• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Kacang Tanah

Kedudukan tanaman kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan ke dalam ordo Leguminales, famili Papilionaceae, genus Arachis, dan spesies Arachis hypogaea. Tubuh tanaman kacang tanah tersusun atas organ akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji (Rukmana, 2009).

Kacang tanah merupakan tanaman tahunan yang terdiri dari dua tipe pertumbuhan tanamannya, yaitu tipe tegak dan tipe menjalar (Chapman dan Carter, 1976). Tipe tegak mempunyai percabangan yang tumbuh melurus ke atas dan umurnya genjah, yaitu antara 100 sampai 120 hari, sedangkan tipe menjalar mempunyai percabangan lebih panjang dan tumbuh ke samping, hanya bagian ujung yang mengarah ke atas. Umur tanaman tipe menjalar ini dapat mencapai enam bulan (Trustinah, 1993).

Umumnya, kacang tanah merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Setelah mengalami penyerbukan, kacang tanah memiliki struktur khusus yang disebut ginofor yang kemudian akan berkembang menjadi polong. Ginofor ini merupakan pertumbuhan bagian meristem pada dasar ovarium di dalam bunga (Chapman dan Carter, 1976). Ginofor tersebut akan terus masuk menembus tanah sedalam 2-7 cm. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan tanah dan masuk ke dalam tanah ditentukan oleh jarak dari permukaan tanah. Ginofor-ginofor yang letaknya lebih dari 15 cm dari permukaan tanah biasanya tidak dapat menembus tanah dan ujungnya mati (Trustinah, 1993).

Kacang tanah membutuhkan keadaan tanah yang berstruktur ringan, seperti tanah regosol, andosol, latosol, dan aluvial. Kacang tanah dapat dibudidayakan di lahan sawah berpengairan, sawah tadah hujan, lahan kering tadah hujan, dan lahan bukaan baru (Rukmana, 2009).

Menurut Purwono dan Purnamawati (2009) tanah yang berstruktur gembur memudahkan dan mempercepat pembentukan polong yang terjadi di dalam tanah. Meskipun kacang tanah toleran terhadap kondisi kering dan tanah masam (pH tanah 4.5), kondisi tersebut akan berpengaruh pada banyaknya polong yang terisi. Untuk pembentukan polong, diperlukan kalsium. Oleh karena itu, penting untuk

menyediakan kalsium yang cukup di sekitar tanaman. Adisarwanto (2001) menambahkan bahwa kebutuhan unsur kalsium dapat disediakan dengan memberikan kapur pertanian (kaptan) maupun dolomit sebanyak 300-400 kg/ha.

Di Indonesia, tanaman kacang tanah cocok ditanam di dataran rendah yang berketinggian di bawah 500 meter di atas permukaan laut (dpl.). Iklim yang dibutuhkan tanaman kacang tanah adalah bersuhu tinggi (panas) antara 28o C-32oC, curah hujan 800 mm-1300 mm per tahun, dan mendapat sinar matahri penuh (Rukmana, 2009). Pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman terutama berkaitan dengan laju fotosintesis. Pada suhu 30oC laju fotosintesis mencapai maksimum, sedangkan pada suhu 20oC hanya mencapai 75% dari laju maksimum. Suhu yang lebih tinggi dari 30oC atau kurang dari 20oC dapat menurunkan laju fotosintesis (Sumarno dan Slamet, 1993).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kacang tanah adalah cahaya. Kacang tanah termasuk tanaman hari pendek, sedangkan pembungaan tidak tergantung pada fotoperiode. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembentukan ginofor akan mengurangi jumlah ginofor. Di samping itu, rendahnya intensitas penyinaran pada masa pengisian polong akan menurunkan jumlah dan berat polong serta akan menambah jumlah polong hampa (Adisarwanto, 2001). Ditambahkan oleh Sumarno dan Slamet (1993) bahwa rendahnya intensitas cahaya atau radiasi matahari ini akan berakibat pada rendahnya pembentukan biomassa tanaman dan indeks panen.

Penyakit Bercak Daun

Penyakit bercak daun pada tanaman kacang tanah disebabkan oleh dua macam jamur, yaitu Cercosporidium personatum (Berk. & Curt.) Deighton dan

Cercospora arachidicola yang untuk pertama kali ditemukan oleh Raciborski di Jawa pada tahun 1898, dan disebutnya sebagai Septogloeum arachidis Rac. (Semangun, 2004).

Kondisi kelembapan relatif yang tinggi dengan kisaran suhu 25oC-30oC akan memicu proses infeksi dan perkembangan penyakit (Saleh, 2010). Berdasarkan waktu penyerangannya maka masing-masing sering disebut penyakit bercak daun awal (early leaf spot) dan bercak daun akhir (late leaf spot). C.

arachidicola disebut juga sebagai bercak daun awal sedangkan C. personatum

disebut sebagai bercak daun akhir (Sumartini, 2008). Infeksi jamur bercak daun dapat terjadi melalui kedua sisi daun dengan cara penetrasi langsung menembus sel-sel jaringan epidermis atau melalui mulut daun (stomata). Infeksi pada daun banyak melalui epidermis atas (Saleh, 2010). Gejala bercak ini dimulai dengan lepasnya spora dari permukaan atas daun yang terinfeksi, kemudian menginfeksi daun yang sehat, miselium (benang-benang hifa cendawan) masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga jaringan tanaman tersebut menjadi rusak dan terlihat seperti bercak-bercak (Sumartini, 2008). Pada cuaca kering penyakit baru berkembang banyak saat tanaman berumur 70 hari, sedangkan dalam cuaca lembab penyakit berkembang pada umur 40-45 hari (Semangun, 2004).

Gejala bercak yang ditimbulkan oleh penyakit ini terdapat pada daun-daun bagian bawah, kemudian berkembang ke arah yang lebih atas. Mula-mula terdapat bercak kecil berwarna coklat, kemudian berkembang membentuk bercak yang lebih besar. Bercak yang disebabkan oleh C. arachidicola berwarna coklat muda hingga coklat tua ditandai dengan warna kuning di sekitar bercak (halo kuning). Bercak yang disebabkan C. personatum berwarna coklat kehitaman. Biasanya C. arachidicola menginfeksi kacang tanah pada fase pertumbuhan yang lebih awal daripada C. personatum (Sumartini, 2008). Gejala bercak-bercak tersebut berbentuk tidak teratur sampai bulat dan ukurannya bervariasi. Bercak-bercak tersebut dapat bertambah besar dan mengakibatkan daun mengering kemudian rontok (Nugrahaeni, 1993; Saleh, 2010). Penyakit bercak daun akhir dianggap lebih dominan dan merugikan dibandingkan penyakit bercak daun awal (Saleh, 2010; Nugrahaeni, 1993; Yudiwanti et al., 1998).

Penyakit bercak daun umumnya terjadi pada fase generatif tanaman dan akan bertambah selama pembungaan sampai pengisian polong (Sumartini, 2008; Nugrahaeni, 1993). Semangun (2004) menambahkan bahwa karena penyakit ini selalu terdapat pada daun-daun kacang tanah yang menjelang masak, maka banyak petani yang beranggapan bahwa datangnya penyakit ini menandakan tanaman sudah hampir masak. Menurut Saleh (2010) sejauh ini belum dibuktikan adanya tanaman inang untuk penyakit bercak daun selain genus Arachis. Diperkirakan jamur dapat bertahan hidup dari satu musim ke musim berikutnya

pada tanaman kacang tanah volunter atau pada sisa-sisa daun tanaman kacang tanah yang telah dipanen.

Pemuliaan Kacang Tanah Tahan Penyakit Bercak Daun

Penyakit bercak daun dapat dikendalikan dengan penyemprotan bermacam-macam fungisida yang umum. Namun, peningkatan produksi yang diperoleh sering tidak dapat mengimbangi biaya pengendalian (Semangun, 2004). Oleh karena itu, menanam varietas unggul yang tahan penyakit bercak daun merupakan cara yang paling murah, mudah dilaksanakan, tidak mencemari lingkungan, serta merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang stabilitas hasil (Sumartini 2008; Saleh, 2010; Nugrahaeni, 1993).

Kegiatan pemuliaan tanaman yang meliputi persilangan, penggaluran, dan evaluasi daya hasil merupakan suatu upaya untuk mendapatkan varietas unggul yang tahan penyakit utama (bercak daun dan karat) serta berdaya hasil tinggi (Rukmana, 2009). Sumber genetik untuk mendukung proses pembuatan varietas unggul yang tahan terhadap penyakit bercak daun ini dapat berasal dari koleksi varietas liar, varietas lokal, varietas unggul lama, galur-galur homozigot hasil persilangan, dan varietas atau galur introduksi dari luar negeri (Adisarwanto, 2001; Nugrahaeni, 1993). Apabila tidak didapatkan sumber ketahanan pada populasi-populasi varietas atau galur tersebut, sumber gen ketahanan dapat dicari dari spesies atau genera lain. Akan tetapi, semakin jauh kerabat antara sumber ketahanan dengan varietas yang diperbaiki, semakin sulit untuk memindahkan gen tahan tanpa terikutnya gen-gen atau kompleks gen lain yang tidak dikehendaki (Nugrahaeni, 1993). Introduksi varietas atau galur kacang tanah sebagai bahan untuk pemuliaan kacang tanah dapat memberikan keuntungan tertentu, terutama adalah menambah keragaman genetik beberapa sifat yang diinginkan misalnya tahan jamur aflatoksin, toleran kekurangan Fe, tahan kekeringan, dan tahan penyakit bercak daun (Adisarwanto, 2001).

Metode pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit tidak berbeda secara mendasar dari pemuliaan untuk karakteristik lainnya, dengan syarat gen pemberi

resistensi pada varietas komersil, tetapi hanya terdapat pada tipe yang tidak unggul secara komersil karena sifat agronominya yang tidak cocok maka metode

backcross atau metode pedigree biasanya digunakan. Metode backcross

digunakan jika tetua yang resisten hanya menyumbangkan gen resisten dan tidak unggul dalam sifat agronomi lainnya (Allard, 1989).

Galur hasil persilangan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode pemuliaan tertentu pada akhirnya akan diperoleh beberapa galur harapan sebagai calon varietas baru. Dari galur-galur harapan tersebut kemudian diuji atau dievaluasi mengenai potensi daya hasil. Pengujian atau evaluasi daya hasil merupakan tahapan lanjutan dari proses pembentukan varietas unggul (Adisarwanto, 2001).

Adisarwanto (2001) menambahkan bahwa salah satu tahap yang dilakukan pada proses evaluasi daya hasil adalah uji daya hasil lanjutan (UDHL) yang merupakan lanjutan dari uji daya hasil pendahuluan (UDHP). Pada UDHL ini jumlah galur untuk evaluasi sekitar 15-30 galur dan dari jumlah tersebut sudah termasuk varietas pembanding (varietas unggul nasional atau lokal yang telah dilepas). Dalam pelaksanaannya, penanaman dilakukan pada petak dengan luas 10-12 m2 dan rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3-4 ulangan, tergantung jumlah benih yang tersedia.

Dokumen terkait