• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

www.parlemen.net

EXECUTIVE SUMMARY

Expert Meeting tentang Perubahan Paket Undang-Undang Politik

A. Gambaran Umum

Kegiatan expert meeting ini terselenggara atas kerjasama LSPP, CETRO, PSHK, dan IPC. Pertemuan ini dilakukan dengan harapan memperoleh gagasan terhadap hal-hal yang perlu didorong untuk perubahan paket UU Politik. Hari pertama expert meeting akan membicarakan UU Pemilu (UU No. 12 Tahun 2003), sedangkan hari kedua UU Partai Politik (UU No. 31 Tahun 2002) dan UU Susduk (UU No. 22 Tahun 2003).

Selama dua hari, kegiatan expert meeting mengambil tempat di ruang Papua lantai 15, Partnership. Durasi pertemuan rata-rata 6 (enam) jam, antara pukul 10.00 s/d 17.00 WIB dan alokasi waktu istirahat 1 (satu) jam dari pukul 12.00 s/d 13.00 WIB.

Peserta pertemuan adalah perwakilan dari NGO dan akademisi yang:

1. pernah terlibat dalam berbagai kegiatan kajian dan advokasi penyusunan paket UU Politik khususnya yang dipersiapkan menjelang Pemilu 2004; dan

2. melalui aktivitas/pengalaman dan kapasitas organisasi maupun individu, dapat berkontribusi terhadap upaya perbaikan sistem ketatanegaraan di Indonesia melalui revisi paket UU Politik.

Jumlah peserta pertemuan untuk satu harinya ditargetkan 30 orang. Berdasarkan absensi peserta, pada hari pertama expert meeting, sebanyak 26 orang yang hadir, sedangkan pada hari kedua 21 orang. Adapun perwakilan NGO yang hadir antara lain LSPP, IPC, CETRO, CSIS, KRHN, ICW, TII, FORMAPPI, DEMOS, LIMA, PATTIRO, Ide Indonesia, dan Yappika.

Metode diskusi yang digunakan selama berlangsungnya expert meeting cukup sederhana. Difasilitasi oleh satu orang fasilitator, narasumber menyampaikan secara singkat daftar isu atau pokok pembicaraan tiap UU. Pada hari pertama, CETRO mempresentasikan beberapa poin penting dalam konteks perubahan UU Pemilu dan UU Parpol, sedangkan pada hari kedua, PSHK mengetengahkan UU Susduk untuk dikritisi. Diskusi pleno dipimpin oleh fasilitator setelah satu persoalan disampaikan narasumber. Ada alokasi antara 10 s/d 15 menit yang diberikan kepada peserta expert

meeting untuk menanggapi apa yang sampaikan oleh narasumber. Kritik dan masukan

peserta dicatat dan dirangkum oleh narasumber, dibantu tenaga dua orang notulis. B. Output

Kegiatan expert meeting ini berupaya menghasilkan output:

1. Kalangan NGO dan akademisi memperoleh pemahaman tentang perkembangan proses dan isu-isu krusial dalam persiapan penyusunan paket UU Politik.

2. Studi komprehensif tentang revisi paket UU Politik.

(2)

www.parlemen.net

C. Isu

Adapun daftar isu yang menjadi pokok pembicaraan selama kegiatan expert meeting ini berlangsung, untuk UU Pemilu meliputi:

1. Kodifikasi UU Pemilu;

Æ Mengusulkan “penyatubukuan” ketiga UU Pemilu (yaitu UU Pemilihan Anggota Legislatif, UU Pemilihan Presiden, dan UU Pemilihan Kepala Daerah), minus UU Penyelenggara Pemilu tersendiri. Ditambah pula dengan identifikasi terhadap keuntungan kodifikasi UU Pemilu

2. Sistem pemilihan;

Æ Mendorong penerapan sistem proporsional dengan calon daftar terbuka (yang konsisten). Hal yang harus diperhatikan adalah tidak lagi menggunakan batasan dalam penetapan calon terpilih dan penetapan pemenang sepenuhnya didasarkan perolehan suara perseorangan calon.

3. Electoral Treshold (khususnya untuk calon presiden);

Æ Mempertanyakan apakah electoral treshold perlu dinaikkan lebih dari 3% untuk partai politik peserta pemilu? Ataukah yang diberlakukan justru parliament

treshold? Sedangkan untuk calon presiden, pilihan treshold-nya apakah syarat 15%

atau 20% perolehan suara pemilu DPR dalam pencalonan perlu ditingkatkan? 4. Calon independen;

Æ Mempertanyakan tentang kemungkinan dibukanya calon independen dalam Pilkada dan apa saja persyaratannya?

5. Partai lokal;

Æ Mempertanyakan kemungkinan pembentukan partai politik lokal, apa saja persyaratannya, dan level pemilu apa yang bisa diikuti?

6. Peningkatan representasi perempuan;

Æ Menegaskan apakah pencalonan minimal 30% perempuan dalam pemilu legislatif perlu diwajibkan dan apakah perlu diberlakukan sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhinya dan dalam bentuk apa.

7. Keuangan kampanye partai politik;

Æ Mempertanyakan tentang sistem pengaturan yang memungkinkan keuangan partai politik mandiri dan akuntabel.

8. Penyelesaian pelanggaran pemilu; dan

Æ Mempertanyakan aturan pengawasan pelaksanaan pemilu serta peran polisi dan jaksa dalam memproses pelanggaran pemilu.

9. Waktu pemilihan.

Æ Diantara ketiga pemilu tersebut, bagaimana idealnya alokasi waktu pelaksanaan? Serta mempertanyakan juga ruang lingkup pemilu tersebut (nasional vs lokal atau eksekutif vs legislatif).

Sedangkan isu untuk UU Partai Politik mencakup: 1. Syarat pendirian partai politik;

Æ Kemungkinan adanya perubahan syarat pendirian partai politik dan syarat minimal keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik beserta sanksi bila tidak terpenuhi kuota minimal tersebut.

(3)

www.parlemen.net

2. Partai lokal;

Æ Seberapa besar peluang didirikannya partai politik lokal. Seandainya memungkinkan, apa saja syarat pendiriannya dan level pemilu mana yang bisa diikuti.

3. Demokrasi internal dan;

Æ Mempertanyakan tentang seberapa penting dan rinci aturan yang mendukung terciptanya demokrasi internal partai politik? Dalam bentuk apa dan seberapa jauh jika dihadapkan pada independensi partai politik, kaitannya dengan AD/ART partai politik? Di tingkat/wilayah apa aturan dimaksud diberlakukan? (pemilihan pengurus, caleg atau calon kepala daerah?) Seandainya tidak terpenuhi sanksi apa yang bisa dikenakan dan siapa yang berhak menegakkan aturan/sanksi tersebut? 4. Keuangan partai politik;

Æ Mempertanyakan apakah bantuan negara selama ini terhadap partai politik tetap dipertahankan? Apakah perlu mekanisme baru seandainya “subsidi” negara ditambah atau malah dihilangkan? Bagaimana pula mekanisme pertanggungjawabannya?

Dari UU Susduk, beberapa isu yang diangkat dan dibicarakan selama expert meeting antara lain:

a. Alat kelengkapan DPR/DPD;

Æ Mempertanyakan peran Pimpinan DPR/DPD dan Komisi sebagai “koordinator” dan juru bicara (speaker of the house) dan peran fraksi di DPR.

b. Keberadaan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR;

Æ Mendorong supaya Setjen DPR tidak lagi berada di bawah pemerintah (supaya orientasinya melayani anggota DPR dan masyarakat).

c. Keuangan DPR/DPD;

Æ Menciptakan keuangan DPR dan DPD yang lebih transparan dan jelas pertanggungjawabannya melalui kewajiban audit dan pengumuman laporan keuangan tahunan.

d. Jabatan rangkap;

Æ Menegaskan kembali larangan rangkap jabatan sebagaimana yang diatur dalam UU Susduk dan penambahan jenis jabatan atau profesi yang tidak boleh dirangkap yaitu Ketua DPP partai politik dan advokat.

e. Pengambilan keputusan dan;

Æ Mendorong ketentuan bahwa pertama, semua rapat pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali ditentukan sebaliknya dengan adanya justifikasi yang diumumkan kepada publik, kedua, mekanisme partisipasi publik, dan ketiga, kewajiban DPR dan DPD membuka informasi tertentu kepada masyarakat.

f. Monitoring dan evaluasi.

Æ Memperjelas peran Badan Kehormatan (BK) dan membuatnya terkait dengan masyarakat. Selain itu mewajibkan pula BK menerbitkan laporan tahunan.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Adanya gagasan kodifikasi UU Pemilu mengarah pada sistem baru yang komprehensif. Kodifikasi akan menghilangkan pengaturan kontradiktif padahal

(4)

www.parlemen.net

Kehadiran tiga UU Pemilu (UU Pemilu Anggota Legislatif, UU Pilpres, UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur pula soal Pilkada) akan membuka praktek “dagang sapi”. Manuver ini akan berkurang jika UU Pemilu dibentuk dalam satu naskah. Sebagai pengaturan yang komprehensif maka akan memudahkan penggunanya. Hal yang tidak kalah penting adalah proses legislasi akan menjadi lebih cepat dan lebih murah. Beberapa rekomendasi penting menanggapi perlunya kodifikasi UU Pemilu antara lain:

1. Semangat dari penyatuan ketiga UU Pemilu (UU Pemilu Anggota Legislatif, UU Pilpres, UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur pula soal Pilkada) terletak pada ketentuan sistematis tiap UU, misalkan sistem Pemilu legislatif dan presiden berbeda tetapi di satu sisi memunculkan kesamaan. Hal prinsipil yang bisa ditemukan di ketiga UU Pemilu misalkan pendaftaran pemilih, pemungutan, dan penghitungan suara.

2. Ketiga UU Pemilu tersebut memiliki karakter masing-masing dan tingkat permasalahan yang berbeda-beda. Yang perlu diperhatikan adalah pembahasan ketiga UU tersebut harus paralel.

3. Dalam upaya kodifikasi UU Pemilu, memperhatikan pula asas good governance dan identifikasi terhadap kemungkinan perbedaan dalam metode analisisnya.

Mengenai UU Partai Politik, beragam isu dibicarakan, mulai dari keluhan karena partai politik terlalu banyak dan hanya memikirkan kepentingannya saja sampai dengan partai politik yang tidak memperhatikan perempuan.

Berbagai sisi ditelusuri guna memperbaiki kinerja partai politik. Misalnya pertama, syarat pendirian partai politik. Apakah aturan dalam UU No. 31 Tahun 2002 ada yang perlu diubah? Apakah kemudian partai politik harus dibatasi sehingga syaratnya harus diperketat? Tidak itu saja, jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam partai politik perlu dipastikan dalam UU, bukan hanya memperhatikan kesetaraan dalam kepengurusan partai politik. Apakah perlu ada sanksi bagi suatu partai politik jika tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan.

Kedua, partai politik lokal perlu diakomodir meski belum terbentuk aturannya. Di

tempat lain kebutuhan ini juga dirasakan. Apakah ini perlu digagas? Ketiga, sering dikeluhkan juga partai politik tidak demokratis dan punya masalah internal. Aturan apa yang perlu kita dorong sehingga partai politik bisa dipagari dan bertindak lebih demokratis? Misalkan aturan tentang penentuan kepengurusan atau bagaimana mereka mengambil keputusan. Apakah pengaturannya perlu di tingkat undang-undang atau cukup AD/ART partai politik, yang notabene tidak bisa kita sentuh?

Keempat, partai politik mempunyai persoalan dengan keuangan dan lebih parahnya

(5)

www.parlemen.net

Beberapa rekomendasi menanggapi pentingnya perubahan kedua UU tersebut antara lain:

1. Isu keterwakilan perempuan harus mendapatkan porsi perhatian di UU Politik dan UU Susduk, tidak cukup sebatas kepemilikan kader dan restrukturisasi kepengurusan partai politik.

2. Membatasi partai politik tidak harus berkutat pada syarat pendiriannya saja, namun juga identifikasi terhadap partai politik dengan basis organisasi yang kuat dan memiliki modal yang cukup untuk membangun partai politik. Sempat terusulkan supaya setiap partai politik menyetor minimal 20 miliar.

3. Hal terpenting soal keuangan partai politik sebenarnya terletak pada ketersediaan rekening partai politik sejak awal untuk tahu saldo pertama. Dari situ akan kelihatan praktek money politics atau tidak.

4. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sudah mengatur mengenai pengambilan keputusan internal partai politik yang harus dijalankan secara demokratis. Pengambilan keputusan di tingkat lokal seharusnya didesentralisasikan ke pengurus lokal, jangan semua ditarik ke pusat (DPP). Ada partai politik yang memberi kewenangan pada pemimpin pusat untuk mem-veto dan mengambil keputusan. Kalau mau ditambahkan aturan tentang kepengurusan partai politik, maka mana saja yang mau diberikan ke pengurus daerah?

5. Dalam hal keuangan partai politik, jika peraturan menentukan yang mendapatkan bantuan dari negara adalah hanya yang mendapat kursi maka partai-partai kecil bisa mati. Seandainya ketentuan ini ingin dipertahankan maka harus ada batas maksimum dan batas minimum. Concern lainnya adalah praktek partai politik yang belum pernah melakukan mekanisme pertanggungjawaban atas sumbangan negara itu.

Beberapa isu strategis dalam UU Susduk yang didiskusikan yaitu: 1. Perlunya sistem monitoring dan evaluasi pada DPR dan DPD;

2. Sistem rekruitmen yang dapat menghasilkan anggota DPR dan DPD dengan kapasitas yang baik dalam menjalankan fungsinya dan semaksimal mungkin mewakili massa pemilih;

3. Sistem kerja dan pengambilan keputusan di DPR dan DPD harus lebih transparan dan partisipatif;

4. Pengaturan soal kewajiban dan tugas. Tidak hanya normatif, namun harus lebih dirinci supaya lebih implementatif; dan

5. Wewenang DPD yang terbatas.

Terhadap isu di atas, beberapa rekomendasi disampaikan oleh peserta pertemuan, antara lain:

1. Kelembagaan di DPR mengikuti fungsi yang dimilikinya yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, yang kemudian didukung oleh kesekretariatan yang menunjang.

2. Penambahan fungsi DPR selain tiga fungsi yang sudah melekat selama ini, yaitu fungsi representasi. Kelemahan banyak anggota DPR ialah lupa dimana posisi dia. Jadi, fungsi representasi ini harus didorong untuk disadari oleh anggota DPR.

(6)

www.parlemen.net

4. Struktur Setjen DPR ditentukan pemerintah dan itu berlaku di semua instansi. Seharusnya hal demikian diubah karena ada implikasi berupa anggaran saat struktur Setjen DPR ditentukan oleh MenPAN. Struktur pemerintah menggunakan sistem departemen, padahal fungsi lembaga Sekjen itu berbeda. Dalam konteks DPR memang perlu ada fungsi yang sifatnya administratif. Tapi yang berbeda adalah fungsi yang sesuai dengan DPR seperti legislasi, budgeting, dan pengawasan. Maka yang diperlukan adalah profesi yang berhubungan seperti auditor dan ahli perusahaan yang ekspert di bidangnya.

5. Rekrutmen Sekjen DPR harus berdasar ketentuan fit and proper test. Jadi bukan orang yang pada awalnya ingin naik eselon, tidak harus dari internal DPR. Lalu rekrutmen bagi staf subtantif harus memenuhi standar tertentu untuk menghindari praktek penempatan staf ahli secara nepotisme oleh anggota DPR.

6. Perlu ada penelitian khusus tentang kebutuhan dana pembahasan suatu undang-undang. Di samping itu juga, untuk meningkatkan kualitas dan produk DPR, harus ada upaya mensinkronkan anggaran dengan output.

7. Terobosan penting lainnya yang terungkap adalah keharusan public disclosure yang bertujuan membuktikan seorang anggota DPR tidak menerima dana dari pihak manapun yang akan menimbulkan conflict of interest.

8. Pada aspek pengambilan keputusan, fakta yang selama ini dihadapi adalah anggota DPR selalu mencari justifikasi bahwa suatu rapat dilangsungkan secara tertutup. Untuk itu, perlu dibuat kriteria mana rapat yang besifat terbuka dan tertutup.

9. Dalam konteks monitoring dan evaluasi, Badan Kehormatan (BK) perlu dilengkapi dengan kewenangan mengeksekusi sendiri putusan.

10. Mekanisme recall sekarang ini dilakukan melalui partai politik. Ke depannya, perlu didorong supaya recall dapat juga melalui BK.

11. Komposisi keanggotaan BK diisi juga oleh perwakilan masyarakat (seperti halnya BK di profesi advokat).

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembentukan agama di lingkungan keluarga pada subyek dimulai sejak ia dilahirkan, orangtua mengajarkan dan mengenalkan mengenai nilai-nilai agama yang baik

Bedasarkan latar belakang permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka penulis menetapkan didapatkan judul penciptaan karya fotografi yang berjudul “Metafora Mainan

Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat unit LPSE adalah unit yang melayani proses pengadaan Barang/Jasa secara elektronik di lingkungan Badan

The Boston Consulting Group memproyeksi kebutuhan dana investasi proyek infrastruktur sampai 5 tahun ke depan di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang akan dibelanjakan oleh

Sebagaimana terlihat pada gambar 4.6 di atas, bahwa hipotesis H 0 di terima, yang berarti bahwa model yang diajukan pada penelitian ini adalah fit atau dapat

Analisis yang digunakan adalah model persamaan struktural (SEM) dan terlebih dahulu dilakukan analisis faktor konfirmatori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi

• Kelestarian fungsi produksi : Pengelolaan hutan yang mampu menjamin kelestarian usaha melalui pengaturan hasil dari sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable forest

Perlakuan kombinasi bakteri endofit dan IAA tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan berat tanaman padi varietas Inpari 13 disebabkan karena kondisi air yang