Kondisi Umum
Lahan percobaan untuk melaksanakan penelitian ini adalah lahan seluas ± 800 m2 yang terletak pada ketinggian 233 meter diatas permukaan laut (dpl.) dengan kondisi tanah yang bertekstur liat (Lampiran 5). Derajat kemasaman atau pH tanah di lokasi penelitian tergolong masam dengan nilai pH 4.9. Kondisi kemasaman tanah ini sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah.
Tanah yang masam dapat melepas kation yang sangat berbahaya bagi perakaran karena terjadi proses keracunan kation tertentu seperti alumunium. Selain itu proses pengikatan nitrogen oleh jasad renik dapat terganggu. Oleh karena itu tanah yang masam dapat direklamasi dengan pengapuran (Nasoetion, 2002).
Menurut Silahooy (2008) perbaikan pH tanah mendekati pH netral dengan pemberian kapur ini memungkinkan semua unsur hara berada dalam keadaan tersedia bagi tanaman, sehingga aktivitas metabolisme dalam tanaman dapat berjalan dengan baik dan secara langsung dapat berpengaruh terhadap peningkatan daya hasil kacang tanah. Di lain pihak, berdasarkan penelitian Sumaryo dan Suryono (2000) pemberian kapur dolomit dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman dan hasil kacang tanah. Pemberian kapur dolomit sebanyak 500 kg/ha dalam penelitian ini lebih ditujukan untuk membantu tanaman kacang tanah dalam membentuk polong.
Hasil analisis tanah pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa kadar N (nitrogen) dan P (fosfor) tergolong sangat rendah dengan nilai berturut-turut sebesar 0.07% dan 1.3 ppm, sedangkan kadar K (kalium) tergolong tinggi dengan nilai sebesar 57 ppm. Selain itu kadar Ca (kalsium) pada lahan percobaan tergolong sedang yaitu sebesar 217.8 ppm.
Menurut Ispandi dan Munip (2004) hara K merupakan hara yang paling banyak diserap kacang tanah setelah hara N dan bersama dengan hara P sangat penting dalam pembentukan polong dan pengisian biji kacang tanah. Selain itu, ditambahkan Silahooy (2008) dalam penelitiannya bahwa pemberian K berpengaruh terhadap hasil kacang tanah yaitu bobot biji per tanaman. Di lain
pihak, menurut Adisarwanto (2001) hara fosfor mempunyai peranan sangat penting dalam pembentukan polong, mengurangi jumlah polong hampa, dan mempercepat matangnya polong kacang tanah.
Kandungan C-organik di lahan percobaan tergolong sangat rendah yaitu sebesar 0.79% (Lampiran 5). Berdasarkan hasil penelitian Lana (2009) pemberian pupuk kandang sapi sebagai salah satu pupuk organik ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Menurut Notohadiprawiro (2006) C-organik merupakan bahan C-organik yang siap dirombak oleh mikroorganisme tanah menjadi humus yang sangat bermanfaat sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Selama masa tumbuh tanaman semusim seperti kacang tanah, sekitar 50% C-organik yang dialih tempatkan dari bagian atas tanaman ke akar dilepaskan dalam bentuk C-organik, dan 20% dilepaskan ke dalam tanah dalam bentuk CO2 melalui pernapasan akar. Selebihnya, sebesar 30% sampai masa pertumbuhan tanaman tetap berupa akar utuh.
Lampiran 5 juga menunjukkan bahwa C/N rasio memiliki nilai yang tergolong sedang. Nilai C/N rasio merupakan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Nilai C/N rasio yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna, sedangkan nilai C/N yang semakin kecil menunjukkan bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengendalian terhadap hama dan penyakit. Hama yang umumnya banyak ditemukan di lahan percobaan yaitu belalang (Oxya spp.), ulat grayak (Spodoptera litura), dan Anoplocnemis phasiana
dari ordo Hemiptera famili Coreidae.
Saat tanaman berumur 3 MST, hama ulat grayak sudah mulai menyerang tanaman, sehingga banyak tanaman muda yang kehilangan sebagian besar daunnya. Namun, serangan ulat grayak pada 3 MST ini tidak terlalu membahayakan, karena dari populasi sebanyak 200 tanaman di setiap petak percobaan tidak lebih dari 2 % tanaman yang terserang hama ini. Hama lainnya mulai menyerang tanaman dalam jumlah yang cukup banyak pada 8 MST dengan tingkat serangan yang tidak membahayakan tanaman kacang tanah.
A B
C D
Di lain pihak, penyakit bercak daun mulai terlihat menyerang tanaman dalam intensitas yang rendah pada saat 8 MST, kemudian intensitas serangannya semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman hingga saat panen. Menurut Semangun (2004) pada cuaca lembab penyakit berkembang cepat pada saat tanaman berumur 40-45 hari, sedangkan pada cuaca kering penyakit berkembang pada umur 70 hari.
Gambar 1. Penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah. Bercak daun (A), karat (B), layu bakteri (C), dan virus belang (D).
Selain penyakit bercak daun, terdapat beberapa penyakit lain yang menyerang tanaman, diantaranya karat (Puccinia arachidis), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), dan virus belang (Peanut Stripe Virus/PStV). Gejala-gejala penyakit tersebut secara visual dapat dilihat pada Gambar 1.
Penyakit karat ditandai dengan gejala berupa bercak-bercak kecil berwarna kuning atau jingga pada permukaan daun bagian bawah dan dalam beberapa hari bercak-bercak akan berubah menjadi bintil-bintil berwarna coklat menyerupai karat (Nugrahaeni, 1993; Saleh, 2010). Bercak-bercak tersebut sebenarnya merupakan uredinia jamur yang berisi spora (urediniospora). Jamur karat dapat
menginfeksi tangkai dan batang tanaman. Berbeda dengan penyakit bercak daun, penyakit karat mengakibatkan daun menjadi kering tetapi masih tetap melekat pada batang atau cabang (Saleh, 2010).
Tanaman yang terserang penyakit layu bakteri terlihat layu, daun mengering, dan bahkan tanaman bisa mati. Hal ini disebabkan sumbatan massa bakteri pada pangkal batang sehingga tanaman tidak mendapat suplai air dan hara (Purwono dan Purnamawati, 2009). Semua stadia tumbuh kacang tanah peka terhadap penyakit layu bakteri. Tingkat kematian tanaman dapat mencapai 100% pada tanaman yang peka dari stadia kecambah hingga sebelum berbunga (Nugrahaeni, 1993).
Gejala khas dari serangan virus PStV berupa belang-belang agak bulat pada daun yang warnanya kontras dengan warna daun. Penularan virus ini dapat melalui biji (0.5-2.0%) dan melalui serangga vektor, yaitu Aphis craccivora dan
Aphis glycines. Penggunaan varietas tahan merupakan cara terbaik untuk mengendalikan penyakit ini (Nugrahaeni, 1993).
Keragaan Umum Karakter Genotipe yang Diuji
Terdapat perbedaan pada keragaan beberapa karakter untuk 20 genotipe kacang tanah yang telah diuji. Hasil analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 1% untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang berbeda nyata pada taraf 5% terdapat pada indeks panen kering, sedangkan untuk karakter yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan bobot biji/ubinan.
Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai koefisien keragaman (KK) menunjukkan tingkat ketepatan dengan perlakuan yang diperbandingkan dan merupakan indeks yang baik dari keadaan percobaan. Nilai koefisien keragaman sampai 20% menandakan ketepatan suatu percobaan cukup akurat, sedangkan nilai koefisien keragaman yang lebih dari 20% menandakan ketepatannya tidak cukup akurat.
Tabel 2. Rekapitulasi Uji F Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah. Karakter F Hitung Pr > F Koefisien Keragaman (%) Tinggi tanaman 3.11** 0.0014 17.46 Jumlah cabang 5.72** <.0001 9.76
Panjang batang utama berdaun hijau 21.18** <.0001 20.26 Persentase panjang batang utama berdaun
hijau
12.22** <.0001 17.71
Kadar klorofil 2.28** 0.0120 16.81
Jumlah polong total 3.08** 0.0016 19.41
Jumlah polong bernas 3.18** 0.0012 19.65
Jumlah polong cipo a 0.96tn 0.4236 20.16
Bobot polong total 1.74tn 0.0725 18.38
Bobot polong bernas 1.71tn 0.0778 18.96
Bobot polong cipo a 1.10tn 0.2967 18.47
Bobot biji per tanaman 1.39tn 0.1910 19.91
Bobot 100 butir biji 2.63** 0.0054 9.27
Bobot brangkasan 3.51** 0.0005 16.96
Indeks panen kering 2.26* 0.0158 15.62
Bobot biji/ubinan 1.59tn 0.1090 17.02
Keterangan : tn : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** ; berbeda nyata pada taraf 1%, a: data ditransformasi.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa secara umum nilai koefisien keragaman untuk karakter-karakter yang diamati berada dibawah 20%, kecuali untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong cipo dengan nilai koefisien keragaman yang berada diatas 20%. Karakter-karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman dibawah 20% menandakan bahwa tingkat ketepatan pengamatan yang dilakukan terhadap karakter-karakter tersebut dilakukan dengan cukup akurat. Nilai koefisien keragaman untuk karakter jumlah polong cipo dan bobot polong cipo merupakan hasil satu kali transformasi data dengan menggunakan +0.5. Transformasi data diperlukan untuk menekan nilai koefisien keragaman yang sangat tinggi pada data awal sebelum dilakukan transformasi yaitu berturut-turut sebesar 59.47% dan 100.79%.
Nilai tengah, nilai maksimum dan nilai minimum untuk karakter-karakter yang diamati pada 20 genotipe kacang tanah disajikan dalam Tabel 3. Nilai maksimum menunjukkan nilai tengah tertinggi suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati, begitu pula sebaliknya
dengan nilai minimum yang menunjukkan nilai tengah terendah suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati.
Tabel 3. Nilai Tengah, Nilai Maksimum, dan Nilai Minimum Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah.
Karakter Nilai Tengah Nilai Maksimum (Genotipe) Nilai Minimum (Genotipe) Tinggi tanaman (cm) 33.77 53.5 (Sima) 27.6 (GWS 134 A1) Jumlah cabang 6.96 8.8 (GWS 79 A) 5.0 (Zebra Putih) Panjang batang utama
berdaun hijau (cm)
14.24 42.5
(Sima)
5.9 (Gajah) Persentase panjang batang
utama berdaun hijau (%)
40.89 79.5 (Sima) 18.8 (Gajah) Kadar klorofil (µmol/100 cm2) 5.70 7.3 (GWS 73 D) 4.5 (GWS 72 A) Jumlah polong total
(polong)
19.51 26.8
(GWS 39 D)
12.7 (Sima) Jumlah polong bernas
(polong)
18.25 25.5
(GWS 39 D)
11.8 (Gajah) Jumlah polong cipo
(polong)
1.28 2.3
(GWS 138 A)
0.6 (GWS 74 A1) Bobot polong total
(gram)
22.54 29.1
(GWS 39 D)
14.7 (Gajah) Bobot polong bernas
(gram)
22.18 28.7
(GWS 39 D)
14.3 (Gajah) Bobot polong cipo
(gram) 0.53 1.6 (GWS 138 A) 0.3 (GWS 74 A1; GWS 134 A1; GWS 110 A1; GWS 74 D; GWS 110 D; Jerapah) Bobot biji per tanaman
(gram)
15.46 19.0
(GWS 79 A)
9.5 (Gajah) Bobot 100 butir biji
(gram) 49.67 56.5 (GWS 73 D) 42.5 (GWS 110 D) Bobot brangkasan (gram) 26.63 36.9 (GWS 73 D) 16.1 (Gajah)
Indeks panen kering 0.89 1.2
(GWS 72 A)
0.7 (GWS 74 A1; GWS 73 D; Sima) Bobot biji/ubinan (gram) 204.09 252.9
(GWS 39 D)
143.7 (Gajah)
Sima yang merupakan salah satu varietas pembanding dan digunakan sebagai pembanding untuk genotipe yang toleran penyakit bercak daun memiliki nilai tertinggi diantara genotipe lainnya untuk karakter tinggi tanaman, panjang batang utama berdaun hijau, dan persentase panjang batang utama berdaun hijau dengan nilai tengah atau rata-rata berturut-turut sebesar 53.5 cm, 42.5 cm, dan 79.5%. Karakter jumlah cabang (8.8) dan bobot biji per tanaman (19.0 gram) dengan nilai tertinggi terdapat pada genotipe atau galur GWS 79 A (Tabel 3).
Di samping itu, Tabel 3 juga menunjukkan bahwa galur GWS 39 D memiliki nilai tengah atau rata-rata yang tertinggi untuk beberapa karakter yaitu jumlah polong total (26.8 polong), jumlah polong bernas (25.5 polong), bobot polong total (29.1 gram), bobot polong bernas (28.7 gram), dan bobot biji/ubinan (252.9 gram). Nilai tengah tertinggi untuk kadar klorofil (7.3 µmol/100 cm2), bobot 100 butir biji (56.5 gram), dan bobot brangkasan (36.9 gram) dimiliki oleh GWS 73 D, sedangkan indeks panen kering (1.2) terdapat pada GWS 72 A. Jumlah polong cipo dan bobot polong cipo tertinggi ditunjukkan oleh GWS 138 A dengan nilai tengah berturut-turut sebesar 2.3 dan 1.6 gram.
Gajah yang menjadi varietas pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun memiliki nilai tengah yang terendah untuk sebagian besar dari karakter-karakter yang diamati dibandingkan dengan genotipe lainnya. Gajah memiliki nilai tengah terendah untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau (5.9 cm), persentase panjang batang utama berdaun hijau (18.8 %), jumlah polong bernas (11.8 polong), bobot polong total (14.7 gram), bobot polong bernas (14.3 gram), bobot biji per tanaman (9.5 gram), bobot brangkasan (16.1 gram), dan bobot biji/ubinan (143.7 gram).
Tinggi tanaman terendah terdapat pada galur GWS 134 A1 sebesar 27.6 cm. Jumlah cabang terendah terdapat pada Zebra Putih (5.0), kadar klorofil terendah terdapat pada galur GWS 72 A (4.5 µmol/100 cm2), jumlah polong total terendah terdapat pada Sima (12.7 polong), dan jumlah polong cipo terendah terdapat pada galur GWS 74 A1 (0.6 polong). Terdapat beberapa genotipe yang memiliki bobot polong cipo terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.3 gram, yaitu GWS 74 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, GWS 74 D, GWS 110 D, dan Jerapah. Rendahnya bobot polong cipo tersebut menunjukkan bahwa
galur-galur yang diuji mampu mengisi polongnya dengan baik. Di samping itu, terdapat juga beberapa genotipe yang memiliki indeks panen kering terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.7, yaitu GWS 74 A1, GWS 73 D, dan Sima.
Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun Karakter-karakter vegetatif yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah cabang, bobot brangkasan, dan kadar klorofil daun, sedangkan pengamatan untuk ketahanan terhadap penyakit bercak daun dilakukan terhadap karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau. Tabel 4 menunjukkan bahwa diantara empat varietas pembanding, Sima memiliki nilai tertinggi untuk karakter tinggi tanaman dan persentase panjang batang utama berdaun hijau, sehingga Sima dijadikan sebagai pembanding terbaiknya. Untuk karakter jumlah cabang, varietas Jerapah dijadikan sebagai pembanding terbaiknya karena memiliki jumlah cabang yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya. Semua karakter yang terdapat pada Tabel 4 juga dibandingkan dengan varietas Gajah.
Perbandingan nilai tengah atau rata-rata tinggi tanaman dari semua galur GWS dengan Gajah menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-Dunnett. Bila dibandingkan dengan Sima sebagai varietas pembanding terbaik untuk tinggi tanaman, galur-galur GWS yang diuji memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dari Sima, kecuali GWS 73 D yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Kisaran tinggi tanaman dari semua genotipe yang diuji berada pada 27.6 cm-53.5 cm.
Ukuran tanaman yang terlalu tinggi ternyata dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi tanaman tersebut di lahan tanam. Berdasarkan pengamatan visual di lapangan, tanaman kacang tanah dengan ukuran yang relatif lebih tinggi seperti Sima, lebih mudah rebah dibandingkan dengan tanaman yang ukurannya lebih rendah, karena semakin tinggi tanaman maka semakin rendah kekuatan tanaman tersebut dalam menopang cabang-cabangnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Riduan dan Sudarsono (2005) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa tanaman yang tinggi dapat meningkatkan kerebahan tanaman kacang tanah di lapangan, sehingga kerebahan tanaman ini dapat berakibat pada
tingginya kelembaban di bawah kanopi tanaman yang mendukung perkembangan penyakit.
Tabel 4. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, dan Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau.
Genotipe Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Cabang
Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau
(%) GWS 39 B 29.0 h 7.4 a 49.8 ah GWS 110 A2 30.0 h 7.8 a 32.7 h GWS 134 D 35.0 h 7.0 36.4 h GWS 138 A 33.9 h 6.4 35.5 h GWS 74 A1 35.0 h 6.4 35.3 h GWS 134 A 33.7 h 7.4 a 34.6 h GWS 27 C 38.5 h 7.7 a 35.2 h GWS 79 A 32.6 h 8.8 ab 39.5 ah GWS 73 D 43.4 6.9 43.5 ah GWS 18 A1 31.6 h 7.0 38.2 ah GWS 134 A1 27.6 h 7.2 42.9 ah GWS 110 A1 29.5 h 7.5 a 41.1 ah GWS 74 D 37.1 h 6.5 50.4 ah GWS 110 D 28.4 h 7.1 34.0 h GWS 72 A 30.6 h 7.8 a 30.0 h GWS 39 D 33.8 h 7.7 a 30.1 h Gajah 31.4 5.6 18.8 Zebra Putih 30.2 5.0 77.3 Jerapah 30.5 6.7 32.9 Sima 53.5 5.1 79.5
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :
a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah
b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih
d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Uji lanjut t-Dunnet untuk karakter jumlah cabang pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hanya terdapat satu galur GWS yang memiliki jumlah cabang yang nyata lebih tinggi dari Jerapah sebagai pembanding terbaik, yaitu GWS 79 A dan untuk galur GWS lainnya tidak berbeda nyata dari Jerapah. Terdapat galur GWS yang memiliki jumlah cabang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 110 A2, GWS 134 A, GWS 27 C, GWS 79 A, GWS 110 A1, GWS 72 A, dan GWS 39 D. .
Menurut Riduan dan Sudarsono (2005) peningkatan jumlah cabang biasanya berasosiasi dengan peningkatan daya hasil yang menghasilkan polong dan biji lebih banyak. Namun, ditambahkan oleh Yudiwanti dan Ghani (2002) bahwa pengaruh jumlah cabang terhadap daya hasil ini akan lebih ditentukan oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong.
Persentase panjang batang utama berdaun hijau untuk semua galur GWS yang diuji juga memiliki nilai yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima (Tabel 4). Jika galur GWS ini dibandingkan dengan Gajah yang menjadi pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun, maka terdapat beberapa galur GWS memiliki nilai yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, dan GWS 74 D.
Kusumo (1996) menyatakan bahwa persentase daun yang masih hijau berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Yudiwanti et al. (2008) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa persentase panjang batang utama bebas penyakit bercak daun merupakan peubah yang diajukan untuk menilai secara kuantitatif tingkat ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun.
Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau prospektif diterapkan sebagai peubah tingkat ketahanan visual di lapangan. Peubah ini praktis diterapkan di lapangan dan obyektivitasnya mudah dijaga. Peubah ini juga memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi, yaitu mencapai 80.77% yang menunjukkan bahwa keragaman peubah tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor genetik (Yudiwanti et al., 2007).
Karakter bobot brangkasan dan kadar klorofil menggunakan Sima sebagai varietas pembanding terbaiknya karena memiliki nilai tengah tertinggi dibandingkan varietas pembanding lain untuk karakter-karakter tersebut (Tabel 5). Karakter bobot brangksan dan kadar klorofil dibandingkan juga dengan Gajah.
Karakter bobot brangkasan terlihat tidak ada perbedaan nyata antara seluruh galur GWS dengan Sima. Bila dibandingkan dengan Gajah, terdapat beberapa galur GWS yang memiliki bobot brangkasan yang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 27 C, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 110 D, dan GWS 39 D.
Tabel 5. Nilai Tengah Bobot Brangkasan dan Kadar Klorofil. Genotipe Bobot Brangkasan
(gram) Kadar Klorofil (µmol/100 cm2) GWS 39 B 27.3 5.97 GWS 110 A2 25.9 4.98 GWS 134 D 26.4 5.92 GWS 138 A 26.4 5.52 GWS 74 A1 26.9 5.15 GWS 134 A 22.9 5.11 GWS 27 C 32.2 a 6.39 GWS 79 A 34.0 a 5.10 GWS 73 D 36.9 a 7.25 a GWS 18 A1 27.1 6.34 GWS 134 A1 23.1 5.24 GWS 110 A1 23.0 5.12 GWS 74 D 29.3 4.99 GWS 110 D 21.8 a 5.24 GWS 72 A 23.3 4.35 h GWS 39 D 30.3 a 5.91 Gajah 16.1 4.84 Zebra Putih 22.7 7.04 Jerapah 24.6 6.27 Sima 32.6 7.22
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :
a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah
b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih
d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bobot brangkasan tanaman diduga dapat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap penyakit bercak daun. Hal ini karena semakin tidak tahan suatu genotipe terhadap penyakit bercak daun, akan semakin banyak daun yang kering dan akhirnya gugur. Banyaknya daun yang gugur ini dapat mengurangi bobot brangkasan tanaman. Selain itu, bobot brangkasan pun diduga dapat dipengaruhi oleh jumlah cabang yang terbentuk. Semakin banyak jumlah cabang yang terbentuk maka akan berpotensi untuk meningkatkan bobot brangkasannya.
Klorofil merupakan pigmen yang memberikan warna hijau pada bagian tanaman terutama pada daun yang berperan dalam proses fotosintesis. Menurut Yudiwanti (2007) galur yang memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi memiliki potensi daya hasil yang tinggi dan lebih tahan penyakit bercak daun.
Kandungan klorofil yang tinggi secara visual ditunjukkan oleh warna daun yang lebih hijau, sehingga akan berpotensi memiliki daya hasil yang lebih tinggi karena daun yang lebih hijau lebih efisien dalam menangkap cahaya.
Diantara galur GWS yang diuji berdasarkan uji t-Dunnett, GWS 72 A menjadi satu-satunya galur GWS yang memiliki kadar klorofil yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima, sedangkan galur GWS lainnya memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Di lain pihak, bila galur GWS dibandingkan dengan Gajah, maka hanya GWS 73 D yang nyata lebih tinggi dari Gajah, sedangkan galur GWS lainnya tidak berbeda nyata.
Karakter Hasil dan Komponen Hasil
Varietas Jerapah memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya, sehingga Jerapah digunakan sebagai pembanding yang terbaik untuk karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas. Karakter jumlah polong total dan jumlah polong bernas, juga dibandingkan dengan Gajah sebagai varietas pembanding yang rentan terhadap penyakit bercak daun (Tabel 6).
Hasil uji lanjut untuk karakter yang berbeda nyata dengan menggunakan uji t-Dunnett yang disajikan pada Tabel 6, terlihat bahwa hanya GWS 39 D yang memiliki rata-rata jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Jerapah. Jika dibandingkan dengan Gajah, maka beberapa galur GWS memiliki jumlah polong total dan jumlah polong bernas yang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 110 A2, GWS 79 A, GWS 18 A1, GWS 110 D, dan GWS 39 D.
Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) perbedaan jumlah polong ini dipengaruhi oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong. Martasari (1999) menambahkan bahwa pada tanaman kacang tanah dengan tipe tegak, bunga produktif atau bunga yang akan menjadi polong hanya terjadi pada tiga sampai empat ruas dari setiap batang dan cabang tanaman. Bunga yang tumbuh pada ruas-ruas berikutnya akan membentuk panjang ginofor tertentu yang tidak bisa mencapai tanah, sehingga gagal membentuk polong. Selain itu, dilanjutkan kembali oleh Yudiwanti dan Ghani (2002) bahwa pembentukan
polong dipengaruhi juga oleh ketersediaan hara dalam tanah, terutama kandungan unsur P, K, dan Ca dalam tanah.
Tabel 6. Nilai Tengah Jumlah Polong Total, Jumlah Polong Bernas, dan Jumlah Polong Cipo.
Genotipe Jumlah Polong Total (polong) Jumlah Polong Bernas (polong) Jumlah Polong Cipo (polong) GWS 39 B 21.1 19.6 1.9 GWS 110 A2 23.1 a 21.6 a 1.4 GWS 134 D 19.3 17.8 1.5 GWS 138 A 18.8 16.5 2.3 GWS 74 A1 15.3 14.7 0.6 GWS 134 A 19.0 18.0 1.1 GWS 27 C 21.0 19.8 1.2 GWS 79 A 23.6 a 22.0 a 1.7 GWS 73 D 22.0 20.0 2.0 GWS 18 A1 22.5 a 21.1 a 1.3 GWS 134 A1 17.2 16.4 0.8 GWS 110 A1 22.3 21.4 0.9 GWS 74 D 18.3 17.3 1.0 GWS 110 D 22.8 a 21.7 a 1.1 GWS 72 A 21.3 20.0 1.3 GWS 39 D 26.8 ab 25.5 ab 1.3 Gajah 13.0 11.8 1.2 Zebra Putih 14.5 13.2 1.3 Jerapah 15.5 14.7 0.8 Sima 12.7 11.9 0.8
Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :
a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah
b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih
d : nyata > Sima h : nyata < Sima
Berbeda halnya dengan karakter jumlah polong cipo yang tidak terdapat perbedaan nyata dengan varietas pembanding berdasarkan uji F sehingga tidak dilakukan uji lanjut (Tabel 6). Terlihat bahwa sebagian besar pengisian polong pada tanaman cukup baik yang ditandai oleh polong cipo dengan jumlah yang relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan polong bernas dengan rata-rata nilai sebesar 6.6% jumlah polong cipo yang terbentuk dari jumlah polong total, sedangkan sisanya sebesar 93.4% merupakan jumlah polong bernas yang
terbentuk dari jumlah polong total. Hal ini diduga terjadi karena selama proses pengisian polong yang dimulai pada 8 MST, tanaman cukup mendapatkan air dari air hujan yang turun.
Menurut Yudiwanti dan Ghani (2002) kekurangan air selama periode pengisian polong akan mengurangi laju pertumbuhan biji. Sebelumnya Trustinah (1993) menyatakan bahwa bila keadaan kekurangan air selama periode pengisian polong tersebut berlangsung lebih panjang, maka hasil dapat menurun secara drastis dikarenakan meningkatnya jumlah biji yang keriput dan gugur.
Di samping itu, berdasarkan pengamatan selama di lapangan hujan selama bulan April (7-10 MST) rata-rata selalu turun pada malam hari, sehingga tanaman mendapatkan cukup radiasi matahari di siang hari untuk proses fotosintesis.