BERPIKIR POSITIF ORANG JAWA DALAM SERAT DURCARA ARJA KARYA KI PADMASOESASTRA: KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA*) (Positive Thinking of Javanese People In Serat Durcara Arja by Ki Padmasoesastra:
Study of Antropology of Literature) Sigit Nugroho1 dan Mochammad Fikri2
1SMA Negeri 1 Rongkop Gunung Kidul
Jalan Sadeng, Rongkop, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
2Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia Telepon: +6281328673595
Posel: sundariekacandra@gmail.com *) Diterima: 2 Mei 2020, Disetujui: 15 Oktober 2020
ABSTRAK
Berpikir positif adalah kemampuan berpikir seseorang menilai pengalaman-pengalaman hidupnya untuk dijadikan bahan yang berharga di dalam melakukan tindakan berikutnya dan semua itu sebagai sebuah proses hidup yang harus dijalani. Penelitian ini bertujuan mengungkap bagaimana orang Jawa berpikir positif ketika menghadapi persoalan hidup yang tercermin di dalam Serat Durcara Arja karya Ki Padmasoesastra. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naturalistik. Untuk mengetahui aspek budaya dalam karya sastra digunakan teori merebut makna dengan pendekatan etik. Data yang didapat berupa data kualitatif. Keabsahan data diperoleh dengan pembacaan secara teliti, dan triangulasi. Alat pengumpul data menggunakan instrumen manusia (human instrument). Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Jawa ketika menghadapi persoalan dalam hidup selalu pasrah sumarah, ngalah luhur
wekasane, eling dan waspada, sabar narima, dan Gusti ora sare.
Kata kunci: berpikir positif, Serat Durcara Arja, antropologi sastra ABSTRACT
Positive thinking is one‟s thinking ability to assess his life experiences to be used as valuable material in carrying out the next action and all of that as a life process that must be accomplished. This study aims to reveal how Javanese people think positively of when facing life problems reflected in Serat
Durcara Arja by Ki Padmasoesastra. This study applies a qualitative method and naturalistic
approach. An ethical approach isalso applied to find out the cultural aspects of literary works, by seizing anypotential meanings. The data are obtained in the form of qualitative data. The validity of the data is obtained by careful reading, and triangulation. Data collection tools covers human instruments. Data analysis is presented in a qualitative manner. The results shows that the Javanese people are always resigned to surrender, defeated sublime the end, remember and take care, bepatient, and God never sleep when they face their problems in life
154 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia sering kali tercermin dalam sebuah karya sastra (Wellek, 2016: 99). Peristiwa yang terjadi dalam batin dan pikiran seseorang sering menjadi bahan penulisan sastra yang sebenarnya
merupakan cerminan hubungan
seseorang dengan orang lain ataupun dengan masyarakat. Dengan demikian sastra merupakan refleksi kehidupan manusia. Sastra sering dimaknai sebagai alat untuk mengajarkan cara berpikir, bertindak dan perilaku budaya. Sastra adalah karya yang
merefleksikan budaya tertentu
(Endraswara, 2015: 2—3). Budaya berarti ‗buah budi manusia‘, hasil perjuangan manusia terhadap zaman dan lingkungan untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di
dalam hidup guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan lahir batin (Dewantara, 2013: 72).
Dalam hidupnya, seseorang
berupaya menjaga keseimbangan
dalam pencapaian kenikmatan lahir dan batin. Antara kebutuhan lahir dan batin tersebut tidak boleh saling didahulukan, melainkan harus tetap berlangsung seiring dan sejalan (Suratno, Pardi, 2006: 332). Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin tersebut diperlukan cara berpikir yang arif dan bijaksana.
Berpikir merupakan aktifitas
pribadi yang bertujuan untuk
memecahkan masalah (Dakir, 1984: 68). Berpikir merupakan aktivitas psikis yang internasional, dan terjadi apabila seseorang menjumpai masalah
yang harus dipecahkan (Soemanto, 1998: 31). Dengan demikian, di dalam berpikir seseorang menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya dalam rangka mendapatkan pemecahan persoalan yang sedang dihadapi. Ketika menghadapi masalah, seseorang akan menggunakan pola berpikir positif atau sebaliknya; negatif.
Berpikir positif adalah cara
berpikir seseorang yang umum
digunakan untuk meningkatkan dan mendorong pertumbuhan diri ke arah yang lebih baik dalam upaya mencapai kebahagiaan lahir dan batin (Arifin, 2011: 18). Sederhananya berpikir positif adalah aktifitas berpikir yang kita lakukan dengan tujuan untuk
membangun dan membangkitkan
aspek positif pada diri kita, baik itu berupa potensi, semangat, tekad maupun keyakinan diri.
Berpikir positif adalah cara berpikir secara logis yang memandang sesuatu dari segi positifnya baik terhadap dirinya sendiri, orang lain,
maupun keadaan lingkungannya.
Manusia tidak akan mudah putus asa terhadap masalah yang dihadapinya. Menurut Endraswara, berpikir positif merupakan sebuah cermin bening harga diri seseorang. Dengan berpikir positif maka akan membangkitkan harga diri orang tersebut (Endraswara, 2016: 2).
Berpikir positif bukan
merupakan tujuan melainkan suatu
jalan untuk mencapai tujuan.
Menjadikan berpikir positif sebagai tujuan memang membawa manfaat tetapi manfaat tersebut belumlah
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 155 seberapa jika dibandingkan dengan
manfaat yang didapat jika berpikir positif dijadikan sebagai suatu jalan Seseorang yang selalu berpikir positif akan mendapatkan hasil yang positif, sedangkan seseorang yang selalu berpikir negatif akan mendapatkan hasil yang negatif (Peale, 2006: 135). Sebaliknya, berpikir negatif adalah pola atau cara berpikir yang mengarah pada sisi negatif, terlihat dalam bentuk keyakinan atau pandangan yang terucap, cara bersikap dan perilaku sehari-hari (Adelia, 2011).
Hasil dari cara berpikir
seseorang salah satunya disebabkan oleh budaya yang berkembang pada masyarakat setempat. Dengan kata lain budaya yang berlaku di suatu masyarakat akan mempengaruhi cara berpikir warga masyarakat setempat. Budaya adalah hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran, dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab. Ada 3 (tiga) wujud hasil dari
kebudayaan, yaitu; (1). wujud
kebudayaan sebagai suatu komplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai., (2) wujud
kebudayaan sebagai komplek
aktifitas., (3) wujud kebudayaan
sebagai benda atau artefak
(Koentjaraningrat, 1990: 186). Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia,
menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya.
Ide maupun gagasan yang dimiliki oleh seseorang seringkali diwariskan melalui penulisan. Salah satunya berupa naskah. Hal ini dilakukan agar ide tersebut dapat terekam untuk jangka waktu yang lama.
Warisan naskah berisi tentang berbagai hal, satu diantaranya adalah karya sastra Jawa. Karya sastra Jawa
menampilkan gambaran tentang
perilaku dan cara berpikir seseorang dalam hidup bermasyarakat. Peristiwa yang terjadi dalam diri, batin, dan pikiran seseorang sering menjadi
bahan penulisan sastra yang
sebenarnya merupakan cerminan
hubungan seseorang dengan orang lain ataupun dengan masyarakat. Salah satu karya sastra Jawa tersebut Salah satu penulis karya sastra Jawa yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa adalah Ki Padmasoesastra.
Ki Padmasoesastra terlahir dengan nama kecil Suwardi. Ia lahir di Sraten, Surakarta, pada tanggal 21 April 1843. Banyak karya sastra yang telah ditulisnya, baik berupa novel, dongeng, babad maupun serat. Salah satu karya sastra yang berupa serat adalah Serat Durcara Arja (Widati, Sri, dkk. 2015: 381—382).
Serat Durcara Arja
menceritakan tentang seseorang
bernama Bok Gunawicara yang dalam hidupnya dihadapkan dengan berbagai masalah. Namun dengan ―kecerdikan‖ dan selalu berpikir positif, Mbok
Gunawicara mampu mengatasi segala
156 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 tampil menjadi manusia yang utama;
mendapatkan kedudukan, bahagia lahir dan batin
Berdasar uraian di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana berpikir positif orang Jawa yang tercermin di dalam karya sastra
Serat Durcara Arja karya Ki
Padmasoesastra dikaji dari perspektif antropologi sastra
Antropologi sastra dapat dirunut dari kata antropologi dan sastra. Kedua ilmu itu memiliki makna tersendiri. Masing-masing sebenarnya merupakan sebuah disiplin keilmuan
humanistis. Obyek penelitian
antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Perilaku manusia tersebut dapat dilihat melalui sastra
sebagai cermin budaya, dilihat
seberapa jauh pantulan budayanya (Endraswara, 2017: 24). Budaya pada dasarnya membentuk jaringan teks. Teks berupa narasi-narasi pemikiran
tentang sebuah fenomena
(Endraswara, 2017: 30).
Antropologi adalah penelitian terhadap manusia, yang dimaksud dengan manusia adalah sikap dan perilakunya (Keesing, 1992: 2). Antropologi adalah penelitian tentang umat manusia. Antropologi berusaha
menyusun generalisasi yang
bermanfaat bagi manusia untuk menuntun perilaku dan memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman budaya (Haviland, 1984: 7). Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai kelompok variabel yang berinteraksi (Ratna, 2013: 64).
Budaya pada dasarnya
membentuk jaringan teks. Teks berupa narasi-narasi pemikiran tentang sebuah fenomena (Endraswara, 2017: 30). Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam karya sastra terdapat data antropologis yang mengangkat aspek-aspek budaya yang meliputi sistem nilai pengetahuan, adat istiadat, sistem kekerabatan, sistem peralatan hidup
dan teknologi, matapencaharian,
kesenian, serta sistem kepercayaan, dan agama (Sudikan, 2007: 6).
Penelitian antropologi sastra adalah penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu,
yaitu antropologi dan sastra.
Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan (Ratna, 2011: 152). Karakteristik penelitian antropologi sastra adalah
pemahaman sastra dari sisi
keanekaragaman budaya (Endraswara, 2015: 23).
Sumber data dalam penelitian ini adalah Serat Durcara Arja karya Ki
Padmasoesastra. Penerbit
Weltrephredhen: Bale Pustaka tahun 1921 (Padmasoesastra dan D. F. Van Der Pant, 1921). Naskah koleksi pribadi. Metode kualitatif dengan pendekatan naturalistik digunakan untuk menganalisis cara berpikir positif orang Jawa di dalam Serat
Durcara Arja. Metode kualitatif yaitu
memaparkan suatu masalah dengan menunjukkan data berupa kata-kata, gambar, dan data lain yeng berupa angka (Moleong, 2006: 5). Pendekatan naturalistik yaitu, penyajian data secara apa adanya. tanpa menambah
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 157
ataupun mengurangi data
(Endraswara, 2015: 46). Teori merebut makna dengan pendekatan etik digunakan untuk mengetahui aspek budaya dalam karya sastra. Merekonstruksi bahan-bahan yang tersedia dilakukan oleh peneliti untuk merebut makna. Melalui rekonstruksi, karya sastra dapat dipotong menjadi bagian-bagian yang disebut leksia. Leksia dapat berupa kata, kalimat, bait, baris, dan sebagainya. Sedangkan Pendekatan etik menitikberatkan pada peneliti dengan asumsi-asumsi telah diletakkan secara mendasar, ada hipotesis yang mantab, dan telah terbangun kerangka teori yang mapan. Alat pengumpul data adalah peneliti sendiri (human instrument). Data yang didapat berupa data kualitatif. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui
pembacaan secara teliti dan
triangulasi.
Sepengatahuan penulis,
beberapa orang telah melakukan penelitian terhadap karya sastra
dengan menggunakan kajian
Antropologi Sastra. Sisfiyah dengan
judul penelitiannya ―Kajian
Antropologi Sastra dalam Novel
Ranggalawe: Mendung di Langit Majapahit Karya Gesta Bayuadhy‖
(Sisfiyah, 2018). Penelitian tersebut
bertujuan mendeskripsikan aspek
bahasa, aspek religi, aspek sosial, dan aspek politik yang terdapat di dalam novel tersebut.
Sementara Djirong dengan
penelitian berjudul ―Kajian
Antropologi Sastra Cerita Rakyat
Datumuseng dan Maipa Deapati‖
(Djirong, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Djirong bertujuan mendeskripsikan unsur antropologi, baik bahasa, religi, mitos, hukum, maupun adat istiadat yang terdapat di dalam cerita Datumuseng dan Maipa
Deapati. Berbeda dengan penelitian di
atas, penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan bagaimana berpikir positif orang jawa yang tercermin di dalam Serat Durcara Arja karya Ki Padmasusastra dan D.F. Van Der Pant.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ringkasan Cerita Serat Durcara Arja
Serat Durcara Arja menceritakan
perjalanan hidup seorang janda bernama Mbok Gunawicara. Mbok Gunawicara sepeninggal suaminya yang terkenal akan kekayaannya kemudian hidup menjanda. Sebelum meninggal, Kyai Gunawicara berpesan kepada istrinya tentang perilaku yang harus dikerjakan dalam menapaki hidup. Dalam perjalanan hidupnya,
Mbok Gunawicara mengalami
peristiwa-peristiwa yang
mendebarkan, menakutkan,
mengerikan bahkan sampai hampir menghilangkan nyawanya. Namun karena mengikuti ajaran berpikir positif dari buku-buku yang dibaca oleh Mbok Gunawicara, pada akhirnya
Mbok Gunawicara mendapatkan
anugerah dari penguasa yaitu Sang Sultan, hidupnya tenteram, damai, dan disukai orang banyak, bahkan diberi kedudukan yang istimewa di istana
158 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 serta mendapat nama kehormatan
yaitu Nyai Sedhahmirah.
Berpikir positif orang Jawa dalam serat Durcara Arja
Serat Durcara Arja adalah karya Ki
Padmasusastra. Dibaca dari judulnya
Durcara Arja berasal dari kata dur
‗tidak baik‘, cara ‗cara, proses‘ dan
arja ‗reja atau selamat‘. Jadi Serat Durcara Arja adalah karya sastra fiksi
yang isinya tentang perbuatan atau cara-cara yang tidak baik namun dilakukan tanpa pamrih tetapi pada akhirnya menemukan keselamatan. Hal ini dapat dilihat pada keterangan bagian awal dari Serat Durcara Arja ini. Adapun kutipannya sebagai berikut.
“Serat Durcara Arja, cariyos
bebanyolan, nyariyosaken
satunggaling randha nama Bok
Gunawicara, anggenipun
anglampahi piwelinging bojonipun, bilih kesagedan punika ngungkuli
kasugihan. Kalampahan Bok
randha ngapus-apusi lan adamel kacilakan, ananging boten pados pamrih”. (Padmasoesastra dan D.
F. Van Der Pant, 1921) Terjemahan:
―Serat Durcara Arja, cerita lucu.
Menceritakan seorang janda
bernama Mbok Gunawicara dalam
usahanya melaksanakan pesan
suaminya, bahwa kapandaian itu mengalahkan kekayaan. Perjalanan (hidup) janda dengan menipu dan membuat celaka (orang lain) tetapi tidak mencari pamrih‖
Uraian di atas menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Mbok Randha dengan menipu (berbohong) dan bahkan membuat celaka orang namun karena tidak ada pamrih dari janda tersebut, pada akhirnya janda tersebut mendapatkan keselamatan bahkan kehormatan.
Serat Durcara Arja di dalamnya
memuat gagasan-gagasan tentang
berpikir positif orang Jawa dalam mensikapi setiap peristiwa yang dialami dalam hidupnya. Adapun berpikir positif orang Jawa dari perspektif antropologi sastra, yang terdapat di dalam Serat Durcara Arja antara lain: pasrah sumarah
„berserah diri‟, ngalah luhur wekasane „mengalah mulia pada akhirnya‟, eling lan waspada „ ingat dan
waspada‘, sabar narima „sabar menerima‘, dan Gusti ora sare ‗Tuhan tidak tidur‘.
Uraian tiap-tiap gagasan berpikir positif orang Jawa di dalam Serat
Durcara Arja adalah sebagai berikut. Pasrah sumarah ‘berserah diri’ Pasrah sumarah ‗berserah diri‘
menjadi refleksi spiritual hubungan manusia dengan Tuhan (Endraswara, 2017: 72). Pasrah sebagai perwujudan jiwa yang ikhlas, tidak menggerutu, mengusik, bahkan menganggap Tuhan tidak adil. Pasrah sumarah ‗berserah diri‘ dijadikan pedoman di dalam berpikir dan bertindak untuk hidup ke arah yang lebih arif.
Sikap pasrah sumarah ‗berserah diri‘ dalam pandangan hidup orang Jawa bukanlah sikap yang tidak mau
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 159 berusaha sama sekali, tetapi dengan
penuh kesadaran orang Jawa
menganggap bahwa segala usaha yang
telah dilakukan pada akhirnya
Tuhanlah yang menentukan.
Manungsa mung isa gawe pestha, nanging Gusti kang gawe pesthi
‗manusia hanya bisa berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan‘. Sikap kepasrahan ini dikatakan oleh Kyai Gunawicara kepada Bok Gunawicara ketika dirinya sedang sekarat.
Kutipan di dalam Serat Durcara
Arja sebagai berikut.
Kyai sudagar celathu; bokne thole, laraku kiyi ayake ora bisa waras, atiku wis krasa arep mati, dibecik saungkurku. Nyai sudagar bareng dituturi sing lanang mengkono banget kagete, banjur nangis senggruk-senggruk, calathune mengkene: gèk kapriye, bapakne thole, nèk aku sida kotinggal, wis ora ngemong anak, kowe ora ana, angur aku andhisikana.Wong dituturi kok nangis, lara pati kuwi: rak ora kena dijaluk, kabeh kabeh wus karsa Allah….(Padmasoesastra dan D.
F. Van Der Pant, 1921) Terjemahan
―Kyai saudagar berkata: ibunya anak-anak, sakitku ini agaknya tidak bisa sembuh, perasaanku sudah terasa akan mati,
dibaik-baiklah sepeninggalku. Nyai
saudagar setelah dinasihati
suaminya sangat terkejut, kemudian
menangis sesegukan, katanya
demikian: terus bagaimana pak, kalau aku jadi kautinggalkan, sudah
tidak mengasuh anak, kamu tidak ada, lebih baik aku mendahului. Orang dinasihati kok menangis, sakit kematian itu: kan tidak bisa diminta, semuanya sudah menjadi kehendak Allah…‖
Uraian di atas menjelaskan bahwa manusia boleh saja berusaha dan memang harus berusaha, tetapi pada akhirnya Tuhanlah yang menentukan. Kyai Gunawicara di dalam sakitnya hanya bisa pasrah sumarah ‗berserah diri‘ kepada kuasa Tuhan. Berpikir dan bertindak didasari kepasrahan kepada kehendak Tuhan dianggap dapat memberikan keseimbangan dan kestabilan bahkan dapat menciptakan kehidupan dan penghubung dengan kuasa Tuhan. Endraswara menyebut dengan kawula lan Gusti ‗hamba dan Tuhan‘ (Endraswara, 2016: 223). Hal ini menjadi sebuah sebuah kewajiban
moral manusia untuk selalu
menyerahkan diri secara total sebagai
kawula ‗hamba‘ kepada Gusti ‗Sang
Pencipta‘. Ketika Tuhan sudah
berkehendak maka siapapun tidak bisa menolaknya.
Orang Jawa dalam menjalani hidup akan selalu optimis, penuh
dengan greget „semangat‘, dan
tanggung jawab. Namun, ketika yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan orang Jawa menganggap hal itu sebagai garising pepesthen ‗kehendak Tuhan‘ yang harus diterima dengan iklas dan penuh kepasrahan.
160 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
Ngalah luhur wekasane ‘mengalah mulia pada akhirnya’
Sikap ngalah luhur wekasane
‗mengalah mulia pada akhirnya‘.
Mengalah bukan berarti kalah.
Mengalah adalah senjata orang Jawa untuk mencapai kebahagiaan. Sikap
ngalah luhur wekasane memberikan
gambaran bahwa untuk mencapai kebahagiaan harus dicapai dengan laku prihatin. Prihatin adalah sikap hidup yang penuh optimisme dengan berbagai laku di dalam hidup manusia (Endraswara, 2017: 80). Sikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya juga menjelma di dalam
laku dan usaha untuk mencapai
keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak
dan diwujudkan sebagai sikap
„prihatin‟, yang intinya sikap hidup
yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu, uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja. Sikap prihatin tersebut dapat dijumpai dalam serat Durcara
Arja. Adapun kutipannya sebagai
berikut:
“……sapatine sing lanang ora bisa tentrem atine, marilaku dagang, nyambut gawe liyane iya ora, kasengsem maca layang layang piwulang anggitane para bisa, lan anderes Kur‟an tuwin kitab-kitab tetinggalane sing lanang, awit mung kuwi sing bisa nglalekake
prihatine……” (Padmasoesastra
dan D. F. Van Der Pant, 1921) Terjemahan:
―…..sepeninggalnya yang laki
(suaminya) tidak bisa tenteram
hatinya, berhenti berdagang,
bekerja yang lain tidak bisa, tertarik
membaca surat-surat ajaran
karangan para ahli, serta membaca
Al-Quran serta kitab-kitab
peninggalan suaminya, karena
hanya itu yang bisa melupakan kepedihan hatinya……‖
Kutipan cerita di atas menunjukkan sikap hidup ngalah luhur wekasane dengan laku prihatin dari Bok randha Gunawicara sepeninggal suaminya. Setiap hari yang dikerjakan Mbok Randha adalah membaca kitab-kitab
piwulang karya orang-orang pandai
dan membaca alqur‘an. Dengan membaca buku-buku maka wawasan Mbok Gunawicara semakin luas. Sikap tersebut menunjukkan bahwa meskipun sedih karena ditinggal mati oleh suaminya namun kesedihan itu tidak sampai berlarut-larut. Sikap Mbok Gunawicara tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ngalah ‗mengalah‘. Sikap iklas dan selalu berusaha tegar melalui kegiatan membaca untuk menambah wawasan dapat dimaknai sebagai laku prihatin
dalam usaha menempa diri.
Pengetahuan yang didapat kemudian dipraktikkan oleh Mbok Gunawicara. Pada akhirnya menghantarkan Mbok Gunawicara menjadi orang yang tinggi kedudukannya.
Eling lan Waspada ‘ingat dan waspada’
Eling „ingat‘ akan mengingatkan
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 161 dunia itu ada yang mengatur yaitu
Tuhan.(Endraswara, 2017: 80). Eling
‟ingat‘ dan waspada merupakan sikap
hidup orang Jawa ketika menghadapi persoalan. Segala persoalan yang ditemui dalam kehidupan harus dihadapi. Sikap tinggal gelanggang
colong pelayu „lari dari masalah‘
merupakan perbuatan yang dianggap hina. Eling ‗ingat‘ adalah sikap orang Jawa yang selalu sadar diri dan sadar hati, mempertimbangkan olah rasa dengan menggalih ‗berpikir jernih‘. Di dalam berpikir dan bertindak orang Jawa tidak grusa grusu ‗tergesa-gesa,
sembrono‘ dan hantam krama.
Waspada merupakan sikap untuk selalu hati hati dalam bertindak. Orang Jawa selalu menimbang untung ruginya bahkan seandainya harus rugipun tetap dijalani tetapi tujuan utama tetap dapat terlaksana. Berpikir positif dengan selalu eling lan
waspada ‗hati-hati dan penuh kewaspadaan‘ menjadi sikap yang dijunjung tinggi oleh masarakat Jawa terlebih ketika menghadapi masalah yang rumit dan membahayakan. Hal ini dialami oleh Mbok Gunawicara di dalam Serat Durcara Arja ketika menghadapi persoalan yang berat. Diceritakan ketika Mbok Gunawicara harus menghadapi kemarahan dari Kyai Surawacana. Mbok Gunawicara dengan tenang namun tetap menjaga
kewaspadaan. Dengan berpikir,
bertindak dengan tenang, selalu eling
lan waspada pada akhirnya kemarahan
Kyai Surawacana dapat mereda. Adapun kutipan di dalam Serat
Durcara Arja sebagai berikut.
Nyai Randha dhek semana lagi ambeneri ana ing gandhok, linggih klasa pasir ana ngamben, nunggoni bature sing padha olah olah. Krungu latare ana wong celuk-celuk,nanggo ujar-ujari ala bab unining layang kang dipasang ana ing lawange, osiking atine mangkene: wong celuk-celuk karo nesu kae, ayake dudu wong sembarangan, utawa wong bodho, mesthi wong Inter ……….Nyai Randha nuli
metu mapagake Kyai
Surawacana, bareng ketemu banjur mendhak, sumeh ulate, andhap asor solahe, lan memelas tembunge, celathune mangkene: kula nuwun angger bendara, kula nyuwun pangapunten ingkang ageng, kalilanana kula gadhah atur ing sampeyan, nyuwun pitaken menapa ingkang dados kalepatan kula, dene sampeyan ngantos duka ingkang sakalangkung ageng….
(Padmasoesastra dan D. F. Van Der Pant, 1921)
Terjemahan:
―Nyai Janda pada waktu itu kebetulan ada di gandhok, duduk tikar pasir di tempat tidur, menunggu pelayan yang sedang
memasah. Mendengar di
halaman ada orang memanggil-manggil, dengan mencaci maki tentang isi surat yang dipasang di pintu, hati kecilnya berkata:
orang memanggil-manggil
162 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 orang sembarangan, atau orang
bodoh, pasti orang yang
pandai…….Nyai Randha
kemudian keluar menyambut
Kyai Surawacana, setelah
berhadapan kemudian
membungkuk, ceria parasnya, rendah hati tingkahnya dan seraya meminta belas kasihan kata-katanya. Katanya demikian: permisi angger bendara, saya minta maaf sebesar-besarnya, ijinkanlah saya berbicara kepada
anda, perkenankan saya
bertanya, apa yang menjadi kesalahan saya sehingga anda sampai marah begitu besar…‖ Kutipan di atas menjelaskan bahwa dengan pemikiran yang diliputi sikap
eling lan waspada ‗hati-hati dan
selalu waspada‘ Nyai Gunawicara akhirnya dapat melilihkan amarah dari Kyai Surawacana.
Sikap eling ‗ingat‘ dan waspada adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana.
Sabar narima ‘sabar menerima’
Sabar adalah sikap dasar dalam menerima sesuatu. Kesabaran akan menghantarkan hidup manusia ke arah kedamaian (Endraswara, 2017: 80). Kata sabar artinya tidak mudah
marah. Ungkapan sing jembar
segarane mengandung makna bahwa
setiap kejadian yang dialami oleh
orang Jawa tentu akan dipenggalih ‗dipikirkan‘ secara dalam. Dalam mengambil keputusan tidak grusa
grusu „tergesa-gesa, sembrono‟.
Digelar digulung, diunggahke diudhukke adalah merupakan ungkapan batin orang orang Jawa. Orang Jawa dalam bertindak selalu ditimbang baik dan buruknya supaya nanti dalam mengambil keputusanpun akan mendapatkan hasil terbaik.
Kisah Kyai Surawacana yang
mengumpat, memarahi Mbok
Gunawicara karena merasa uang yang disimpan ditongkat telah dicuri oleh Mbok Gunawicara. Tetapi dengan
kesabarannya, Mbok Gunawicara
akhirnya bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Kutiban di dalam Serat Durcara Arja sebagai berikut.
……….Bareng dibukak, temen yen kothong, ora ana isine dhuwit, Kyai Surawacana anjenger ora bisa celathu, nyata kabilaen gedhe sak penggawene nyai rondha julig, enggal bali gegancangan, bingung kaworan nepsu, sedyane arep masesa menyang Nyai Gunawicara. Satekane Nyai Gunawicara ketemu linggih ana ing ngamben, kambi maca layang, banjur ditudingi lan diujar-ujari ala nganti kamisosolen, calathune: heh gentho, kecu, maling………..Nyai
Gunawicara diuneni kaya
mengkono kuwe ora gugup, sareh mangsuli lan ora basa, calathune mengkene…… (Padmasoesastra dan
D. F. Van Der Pant, 1921) Terjemahan:
―…….setelah dibuka, benar jika kosong, tidak ada isinya uang,
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 163 Kyai Surawacana tertegun tidak
bisa bicara, nyata malapetaka besar perbuatan Nyai Randha licik, segera kembali bergegas,
bingung bercampur marah,
niatnya hendak menyiksa Nyai Gunawicara. Setelah sampai, Nyai Gunawicara sedang duduk di tempat tidur, sambil membaca surat, lalu ditunjuk-tunjuk dan
dimarah-marahi sampai
tergagap-gagap, katanya: heh gentho, kecu, pencuri……Nyai Gunawicara dimarahi demikian itu tidak gugup, dengan sabar menjawab dan tanpa hormat, perkataannya demikian….‖ Kutipan di atas menunjukkan bahwa Nyai Gunawicara dalam menghadapi masalah selalu dengan kesabaran,
ketenangan. Dengan kesabaran,
manusia akan selamat dari
marabahaya dan penderitaan serta mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sabar hendaknya jangan diartikan sebagai sikap tidak berupaya untuk mencapai sesuatu, namun harus dimaknai sebagai upaya mendapatkan sesuatu dengan cara yang benar, artinya dengan kesabaran maka akan mendatangkan ketentraman hati bagi diri sendiri maupun orang lain.
Demikianlah sikap hidup dan berpikir positif orang Jawa, sabar dalam menerima setiap cobaan karena dengan kesabaran akan mendapatkan
hikmah dan anugrah berupa
kebahagiaan dalam hidup.
Gusti Ora sare ‘Tuhan tidak Tidur’
Ungkapan Gusti ora sare terdiri atas tiga kata: Gusti (Tuhan), ora (tidak) dan sare (tidur). Dulu orang Jawa sering memberi nasihat bahwa ketika
menginginkan sesuatu hendaklah
memohon kepada Tuhan. Tuhan
dipercaya sebagai yang Maha
Mengetahui, Maha Memberi dan memiliki sifat yang tidak tidur. Ungkapan Gusti ora sare ‗Tuhan tidak tidur‘ menjadi dorongan bagi orang Jawa dalam bertindak berlandaskan keyakinan bahwa 1) sejauh mungkin harus menghindari tindakan buruk (karena Tuhan Maha Melihat), 2) seseorang semakin bersemangat untuk berbuat baik, karena didorong oleh
keyakinan bahwa Tuhan Maha
Melihat kebaikan sebagai kebaikan walau kadang kadang mendapat penilaian yang buruk dari orang lain (Suratno, Pardi, 2006: 407).
Gusti ora sare ‗Tuhan tidak
tidur‘ mengandung makna yang dalam. Segala peristiwa yang dialami manusia baik yang mengenakkan atau menyakitkan akan dirasakan sebagai kehendak Tuhan. Harapan harapan akan hal yang akan terjadi semua diserahkan kepada Tuhan. Kisah Nyai Gunawicara yang telah memperdaya eyang putri dari seorang penguasa hingga mengakibatkan kematian dari eyang putri tersebut menyebabkan kemarahan yang luar biyasa. Sultan hendak membunuh Nyai Gunawicara dan mengambil hatinya karena sultan ingin melihat hati Gunawicara yang telah sering kali memperdaya dan membuat celaka orang. Namun Tuhan
164 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020 berkehendak lain. Tuhan masih
menginginkan Nyai Gunawicara
hidup. Pada akhirnya Nyai
Gunawicara tidak dibunuh dan
diampuni segala
kesalahan-kesalahannya.
Kutipannya di dalam Serat
Durcara Arja sebagai berikut.
“……anyekela si rondha musibat, banjur diodhet-odhet wadhuke, diwetokna jorang jaringane, atine ingsun pundhut, arep ingsun
uningani, kaya apa rupane,
Pangandika dalem durung tutug kesaru tekane Oliya/auliya jleg tanpa sangkan, lan celathu ora nganggo taha, Mangkene: tekaku kiye, sultan, sepisan, anglayad sedane eyangmu ratu sepuh, kang wus tinakdir dening Allahutangala, tinulis ing lokil makpule, seda dening kowe, muga jinembarna ing kubure, oleha marga padhang. Kaping pindho, aku aweh pepeling
menyang kowe, aja nganti
anyidakake karepmu kaya sing wis
kok dhawuhake menyang si
Reksanegara ……….randha
Gunawicara iku wong suci, lan wong kang ngestokake dhawuhing Allah kang wis dipacak ana ing kitab-kitab, anggone duwe laku mengkono mau, ora pisan-pisan saka murkaning budine, nanging
mung digawe nyatakake.
(Padmasoesastra dan D. F. Van Der Pant, 1921)
Terjemahan:
―…..tangkaplah si Randha
musibat, lalu keluarkan isi perutnya, semuanya, hatinya saya ambil, akan saya lihat,
seperti apa wujudnya,
Perkataannya belum selesai
disusul datangnya pemuka
agama…Jleg tanpa tahu asalnya, dan berkata tanpa basa-basi. Demikian: kedatanganku ini
Sultan, pertama, melayat
meninggalnya nenekmu Ratu sepuh, yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, ditulis di dalam lokil makpule meninggal karena kamu, semoga
dilebarkan kuburnya,
mendapatkan jalan terang. Yang kedua, saya member peringatan kepada kamu, jangan sampai melaksanakan niatmu seperti yang sudah kamu perintahkan
kepada si
Reksanegara……..Randha Gunawicara itu orang suci, dan
orang yang melaksanakan
perintah Allah seperti yang sudah dimuat di dalam
kitab-kitab, disebabkan dari
perbuatannya itu, sekali-kali
bukan karena jelek budi
pekertinya, tetapi hanya dibuat untuk member kesaksian‖
Dari kutipan diatas dapat dijelaskan bahwa ketika Tuhan berkehendak maka segalanya akan terjadi. Nyai Gunawicara yang dinyatakan salah oleh manusia tetapi ternyata dihadapan Tuhan dianggap sebagai orang yang suci. Karena kehendak Tuhan jugalah Nyai Gunawicara terbebas dari hukuman mati. Hal ini dikarenakan Nyai Gunawicara telah menjalankan perintah perintah yang tertulis di dalam kitab. Ini adalah bukti dari Tuhan Maha berkehendak. Tuhan
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 165 Maha Mengetahui; Gusti ora sare
‗Tuhan tidak tidur‘.
Berdasar dari kitab-kitab yang dipelajari oleh Nyai Gunawicara terdapat ajaran-ajaran yang dapat
menuntun manusia ke dalam
kemuliaan.
Kutipan di dalam Serat Durcara
Arja sebagai berikut:
“Mulane, mungguh ing manungsa wajib anduweni kalakuwan kang
bisa andadekake kamulyaning
badan, kaya ta: 1: budi andhap asor, 2: budi sabar lan narima, 3: gelem ngalah basa sakecap, laku satindak, 4: ulat sumeh tembung manis, 5: ati rahayu sarta ora gawe serik, utamane bisa ngenaki atining wong sawiji-wiji, Kosok baline kang agawe rusak mengkene: 1. Panasbaran lumuh kaungkulan, 2: dahwen panasten sarta darengke, 3: ora gelem ngalah basa sakecap, laku satindak, 4: ulat nyenyengit tembung kasar utawa wadhag, 5: dhemen laku doracara angarah
meliking liyan…………”
(Padmasoesastra dan D. F. Van Der Pant, 1921)
Terjemahan:
―Makanya kepada semua
manusia itu wajib memiliki
sesuatu yang menjadikan
kemuliaan badan sepeti: 1. Watak andap asor, 2. Rasa sabar dan menerima, 3. Mau mengalah kata seucap , langkah sejangkah, 4. raut wajah menarik, kata-kata manis, 5. hati suci tidak membuat iri, bisa membuat
senang hati orang lain,
sebaliknya yang membikin rusak adalah sebagai berikut: 1. panas
hati tidak mau mengalah, 2. gampang marah dan iri dengki, 3. tidak mau mengalah barang satu kata maupun satu langkah, 4. raut muka membikin tidak suka, perkataan kasar, 5. suka bertingkah tidak baik karena
menginginkan barang milik
orang lain..‖
Kutipan di atas menjelaskan bahwa dengan berpikir positif serta dilandasi perbuatan atau tindakan yang positif, maka akan menjadi pribadi yang mulia dan menjadikan orang lain tetap memiliki harga diri. Rendah hati, sabar dan ikhlas, berani mengalah, ramah serta sopan, hati bersih, tidak ada rasa iri, ucapannya mengenakkan orang lain adalah ciri-ciri manusia Jawa.
Berpikir positif adalah ajaran dan tindakan untuk selalu menerima apapun yang menimpa diri dengan positif untuk kemudian dipancarkan kepada manusia lain dalam rangka
karyenak tyas sesami menjadikan
kebahagiaan bagi sesama manusia.
PENUTUP
Antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap.
Analisis antropologi sastra mengungkap berbagai hal seperti kebiasaan masa lampau, cara berpikir manusia ketika menghadapi persoalan dalam hidupnya, dan lain sebagainya.
166 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
Kajian antropologi sastra
terhadap Serat Durcara Arja karya Ki
Padmasoesastra ini dikhususkan
terhadap sikap dalam berpikir positif orang Jawa ketika menghadapi persoalan dalam hidup. Hasil dari penelitian terhadap Serat Durcara
Arja menunjukkan bahwa di dalam
setiap menghadapi permasalahan, orang Jawa selalu dapat memetik pelajaran dari peristiwa tersebut,
meskipun tidak mengenakkan.
Perilaku dan sikap tersebut merupakan cara berpikir positif orang Jawa.
Cara berpikir positif orang Jawa yang dapat dijumpai dalam Serat
Durcara Arja adalah: pasrah sumarah
‗berserah diri‘, ngalah luhur wekasane ‗mengalah mulia pada akhirnya‘, eling
lan waspada ‗hati-hati dan waspada‘, sabar narima ‗sabar iklas menerima‘,
dan Gusti ora sare ‗Tuhan tidak tidur‘.
DAFTAR PUSTAKA
Adelia, W. (2011) Kehebatan Berpikir
Positif. Jakarta: Sinar Kejora.
Arifin, Z. (2011) Penelitian
Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Dakir (1984) Dasar-Dasar Psikologi
Umum. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Dewantara, K. H. (2013) Ki Hajar
Dewantara Pemikiran,
Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka Bagian II
(Kebudayaan). Yogyakarta: UST Press.
Djirong, S. (2014) ‗Kajian
Antropologi sastra Cerita Rakyat
Datumuseng dan Maipa
Deapati‘, Sawerigading, 20(2),
p. 215—226. doi:
10.26499/sawer.v20i2.29.
Endraswara, S. (2015) Metodologi
Penelitian Antropologi Sastra.
Yogyakarta: Ombak.
Endraswara, S. (2016) Berpikir Positif
Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Endraswara, S. (2017) Metode
Penelitian Antropologi Budaya: Pengenalan, Pemahaman, dan Penerapan. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Haviland, W. A. (1984) Antropologi. jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Keesing, R. (1992) Antropologi
Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat (1990) Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Moleong, J. L. (2006) Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Padmasoesastra dan D. F. Van Der Pant (1921) Serat Durcara Arja. Wèltrêphrèdhên: Bale Pustaka. Peale, N. V. (2006) The Power of
Positive Thinking. Jakarta: MIC.
Ratna, N. K. (2011) ‗Antropologi
Sastra: Perkenalan Awal‘,
Metasastra, 4(2), pp. 150–159.
doi:
10.26610/metasastra.2011.v4i2.1 50-159.
Ratna, N. K. (2013) Teori, Metode,
dan Teknik Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta:
Berpikir Positif Orang Jawa dalam Serat Durcara Arja... (Nugroho dan Fikri) 167
Sisfiyah, Z. (2018) ‗Kajian
Antropologi Sastra Dalam Novel Ranggalawe: Mendung di Langit
Majapahit Karya Gesta
Bayuadhy‘, PENTAS: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(1), pp. 33–
40.
Soemanto, W. (1998) Psikologi
Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudikan, S. Y. (2007) Antropologi
Sastra. Surabaya: Unesa University Press.
Suratno, Pardi, D. (2006) Kamus Jawa
Indonesia dan Mutiara Budaya Jawa. Yogyakarta: Adi Wacana.
Wellek, R. dan A. W. (2016) Teori
Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.
Widati, Sri, dkk. (2015) Ensiklopedi
Sastra Jawa. Yogyakarta: Balai
Bahasa Provinsi Daerah