• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur yang dimulai dari bulan Februari 2011 sampai bulan Mei 2011. Selain itu, penelitian juga dilaksanakan di laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Fakultas Pertanian IPB, untuk melakukan pengujian dan pengukuran kadar klorofil daun.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan adalah 20 genotipe kacang tanah yang terdiri atas 16 galur generasi lanjut GWS sebagai galur yang diuji, dan empat varietas unggul nasional sebagai varietas pembandingnya (Lampiran 1). Satu dari empat varietas pembanding yaitu varietas Gajah digunakan sebagai pembanding untuk varietas tanaman yang rentan terhadap penyakit bercak daun, sedangkan tiga varietas unggul nasional lainnya yaitu varietas Sima, Jerapah, dan Zebra Putih digunakan sebagai pembanding untuk varietas tanaman yang toleran terhadap penyakit bercak daun (Lampiran 2 dan 3).

Enam belas galur GWS yang diuji merupakan hasil persilangan antara varietas Gajah dan galur introduksi GPNC-WS 4. Galur-galur GWS ini diperoleh dari koleksi laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

Bahan lain yang digunakan yaitu pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCL), pupuk kandang dari kotoran sapi, kapur dolomit, dan karbofuran 3G. Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang lazim digunakan dalam budidaya kacang tanah. Spektrofometer UV-1800 digunakan untuk menentukan kadar klorofil pada daun.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan perlakuan faktor tunggal yaitu genotipe (20 genotipe kacang tanah). Setiap genotipe diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 60 satuan percobaan. Satuan percobaanya berupa petakan lahan berukuran 4 m x 3 m. Adapun model linier RKLT yang digunakan adalah : Yij = μ + i βj + ij ; (i=1,....t, j=1,....r)

Keterangan :

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum

i = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh ulangan ke-j

ij = Pengaruh galat pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Pengolahan data dilakukan dengan uji F, perlakuan yang berpengaruh nyata diuji dengan uji lanjut t-Dunnett pada taraf nyata 5% dan uji Kontras Ortogonal untuk karakter-karakter yang menjadi kriteria daya hasil dan ketahanan terhadap bercak daun.

Pelaksanaan Penelitian

Dua minggu sebelum penanaman, terlebih dahulu dilakukan pengolahan lahan dengan menggemburkan tanah sampai kedalaman 15-20 cm, kemudian dibuat petak percobaan sebanyak 60 petak yang berukuran 4 m x 3 m setiap petak. Pupuk kandang yang telah masak dan kapur dolomit diberikan satu minggu sebelum penanaman dengan dosis berturut-turut sebanyak 2 ton/ha dan 500 kg/ha.

Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm dan ditanam satu benih per lubang tanam. Pupuk anorganik diaplikasikan satu kali pada saat penanaman. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 75 kg Urea/ha, 150 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCL/ha yang diberikan dengan cara dialur di samping lubang tanam. Selain itu, furadan juga diberikan saat penanaman dengan dosis 12 kg/ha.

Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan pembumbunan, dan pengairan. Sistem pengairan dilakukan melalui pengairan tadah hujan. Penyulaman dilakukan pada 1 MST (Minggu Setelah Tanam). Penyiangan dilakukan setiap minggu sampai tanaman berumur 5 MST dan pembumbunan dilakukan saat 5 MST.

Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 100. Pengeringan polong dan brangkasan tanaman dilakukan dengan cara dijemur ± 8 jam setiap hari saat cuaca cerah selama 3 hari.

Pengamatan

Pengamatan untuk hasil dilakukan dengan menggunakan ubinan 1 m x 1 m pada masing-masing petak percobaan. Pengamatan untuk karakter lainnya dilakukan pada 10 tanaman contoh yang diambil secara acak dari tanaman di setiap ubinan. Peubah yang diamati antara lain:

1. Tinggi tanaman saat panen yang diukur dari batas antara batang dengan akar sampai dengan titik tumbuh pada batang utama.

2. Jumlah cabang yang tumbuh pada tiap tanaman saat panen. 3. Panjang batang utama berdaun hijau.

4. Persentase panjang batang utama berdaun hijau pada saat panen. Dihitung dengan rumus : (panjang batang utama berdaun hijau / tinggi tanaman saat panen) x 100%.

5. Kadar klorofil daun yang diamati pada saat 8 MST. Pengukuran kadar klorofil ini dilakukan dengan mengambil sampel daun secara acak pada tanaman dalam ubinan 1 m2 sebanyak satu daun tetrafoliate untuk setiap petak percobaan. Sampel daun yang diambil adalah daun ke-8 pada batang utama dengan daun pertama dihitung dari daun bagian atas yang telah membuka sempurna.

6. Indeks panen kering, yang dihitung dengan rumus : bobot polong bernas / bobot brangkasan.

7. Jumlah polong total, polong bernas, dan polong cipo per tanaman yang dihitung setelah tanaman contoh dikeringkan.

8. Bobot polong total, polong bernas, dan polong cipo per tanaman yang dihitung setelah tanaman contoh dikeringkan.

9. Bobot biji per tanaman, merupakan bobot biji dari tanaman contoh yang sudah dikeringkan.

10.Bobot 100 biji kering.

Analisis Data

Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis ragam (Tabel 1) dan dilanjutkan dengan uji nilai tengah tiap galur generasi lanjut GWS dengan varietas Gajah dan varietas pembanding terbaik tiap karakter yang berbeda nyata menggunakan uji t-Dunnett. Karakter-karakter yang menjadi kriteria seleksi daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak daun digunakan uji Kontras Ortogonal sebagai penunjang untuk menilai galur yang terbaik pada karakter-karakter tersebut.

Tabel 1. Analisis Komponen Ragam Sumber Keragaman (SK) Derajat Bebas (DB) Kuadrat Tengah (KT) Harapan Kuadrat Tengah E (KT) Ulangan r-1 M1

Perlakuan (Genotipe) g-1 M2 σ²e + rσ²g

Galat (r-1)(g-1) M3 rσ²e

Keterangan : r = ulangan, g = perlakuan (genotipe)

Selanjutnya dilakukan pendugaan ragam lingkungan (σ²e), ragam genetik (σ²g), dan ragam fenotipik (σ²p) berdasarkan komponen ragam. Rumus yang digunakan untuk menentukan komponen ragam tersebut yaitu :

Ragam lingkungan (σ²e) = M3/r Ragam genetik (σ²g) = (M2 – M3)/r Ragam fenotipik (σ²p) = σ²g + σ²e

Selain itu, dilakukan juga analisis untuk menduga nilai heritabilitas arti luas (h²bs), menghitung nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan analisis korelasi antar karakter yang diamati. Rumus yang digunakan untuk masing-masing analisis tersebut yaitu :

1. Nilai heritabilitas dalam arti luas (h²bs) merupakan rasio ragam genetik terhadap ragam fenotipik dan nilai duganya ditentukan menggunakan rumus : h²bs= σ²g / σ²p.

2. Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) dihitung dengan rumus : KKG = x 100%

σ²g = nilai duga ragam genetik , = rataan umum peubah.

3. Analisis korelasi antar karakter yang diamati menggunakan rumus :

r = koefisien korelasi

dan = nilai pengamatan pada karakter-karakter yang diamati dan = rataan nilai pengamatan pada karakter yang diamati

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lahan percobaan untuk melaksanakan penelitian ini adalah lahan seluas ± 800 m2 yang terletak pada ketinggian 233 meter diatas permukaan laut (dpl.) dengan kondisi tanah yang bertekstur liat (Lampiran 5). Derajat kemasaman atau pH tanah di lokasi penelitian tergolong masam dengan nilai pH 4.9. Kondisi kemasaman tanah ini sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah.

Tanah yang masam dapat melepas kation yang sangat berbahaya bagi perakaran karena terjadi proses keracunan kation tertentu seperti alumunium. Selain itu proses pengikatan nitrogen oleh jasad renik dapat terganggu. Oleh karena itu tanah yang masam dapat direklamasi dengan pengapuran (Nasoetion, 2002).

Menurut Silahooy (2008) perbaikan pH tanah mendekati pH netral dengan pemberian kapur ini memungkinkan semua unsur hara berada dalam keadaan tersedia bagi tanaman, sehingga aktivitas metabolisme dalam tanaman dapat berjalan dengan baik dan secara langsung dapat berpengaruh terhadap peningkatan daya hasil kacang tanah. Di lain pihak, berdasarkan penelitian Sumaryo dan Suryono (2000) pemberian kapur dolomit dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman dan hasil kacang tanah. Pemberian kapur dolomit sebanyak 500 kg/ha dalam penelitian ini lebih ditujukan untuk membantu tanaman kacang tanah dalam membentuk polong.

Hasil analisis tanah pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa kadar N (nitrogen) dan P (fosfor) tergolong sangat rendah dengan nilai berturut-turut sebesar 0.07% dan 1.3 ppm, sedangkan kadar K (kalium) tergolong tinggi dengan nilai sebesar 57 ppm. Selain itu kadar Ca (kalsium) pada lahan percobaan tergolong sedang yaitu sebesar 217.8 ppm.

Menurut Ispandi dan Munip (2004) hara K merupakan hara yang paling banyak diserap kacang tanah setelah hara N dan bersama dengan hara P sangat penting dalam pembentukan polong dan pengisian biji kacang tanah. Selain itu, ditambahkan Silahooy (2008) dalam penelitiannya bahwa pemberian K berpengaruh terhadap hasil kacang tanah yaitu bobot biji per tanaman. Di lain

pihak, menurut Adisarwanto (2001) hara fosfor mempunyai peranan sangat penting dalam pembentukan polong, mengurangi jumlah polong hampa, dan mempercepat matangnya polong kacang tanah.

Kandungan C-organik di lahan percobaan tergolong sangat rendah yaitu sebesar 0.79% (Lampiran 5). Berdasarkan hasil penelitian Lana (2009) pemberian pupuk kandang sapi sebagai salah satu pupuk organik ke dalam tanah dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Menurut Notohadiprawiro (2006) C-organik merupakan bahan C-organik yang siap dirombak oleh mikroorganisme tanah menjadi humus yang sangat bermanfaat sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Selama masa tumbuh tanaman semusim seperti kacang tanah, sekitar 50% C-organik yang dialih tempatkan dari bagian atas tanaman ke akar dilepaskan dalam bentuk C-organik, dan 20% dilepaskan ke dalam tanah dalam bentuk CO2 melalui pernapasan akar. Selebihnya, sebesar 30% sampai masa pertumbuhan tanaman tetap berupa akar utuh.

Lampiran 5 juga menunjukkan bahwa C/N rasio memiliki nilai yang tergolong sedang. Nilai C/N rasio merupakan perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Nilai C/N rasio yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna, sedangkan nilai C/N yang semakin kecil menunjukkan bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengendalian terhadap hama dan penyakit. Hama yang umumnya banyak ditemukan di lahan percobaan yaitu belalang (Oxya spp.), ulat grayak (Spodoptera litura), dan Anoplocnemis phasiana

dari ordo Hemiptera famili Coreidae.

Saat tanaman berumur 3 MST, hama ulat grayak sudah mulai menyerang tanaman, sehingga banyak tanaman muda yang kehilangan sebagian besar daunnya. Namun, serangan ulat grayak pada 3 MST ini tidak terlalu membahayakan, karena dari populasi sebanyak 200 tanaman di setiap petak percobaan tidak lebih dari 2 % tanaman yang terserang hama ini. Hama lainnya mulai menyerang tanaman dalam jumlah yang cukup banyak pada 8 MST dengan tingkat serangan yang tidak membahayakan tanaman kacang tanah.

A B

C D

Di lain pihak, penyakit bercak daun mulai terlihat menyerang tanaman dalam intensitas yang rendah pada saat 8 MST, kemudian intensitas serangannya semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman hingga saat panen. Menurut Semangun (2004) pada cuaca lembab penyakit berkembang cepat pada saat tanaman berumur 40-45 hari, sedangkan pada cuaca kering penyakit berkembang pada umur 70 hari.

Gambar 1. Penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah. Bercak daun (A), karat (B), layu bakteri (C), dan virus belang (D).

Selain penyakit bercak daun, terdapat beberapa penyakit lain yang menyerang tanaman, diantaranya karat (Puccinia arachidis), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), dan virus belang (Peanut Stripe Virus/PStV). Gejala-gejala penyakit tersebut secara visual dapat dilihat pada Gambar 1.

Penyakit karat ditandai dengan gejala berupa bercak-bercak kecil berwarna kuning atau jingga pada permukaan daun bagian bawah dan dalam beberapa hari bercak-bercak akan berubah menjadi bintil-bintil berwarna coklat menyerupai karat (Nugrahaeni, 1993; Saleh, 2010). Bercak-bercak tersebut sebenarnya merupakan uredinia jamur yang berisi spora (urediniospora). Jamur karat dapat

menginfeksi tangkai dan batang tanaman. Berbeda dengan penyakit bercak daun, penyakit karat mengakibatkan daun menjadi kering tetapi masih tetap melekat pada batang atau cabang (Saleh, 2010).

Tanaman yang terserang penyakit layu bakteri terlihat layu, daun mengering, dan bahkan tanaman bisa mati. Hal ini disebabkan sumbatan massa bakteri pada pangkal batang sehingga tanaman tidak mendapat suplai air dan hara (Purwono dan Purnamawati, 2009). Semua stadia tumbuh kacang tanah peka terhadap penyakit layu bakteri. Tingkat kematian tanaman dapat mencapai 100% pada tanaman yang peka dari stadia kecambah hingga sebelum berbunga (Nugrahaeni, 1993).

Gejala khas dari serangan virus PStV berupa belang-belang agak bulat pada daun yang warnanya kontras dengan warna daun. Penularan virus ini dapat melalui biji (0.5-2.0%) dan melalui serangga vektor, yaitu Aphis craccivora dan

Aphis glycines. Penggunaan varietas tahan merupakan cara terbaik untuk mengendalikan penyakit ini (Nugrahaeni, 1993).

Keragaan Umum Karakter Genotipe yang Diuji

Terdapat perbedaan pada keragaan beberapa karakter untuk 20 genotipe kacang tanah yang telah diuji. Hasil analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf 1% untuk karakter tinggi tanaman, jumlah cabang, panjang batang utama berdaun hijau, persentase panjang batang utama berdaun hijau, kadar klorofil, jumlah polong total, jumlah polong bernas, bobot 100 butir biji, dan bobot brangkasan. Karakter yang berbeda nyata pada taraf 5% terdapat pada indeks panen kering, sedangkan untuk karakter yang lainnya tidak berbeda nyata, yaitu jumlah polong cipo, bobot polong total, bobot polong bernas, bobot polong cipo, bobot biji per tanaman, dan bobot biji/ubinan.

Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai koefisien keragaman (KK) menunjukkan tingkat ketepatan dengan perlakuan yang diperbandingkan dan merupakan indeks yang baik dari keadaan percobaan. Nilai koefisien keragaman sampai 20% menandakan ketepatan suatu percobaan cukup akurat, sedangkan nilai koefisien keragaman yang lebih dari 20% menandakan ketepatannya tidak cukup akurat.

Tabel 2. Rekapitulasi Uji F Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah. Karakter F Hitung Pr > F Koefisien Keragaman (%) Tinggi tanaman 3.11** 0.0014 17.46 Jumlah cabang 5.72** <.0001 9.76

Panjang batang utama berdaun hijau 21.18** <.0001 20.26 Persentase panjang batang utama berdaun

hijau

12.22** <.0001 17.71

Kadar klorofil 2.28** 0.0120 16.81

Jumlah polong total 3.08** 0.0016 19.41

Jumlah polong bernas 3.18** 0.0012 19.65

Jumlah polong cipo a 0.96tn 0.4236 20.16

Bobot polong total 1.74tn 0.0725 18.38

Bobot polong bernas 1.71tn 0.0778 18.96

Bobot polong cipo a 1.10tn 0.2967 18.47

Bobot biji per tanaman 1.39tn 0.1910 19.91

Bobot 100 butir biji 2.63** 0.0054 9.27

Bobot brangkasan 3.51** 0.0005 16.96

Indeks panen kering 2.26* 0.0158 15.62

Bobot biji/ubinan 1.59tn 0.1090 17.02

Keterangan : tn : tidak berbeda nyata, * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** ; berbeda nyata pada taraf 1%, a: data ditransformasi.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa secara umum nilai koefisien keragaman untuk karakter-karakter yang diamati berada dibawah 20%, kecuali untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau dan jumlah polong cipo dengan nilai koefisien keragaman yang berada diatas 20%. Karakter-karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman dibawah 20% menandakan bahwa tingkat ketepatan pengamatan yang dilakukan terhadap karakter-karakter tersebut dilakukan dengan cukup akurat. Nilai koefisien keragaman untuk karakter jumlah polong cipo dan bobot polong cipo merupakan hasil satu kali transformasi data dengan menggunakan +0.5. Transformasi data diperlukan untuk menekan nilai koefisien keragaman yang sangat tinggi pada data awal sebelum dilakukan transformasi yaitu berturut-turut sebesar 59.47% dan 100.79%.

Nilai tengah, nilai maksimum dan nilai minimum untuk karakter-karakter yang diamati pada 20 genotipe kacang tanah disajikan dalam Tabel 3. Nilai maksimum menunjukkan nilai tengah tertinggi suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati, begitu pula sebaliknya

dengan nilai minimum yang menunjukkan nilai tengah terendah suatu genotipe diantara genotipe lainnya untuk karakter-karakter tertentu yang diamati.

Tabel 3. Nilai Tengah, Nilai Maksimum, dan Nilai Minimum Karakter pada 20 Genotipe Kacang Tanah.

Karakter Nilai Tengah Nilai Maksimum (Genotipe) Nilai Minimum (Genotipe) Tinggi tanaman (cm) 33.77 53.5 (Sima) 27.6 (GWS 134 A1) Jumlah cabang 6.96 8.8 (GWS 79 A) 5.0 (Zebra Putih) Panjang batang utama

berdaun hijau (cm)

14.24 42.5

(Sima)

5.9 (Gajah) Persentase panjang batang

utama berdaun hijau (%)

40.89 79.5 (Sima) 18.8 (Gajah) Kadar klorofil (µmol/100 cm2) 5.70 7.3 (GWS 73 D) 4.5 (GWS 72 A) Jumlah polong total

(polong)

19.51 26.8

(GWS 39 D)

12.7 (Sima) Jumlah polong bernas

(polong)

18.25 25.5

(GWS 39 D)

11.8 (Gajah) Jumlah polong cipo

(polong)

1.28 2.3

(GWS 138 A)

0.6 (GWS 74 A1) Bobot polong total

(gram)

22.54 29.1

(GWS 39 D)

14.7 (Gajah) Bobot polong bernas

(gram)

22.18 28.7

(GWS 39 D)

14.3 (Gajah) Bobot polong cipo

(gram) 0.53 1.6 (GWS 138 A) 0.3 (GWS 74 A1; GWS 134 A1; GWS 110 A1; GWS 74 D; GWS 110 D; Jerapah) Bobot biji per tanaman

(gram)

15.46 19.0

(GWS 79 A)

9.5 (Gajah) Bobot 100 butir biji

(gram) 49.67 56.5 (GWS 73 D) 42.5 (GWS 110 D) Bobot brangkasan (gram) 26.63 36.9 (GWS 73 D) 16.1 (Gajah)

Indeks panen kering 0.89 1.2

(GWS 72 A)

0.7 (GWS 74 A1; GWS 73 D; Sima) Bobot biji/ubinan (gram) 204.09 252.9

(GWS 39 D)

143.7 (Gajah)

Sima yang merupakan salah satu varietas pembanding dan digunakan sebagai pembanding untuk genotipe yang toleran penyakit bercak daun memiliki nilai tertinggi diantara genotipe lainnya untuk karakter tinggi tanaman, panjang batang utama berdaun hijau, dan persentase panjang batang utama berdaun hijau dengan nilai tengah atau rata-rata berturut-turut sebesar 53.5 cm, 42.5 cm, dan 79.5%. Karakter jumlah cabang (8.8) dan bobot biji per tanaman (19.0 gram) dengan nilai tertinggi terdapat pada genotipe atau galur GWS 79 A (Tabel 3).

Di samping itu, Tabel 3 juga menunjukkan bahwa galur GWS 39 D memiliki nilai tengah atau rata-rata yang tertinggi untuk beberapa karakter yaitu jumlah polong total (26.8 polong), jumlah polong bernas (25.5 polong), bobot polong total (29.1 gram), bobot polong bernas (28.7 gram), dan bobot biji/ubinan (252.9 gram). Nilai tengah tertinggi untuk kadar klorofil (7.3 µmol/100 cm2), bobot 100 butir biji (56.5 gram), dan bobot brangkasan (36.9 gram) dimiliki oleh GWS 73 D, sedangkan indeks panen kering (1.2) terdapat pada GWS 72 A. Jumlah polong cipo dan bobot polong cipo tertinggi ditunjukkan oleh GWS 138 A dengan nilai tengah berturut-turut sebesar 2.3 dan 1.6 gram.

Gajah yang menjadi varietas pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun memiliki nilai tengah yang terendah untuk sebagian besar dari karakter-karakter yang diamati dibandingkan dengan genotipe lainnya. Gajah memiliki nilai tengah terendah untuk karakter panjang batang utama berdaun hijau (5.9 cm), persentase panjang batang utama berdaun hijau (18.8 %), jumlah polong bernas (11.8 polong), bobot polong total (14.7 gram), bobot polong bernas (14.3 gram), bobot biji per tanaman (9.5 gram), bobot brangkasan (16.1 gram), dan bobot biji/ubinan (143.7 gram).

Tinggi tanaman terendah terdapat pada galur GWS 134 A1 sebesar 27.6 cm. Jumlah cabang terendah terdapat pada Zebra Putih (5.0), kadar klorofil terendah terdapat pada galur GWS 72 A (4.5 µmol/100 cm2), jumlah polong total terendah terdapat pada Sima (12.7 polong), dan jumlah polong cipo terendah terdapat pada galur GWS 74 A1 (0.6 polong). Terdapat beberapa genotipe yang memiliki bobot polong cipo terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.3 gram, yaitu GWS 74 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, GWS 74 D, GWS 110 D, dan Jerapah. Rendahnya bobot polong cipo tersebut menunjukkan bahwa

galur-galur yang diuji mampu mengisi polongnya dengan baik. Di samping itu, terdapat juga beberapa genotipe yang memiliki indeks panen kering terendah dengan nilai tengah yang sama sebesar 0.7, yaitu GWS 74 A1, GWS 73 D, dan Sima.

Karakter Vegetatif dan Ketahanan Terhadap Penyakit Bercak Daun Karakter-karakter vegetatif yang diamati terdiri dari tinggi tanaman, jumlah cabang, bobot brangkasan, dan kadar klorofil daun, sedangkan pengamatan untuk ketahanan terhadap penyakit bercak daun dilakukan terhadap karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau. Tabel 4 menunjukkan bahwa diantara empat varietas pembanding, Sima memiliki nilai tertinggi untuk karakter tinggi tanaman dan persentase panjang batang utama berdaun hijau, sehingga Sima dijadikan sebagai pembanding terbaiknya. Untuk karakter jumlah cabang, varietas Jerapah dijadikan sebagai pembanding terbaiknya karena memiliki jumlah cabang yang paling tinggi diantara varietas pembanding lainnya. Semua karakter yang terdapat pada Tabel 4 juga dibandingkan dengan varietas Gajah.

Perbandingan nilai tengah atau rata-rata tinggi tanaman dari semua galur GWS dengan Gajah menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-Dunnett. Bila dibandingkan dengan Sima sebagai varietas pembanding terbaik untuk tinggi tanaman, galur-galur GWS yang diuji memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dari Sima, kecuali GWS 73 D yang tidak berbeda nyata dengan Sima. Kisaran tinggi tanaman dari semua genotipe yang diuji berada pada 27.6 cm-53.5 cm.

Ukuran tanaman yang terlalu tinggi ternyata dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi tanaman tersebut di lahan tanam. Berdasarkan pengamatan visual di lapangan, tanaman kacang tanah dengan ukuran yang relatif lebih tinggi seperti Sima, lebih mudah rebah dibandingkan dengan tanaman yang ukurannya lebih rendah, karena semakin tinggi tanaman maka semakin rendah kekuatan tanaman tersebut dalam menopang cabang-cabangnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Riduan dan Sudarsono (2005) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa tanaman yang tinggi dapat meningkatkan kerebahan tanaman kacang tanah di lapangan, sehingga kerebahan tanaman ini dapat berakibat pada

tingginya kelembaban di bawah kanopi tanaman yang mendukung perkembangan penyakit.

Tabel 4. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, dan Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau.

Genotipe Tinggi Tanaman (cm)

Jumlah Cabang

Persentase Panjang Batang Utama Berdaun Hijau

(%) GWS 39 B 29.0 h 7.4 a 49.8 ah GWS 110 A2 30.0 h 7.8 a 32.7 h GWS 134 D 35.0 h 7.0 36.4 h GWS 138 A 33.9 h 6.4 35.5 h GWS 74 A1 35.0 h 6.4 35.3 h GWS 134 A 33.7 h 7.4 a 34.6 h GWS 27 C 38.5 h 7.7 a 35.2 h GWS 79 A 32.6 h 8.8 ab 39.5 ah GWS 73 D 43.4 6.9 43.5 ah GWS 18 A1 31.6 h 7.0 38.2 ah GWS 134 A1 27.6 h 7.2 42.9 ah GWS 110 A1 29.5 h 7.5 a 41.1 ah GWS 74 D 37.1 h 6.5 50.4 ah GWS 110 D 28.4 h 7.1 34.0 h GWS 72 A 30.6 h 7.8 a 30.0 h GWS 39 D 33.8 h 7.7 a 30.1 h Gajah 31.4 5.6 18.8 Zebra Putih 30.2 5.0 77.3 Jerapah 30.5 6.7 32.9 Sima 53.5 5.1 79.5

Keterangan: : Indeks huruf pada kolom yang sama diolah lanjut dari hasil uji t-Dunnett taraf 5%, menunjukan bahwa :

a : nyata > Gajah e : nyata < Gajah

b : nyata > Jerapah f : nyata < Jerapah c : nyata > Zebra Putih g : nyata < Zebra Putih

d : nyata > Sima h : nyata < Sima

Uji lanjut t-Dunnet untuk karakter jumlah cabang pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hanya terdapat satu galur GWS yang memiliki jumlah cabang yang nyata lebih tinggi dari Jerapah sebagai pembanding terbaik, yaitu GWS 79 A dan untuk galur GWS lainnya tidak berbeda nyata dari Jerapah. Terdapat galur GWS yang memiliki jumlah cabang nyata lebih tinggi dari Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 110 A2, GWS 134 A, GWS 27 C, GWS 79 A, GWS 110 A1, GWS 72 A, dan GWS 39 D. .

Menurut Riduan dan Sudarsono (2005) peningkatan jumlah cabang biasanya berasosiasi dengan peningkatan daya hasil yang menghasilkan polong dan biji lebih banyak. Namun, ditambahkan oleh Yudiwanti dan Ghani (2002) bahwa pengaruh jumlah cabang terhadap daya hasil ini akan lebih ditentukan oleh jumlah cabang produktif dan persentase bunga yang membentuk polong.

Persentase panjang batang utama berdaun hijau untuk semua galur GWS yang diuji juga memiliki nilai yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan Sima (Tabel 4). Jika galur GWS ini dibandingkan dengan Gajah yang menjadi pembanding untuk genotipe yang rentan terhadap penyakit bercak daun, maka terdapat beberapa galur GWS memiliki nilai yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Gajah, yaitu GWS 39 B, GWS 79 A, GWS 73 D, GWS 18 A1, GWS 134 A1, GWS 110 A1, dan GWS 74 D.

Kusumo (1996) menyatakan bahwa persentase daun yang masih hijau berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap penyakit bercak daun. Yudiwanti et al. (2008) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa persentase panjang batang utama bebas penyakit bercak daun merupakan peubah yang diajukan untuk menilai secara kuantitatif tingkat ketahanan genotipe kacang tanah terhadap penyakit bercak daun.

Karakter persentase panjang batang utama berdaun hijau prospektif diterapkan sebagai peubah tingkat ketahanan visual di lapangan. Peubah ini praktis diterapkan di lapangan dan obyektivitasnya mudah dijaga. Peubah ini juga

Dokumen terkait