M3/r Ragam genetik (σ²g) = (M2 – M3)/r Ragam fenotipik (σ²p) = σ²g + σ²e

Selain itu, dilakukan juga analisis untuk menduga nilai heritabilitas arti luas (h²bs), menghitung nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan analisis

korelasi antar karakter yang diamati. Rumus yang digunakan untuk masing-masing analisis tersebut yaitu :

1. Nilai heritabilitas dalam arti luas (h²bs) merupakan rasio ragam genetik

(24)

2. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dihitung dengan rumus :

KKG = x 100%

σ²g = nilai duga ragam genetik , = rataan umum peubah.

3. Analisis korelasi antar karakter yang diamati menggunakan rumus :

r = koefisien korelasi

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lahan percobaan untuk melaksanakan penelitian ini adalah lahan seluas ± 800 m2 yang terletak pada ketinggian 233 meter diatas permukaan laut (dpl.) dengan kondisi tanah yang bertekstur liat (Lampiran 5). Derajat kemasaman atau pH tanah di lokasi penelitian tergolong masam dengan nilai pH 4.9. Kondisi kemasaman tanah ini sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah.

Tanah yang masam dapat melepas kation yang sangat berbahaya bagi perakaran karena terjadi proses keracunan kation tertentu seperti alumunium. Selain itu proses pengikatan nitrogen oleh jasad renik dapat terganggu. Oleh karena itu tanah yang masam dapat direklamasi dengan pengapuran (Nasoetion, 2002).

Menurut Silahooy (2008) perbaikan pH tanah mendekati pH netral dengan pemberian kapur ini memungkinkan semua unsur hara berada dalam keadaan tersedia bagi tanaman, sehingga aktivitas metabolisme dalam tanaman dapat berjalan dengan baik dan secara langsung dapat berpengaruh terhadap peningkatan daya hasil kacang tanah. Di lain pihak, berdasarkan penelitian Sumaryo dan Suryono (2000) pemberian kapur dolomit dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman dan hasil kacang tanah. Pemberian kapur dolomit sebanyak 500 kg/ha dalam penelitian ini lebih ditujukan untuk membantu tanaman kacang tanah dalam membentuk polong.

Hasil analisis tanah pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa kadar N (nitrogen) dan P (fosfor) tergolong sangat rendah dengan nilai berturut-turut sebesar 0.07% dan 1.3 ppm, sedangkan kadar K (kalium) tergolong tinggi dengan nilai sebesar 57 ppm. Selain itu kadar Ca (kalsium) pada lahan percobaan tergolong sedang yaitu sebesar 217.8 ppm.

(26)

pihak, menurut Adisarwanto (2001) hara fosfor mempunyai peranan sangat penting dalam pembentukan polong, mengurangi jumlah polong hampa, dan mempercepat matangnya polong kacang tanah.

Kandungan C-organik di lahan percobaan tergolong sangat rendah yaitu sebesar 0.79% (Lampiran 5). Berdasarkan hasil penelitian Lana (2009) pemberian pupuk kandang sapi sebagai salah satu pupuk organik ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Menurut Notohadiprawiro (2006) C-organik merupakan bahan C-organik yang siap dirombak oleh mikroorganisme tanah menjadi humus yang sangat bermanfaat sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Selama masa tumbuh tanaman semusim seperti kacang tanah, sekitar 50% C-organik yang dialih tempatkan dari bagian atas tanaman ke akar dilepaskan dalam bentuk C-organik, dan 20% dilepaskan ke dalam tanah dalam bentuk CO2 melalui pernapasan akar. Selebihnya, sebesar 30% sampai masa

pertumbuhan tanaman tetap berupa akar utuh.

Lampiran 5 juga menunjukkan bahwa C/N rasio memiliki nilai yang tergolong sedang. Nilai C/N rasio merupakan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Nilai C/N rasio yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna, sedangkan nilai C/N yang semakin kecil menunjukkan bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengendalian terhadap hama dan penyakit. Hama yang umumnya banyak ditemukan di lahan percobaan yaitu belalang (Oxya spp.), ulat grayak (Spodoptera litura), dan Anoplocnemis phasiana

dari ordo Hemiptera famili Coreidae.

(27)

A B

C D

Di lain pihak, penyakit bercak daun mulai terlihat menyerang tanaman dalam intensitas yang rendah pada saat 8 MST, kemudian intensitas serangannya semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman hingga saat panen. Menurut Semangun (2004) pada cuaca lembab penyakit berkembang cepat pada saat tanaman berumur 40-45 hari, sedangkan pada cuaca kering penyakit berkembang pada umur 70 hari.

Gambar 1. Penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah. Bercak daun (A), karat (B), layu bakteri (C), dan virus belang (D).

Selain penyakit bercak daun, terdapat beberapa penyakit lain yang menyerang tanaman, diantaranya karat (Puccinia arachidis), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), dan virus belang (Peanut Stripe Virus/PStV). Gejala-gejala penyakit tersebut secara visual dapat dilihat pada Gambar 1.

(28)

menginfeksi tangkai dan batang tanaman. Berbeda dengan penyakit bercak daun, penyakit karat mengakibatkan daun menjadi kering tetapi masih tetap melekat pada batang atau cabang (Saleh, 2010).

Tanaman yang terserang penyakit layu bakteri terlihat layu, daun mengering, dan bahkan tanaman bisa mati. Hal ini disebabkan sumbatan massa bakteri pada pangkal batang sehingga tanaman tidak mendapat suplai air dan hara (Purwono dan Purnamawati, 2009). Semua stadia tumbuh kacang tanah peka terhadap penyakit layu bakteri. Tingkat kematian tanaman dapat mencapai 100% pada tanaman yang peka dari stadia kecambah hingga sebelum berbunga (Nugrahaeni, 1993).

Gejala khas dari serangan virus PStV berupa belang-belang agak bulat pada daun yang warnanya kontras dengan warna daun. Penularan virus ini dapat melalui biji (0.5-2.0%) dan melalui serangga vektor, yaitu Aphis craccivora dan

Aphis glycines. Penggunaan varietas tahan merupakan cara terbaik untuk mengendalikan penyakit ini (Nugrahaeni, 1993).

Keragaan Umum Karakter Genotipe yang Diuji

Terdapat perbedaan pada keragaan beberapa karakter untuk 20 genotipe kacang tanah yang telah diuji. Hasil analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 1% untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang berbeda nyata pada taraf 5% terdapat pada indeks panen kering, sedangkan untuk karakter yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan bobot biji/ubinan.

(29)

Tabel 2. Rekapitulasi Uji F Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah.

Karakter F Hitung Pr > F

Koefisien Keragaman

(%)

Tinggi tanaman 3.11** 0.0014 17.46

Jumlah cabang 5.72** <.0001 9.76

Panjang batang utama berdaun hijau 21.18** <.0001 20.26 Persentase panjang batang utama berdaun

hijau

12.22** <.0001 17.71

Kadar klorofil 2.28** 0.0120 16.81

Jumlah polong total 3.08** 0.0016 19.41

Jumlah polong bernas 3.18** 0.0012 19.65

Jumlah polong cipo a 0.96tn 0.4236 20.16

Bobot polong total 1.74tn 0.0725 18.38

Bobot polong bernas 1.71tn 0.0778 18.96

Bobot polong cipo a 1.10tn 0.2967 18.47

Bobot biji per tanaman 1.39tn 0.1910 19.91

Bobot 100 butir biji 2.63** 0.0054 9.27

Bobot brangkasan 3.51** 0.0005 16.96

Indeks panen kering 2.26* 0.0158 15.62

Bobot biji/ubinan 1.59tn 0.1090 17.02

Keterangan : tn : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** ; berbeda nyata pada taraf 1%, a: data ditransformasi.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa secara umum nilai koefisien keragaman untuk karakter-karakter yang diamati berada dibawah 20%, kecuali untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong cipo dengan nilai koefisien keragaman yang berada diatas 20%. Karakter-karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman dibawah 20% menandakan bahwa tingkat ketepatan pengamatan yang dilakukan terhadap karakter-karakter tersebut dilakukan dengan cukup akurat. Nilai koefisien keragaman untuk karakter jumlah polong cipo dan bobot polong cipo merupakan hasil satu kali transformasi data dengan menggunakan +0.5. Transformasi data diperlukan untuk menekan nilai koefisien keragaman yang sangat tinggi pada data awal sebelum dilakukan transformasi yaitu berturut-turut sebesar 59.47% dan 100.79%.

(30)

dengan nilai minimum yang menunjukkan nilai tengah terendah suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati.

Tabel 3. Nilai Tengah, Nilai Maksimum, dan Nilai Minimum Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah.

Karakter Nilai Tengah Nilai Maksimum (Genotipe)

Nilai Minimum (Genotipe)

Tinggi tanaman (cm) 33.77 53.5

(Sima)

27.6 (GWS 134 A1)

Jumlah cabang 6.96 8.8

(GWS 79 A)

5.0 (Zebra Putih) Panjang batang utama

berdaun hijau (cm)

14.24 42.5

(Sima)

5.9 (Gajah) Persentase panjang batang

utama berdaun hijau (%)

40.89 79.5

(Sima)

18.8 (Gajah) Kadar klorofil

(µmol/100 cm2)

5.70 7.3 (GWS 73 D)

4.5 (GWS 72 A) Jumlah polong total

(polong)

19.51 26.8

(GWS 39 D)

12.7 (Sima) Jumlah polong bernas

(polong)

18.25 25.5

(GWS 39 D)

11.8 (Gajah) Jumlah polong cipo

(polong)

1.28 2.3

(GWS 138 A)

0.6 (GWS 74 A1) Bobot polong total

(gram)

22.54 29.1

(GWS 39 D)

14.7 (Gajah) Bobot polong bernas

(gram)

22.18 28.7

(GWS 39 D)

14.3 (Gajah) Bobot polong cipo

(gram)

0.53 1.6

(GWS 138 A)

0.3 (GWS 74 A1; GWS 134 A1; GWS 110 A1; GWS 74 D; GWS

110 D; Jerapah) Bobot biji per tanaman

(gram)

15.46 19.0

(GWS 79 A)

9.5 (Gajah) Bobot 100 butir biji

(gram)

49.67 56.5

(GWS 73 D)

42.5 (GWS 110 D) Bobot brangkasan

(gram)

26.63 36.9

(GWS 73 D)

16.1 (Gajah)

Indeks panen kering 0.89 1.2

(GWS 72 A)

0.7 (GWS 74 A1; GWS 73 D; Sima) Bobot biji/ubinan (gram) 204.09 252.9

(GWS 39 D)

(31)

Sima yang merupakan salah satu varietas pembanding dan digunakan sebagai pembanding untuk genotipe yang toleran penyakit bercak daun memiliki nilai tertinggi diantara genotipe lainnya untuk karakter tinggi tanaman, panjang batang utama berdaun hijau, dan persentase panjang batang utama berdaun hijau dengan nilai tengah atau rata-rata berturut-turut sebesar 53.5 cm, 42.5 cm, dan 79.5%. Karakter jumlah cabang (8.8) dan bobot biji per tanaman (19.0 gram) dengan nilai tertinggi terdapat pada genotipe atau galur GWS 79 A (Tabel 3).

Di samping itu, Tabel 3 juga menunjukkan bahwa galur GWS 39 D memiliki nilai tengah atau rata-rata yang tertinggi untuk beberapa karakter yaitu jumlah polong total (26.8 polong), jumlah polong bernas (25.5 polong), bobot polong total (29.1 gram), bobot polong bernas (28.7 gram), dan bobot biji/ubinan (252.9 gram). Nilai tengah tertinggi untuk kadar klorofil (7.3 µmol/100 cm2), bobot 100 butir biji (56.5 gram), dan bobot brangkasan (36.9 gram) dimiliki oleh GWS 73 D, sedangkan indeks panen kering (1.2) terdapat pada GWS 72 A. Jumlah polong cipo dan bobot polong cipo tertinggi ditunjukkan oleh GWS 138 A dengan nilai tengah berturut-turut sebesar 2.3 dan 1.6 gram.

Gajah yang menjadi varietas pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun memiliki nilai tengah yang terendah untuk sebagian besar dari karakter-karakter yang diamati dibandingkan dengan genotipe lainnya. Gajah memiliki nilai tengah terendah untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau (5.9 cm), persentase panjang batang utama berdaun hijau (18.8 %), jumlah polong bernas (11.8 polong), bobot polong total (14.7 gram), bobot polong bernas (14.3 gram), bobot biji per tanaman (9.5 gram), bobot brangkasan (16.1 gram), dan bobot biji/ubinan (143.7 gram).

(32)

galur-galur yang diuji mampu mengisi polongnya dengan baik. Di samping itu, terdapat juga beberapa genotipe yang memiliki indeks panen kering terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.7, yaitu GWS 74 A1, GWS 73 D, dan Sima.

Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun Karakter-karakter vegetatif yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah cabang, bobot brangkasan, dan kadar klorofil daun, sedangkan pengamatan untuk ketahanan terhadap penyakit bercak daun dilakukan terhadap karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau. Tabel 4 menunjukkan bahwa diantara empat varietas pembanding, Sima memiliki nilai tertinggi untuk karakter tinggi tanaman dan persentase panjang batang utama berdaun hijau, sehingga Sima dijadikan sebagai pembanding terbaiknya. Untuk karakter jumlah cabang, varietas Jerapah dijadikan sebagai pembanding terbaiknya karena memiliki jumlah cabang yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya. Semua karakter yang terdapat pada Tabel 4 juga dibandingkan dengan varietas Gajah.

Perbandingan nilai tengah atau rata-rata tinggi tanaman dari semua galur GWS dengan Gajah menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-Dunnett. Bila dibandingkan dengan Sima sebagai varietas pembanding terbaik untuk tinggi tanaman, galur-galur GWS yang diuji memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dari Sima, kecuali GWS 73 D yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Kisaran tinggi tanaman dari semua genotipe yang diuji berada pada 27.6 cm-53.5 cm.

(33)

tingginya kelembaban di bawah kanopi tanaman yang mendukung perkembangan penyakit.

Tabel 4. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, dan Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau.

Genotipe Tinggi Tanaman (cm)

Jumlah Cabang

Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau

(%)

GWS 39 B 29.0 h 7.4 a 49.8 ah

GWS 110 A2 30.0 h 7.8 a 32.7 h

GWS 134 D 35.0 h 7.0 36.4 h

GWS 138 A 33.9 h 6.4 35.5 h

GWS 74 A1 35.0 h 6.4 35.3 h

GWS 134 A 33.7 h 7.4 a 34.6 h

GWS 27 C 38.5 h 7.7 a 35.2 h

GWS 79 A 32.6 h 8.8 ab 39.5 ah

GWS 73 D 43.4 6.9 43.5 ah

GWS 18 A1 31.6 h 7.0 38.2 ah

GWS 134 A1 27.6 h 7.2 42.9 ah

GWS 110 A1 29.5 h 7.5 a 41.1 ah

GWS 74 D 37.1 h 6.5 50.4 ah

GWS 110 D 28.4 h 7.1 34.0 h

GWS 72 A 30.6 h 7.8 a 30.0 h

GWS 39 D 33.8 h 7.7 a 30.1 h

Gajah 31.4 5.6 18.8

Zebra Putih 30.2 5.0 77.3

Jerapah 30.5 6.7 32.9

Sima 53.5 5.1 79.5

Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :

a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah

b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih

d : nyata > Sima h : nyata < Sima

(34)

Menurut Riduan dan Sudarsono (2005) peningkatan jumlah cabang biasanya berasosiasi dengan peningkatan daya hasil yang menghasilkan polong dan biji lebih banyak. Namun, ditambahkan oleh Yudiwanti dan Ghani (2002) bahwa pengaruh jumlah cabang terhadap daya hasil ini akan lebih ditentukan oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong.

Persentase panjang batang utama berdaun hijau untuk semua galur GWS yang diuji juga memiliki nilai yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima (Tabel 4). Jika galur GWS ini dibandingkan dengan Gajah yang menjadi pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun, maka terdapat beberapa galur GWS memiliki nilai yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, dan GWS 74 D.

Kusumo (1996) menyatakan bahwa persentase daun yang masih hijau berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Yudiwanti et al. (2008) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa persentase panjang batang utama bebas penyakit bercak daun merupakan peubah yang diajukan untuk menilai secara kuantitatif tingkat ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun.

Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau prospektif diterapkan sebagai peubah tingkat ketahanan visual di lapangan. Peubah ini praktis diterapkan di lapangan dan obyektivitasnya mudah dijaga. Peubah ini juga memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi, yaitu mencapai 80.77% yang menunjukkan bahwa keragaman peubah tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetik (Yudiwanti et al., 2007).

Karakter bobot brangkasan dan kadar klorofil menggunakan Sima sebagai varietas pembanding terbaiknya karena memiliki nilai tengah tertinggi dibandingkan varietas pembanding lain untuk karakter-karakter tersebut (Tabel 5). Karakter bobot brangksan dan kadar klorofil dibandingkan juga dengan Gajah.

(35)

Tabel 5. Nilai Tengah Bobot Brangkasan dan Kadar Klorofil. Genotipe Bobot Brangkasan

(gram)

Kadar Klorofil (µmol/100 cm2)

GWS 39 B 27.3 5.97

GWS 110 A2 25.9 4.98

GWS 134 D 26.4 5.92

GWS 138 A 26.4 5.52

GWS 74 A1 26.9 5.15

GWS 134 A 22.9 5.11

GWS 27 C 32.2 a 6.39

GWS 79 A 34.0 a 5.10

GWS 73 D 36.9 a 7.25 a

GWS 18 A1 27.1 6.34

GWS 134 A1 23.1 5.24

GWS 110 A1 23.0 5.12

GWS 74 D 29.3 4.99

GWS 110 D 21.8 a 5.24

GWS 72 A 23.3 4.35 h

GWS 39 D 30.3 a 5.91

Gajah 16.1 4.84

Zebra Putih 22.7 7.04

Jerapah 24.6 6.27

Sima 32.6 7.22

Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :

a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah

b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih

d : nyata > Sima h : nyata < Sima

Berdasarkan pengamatan di lapangan, bobot brangkasan tanaman diduga dapat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap penyakit bercak daun. Hal ini karena semakin tidak tahan suatu genotipe terhadap penyakit bercak daun, akan semakin banyak daun yang kering dan akhirnya gugur. Banyaknya daun yang gugur ini dapat mengurangi bobot brangkasan tanaman. Selain itu, bobot brangkasan pun diduga dapat dipengaruhi oleh jumlah cabang yang terbentuk. Semakin banyak jumlah cabang yang terbentuk maka akan berpotensi untuk meningkatkan bobot brangkasannya.

(36)

Kandungan klorofil yang tinggi secara visual ditunjukkan oleh warna daun yang lebih hijau, sehingga akan berpotensi memiliki daya hasil yang lebih tinggi karena daun yang lebih hijau lebih efisien dalam menangkap cahaya.

Diantara galur GWS yang diuji berdasarkan uji t-Dunnett, GWS 72 A menjadi satu-satunya galur GWS yang memiliki kadar klorofil yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima, sedangkan galur GWS lainnya memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Di lain pihak, bila galur GWS dibandingkan dengan Gajah, maka hanya GWS 73 D yang nyata lebih tinggi dari Gajah, sedangkan galur GWS lainnya tidak berbeda nyata.

Karakter Hasil dan Komponen Hasil

Varietas Jerapah memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya, sehingga Jerapah digunakan sebagai pembanding yang terbaik untuk karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas. Karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas, juga dibandingkan dengan Gajah sebagai varietas pembanding yang rentan terhadap penyakit bercak daun (Tabel 6).

Hasil uji lanjut untuk karakter yang berbeda nyata dengan menggunakan uji t-Dunnett yang disajikan pada Tabel 6, terlihat bahwa hanya GWS 39 D yang memiliki rata-rata jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Jerapah. Jika dibandingkan dengan Gajah, maka beberapa galur GWS memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 110 A2, GWS 79 A, GWS 18 A1, GWS 110 D, dan GWS 39 D.

(37)

polong dipengaruhi juga oleh ketersediaan hara dalam tanah, terutama kandungan unsur P, K, dan Ca dalam tanah.

Tabel 6. Nilai Tengah Jumlah Polong Total, Jumlah Polong Bernas, dan Jumlah Polong Cipo.

Genotipe

Jumlah Polong Total (polong)

Jumlah Polong Bernas (polong)

Jumlah Polong Cipo (polong)

GWS 39 B 21.1 19.6 1.9

GWS 110 A2 23.1 a 21.6 a 1.4

GWS 134 D 19.3 17.8 1.5

GWS 138 A 18.8 16.5 2.3

GWS 74 A1 15.3 14.7 0.6

GWS 134 A 19.0 18.0 1.1

GWS 27 C 21.0 19.8 1.2

GWS 79 A 23.6 a 22.0 a 1.7

GWS 73 D 22.0 20.0 2.0

GWS 18 A1 22.5 a 21.1 a 1.3

GWS 134 A1 17.2 16.4 0.8

GWS 110 A1 22.3 21.4 0.9

GWS 74 D 18.3 17.3 1.0

GWS 110 D 22.8 a 21.7 a 1.1

GWS 72 A 21.3 20.0 1.3

GWS 39 D 26.8 ab 25.5 ab 1.3

Gajah 13.0 11.8 1.2

Zebra Putih 14.5 13.2 1.3

Jerapah 15.5 14.7 0.8

Sima 12.7 11.9 0.8

Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :

a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah

b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih

d : nyata > Sima h : nyata < Sima

(38)

terbentuk dari jumlah polong total. Hal ini diduga terjadi karena selama proses pengisian polong yang dimulai pada 8 MST, tanaman cukup mendapatkan air dari air hujan yang turun.

Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) kekurangan air selama periode pengisian polong akan mengurangi laju pertumbuhan biji. Sebelumnya Trustinah (1993) menyatakan bahwa bila keadaan kekurangan air selama periode pengisian polong tersebut berlangsung lebih panjang, maka hasil dapat menurun secara drastis dikarenakan meningkatnya jumlah biji yang keriput dan gugur.

Di samping itu, berdasarkan pengamatan selama di lapangan hujan selama bulan April (7-10 MST) rata-rata selalu turun pada malam hari, sehingga tanaman mendapatkan cukup radiasi matahari di siang hari untuk proses fotosintesis. Sumarno dan Slamet (1993) menyampaikan bahwa rendahnya produktivitas kacang tanah pada musim hujan di Indonesia karena pengaruh penghambatan radiasi yang cukup tinggi, sehingga proses fotosintesis terhambat dan akibatnya hasil biji yang rendah.

Rata-rata bobot polong total, bobot polong bernas, dan bobot polong cipo pada Tabel 7 tidak berbeda nyata untuk 20 genotipe yang diuji. Hal ini dikarenakan ukuran polong dari beberapa genotipe secara visual berbeda, sehingga dalam jumlah polong yang berbeda dapat memiliki bobot polong yang hampir sama. Utomo et al. (2005) menyatakan bahwa ukuran polong dan biji kacang tanah yang lebih besar dapat berkontribusi pada hasil yang lebih tinggi, sehingga walaupun jumlah polong per tanaman tetap atau tidak meningkat maka daya hasil suatu galur atau varietas akan meningkat jika ukuran polong atau biji lebih besar.

(39)

polong, baik bobot polong total maupun bobot polong bernas yang lebih tinggi ini diharapkan dapat meningkat pula daya hasilnya.

Tabel 7. Nilai Tengah Bobot Polong Total, Bobot Polong Bernas, dan Bobot Polong Cipo.

Genotipe

Bobot Polong Total (gram)

Bobot Polong Bernas (gram)

Bobot Polong Cipo (gram)

GWS 39 B 22.3 21.8 0.5

GWS 110 A2 22.7 22.2 0.6

GWS 134 D 20.6 20.0 0.6

GWS 138 A 23.2 21.6 1.6

GWS 74 A1 20.0 19.7 0.3

GWS 134 A 21.1 20.7 0.4

GWS 27 C 25.4 24.9 0.6

GWS 79 A 26.9 26.0 1.0

GWS 73 D 26.8 25.9 0.9

GWS 18 A1 22.0 21.6 0.4

GWS 134 A1 19.3 19.1 0.3

GWS 110 A1 23.2 22.9 0.3

GWS 74 D 22.4 25.4 0.3

GWS 110 D 21.7 21.5 0.3

GWS 72 A 25.3 24.9 0.4

GWS 39 D 29.1 28.7 0.4

Gajah 14.7 14.3 0.4

Zebra Putih 20.9 20.4 0.5

Jerapah 20.7 20.1 0.3

Sima 22.4 22.0 0.5

Seperti pada hasil pembahasan sebelumnya, bobot biji per tanaman untuk setiap genotipe yang diuji berdasarkan uji-F tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding, sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Bobot biji pertanaman pada galur-galur GWS yang diuji berkisar antara 13.6 gram - 19.0 gram, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 9.5 gram - 15.1 gram. Umumnya galur GWS yang diuji memiliki bobot biji per tanaman yang dapat dianggap lebih tinggi dari varietas pembanding (Tabel 8).

(40)

Tabel 8. Nilai Tengah Bobot Biji Per Tanaman, Bobot 100 Butir Biji, dan Indeks Panen Kering.

Genotipe

Bobot Biji Per Tanaman

(gram)

Bobot 100 Butir Biji (gram)

Indeks Panen Kering

GWS 39 B 15.5 50.8 0.9

GWS 110 A2 15.6 46.3 0.9

GWS 134 D 14.2 46.5 0.8

GWS 138 A 15.2 56.3 0.9

GWS 74 A1 13.9 52.5 0.7

GWS 134 A 14.6 49.3 1.0

GWS 27 C 17.3 49.0 0.8

GWS 79 A 19.0 53.7 0.9

GWS 73 D 17.2 56.5 0.7

GWS 18 A1 15.8 43.3 f 0.8

GWS 134 A1 13.6 52.0 0.9

GWS 110 A1 16.8 50.0 1.0

GWS 74 D 15.3 52.3 0.8

GWS 110 D 15.3 42.5 f 1.0

GWS 72 A 18.0 53.2 1.2

GWS 39 D 18.6 48.2 1.0

Gajah 9.5 45.7 1.0

Zebra Putih 14.8 44.0 0.9

Jerapah 14.0 55.5 0.9

Sima 15.1 45.8 0.7

Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :

a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah

b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih

d : nyata > Sima h : nyata < Sima

Nilai dari bobot biji pertanaman ini dipengaruhi oleh ukuran biji yang dihasilkan dari polong setiap tanaman. Selain itu, menurut Yudiwanti et al. (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa bobot biji per tanaman juga dipengaruhi oleh tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun dan kandungan klorofil yang terdapat pada tanaman. Hubungan bobot biji per tanaman ini berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan tingkat ketahanan terhadap bercak daun.

(41)

Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) bobot 100 butir biji merupakan karakter yang biasa digunakan untuk menduga ukuran biji. Berdasarkan hasil uji t-Dunnet, GWS 18 A1 dan GWS 110 D merupakan galur GWS dengan bobot 100 biji yang nyata lebih rendah dari Jerapah, sedangkan galur GWS lainnya tidak berbeda nyata. Seluruh galur GWS yang dibandingkan dengan Gajah memiliki bobot 100 butir biji yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-Dunnett. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ukuran biji dari masing-masing galur GWS relatif sama dengan ukuran biji dari varietas Gajah.

Tabel 9. Nilai Tengah Bobot Biji/Ubinan dan Hasil Konversi Bobot Biji/Ha. Genotipe Bobot Biji/Ubinan

(gram)

Bobot Biji/Ha (ton)

GWS 39 B 187,10 1,87

GWS 110 A2 205,90 2,06

GWS 134 D 183,20 1,83

GWS 138 A 194,46 1,95

GWS 74 A1 181,80 1,82

GWS 134 A 188,50 1,88

GWS 27 C 223,10 2,23

GWS 79 A 236,30 2,36

GWS 73 D 244,06 2,44

GWS 18 A1 197,30 1,97

GWS 134 A1 181,70 1,82

GWS 110 A1 203,40 2,03

GWS 74 D 200,20 2,00

GWS 110 D 193,80 1,94

GWS 72 A 226,00 2,26

GWS 39 D 252,90 2,53

Gajah 143,70 1,44

Zebra Putih 211,30 2,11

Jerapah 203,70 2,04

Sima 222,50 2,23

(42)

keragaan tanaman yang memiliki indeks panen kering yang tinggi terlihat tumbuh dengan normal dan tidak mengalami gangguan selama pertumbuhannya. Menurut Soetarso (1989) indeks panen merupakan petunjuk efisiensi tanaman dalam proses penggunaan hasil fotosintesis. Semakin besar nilai indeks panen, semakin efisien tanaman tersebut dalam memanfaatkan hasil fotosintesisnya, yang berarti semakin tinggi nilai ekonomisnya.

Bobot polong biji/ubinan merupakan bobot biji kering total dari seluruh individu tanaman kacang tanah yang berada dalam ubinan 1 m x 1 m di setiap petak percobaan. Berdasarkan hasil analisis ragam, seluruh perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk bobot biji/ubinan (Tabel 2). Nilai tengah bobot biji/ubinan untuk galur-galur GWS yang diuji berada pada kisaran 181.70 gram – 252.90 gram, sedangkan untuk varietas pembanding berkisar antara 143.70 gram – 222.50 gram (Tabel 9).

Pendugaan Parameter Genetik

Parameter genetik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi ragam lingkungan, ragam genetik, ragam fenotipik, nilai heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik (KKG) yang terdapat pada Tabel 10. Heritabilitas menspesifikasikan proporsi variabilitas total yang disebabkan oleh faktor genetik, atau perbandingan ragam genetik terhadap ragam total (Allard, 1992). Ragam total dapat disebut juga sebagai ragam fenotipik yang terdiri dari ragam genetik dan ragam lingkungan. Hubungan antara ragam genetik dan ragam fenotipik yang ditunjukkan oleh nilai heritabilitas, menggambarkan seberapa jauh karakter fenotipik tanaman yang tampak merupakan refleksi dari pengaruh genetik dari tanaman tersebut.

(43)

1988). Nilai heritabilitas digolongkan rendah bila h²<0.2, heritabilitas sedang bila 0.2≤h²≤0.5, dan heritabilitas tinggi bila h² >0.5 (Stansfield, 1983).

Tabel 10. Parameter Genetik Beberapa Karakter Pengamatan pada 20 Genotipe Kacang Tanah.

Karakter σ²e σ²g σ²p h²bs

KKG (%)

Tinggi tanaman 11.59 24.50 36.09 0.68 14.66

Jumlah cabang 0.15 0.72 0.88 0.83 12.22

Persentase panjang batang utama berdaun hijau

17.49 196.16 213.65 0.92 34.25

Kadar klorofil 0.31 0.39 0.70 0.56 10.96

Jumlah polong total 4.78 9.93 14.71 0.68 16.15 Jumlah polong bernas 4.28 9.35 13.63 0.69 37.06

Jumlah polong cipo 0.02 0* 0.19 0 0

Bobot polong total 5.72 4.22 9.94 0.42 9.11

Bobot polong bernas 5.89 4.20 10.10 0.42 9.24 Bobot polong cipo 0.01 0.003 0.01 0.25 10.89 Bobot biji per tanaman 3.16 1.22 4.38 0.28 7.15 Bobot 100 butir biji 7.06 11.55 18.62 0.62 6.84

Bobot brangkasan 6.80 17.06 23.86 0.72 15.51

Indeks panen kering 0.01 0.01 0.01 0.50 9.17

Keterangan : σ²e: ragam lingkungan, σ²g : ragam genetik, σ²p: ragam fenotipik, h²bs : heritabilitas arti luas, KKG : koefisien keragaman genetik, * : diperoleh dengan memberikan nilai nol untuk ragam genetik yang bernilai negatif.

Karakter-karakter yang memiliki nilai duga heritabilitas tinggi yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang memiliki nilai duga heritabilitas sedang yaitu bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji per tanaman, indeks panen kering, dan bobot polong cipo. Karakter dengan nilai duga heritabilitas rendah terdapat pada jumlah polong cipo (Tabel 10). Nilai duga heritabilitas tertinggi sebesar 0.92 ditunjukkan oleh karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau dibandingkan dengan karakter lainnya.

(44)

penampilan fenotipik karakter tersebut. Heritabilitas bernilai nol yang terjadi pada karakter jumlah polong cipo disebabkan ragam genotipe yang bernilai negatif dari karakter tersebut. Komponen ragam yang bernilai negatif dinilai nol di dalam perhitungan, yang berarti tidak dianggap memiliki keragaman.

Menurut Sjamsudin (1990) penafsiran nilai duga heritabilitas ini harus dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini karena pendugaan heritabilitas yang hanya berdasar pada satu lingkungan akan berbias karena adanya pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan serta kemungkinan adanya peran gen dominan dan epistasis.

Koefisien keragaman genetik (KKG) menunjukkan besaran ragam genetik dalam populasi. Semakin tinggi nilai KKG suatu karakter maka semakin besar peluang untuk dilakukan seleksi terhadap karakter tersebut. Menurut Murdaningsih et al. dalam Sutina (2003) menyebutkan bahwa kriteria nilai KKG dapat digolongkan menjadi lima kriteria yaitu sempit (0< x ≤10.94), agak sempit (10.94< x ≤21.88), agak luas (21.88< x ≤32.83), luas (32.88< x ≤43.77), dan sangat luas (43.77< x).

Persentase nilai KKG yang ditunjukkan pada Tabel 10, terlihat bahwa karakter jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot biji per tanaman, bobot 100 butir biji, bobot polong cipo, dan indeks panen kering memiliki nilai KKG yang sempit. Nilai KKG yang agak sempit dimiliki oleh karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, kadar klorofil, jumlah polong total, dan bobot brangkasan. Sedangkan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong bernas memiliki nilai KKG yang luas.

Korelasi Antar Karakter yang Diamati

Analisis korelasi menyediakan pengukuran derajat hubungan antar karakter atau kebaikan suai (goodness of fit) dari hubungan yang diutarakan pada data yang sedang ditangani. Analisis korelasi linear sederhana berurusan dengan pendugaan dan uji beda nyata koefisien korelasi linear sederhana (r), yang merupakan ukuran derajat hubungan linear antara dua peubah (karakter) X dan Y

(45)

(r) dapat berada diantara + 1 dan - 1, menjadi bernilai nol ketika tidak ada hubungan dan terus meningkat mencapai + 1 atau - 1 untuk hubungan yang erat.

Karakter daya hasil merupakan karakter kuantitatif yang sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil maupun karakter agronomi lain yang terkait dan memiliki hubungan fungsional dengan daya hasil. Keeratan hubungan antara karakter daya hasil dengan karakter lain yang mempengaruhi daya hasil dapat diduga dengan menghitung nilai koefisien korelasi antara kedua karakter (Wirnas et al., 2005; Budiarti et al., 2004).

Perbaikan karakter hasil merupakan tujuan akhir program pemuliaan tanaman. Meskipun demikian, karakter hasil dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan lingkungan, sehingga dalam kondisi demikian, seleksi melalui karakter lain yang berkorelasi erat dan positif dengan karakter hasil akan sangat membantu perbaikan daya hasil. Hubungan antar karakter satu dengan yang lain mempunyai arti penting dalam pekerjaan seleksi. Bila ada hubungan antara sifat penduga dan sifat yang dituju maka seleksi berjalan efektif. Korelasi antar dua sifat dapat berupa korelasi positif atau negatif (Sutina, 2003).

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat enam dari 14 karakter pengamatan yang berkorelasi nyata dan positif dengan bobot biji per tanaman sebagai karakter daya hasil, yaitu jumlah cabang (r = 0.655), jumlah polong total (r = 0.759), jumlah polong bernas (r = 0.756), bobot polong total (r = 0.961), bobot polong bernas (r = 0.933), dan bobot brangkasan (r = 0.661). Sedangkan karakter lainnya yaitu tinggi tanaman, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hjau, kadar klorofil, jumlah polong cipo, bobot polong cipo, bobot 100 butir biji, dan indeks panen kering tidak berkorelasi nyata dengan hasil (Tabel 11).

(46)
[image:46.842.39.797.109.546.2]

Tabel 11. Hasil Analisis Korelasi Antar Karakter Pengamatan.

JC PBUBH PPBUBH KK JPT JPB JPC BPT BPB BPC BSB BB IPK BBP

TT -0.371 0.808** 0.468* 0.562** -0.273 -0.285 -0.021 0.240 0.254 0.201 0.069 0.649** -0.629** 0.120

0.108 <.0001 0.037 0.001 0.244 0.223 0.931 0.308 0.280 0.395 0.773 0.002 0.003 0.615

JC -0.537* -0.536* -0.441 0.820** 0.833** 0.216 0.562** 0.530* 0.079 0.272 0.250 0.341 0.635**

0.015 0.015 0.052 <.0001 <.0001 0.360 0.001 0.016 0.739 0.246 0.288 0.142 0.003

PBUBH 0.884** 0.659** -0.408 -0.412 -0.102 0.118 0.139 0.087 -0.119 0.487* -0.561* 0.091

<.0001 0.002 0.074 0.071 0.670 0.622 0.558 0.715 0.619 0.029 0.010 0.702

PPBUBH 0.621** -0.380 -0.382 -0.086 0.040 0.081 -0.004 -0.185 0.298 -0.421 0.083

0.004 0.098 0.097 0.719 0.866 0.734 0.985 0.434 0.203 0.065 0.727

KK -0.180 -0.205 0.150 0.193 0.127 0.154 -0.124 0.509* -0.614* 0.104

0.448 0.386 0.529 0.414 0.594 0.518 0.602 0.022 0.004 0.663

JPT 0.995** 0.396 0.740** 0.711** 0.146 0.029 0.338 0.282 0.759**

<.0001 0.084 0.0002 0.0004 0.540 0.905 0.145 0.229 0.0001

JPB 0.302 0.725** 0.709** 0.056 0.004 0.317 0.293 0.756**

0.195 0.0003 0.0005 0.816 0.988 0.174 0.210 0.0001

JPC 0.382 0.266 0.819** 0.269 0.312 0.024 0.299

0.097 0.257 <.0001 0.251 0.181 0.920 0.200

BPT 0.964** 0.334 0.310 0.739** 0.026 0.961**

<.0001 0.150 0.184 0.0002 0.912 <.0001

BPB 0.197 0.290 0.731** 0.0009 0.933**

0.406 0.216 0.0002 0.997 <.0001

BPC 0.415 0.392 -0.164 0.244

0.069 0.088 0.490 0.299

BSB 0.354 -0.059 0.244

0.125 0.805 0.300

BB -0.607** 0.661**

0.005 0.002

IPK 0.095

0.691 Keterangan : 1. JC = jumlah cabang, TT = tinggi tanaman, PBUBH = panjang batang utama berdaun hijau, PPBUBH = persentase panjang batang utama berdaun hijau, KK =

kadar klorofil, JPT = jumlah polong total, JPB = jumlah polong bernas, JPC = jumlah polong cipo, BPT = bobot polong total, BPB = bobot polong bernas, BPC = bobot polong cipo, BSB = bobot 100 butir biji, BB = bobot brangkasan, IPK = indeks panen kering, BBP = bobot biji per tanaman.

(47)

Kondisi serupa juga diungkapkan oleh Yudiwanti (2007) dalam penelitiannya yang menunjukkan adanya korelasi yang positif antara kadar klorofil yang ditunjukkan oleh warna daun yang lebih hijau dengan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Hal ini diduga karena terdapat kandungan karotenoid yang tinggi pada daun yang lebih hijau yang dapat berperan dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit bercak daun.

Korelasi antara daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak daun diperlihatkan oleh korelasi antara karakter daya hasil dengan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau. Hasil analisis korelasi (Tabel 11) tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara bobot biji per tanaman dengan persentase panjang batang utama berdaun hijau. Akan tetapi walaupun tidak berkorelasi nyata, nilai koefisien korelasinya menunjukkan hubungan yang positif antara kedua karakter tersebut. Hal yang sama juga diperlihatkan dalam penelitian Yudiwanti et al. (2007) bahwa kadar klorofil dan persentase batang utama bebas penyakit bercak daun berkorelasi positif dengan bobot biji per tanaman.

Seleksi Galur-Galur GWS Terbaik

Sebelum dilakukan seleksi terhadap 16 galur GWS terbaik, terlebih dahulu dilakukan pemilihan kriteria seleksi pada karakter-karakter yang dapat mencerminkan potensi galur GWS tersebut dalam hal daya hasil dan ketahanannya terhadap penyakit bercak daun. Kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap bercak daun digunakan karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau, sedangkan untuk kriteria daya hasil digunakan karakter-karakter yang berkorelasi nyata dan positif dengan daya hasil serta memiliki nilai duga heritabilitas yang tinggi.

Menurut Austin (1993) salah satu kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadikan suatu karakter sebagai kriteria seleksi adalah karakter tersebut memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi. Selanjutnya Ruchjaniningsih et al.

(48)

Seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa berdasarkan penelitian Yudiwanti et al. (2006) karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau ini sangat prospektif diterapkan sebagai peubah untuk menunjukkan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak daun secara visual di lapangan dan penampilan fenotipik karakter ini lebih dipengaruhi oleh faktor genetiknya.

Sementara itu, karakter-karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi terhadap daya hasil karena memiliki nilai duga heritabilitas yang tinggi dan juga berkorelasi nyata dan positif dengan daya hasil terdapat pada karakter jumlah cabang, jumlah polong total, jumlah polong bernas, dan bobot brangkasan (Tabel 12). Akan tetapi diantara karakter-karakter tersebut hanya karakter jumlah polong total

Gambar

Gambar 1. Penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah. Bercak daun
Tabel 11. Hasil Analisis Korelasi Antar Karakter Pengamatan.
Gambar 1. Penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah. Bercak daun
Tabel 11. Hasil Analisis Korelasi Antar Karakter Pengamatan.

Referensi

Dokumen terkait

(Aristoteles ym. 1992, 84–89; Knuuttila 2000, 17.) Tästä kiinteästä ajan ja liikkeen välisestä suhteesta seuraa loo- gisesti se, että tutkimuksen

Penelitian ini bertujuan untuk menguji: 1) Pengaruh kejelasan sasaran anggaran terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, 2) Pengaruh kinerja manajerial terhadap

agitation-related emotions atau dejection-related emotions. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat diketahui bahwa citra tubuh dapat memprediksi harga diri remaja dimana

Pekan Raya atau Pameran Nasional diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah setelah mendengar

Seperti yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran drill atau latihan merupakan suatu cara mengajar yang dapat melatih ketangkasan, kecepatan dan

Bina Tari Manduang merupakan kegiatan pelatihan tari tradisional untuk anak – anak yang memiliki bakat di bidang seni tari di Desa Manduang. Tujuan dari program

The study investigated the realization of directive speech act conducted by the lecturer and students in the teaching and learning at magister of language studies

lainnya menginginkan negara yang bersistem hukum Eropa yang, karena keragaman hukum rakyat tak terumus secara eksplisit itu, alasanya adalah sistem