• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Talas (Colocasia esculenta (L.) merupakan salah satu umbi umbian yang banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Talas (Colocasia esculenta (L.) merupakan salah satu umbi umbian yang banyak"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Talas

Talas (Colocasia esculenta (L.) merupakan salah satu umbi – umbian yang banyak ditanam di Indonesia. Umbi talas merupakan tanaman asli dari daerah tropis yang memiliki sifat perennial herbaceous, yang merupakan tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah tropis diantara India dan Indonesia. Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat daerah Pasifik, seperti New Zealand dan Australia (Matthews, 2004).Di kepulauan Pasifik Selatan (Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Fiji, Samoa dan sebagainya) talas merupakan salah satu tanaman penting, sementara di Indonesia dan negara – negara asia lainnya, talas umumnya lebih dikenal sebagai bahan pangan untuk kudapan atau bahan sayuran. Perannya sebagai makanan pokok kini hanya dijumpai di beberapa daerah saja seperti kepulauan Mentawai dan Papua (Richana, 2012).

Gambar 1. Umbi Talas (Sumber : Rizkiya dkk., 2020) Taksonomi tumbuhan talas adalah sebagai berikut (Koswara, 2013) : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Class : Monocotyledoneae Ordo : Arecales Famili : Areceae Genus : Colocasia

▸ Baca selengkapnya: salah satu teknik pengolahan bahan serealia dan umbi-umbian menjadi makanan siap dikonsumsi yaitu …

(2)

Spesies : Colocasia esculenta

Budidaya talas dapat dilakukan di daerah yang beriklim kering (curah hujan rendah) dan daerah beriklim lembab (curah hujan tinggi). Untuk pertumbuhan talas, curah hujan optimumnya adalah 175 cm/tahun. Tanaman talas mudah tumbuh pada lingkungan yang bersuhu 25 - 30°C, dengan pH 5,5 – 6,5 di kelembapan tinggi dan drainase tanah yang baik. Talas dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1300 mdpl. Umbi talas banyak dibudidayakan di Indonesia, karena tanaman talas ini dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan tidak banyak memerlukan air. Tanaman ini dapat dijadikan tanaman sela dan dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi.

Talas memiliki keanekaragaman genetic yang luar biasa banyaknya. Hal tersebut tercermin pada variasi bentuk, ukuran, dan warna daun, umbi, maupun bunganya, serta sifat fisiko-kimia, fisiologi dan agronominya serta rasa umbi, sifat gatal akibat getah umbi talas yang mengandung zat kalsium oksalat, umur panen, ketahanan hama atau penyakit, toleransi terhadap kekeringan atau genangan air. Umbi talas terdiri atas tiga bagian yaitu kulit luar, korteks atau kulit dalam, dan daging. Daging umbi talas mempunya warna yang bervariasi seperti kuning muda, kuning tua, orange, merah muda sampai ungu, atau merupakan kombinasi antara putih dengan ungu. Tanaman ini dipanen umbinya setelah berumur 6-9 bulan. Disekitar umbi induk dapat tumbuh anakan yang berbentuk sulur dengan arah ke samping. Ujur sulur akan muncul ke permukaan tanah dan tumbuh sebagai anakan talas di sekitar tanaman induknya.

Jenis umbi talas yang biasa dibudidayakan yaitu talas Bogor. Talas Bogor memiliki banyak varietas, seperti talas bentul, talas ketan, talas mentega, talas pandan, talas lampung, talas loma, talas paris. Talas yang paling banyak dibudidayakan secara komersial adalah talas bentul karena hasilnya yang tinggi dan cocok bila digoreng ini pun dibuat keripik. Bogor sebagai sentra utama produksi talas nasional belum terlihat berupaya untuk meningkatkan nilai tambah terhadap komoditi talas yang dimilikinya (Waluyo, 2002).

(3)

Umbi talas memiliki banyak bentuk, ukuran, warna daging, tekstur dan rasanya. Bentk umbi talas ada yang lonjong, bulat, hamper bulat. Berat umbi talas berkisar 0,25 sampai 6 kg, tergantung dari kultivar, kesuburan tanah, umur panen dan cara budidayanya. Warna daging umbi talas bermacam – macam, ada yang berwarna putih, kuning dengan atau tanpa serat-serat yang bewarna ungu. Rasa umbi talas juga bervariasi, dari yang tidak enak dan gatal sampai yang gurih, pulen, enak serta beraroma kuat dan khas (wangi) talas (Burdani, 2001).

Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi (20 g/kg) dibandingkan ubi kayu dan ubi jalar yang hanya separuhnya (Parkinson, 1984). Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah sedikit yaitu terkandung vitamin A, B1 (Thiamin) dan sedikit vitamin C, serta terkandung mineral Ca dan P yang cukup tinggi. Mineral – mineral ini penting bagi pembentukan tulang dan gigi yang kuat. Kandungan gizi umbi talas dalam 100gr umbi segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi Talas (dalam 100 gram)

Kandungan Gizi Talas mentah Talas rebus Talas kukus

Energi (kal) 98,00 - 120,00 Protein (g) 1,90 1,17 1,50 Lemak (g) 0,20 0,31 0,30 Karbohidrat (g) 23,70 29,31 28,20 Kalsium (mg) 28,00 - 31,00 Fosfor (mg) 61,00 - 63,00 Besi (mg) 1,00 - 0,70 Vitamin A (mg) 3,00 - - Vitamin C (mg) 4,00 - 2,00 Vitamin B1 (mg) 0,13 - 0,05 Air (g) 73,00 61,00 69,20

Bagian yang dimakan 85,00 - 85,00

Sumber : Misnani (2011) 2.1.1 Kultivar talas

Kultivar talas banyak ragamnya, terutama didaerah – daerah yang merupakan sentra produksi talas seperti di Malang, Bogor, Lampung, Sulawesi (Selatan dan Utara), Kepulauan Mentawai, dan Papua. Menurut Ermayuli (2011), talas di Indonesia terbagi menjadi beberapa, yaitu :

(4)

1. Talas Bogor (Colocasia esculenta L. Schoott)

Pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah. Bunga terdiri atas tangkai seludang dan tongkol. Bunga betinanya terletak di pangkal tongkol, bunga antan di sebelah atasnya, sedang diantaranya terdapat bagian yang menyempit. Tanaman dipanen setelah berumur 6 – 9 bulan. Hasil per-rumpun sangat bervariasi yaitu berkisar 0,25 – 6 kg. 2. Talas Sutra

Talas sutra memiliki daun yang halus dan bewarna hijau muda, pelepah daun bewarna putih dibagian pangkalnya. Bila umbinya direbus maka akan lembek dan bewarna putih. Ciri khasnya terletak pada permukaan atas helaian daunnya yang hijau mengkilat seperti minyak, sehingga mudah dibedakan dai talas – talas lainnya. Umbinya bulat lonjong, beratnya antara 0,5 – 3 kg. umur panen sekitar 6 – 7 bulan. Memiliki kandungan pati 70 – 80%.

3. Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch)

Batang umbi (panjangnya dapat menapai 120 cm dengan berat 42 kg dan ukuran lingkar luar 50 cm), kandungan oksalatnya yang tinggi.

4. Talas Kimpul atau Talas Belitung (Xanthosoma sagitifolium)

Kimpul tergolong tumbuhan berbunga “Agiospermae” dan berkeping satu monokotil. Daunnya hijau muda kaena tangkai daunnya yang hijau muda mempunyai garis ungu. Bentuk umbi kimpul silinder hingga agak bulat, terdapat ruas dengan beberapa bakal tunas. Kulit umbi mempunyai tebal sekitar 0,01 – 0,1 cm, sedangkan korteksnya setebal 0,1 cm.

5. Talas Bentul

Talas bentul memiliki batang yang mengecil dibagian atas umbi, pelepah berwarna hijau dan memiliki garis hitam keunguan. Umbi berbentuk bundar dengan daging umbi berwarna kuning dan terasa gatal jika direbus.

(5)

6. Talas Ketan Hitam

Talas jenis tangkai daunnya bewarna ungu tua. Umbinya bulat lonjong dan daging umbinya putih. Umur panen sekitar 7 bulan.

7. Talas Semir

Talas khas Sumedang. Talas ini memiliki ciri khas pada pangkal ujung daunnya bewarna kemerah – merahan. Umbinya bulat, umur panen sekitar 7 bulan.

2.2 Pati Talas

Umbi talas dapat diolah menjadi pati talas. Pati umbi talas dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku industri makan seperti kripik, biskuit, cookies, dan lain-lain. Pati umbi talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet karena daya mengikat airnya yang lebih tinggi (Richana, 2012). Pembuatan pati talas ini dapat dilakukan dengan mencuci dan mengupas umbi talas segar, kemudian dipotong kecil dan direndam dalam air garam yang selanjutnya dilakukan beberapa tahap untuk mendapat kualitas tepung yang baik (Wulandari, 2011).

Pada umumnya, tepug yang biasa digunakan oleh masyarakat luas adalah tepung terigu yang berbahan dasar dari gandum, namun sampai saat ini gandum masih sulit tumbuh di Negara Indonesia sehingga tepung terigu masih harus diimpor dari negara lain. Menurut Rahmawati (2012), bahwa kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting pada tepung baik sebagai bahan pangan maupun non pangan. Kadar pati di hasilkan pada umbi talas sekitar 80% dan kadar pati pada tepung talas sekitar 75%. Pemanfaatan tala sebgai tepung talas meupun pati talas akan meningkatkan nilai ekonomis dan daya simpan produk talas.

2.3 Pati

Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan menggunakan air panas. Fraksi tersebut yaitu fraksi terlarut yang disebut amilosa dan fraksi tidak terlrut disebut amilopektin

(6)

(Winarno, 2004). Pati tersebut dapat dihasilkan dengan berbagai cara, yaitu dari bahan baku yang digunakan dan manfaat dari pati itu sendiri.

Gambar 2. Struktur Kimia Pati

(Sumber : http://eprints.umm.ac.id/44286/3/BAB%20II.pdf)

Umbi talas mengandung pati sekitar 18,2%, sedangkan kandungan gulanya sekitar 1,42%. Karbohidrat pada umbi talas sebagian besar merupakan komponen pati, sedangkan komponen lainnya pentosa, serat kasar, dekstrin, sukrosa, dan gula pereduksi. Pati talas mengandung amilosa sebesar 17-28%, dan sisanya adalah amilopektin. Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22 unit glukosa per molekul. Talas mempunyai granula pati sangat kecil yaiu berkisar 3-4 μm. Komposisi pati talas dipengaruhi oleh varietas iklim, kesuburan tanah, umur panen dan lain sebagainya (Richana, 2012).

Sifat pati dan parameter proses saling berinteraksi dalam proses produksi dan hal tersebut menentukan komposisi produk akhir yang selanjutnya akan menentukan kespesifikan arah dan nilai pemanfaatannya. Sifat fungsional pati yang penting adalah kemampuan mengentalkan dan membentuk gel (Honestin, 2007).

(7)

Tabel 2. Sifat Fisik dan Kimia Berbagai Jenis Pati

Jenis Pati Bentuk Granula

Ukuran Granula (μm)

Kandungan (rasio) Suhu Gelatinisasi (°C) Amilosa Amilopektin Arrowroot Oval 10,05 ± 0,32 19 81 72,7 – 75,9 Oats - - 27 73 56 - 62 Sorghum - 21 - 34 66 – 79 69 – 75

Gandum Elips Feb-35 25 75 52 – 85

Sagu Elips agak

terpotong 20 - 60 27 - 23 73 - Ubi Jalar Poligonal 16 - 25 18 82 88,5 Kentang Bundar 15 - 100 24 76 58 – 65 Pati

Jagung Polygonal 25-May 26 74 62 – 80 Sumber : Belitz dan Grosch (1999)

Proses utama dalam pembuatan pati yaitu perendaman, disintegrasi dan sentrifugasi. Perendaman dapat dilakukan dengan larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna dari ubi yang digunakan. Pada tahap disintregasi dan sentrifugasi digunakan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui, 2006).

Tahapan pembuatan pati yaitu pengupasan dari kulitnya, pencucian, pemotongan, penghalusan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, pencucian, pengeringan, penghalusan, dan pengayakan. Proses pengupasan dan pencucian berfungsi untuk membersihkan umbi dari kulit dan kotoran yang menempel pada umbi. Pemotongan umbi berfungsi untuk memudahkan proses penghalusan umbi, dan penghalusan berfungsi untuk merusak jaringan umbi dan sel-sel umbi agar pati dapat keluar.

Pati tersusun paling sedikitnya 3 komponen utama, diantaranya amilosa, amilopektin dan material lain seperti protein dan lemak. Secara luas pati mengandung 15-30% amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% material antara (Bank dan greenwood, 1975). Di Indonesia, sumber utama pati yaitu beras. Adapun sumber pati lainnya yaitu dari umbi-umbian,

(8)

biji-bijian, sayur-sayuran, buah-buahan dan lain-lain. Pati yang sering digunakan ada dua macam yaitu pati alami (native starch) dan pati modifikasi.

2.3.1 Pati Alami

Pemanfaatan pati asli masih sangat terbatas karena sifat fisik dan kimianya kurang sesuai untuk digunakan secara luas. Oleh karena itu, pati akan meningkat nilai ekonominya jika dimodifikasi sifat-sifatnya melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya (Liu et al. 2005).

1.2.1 Pati Modifikasi

Pati termodifikasi adalah pati yang gugus OH-nya telah mengalami perubahan reaksi kimia. Menurut Charalambous (1995), menyatakan bahwa amilosa dan amilopektin mempunyai perbedaan pada sifat kelarutannya dalam air. Amilosa sulit terlarut dan tidak stabil pada larutan air, membentuk agregat dan akan mengalami pengerasan (retrogradasi) tidak seperti amilopektin, karena cabang dari struktur lebih stabil dan lebih sedikit mengalami pengerasan.

Pada pengolahan pangan, produk pati dan turunan pati mempunyai nilai nutrisi dan memberikan sifat fungsional. Pati dan turunannya mengatur atau mengontrol keindahan dan sifat organoleptik dari beberapa proses pengolahan pangan. Penambahan pati termodifikasi atau turunan pati ke dalam makanan bertujuan untuk memudahkan proses pengolahan, pemberi tekstur, pengental, mengatur kadar air, konsistensi, dan stabilitas daya simpan serta menghasilkan kenampakan yang diinginkan (Hui, 2006).

2.4 Modifikasi Pati

Modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor, yaitu : suhu, tekanan, pemotongan dan kadar air pada pati. Prinsip dari modifikasi fisik pati secara umum adalah pemanasan. Apabila dibandingkan dengan modifikasi secara kimia, modifikasi secara fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan bahan atau pereaksi kimia. Perlakuan

(9)

modifikasi secara fisik diantaranya, yaitu : steam-cooking, irradiasi microwave, pemanggangan, hydrothermal treatment, ekstruksi, praboiling dan autoclaving (Sajilata et al. 2006; Bao dan Bergman 2004).

Sebagian besar metode modifikasi secara fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al, 2006). Metode steaming cooking dan praboiling umumnya diaplikasikan pada beras. Metode ekrtuksi merupakan metode yang paling popular digunakan untuk memodifikasi karakteristik fungsional pati serelia. Prosesnya menggunakan suhu yang tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air yang rendah (Bao dan Bergman, 2004).

Metode hydrothermal-treatment terdiri dari annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Prinsip metode ini, menggunakan air dan suhu panas untuk memodifikasi pati. Pada annealing, modifikasi dilakukan dengan menggunakan jumlah air yang banyak (lebih dari 40%) dan dipanaskan pada temperature dibawah suhu gelatinisasi pati (Zondag, 2003). Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) ini dapat meningkatkan ketahanan pati terhadap panas, perlakuan mekanis, dan pH (Taggart, 2004). Melalui peningatan suhu gelatinisasi dan penurunan kapasitas pembengkakan granula pati. Pada Teknik ini, pati dengan kadar air terbatas (<35%) dipanaskan diatas suhu transisi gelas, namun masih di bawah suhu gelatinisasi dalam periode waktu tertentu. Dari perlakuan tersebut dapat menyebabkan perubahan konformasi pada molekul pati yang menghasilkan struktur kristalisasi yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi. Menurut Purwania dkk,. (2006) pembuatan pati termodifikasi dengan Teknik HMT, yaitu pati mula-mula dilembabkan dengan penambahan air hingga mencapai kadar air 25%. Pati selanjutnya di oven pada suhu 110°C selama 16 jam, dengan sekali-kali dilakukan pengadukan guna untuk meratakan pemanasan. Pati yang telah melalui proses pemanasan selanjutnya dikeringkan dengan suhu 50°C selama 12 jam, untuk menurunkan kadar airnya. Sifat fisiko-kimia maupun fungsional pati HMT dipengaruhi jenis

(10)

pati yang digunakan sebagai bahan baku serta proses proses pengolahannya. Dari aspek jenis bahan baku, beberapa faktor yang berpengaruh, yaitu : sumber pati, kadar amilosa dan tipe kristalisasi pati (Gunaratne dan Hoover, 2002). Dan dari segi aspek pengolahan, faktor yang mempengaruhi yaitu : suhu, kadar air, pH dan lama waktu prosesnya (Pukkahuta dan Varavinit, 2007).

Penggunaan pati termodifikasi pada pembuatan produk pangan dapat meningkatkan kualitas maupun nilai fungsional produk pangan tersebut (Saguilan, dkk., 2005). Beberapa hasil penelitian menunjukkan, pati termodifikasi dapat menurunkan daya cerna pati tersebut yang biasa dikenal dengan Resistant Starch (RS). RS diketahui mempunyai sifat fisiologis yang baik bagi Kesehatan seperti mencegah kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotic, memiliki efek hipokolesterolemik dan menghambat akumulasi lemak (Sajilata, et al., 2004).

2.5 Heat Moisture Treatment (HMT)

Heat Moisture Treatment (HMT) adalah salah satu metode modifikasi pati secara fisik yang menggunakan suhu panas diatas suhu gelatinisasinya dengan kondisi kadar air terbatas atau dibawah 35% dengan lama waktu pemanasan tertentu (collado et al, 2001). Modifikasi dengan HMT telah dibuktikan dapat meningkatkan ketahanan pati terhadap panas, perlakuan mekanis, dan pH asam (Taggart, 2004). Melalui peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan kapasitas pembengkakan granula. Pada Teknik HMT ini, pati dengan kadar air terbatas (< 35%), perlakuan tersebut menyebabkan perubahan konformasi molekul pati yang menghasilkan struktur kristalisasi yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi.

Sifat fisiko-kimia maupun fungsional pati HMT dipengaruhi jenis bahan baku yang digunakan pada saat modifikasi. Dari aspek jenis bahan baku, ada beberapa faktor yang berpengaruh yaitu seperti sumber pati, kadar amilosa dan tipe kristalisasi pati (Gunaratne dan Hoover, 2002). Dari aspek pengolahan, faktor yang mempengaruhi yaitu suhu, kadar air, pH

(11)

dan lama waktu proses pemanasan (Pukkahuta dan Varavinit, 2007). Kombinasi antar berbagai faktor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik fisik kimia yang berbeda, yaitu :

1. Pengaruh sumber pati. Pati dari sumber yang berbeda memiliki proporsi amilosa dan amilopektin yang berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosa dan amilopektin tersebut memungkinkan mempengaruhi sinsifitasnya terhadap pengaruh modifikasi dengan Teknik HMT. Dengan perbedaan Panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin didalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi kemudahan perubahan pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air.

2. Pengaruh kadar air. Peningkatan penambahan kadar air pada pati menyebabkan meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan viskositas puncak, meningkattkan penurunan viskositas panas, meningkatkan penurunan setback, meningkatkan penurunan breakdown dan menghasilkan pati dengan profil yang mendekati pati dengan tipe C (Adebowale, 2005).

3. Pengaruh suhu dan kadar air. Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin didalam granula dengan air. Imbibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antar molekul, amilosa – amilosa, amilosa – amilopektin, maupun amilopektin – amilopektin. Ikatan hidrogen antar molekul tersebut kemudian digantikan dengan ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama proses modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.

4. Pengaruh suhu dan waktu. Adanya interaksi antara waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi dalam penelitian Ahmad (2009), modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110°C selama 16 jam dapat menghasilkan pati

(12)

termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C. 2.6 Granula Pati

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran) yang berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran, keseragaman, letak hilum bersifat khas untuk setiap jenis pati, oleh karena itu dapat digunakan untuk identifikasi dan demikian juga dengan sifat birefringen dari masing-masing pati berbeda.

Gambar 3. Granula Pati (Sumber : Safitri dkk., 2019)

Bentuk butiran pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Bank dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara kesuluruhan (Hodge dan Osman, 1976). Sampai saat ini diduga bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati (Bank et al., 1973).

Pemeriksaan dengan polarizing microscope memeperlihatkan bahwa pati dengan amilopektin tinggi tetap memperlihatkan pola birefringen-nya seperti pati normal, sementara pati dengan kandungan amilosa yang tinggi dan tidak memperlihatkan pola seperti dari normal (Baker dan Whelan, 1950).

(13)

2.7 Amilosa

Amilosa merupakan homogililikan D-glukos dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranca, yang membentuk rantai lrus umumnya dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna (Bank, 1973), β-amilase menghidrolisis amilosa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menjadi maltose.

Gambar 4. Struktur Amilosa (Sumber : https://kanalpengetahuan.tp.ugm.ac.id/berita-populer/2017/42-gelatinisasi-pada-mie.html)

Banyak satuan glukosa dalam setiap rantai tergantung pada sumbernya. Biasanya setiap rantai mengandung 850 atau lebih unit glukosa dan dari setiap rantai lurus tersebut terdapat satu titik cabang ikatan α-(1,6) glikosida. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan.

Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan membentuk koil yang sangat Panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya inteaksi iodamilosa membentuk warna biru (Rundle dan Foster, 1944). 2.8 Amilopektin

Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4 - 5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976).

(14)

Gambar 5. Struktur Amilopektin (Sumber : Moran et al., 2012)

Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul amilopektin bervariasi tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon ke-6 dari cincin glukosa (Greenwood dan munro, 1979).

Amilopektin dan amilosa mempunya sifat fisik yang berbeda. Amilosa lebih mudah larut dalam air dibandingkan amilopekin. Bila amilosa direaksikan dengan larutan iod akan membentuk warna biru tua, sedangkan amilopektin akan membentuk warna merah.

Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas.

2.9 Standar Mutu Pati

Pati talas mulai berkembang di Indonesia, oleh sebab itu dibutlah pendekatan standar mutu untuk pati talas. Pada Tabel 3 disajikan standar mutu pati ubi kayu, sebagaimana yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dimana standar tersebut dapat digunakan

(15)

sebagai acuan dan rujukan untuk standar mutu pati garut, sehingga produk tersebut bisa dikatakan sebagai pati jika telah memenuhi standar mutu yang ada pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Pati

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III 1 Kadar air (b/b) % Maks 15 Maks 15 Maks 15

2 Kadar abu (b/b) % Maks

0,60

Maks 0,60

Maks 0,60 3 Serat dan benda asing

(b/b) % Maks 0,60 Maks 0,60 Maks 0,60 4 Derajat putih (BaSO4=100%) % Min 94,5 Min 92,0 < 92 5 Kekentalan “Engler” 3-4 2,5-3 6 Derajat asam MI 0,1 N NaOH/100gr

Maks 3 Maks 3 Maks 3 7 Cemaran logam : **

-Timbal (Pb) mg/kg Maks 1,0 Maks 1,0 Maks 1,0 -Tembaga (Cu) mg/kg Maks 0,0 Maks 0,0 Maks 0,0 -Seng (Zn) mg/kg Maks 4,0 Maks 4,0 Maks 4,0

-Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,05 Maks 0,05 Maks 0,05

8 Arsen (As)** Maks 0,5 Maks 0,5 Maks 0,5

9 Cemaran mikroba :**

-Angka lempeng total koloni/g Maks 1,0x106

Maks 1,0x106

Maks 1,0x106 -E. Coli koloni/g Maks 10 Maks 10 Maks 10

-Kapang koloni/g Maks

1,0x104

Maks 1,0x104

Maks 1,0x104 Catatan : **Dipersyaratkan bila digunakan sebagai bahan makanan

Sumber : SNI 01-3451-1991 2.10 Proses Ekstraksi Pati talas

Pengolahan pati talas merupakan suatu proses untuk memisahkan granula-granula pati dari umbinya. Menurut Muljohardjo (1987) bahwa dalam proses pengolahan pati dapat dilakukan secara manual atau tradisional, semi mekanis dan mekanis modern. Pengolahan secara semi mekanis biasanya dilakukan oleh industry skala menengah sedangkan secara modern dilakukan di daerah pedesaan atau tingkat rumah tangga. Secara garis besar, tahapan proses pembuatan pati talas dalam skala kecil, yaitu :

(16)

1. Pemilihan bahan

Umbi talas Kimpul dipilih dalam keadaan bagus dan segar dengan umur panen 6 sampai 9 bulan.

2. Pembersihan

Umbi talas dibersihkan dari kotoran (tanah) dan kemudian dikupas kulitnya, kemudian dicuci dengan air bersih mengalir.

3. Pengecilan Ukuran

Umbi Talas Kimpul yang sudah dibersihkan kemudian dipotong menjadi kecil-kecil. 4. Perendaman

Setelah dipotong menjadi kecil, umbi Talas Kimpul tersebut direndam dengan larutan garam 7,5% dengan perbandingan 4:1 (larutan garam : umbi Talas Kimpul) yang bertujuan untuk menghilangkan getah yang mengandung kalsium oksalat yang menyebabkan gatal.

5. Pemarutan

Umbi talas yang telah di rendam lalu dihancurkan atau diparut hingga menjadi bubur kasar.

6. Ekstraksi

Bubur kasar hasil pemarutan ditambahkan air bersih sambil diremas-remas sehingga pati yang diinginkan dapat keluar sempurna, kemudian larutan hasil ekstraksi disaring menggunakan kain untuk memisahan pati dari seratnya.

7. Pemisahan pati

Larutan hasil ekstraksi diendapkan, sehingga pati mengendap, kemudian air yang berada dipermukaan wadah dibuang dengan berhati-hati agar endapan pati tidak ikut terbuang.

(17)

8. Pengeringan

Endapan pati dari hasil ekstraksi dikeringan dahulu, lalu digiling dengan menggunakan mesin penggiling hingga menjadi pati halus.

Gambar

Gambar 1. Umbi Talas (Sumber : Rizkiya dkk., 2020)  Taksonomi tumbuhan talas adalah sebagai berikut (Koswara, 2013) :  Kingdom  : Plantae  Divisi    : Spermatophyta  Class    : Monocotyledoneae  Ordo    : Arecales  Famili    : Areceae  Genus    : Colocasia
Tabel 1. Kandungan Gizi Talas (dalam 100 gram)
Gambar 2. Struktur Kimia Pati
Tabel 2. Sifat Fisik dan Kimia Berbagai Jenis Pati
+5

Referensi

Dokumen terkait

Metode penanganan awal sebelum mengeringkan irisan umbi talas yang memiliki ketebalan 2 mm, yaitu: Perlakuan I (tanpa perlakuan); Perlakuan II yaitu perlakuan blansir

Isolat 1 tumbuh pada media MEA dengan menghasilkan warna isolat bening pada pertumbuhan awal, dan isolat berubah warna mejadi kehitaman pada pertumbuhan hari ke-7,

menyebabkan molekul pati menjadi tidak larut dalam air yang bersifat dapat balik karena terjadi pembentukan ikatan intermolekuler yang kuat.. Scoch dan Maywald (1968)

Hasil uji sensoris mie basah berdasarkan parameter rasa menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan dimana semakin tinggi subtitusi tepung talas dan

Sehingga perlakuan penam- bahan ikan dan pati tapioka yang dicampur tepung talas Bogor menunjukan pengaruh nyata terhadap tingkat kekenyalan pempek yang dihasilkan

Bioplastik dapat diperoleh dengan cara pencampuran pati dengan selulosa, gelatin dan jenis biopolimer lainnya yang dapat memperbaiki kekurangan dari sifat plastik

Hasil analisa kimiawi pada produk tahu dengan perlakuan Proporsi biji trembesi : kedelai dan penambahan asam sitrat. Parameter/ Perlakuan

Hal tersebut yang menyebabkan pemanfaatan pati alami talas menjadi terbatas untuk pengolahan produk pangan, untuk memperbaiki permasalahan tersebut maka dilakukan proses modifikasi pati