tanah yang mengandung aflatoksin ke dalam media menggunakan pipet mikro. Media tumbuh larva udang kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, dihitung banyaknya larva udang yang mati dan dibuat grafik regresi linear hubungan antara log konsentrasi ekstrak aflatoksin pada kacang tanah dengan probit kematian larva udang, sehingga dapat dihitung nilai LCSo melalui metode analisis probit dengan software SPSS (Mc Laughlin et a1 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Deteksi Aflatoksin Pada Kacang Tanah dengan TLC Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan mengambil sepuluh sampel kacang tanah yang diambil secara acak (random) dari sepuluh pasar yang berbeda yaitu sampel A (pasar Bojong Gede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampelH
(pasar Cibinong), sampelI
(pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) maka diketahui bahwa hanya tiga sampel yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe 9 1 dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (tampak pada Gambar 6 dan 7). Senyawa aflatoksin lain seperti aflatoksin 92, GI, G2 tidak terdeteksi.Sampel kacang tanah yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 (Tabel 1) adalah sampel C (pasar Ciampea) dengan kadar 51.02 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 63.77 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1, sampel E (pasar Parung) dengan kadar 12.63 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 p1 dan 25.26 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 pl, sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) dengan kadar 25.65 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 5 pl dan 38.48 ppb untuk penotolan sampel sebanyak 10 p1. Setelah dikonversi maka diperoleh hasil yaitu kadar senyawa aflatoksin B1 yang terdeteksi pada sampel C (Pasay Ciampea) adalah sebesar 57.40 ppb, kadar senyawa aflatoksin BI yang terdeteksi pada sampel
E
(Pasar Parung) adalah sebesar 18.95 ppb, kadar senyawa aflatoksin 9 1 yang terdeteksi pada sampel J (Pasar Cikokol, Tangerang) adalah sebesar 32.07 ppb (contoh perbitungan deteksi kadar aflatoksin lihat lampiran I). Ketujuh sampel kacang tanah lainnya yaitu sampel A (pasar Bojong Gede),sampel B (pasar Cipntat), sampel D (pasar Leuwiliang), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel
H
(pasar Cibinong), sampelI
(pasar Depok) tidak terdeteksi mengandung aflatoksin baik tipe 81, 82, GI, G2. Ketujuh sampel kacang tanah tersebut diduga kandungan senyawa aflatoksinnya berada di bawah limit deteksi.Ketiga sampel kacang tanah tersebut hanya mengandung kontaminan aflatoksin 91 saja disebabkan karena jenis aflatoksin tersebut men~pakan tipe aflatoksin yang secara umuni dihasilkan oleh kapang Aspergilus jlavus yang banyak menyerang tanaman kacang tanah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian pendahulnan sebelumnya yang telah dilakukan oleh D h m a p u t r a (1989). Nilai batas aman dari senyawa aflatoksin yang dapat ditoleransi oleh tubuh menurut FDA dan WHO adalah 15 ppb untuk bahan pangan manusia dan 20 ppb untuk pakan ternak. Berdasndtan nilai batas aman tersebut maka ketiga sampel kacang tanah (sampel C, sampel E, sampel J) yang terdeteksi mengandung aflatoksin B1 telah melebihi nilai batas aman dan dinyatakan bersifat toksik untuk h~huh. Tipe aflatoksin lainnya seperti B2, GI, G2 tidak banyak menyerang kacang tanah, akan tetapi dapat menyerang famili kacang-kacangan yang lain. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode untuk mendeteksi keberadaan suatu senyawa aflatoksin dalam kacang tanah berdasarkan perbedaan warna b i ~ dan hijau yang timbul setelah pr:notolan (pembuatan spot) cuplikan standar dan sampel pada lempeng kromatografi mengalami elusi dengan campuran pelarut k1orofon:aseton (9:l vlv). Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan praktis untuk mengukur dan mendeteksi kadar aflatoksin pada kacang tanah karena hanya bersifat semi kuantitatif. Pengukuran dan deteksi kadar aflatoksin dilakukan dengan mengamati secara visual dan membandingkan jarak Rf (retardation faktar) standar aflatoksin dengan sampel yang diuji. Jenis aflatoksin yang dapat dideteksi dengan metode kromatograti lapis tipis ini adalah aflatoksin B1, B2, GI dan G2, sedangkan aflatoksin jenis MI yang banyak terdapat pada produk hasil temak seperti susu dan keju masih belum dapat dianalisis dengan menggunakan metode tersebut. Penggunaan metode kromatografi lapis tipis untuk mendeteksi kadar aflatoksin pada kacang tanah secara umum memiliki keterbatasan limit deteksi.
Gambar 6 Kromatogram TLC hasil analisis Gambar 7 Deteksi aflatoksin dengan KLT di aflatoksin kacang tanah pada lampu dalam detektor UV fluoresens 366 UV fluoresens 366
nrn.
(I) Sampel nm. (1) San~pel B 5 p1, (2) Standar C, (2) Standar aflatoksin G1, (3) aflatoksin B1, (3) Sampel C 5 p1, Standar aflatoksin B1,(4) Sampel E, (4) Sampel C 10 p1, (5) Sampel D (5) Sampel J . 5 p1, (6) Sampel 1? 5 p1, (7) Sampel E 10 p1, (8) Sampel J 5 p1, (9) Sampel J 10 pl.l'abel I Hasil deteksi kadar aflatoksin B 1, B2, GI, G2 (dalam ppb) pada sampel kacang tanah dari 10 pasar yang berbeda dengan kromatografi lapis tipis
Sampel Bobot Vol Hasil analisis kadar aflatoksin (ppb)
sampel (g) sampel (pi) B1 B2 GI G2
A 25.3542 5 .O <4.5
<
1 15 < 4 5 < 1 15 10.0 B 25.4127 5.0 10.0 C 25.2136 5.0 10.0 D 25.7143 5.0 10.0 E 25.4606 5.0 10.0 F 25.1228 5.0 10.0G
25.0081 5.0 10.0H
25.8724 5.0 10.0 I 25.0314 5.0 10.0 J 25.0752 5.0 10.0Kadar aflatoksin di bawah kisaran nilai limit deteksi tersebut, tidak terbaca pada kromatogram yang divisualisasi oleh detektor UV fluoresens. Hasil analisis kromatogram
-
- - < 4.5 < 1.35 < 4.5<
1.35 <4.5<
1.35 < 4.5 < 1.35 1 4 . 5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 51.02 < 1.35 < 4.5 < 1.35 63.77 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 12.63 < 1.35 <4.5 < 1.35 25.26 1.35 < 4.5<
1.35<
4.5<
1.35 <4.5<
1.35<
4.5<
1.35<
4.5 < 1.35 < 4.5<
1.35 i 4 . 5<
1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5<
1.35<
4.5<
1.35 <4.5 < 1.35 < 4.5 1.35 < 4.5 < 1.35 < 4.5 < 1.35 <4.5 < 1.35 < 4.5 1 1.35 < 4.5 < 1.35 25.65 < 1 35 e 4 . 5 < 1.35 38.48 < 1.35 < 4.5 < 1.35meuggunakan detektor UV fluoresens (panjang gelombang 366 nm) menunjukkan nilai Rf dari sampel berada di bawah limit deteksi apabila volume penotolan terkecil
standar aflatoksin BI konsentrasi 2.01 f 0.04 pg/ml, standar aflatoksin B2 konsentrasi 0.500k 0.025 pglml, standar aflatoksin GI konsentrasi 2.01
f
0.04 pg/ml, standar aflatoksin G2 konsentrasi 0.500i
0.025 pg/ml kurang dari 0.5PI.
Secara semi kuantitatif diketahui bahwa limit deteksi standar aflatoksin B1 kurang dari 4.5 ppb, limit deteksi standar aflatoksin B2 kurang dari 1.35 ppb, limit deteksi standar aflatoksin G1 kurang dari 4.5 ppb, limit deteksi standar aflatoksin G2 kurang dari 1.35 ppb. Nilai tersebut diperoleh dengan bantuan jasa analisis dari laboratorium analisis kalibrasi Balai Besar Industri Agro (BBIA) menggunakan instrumen HPLC. Limit deteksi mempakan koreksi alatuntuk
menentukan nilai akhir suatu penetapan.Pendeteksian aflatoksin pada kacang tanah dengan pemberian metanol sebagai pelamt aflatoksin pada sampel sehingga dapat terpisah dari berbagai komponen yang lain, sedangkan pemberian garam NaCl sebagai pelarut fisiologis bemjuan agar kondisi sampel lebih stabil. Penambahan larutan heksana yang benifat non polar akan membantu melarutkan biomolekul lemak (lipid) yang terkandung dalam sampel kacang- kacangan maupun produk olahannya. Perlakuan sentrifus pada kecepatan 2000 rpm (500 g) selama 5 menit akan membantu memisahkan endapan pelet yang larut dalam heksana @erisi lemak) dengan supernatan yang larut dalam metanol (berisi senyawa aflatoksin yang akan dianalisis). Penambahan larutan kloroform pada lapisan metanol (supernatan) dimaksudkan untuk mengekstrak senyawa aflatoksin yang masih tercampur dengan senyawa lain pada sampel sehingga diperoleh aflatoksin dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Klorofonn sebagai pelarut utama dari ekstrak sampel berisi senyawa aflatoksin yang akan ditotolkan pada lempeng kromatografi silika (precoated kieselgel G plate).
Penguapan sampel sampai kering menggunakan aliran gas nitrogen dimaksudkan untuk memekatkan ekstrak sehingga diperoleh kadar yang dapat dideteksi oleh kromatograti lapis tipis. Campuran pelarut organik k1oroform:aseton dengan perbandingan ( 9 1 vlv jenuh) digunakan sebagai eluen yang sangat optimum untuk analisis kadar senyawa aflatoksin BI, B2, GI dan G2. Larutan eluen tersebut dijenuhkan terlebih dahuln sehari semalam agar hasil pemisahan menjadi lebih baik.
Detektor UV fluoresens dapat membantu proses visualisasi senyawa aflatoksin BI, B2, GI dan G2 berdasarkan perbedaan pendaran warna. Aflatoksin Dl dideteksi dengan munculnya walna iluoresens bim tua, aflatoksin 8 2 dideteksi dengan munculnya warna fluoresens biru muda pudar. Aflatoksin G1 dideteksi dengat1 munculnya warna fluoresens hijau tua, sedangkan aflatoksin G2 dideteksi dengati munculnya warna hijau muda pudar. Jika pada sampel yang telah dielusi tidak muncul warns fluoresensi yang sesuai dengau jarak Rf pada standar maka dapat diietahui bahwa kadar aflatoksin dalam komoditi kacang dan produk olahannya sangat rendah yaitu di bnwah limit deteksi. Munculnya warna fluoresensi lain yang berbeda dari standar aflatoksin, serta jarak Rf
yang tidak sama dengan standar aflatoksin menunjukkan bahwa terdapat senyawa pengotor lain di dalam sampel produk kacang- kacangan tersebut di luar senyawa aflatoksin B1, B2, GI dan G2.
Kekurangan metode kromatografi lapis tipis yang digunakan untuk menganafisis kadar aflatoksin pada sampel kacang tanah dan produk olahannya antara lain adalah preparasi sampel untuk analisis memerlukan waktu yang relatif lama, waklu penjenuhan eluen (fase gerak) yang lnemerlukan waktu sehari semalam (24 jam). I-Iasil analisis kromatografi lapis tipis masih bersifat semi kuantitatif, sensitivitas rcndah, tingkat kesalahan analis~s dengan menggunakan detektor UV fluoresens cukup tinggi karena sering terjadi kesalalian paralaks yang disebabkan oleh pengamatan wama fluoresens yang timbul dan jarak Rf yang dibandingkan berbeda antam standar aflatoksin dengan sampel. Kelebihan dari metode ini adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan analisis jauh lebih murah serta tidak memerlukan keahlian yang terlalu rumit dalam mengoperasika~l instrumen bila dibandingkan dengan tnetode lain seperti analisis dengan HPLC maupun menggunakan KIT ELISA.
Hasil Uji Toksisitas LCso dengan Analisis Probit dari Ekstrak Kasar Aflatoksin
pada Kacang Taliah
Sebagai kelanjlitat~ dari penelitian pendahuluan deteksi aflatoksin pada sampel kacang tanah apabila ingin diketahui efek toksisitasnya maka dilakukan uji Brine
Shrimp Lethality Test (Uji BST). Proses
Artemia salina untuk ekstrak kasar aflatoksin dalam kacang tanah didasarkan pada prinsip sederhana bahwa kematian organisme zoologik secara in vivo merupakan metode dasar monitoring yang mudah untuk penapisan dan kaksinasi senyawa bioaktif aflatoksin tersebut (Mc Laughlin ei a1 1991). Metode pengujian BST dengan menggunakan Artemia salina dianggap berkorelasi dengan daya sitotoksik. Uji toksisitas LC5, dengan menggunakan Artemia salina dilakukan pada sampel kacang tanah yang telah terdeteksi mengandnng aflatoksin
B 1 (sampel kacang
tanab C dari pasar Ciampea, sampel kacang tanah E dari pasar Pamng, sampel kacang tanah J dari pasar Cikokol, Tangerang) berdasarkan uji pendahuluan dengan kromatografi lapis tipis.Terdapat beberapa tingkatan dalam analisis suatu senyawa kimia yang memiliki efek toksisitas. Pada tingkatan letal atau subletal dari pencampuran (asimilasi) zat kimia, tubuh makhluk hidup dapal menginduksi serangkaian pengaruh biologis (Rosenthal dan Alderdice 1976). Secara kualitatif, p e n g a ~ h letal dapat didefinisikan sebagai tanggapan yang tejadi pada saat zat-
zat kilnia mengganggu proses dalam tubuh sampai suatu batas kematian. Pengaruh subletal adalah pengaruh yang memsak kegiatan fisiologis atau perilaku tetapi tidak menyebabkan kematian langsung meskipun kematian dapat terjadi (Morianly 1983).
Gambar 8 Ekstrak kasar kaca& tanah yang mengandung aflatoksin B 1 dengan menggunakan pelarut kloroform.
Tabel 2 Hasil pengamatan LC5o untuk uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah sampel C (pasar
10 20 ekor 1 0 I 0.67 3.35 % 50 20 ekor 3 2 2 2.33 11.65 % 100 20 ekor 5 3 4 4 20 % 150 20 ekor 7 5 6 6 30 % 200 20 ekor 8 7 7 7.33 36.65 % 250 20 ekor 9 8 9 8.67 43.35 % 500 20 ekor 13 12 13 12.67 63.35 % 750 20 ekor I6 14 15 15 75 % 1000 20 ekor 18 16 17 17 85 %
Tabel 3 Hasil pengamatan LCsII untuk uji toksisitas aflatoksin pada kacang tanah sampel E (pasar Parung) dengan menggunakan larva udang (Arthenzia salina)
Konsentrasi Jumlah larva Jumlah larva udang yang rnati rata-rata % kematian
(ppm) udang awal 1 2 3 kematian
0 20 ekor 0 0 0 0
0
% 10 20 ekor 0 0 1 0.33 1.65 % 50 20 ekor 1 1 2 1.33 6.65 % 100 20 ekor 2 3 4 3 15 % 150 20 ekor 4 4 6 4.67 23.35 % 200 20 ekor 6 7 7 6.67 33.35 % 250 20 ekor 8 9 9 8.67 43.35 % 500 20 ekor 10 11 12 I1 55 % 750 20 ekor 13 13 14 13.33 66.67 % 1000 20 ekor 15 16 16 15.67 78.35 %'Tabel 4 Hasil pengamatan LCSo untuk uji Loksisitas aflatoksin pttda kacang tanah sampel J (pasar Cikoko1,Tangerang) dengan menggunakan larva udang (Arthernia sulina)
Konsentrasi Jumlah larva Jumlah larva udang vmg mati rata-rata % kematian
(ppm) udang awal 1 2 3 kenlatian
0 20 ekor 0 0 0 0 0 %
1
10 20 ekor 0 1 0 0.67 1.65 % 50 20 ekor 1 3 1 1.67 8.35 % 100 20 ekor 3 5 4 4 20 % 150 20 ekor 6 7 6 6.33 31.65% 200 20 ekor 8 9 8 8.33 41.65 % 250 20 ekor 10 11 10 10.33 51.65 % 500 20 ekor 13 1.5 14 14 70 % 750 20 ekor 15 17 16 16 80 % 1000 20 ekor 18 19 18 18.33 91.65 %Berdasarkan hasil nji toksisitas LC,, yang yaitu 12.067 (lihat lampiran 11). Berdasarkan dilakukan pada sampel kacang tanah C (pasar pengujian hipotesis statistik tersebut dapat Ciampea), sampel kacang tanah E (pasar disimpukan bahwa hasil percobaan LC,, Parung), sampel kacang tanah J (pasar untuk ketiga sampel ekstrak kasar kacang Cikokol, Tangerang) seperti tampak pada tanah C,
E
dan J yang pada masing-masing Tabel 2, 3 dan 4 dengan bantuan program sampel dilakukan secara hiplo bersifat software statistik SPSS dapat diperoleh grafik homogen dan validitas nilai LCso dari sampel hubungan linearitas antara log konsentrasi C, E dan J tersebut masih dapat diterima eksfxak kasar aflatoksin pada kacang tanah dengan selang kepercayaan 95 %( a
=0.05). dengan probit kematian dari larva udang. Padasampel kacang tanah C diperoleh nilai persamaan linear y = 1.5668 x + 1.1261 dan nilai R 2 = 0.9999 (lihat lampiran 5). Untuk sampel kacang tanah E diperoleh nilai persamaan linier y = 1.778 x
+
0.44197 dan nilai R 2 = 0.9999 (lihat lampiran 6), sedangkan pada sampel kacang tanah J diperoleh nilai persamaan linier y = 1.89295 x+
0.45574 dan nilai R 2 = 0.9999 (lihat lampiran 7). Dari persamaan linear tersebutdiketahui bahwa nilai LC,, -" dari ekstrak kasar Gambar 9 Pengamatan Artemia salina setelah aflatoksin kacane,
-
tanah C dennan-
masa inkubasi 24 jam.1
menggunakan analisis probit adalah sebesar296.82 ppm. Sementara itu nilai LCso dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah E adalah 366.28 ppm dan nilai LC,, dari ekstrak kasar aflatoksin kacang tanah J adalah 251.55 ppm. Pendugaan hipotesis secara statistik untuk analisis probit pada sampel kacang tanah C menunjukkan bahwa nilai
x2
hitung yaitu 1.34198 lebih kecil daripada nilai X 2 tabel (7,0.05) yaitu 12.067 (lihat lampiran 9). Sampel kacang tanah E menunjukka~ nilai
x2
hitung yaitu 8.1661 lebih kecil daripada n i l a i x 2 tabel (7, 0.05) yaitu 12.067 (lihat lampiran 10). Sampel kacang tanah J menunjukkan nilai,y2
hitung yaitu 0.9172 lebih kecil daripada nilaiX2 tabel (I, 0.05)--
.
aflatoksin patla ekstrak kasar kacang tanah dengan Artenzia salina.
I Berdasarkan nilai LCSo dari ketiga sampel kacang tanah yang rnengandung aflatoksin dinyatakan bahwa sampel kacang tanah J
1
(pasar Cikokol, Tangerang) memiliki efek toksisitas yang paling berbahaya dibandingkan dengan kedua sampel kacang tanah yang lain karena dapat mematikan sebanyak 50 % populasi Artemia salina pada konsenhasi yang paling kecil yaitu 251.55 ppm. Sampel kacang tanah C (pasar Ciampea) memiliki tingkat toksisitas yang juga herbahaya karena nilai LCso nya yaitu sebesar 296.82 ppm lebih kecil jika dibandingkan dengan sampel kacang tanah E (pasar Parung) yang memiliki nilai LCsa sebesar 366.28 ppm. Secara umum ketiga sampel kacang tanah yang mengandung aflatoksin tersebut dapat dinyatakan memilii tingkat toksisitas yang tinggi (akut) karena ketiga sampel ekshak kasar kacang tanah tersebut memiliki nilai LCsa jauh dibawah 1000 ppm. Semakin kecil nilai LCso dari suatu senyawa bioaktif maka akan semakin toksik (berbahaya) keberadaan senyawa tersebut dalam tubuh (McLaughlin 1991).
Ada dua prinsip utama yang hams terdapat dalam pemilihan hewan uji. Faktor yang pertama adalah efek toksisitas yang diujikan kepada hewan dapat diterapkan pada manusia. Efek toksik yang diiasilkan pada hewan uji umumnya berada dalam rentang konsenhasi yang sama efeknya apabila dikonsumsi oleh manusia. Faktor kedua yang hams diperhatikan adalah pemberian senyawa toksik pada hewan uji dalam dosis yang tinggi didasarkan pada suatu kepentingan percobaan dan menggunakan metode yang akurat agar dapat memperkirakan efek toksiknya terhadap manusia (Rosenthal dan Alderdice 1976).
Analisis probit yang digunakan sebagai metode statistik dalam menghitung besarnya nilai LC,, mengacu pada dua ha1 yaitu perbandingan konsenhasi dari senyawa aflatoksin yang hendak diuji dan kuantitas jumlah larva udang yang diberikan pada setiap perlakuan. Besarnya tingkat toksisitas senyawa aflatoksin yang terdapat pada kacang tanah diketahui berdasarkan jumlah kematian larva udang (Artenria salina) akibat pemberian ekshak kasar kacang tanah yang mengandung senyawa aflatoksin. Ekstrak kasar aflatoksin bersifat toksik bila memiliki nilai LCSO
<
1000 ppm, sedangkan untuk senyawa murni aflatoksin dikatakan toksik bila LCSO<
200 ppm (Meyer el a1 1982). Metode ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain, waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, pengerjaan sederhana, tidak memerlukan teknik aseptik, tidak memerlukan peralatan khusus, menggunakan sampel dalam jumlah relatif sedikit dan tidak memerlukanserum hewan seperti patla uji sitotoksik (Meyer el
a1
1982). Alasan digunakannya larva udang dalam pengujian ini disebabkan karena telur naupli tetap dapat hidup dalam kondisi kering selama beberapa tahun. Di samping itu jika ditempatkan dalam air laut selama 48 jam telur mudah menetas sehingga menghasilkan naupli dalam jumlah besar yg siap unhtk diuji (Carballo er a1 2002).Kematian yang terjadi pada Arten~ia salina post larva 1 hari setelah diinkubasi dengan menggunakan larutan sampel yang mengandung ekshak kasar aflatoksin disebabkan karena Artemia salina tersebut mengalami keracunan (toxicity) akibat senyawa bioaktif yang terkandung dalam aflatoksin. Larva udang b e m w 1 hari tersebut masih sangat sensitif (peka) terhadap adanya senyawa bioaktif toksik yang masuk dalam tubuhnya. Faktor lain yaitu sistem pertahanan (imun) tubuh yang dibentuk larva udang masih belum dapat menghambat dan mentoleransi kemcunan oleh senyawa aflatoksin B1 yang terpapar pada media hidupnya. Larva udang yang dinyatakan mati berdasarkan pengamatan menggunakan kaca pen~besar ditunjukkan dengan tidak adanya pergerakan (motilitas). Akibatnya dalam waktu inkubasi yang relatif cepat yaitu 24 jam dapat dihitung tingkat toksisitas LCSo menggunakan parameter analisis probit.
SIMPULAN
DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelilian yang dilakukan dengan mengambil sepuluh sampel kacang tanah secara acak (random) dari beberapa pasar di kawasan Bogor, Tangerang dan Depok pada tanggal 18 Oktober 2008 diketahui bahwa terdapat tiga sampel yang terdeteksi mengandung aflatoksin tipe B1 yaitu sampel C (pasar Ciampea), sampel E (pasar Parung), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang) menggunakan kromatografi lapis tipis. Berdasarkan nilai batas aman yang telah ditetapkan
(15
ppb) oleh FDA danWHO
maka ketiga sampel kacang tanah (sampel C, sampel E, sampel J) dinyatakan bersifat toksik untuk tubuh karena melebihi nilai batas aman.Uji toksisitas LCSO dengan menggunakan Arternia salina dilakukan pada sampel kacang tanah C, sampel kacang tanah E, sampel kacang tanah J yang telah terdeteksi mengandung aflatoksin BI. Dari hasil uji toksisitas dengan menggunakan Artemia