• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1-1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1-1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1-1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Daerah perkotaan mempunyai kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau perkembangannya, karena seringkali pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya dan tidak memenuhi syarat.

Perubahan penggunaan lahan yang paling intensif adalah perubahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan penggunaan lairmya. Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas penduduk di suatu tempat berdampak pada makin meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Pertumbuhan dan aktivitas penduduk yang tinggi terutama terjadi di daerah perkotaan, sehingga daerah perkotaan pada umumnya mengalami perubahan penggunaan lahan yang cepat. Menurut Miller (1988), sebanyak 43 % penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan. Sementara menurut Simmond (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta hektar lahan hijau (pertanian, kehutanan, perkebunan, dan lain-lain) telah berubah peruntukannya menjadi lahan perkotaan. Adanya perubahan penggunaan lahan tersebut dilihat dari aspek ekonomi pertanian merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan penduduk dan dilihat dari aspek lingkungan hal itu merupakan ancaman terhadap daya dukung lingkungan.

Makin banyaknya penduduk kota akibat pertumbuhan alami maupun migrasi berimplikasi pada makin besamya tekanan penduduk atas lahan kota, karena kebutuhan lahan untuk tempat tinggal mereka dan lahan untuk fasilitas-fasilitas lain sebagai pendukungnya yang semakin meningkat. Hal ini menjadi persoalan besar bagi perencana, pengelola kota maupun penduduk sendiri. Bagi para perencana dan pengelola kota dinamika pertumbuhan penduduk yang cepat dan tuntutan pengaturan penggunaan lahan kota yang terbatas tetapi selalu berubah mendatangkan pekerjaan tersendiri.

(2)

1-2 Pengaturan terhadap penggunaan lahan pertanian yang produktif merupakan suatu hal yang sangat urgen. Hal ini didasari pemikiran semakin sempitnya lahan untuk kegiatan pertanian, khususnya lahan pertanian pangan, dan ini tentunya akan mengancam keberlangsungan ketersediaan pangan bagi kita. Untuk itu diperlukan suatu mekanisme yang didasari kaidah-kaidah ilmiah dan tidak melanggar ketentuan yang ada.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN

1.2.1 Maksud Kegiatan

Maksud kegiatan Studi Penerapan Mekanisme Insentif dan Disinsentif Dalam Mendukung Lahan Pertanian Berkelanjutan ini adalah untuk membuat suatu konsep yang dapat diimplementasikan dalam melindungi keberlanjutan pemanfaatan lahan pertanian, khususnya pertanian pangan.

1.2.2 Tujuan Kegiatan

Tujuan kegiatan Studi Penerapan Mekanisme Insentif dan Disinsentif Dalam Mendukung Lahan Pertanian Berkelanjutan ini adalah sebagai berikut :

1 Mengetahui informasi perubahan penggunaan lahan dilihat dari aspek luas dan jenis penggunaan lahan;

2 Menyusun kebijakan mekanisme insentif dan disinsentif bagi pemanfaatan lahan pertanian, khususnya pertanian pangan;

3 Menyusun kebijakan Landreform dalam pendistribusian pemanfaatan lahan.

1.3 RUANG LINGKUP KEGIATAN

1.3.1 Lingkup Wilayah

Lingkup wilayah Pekerjaan ” Studi Penerapan Mekanisme Insentif dan Disinsentif Dalam Mendukung Lahan Pertanian Berkelanjutan” adalah Wilayah Kabupaten

Serdang Bedagai.

1.3.2 Lingkup Materi

Adapun lingkup materi dari Pekerjaan “Studi Penerapan Mekanisme Insentif dan Disinsentif Dalam Mendukung Lahan Pertanian Berkelanjutan” adalah sebagai berikut : 1 Terindentifikasi potensi lahan pertanian khususnya pertanian pangan. Potensi lahan dibutuhkan untuk menggambarkan potensi pertanian pangan dalam rangka

(3)

1-3 pemenuhan kebutuhan pangan lokal Kabupaten Serdang Bedagai

2 Teridentifikasi potensi alih fungsi lahan ke arah pertanian non pangan atau ke arah non pertanian. Potensi alih fungsi lahan akan menggambarkan besaran luasan lahan pertanian yang akan beralih fungsi yang mengakibatkan penurunan produksi sektor pertanian yang akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan.

3 Teridentifikasi faktor-faktor pendukung terjadinya alih fungsi lahan. Faktor-faktor pendukung alih fungsi lahan akan menggambarkan jenis-jenis permasalahan yang terjadi sebagai penyebab alih fungsi lahan serta berapa besar peran suatu faktor pendukung terhadap terjadinya proses alih fungsi lahan.

4 Terindentifikasinya faktor-faktor penghambat alih fungsi lahan. Setelah faktor pendukung diperoleh untuk mengatasi terjadinya alih fungsi lahan perlu diidentifikasi kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian, atau kebutuhan lainnya atas lahan tersebut sehingga tidak terjadi alih fungsi lahan 5 Terpetakan potensi lahan pertanian dan potensi alih fungsi lahan serta masalah

yang terkait dengan alih fungsi lahan.

6 Teridentifikasi hal hal yang bisa menjadi insentif bagi pemilik lahan untuk mempertahankan fungsi lahan dan disinsentif bagi pemilik lahan sebagai upaya penghambat alih fungsi lahan.

7 Terdisainnya mekanisme pemberian insentif dan disinsentif pada pemilik lahan

1.4 LANDASAN TEORI

1.4.1 Teori Alokasi Lahan.

Penggunaan lahan merupakan resultante dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah. Oleh karena itu proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks. Mekanisme perubahan itu melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Peranan pasar dalam proses alokasi penggunaan lahan sudah banyak dipelajari (Chisholm, 1966; Alonso, 1970; Barlowe, 1978) yang mendasarkan pada efisiensi. Oleh karena itu, tingkah laku individual yang dimasukkan dalam mekanisme pasar didasarkan pada nilai penggunaan (utility) yaitu highest and

best use. Secara teoritis, sejauhmana efisiensi alokasi sumberdaya lahan dapat dicapai

(4)

1-4 mengontrol himpunan karakteristik sumberdaya lahan. Himpunan karakteristik ini antara lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas antar alternatif penggunaan, ongkos transaksi, economies of scale, aspek pemerataan, dan keadilan. Dalam prakteknya, pemerintah di sebagian besar negara di dunia memegang peran kunci dalam alokasi lahan. Dengan sangat strategisnya fungsi dan peran lahan tanah dalam kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai legitimasi kuat untuk mengatur kepemilikan/penguasaan tanah. Peran pemerintah dalam alokasi lahan sumberdaya lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti pembangunan waduk dan kepemilikan lahan seperti hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya. Dengan demikian peranan pemerintah melalui sistem perencanaan wilayah (tata guna) ditujukan untuk: (1) menyediakan sumberdaya lahan untuk kepentingan umum, (2) meningkatkan keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan (3) melindungi hak milik melalui pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan. Secara garis besar, model tata guna lahan dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, model mikro dimana satuan analisisnya mikro (misalnya perusahaan). Dalam pendekatan ini terdapat empat model yang biasa diacu yaitu: (1) model von Thunen, (2) model Burges, (3) model Hoyt, dan (4) model Weber (Barlowe, 1978; Foust and de Souza, 1978). Kedua, model analitik pendekatan wilayah, dimana unit analisisnya adalah wilayah. Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo. Menurut model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh kesuburannya. Menurut von Thunen nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan von Thunen mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan sebagi cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut.

(5)

1-5 Gambar 1.1

Penentuan Locational Rent Function Menurut Model Von Thunen

1.4.2 Defenisi Lahan Pertanian

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Lahan sawah merupakan salah satu sarana yang penting di dalam pembangunan Sektor Pertanian. Lahan sawah yang ada pada publikasi ini adalah lahan sawah yang terdiri dari lahan sawah irigasi dan sawah bukan irigasi. Pergeseran lahan sawah dapat mempengaruhi produktivitas padi pada khususnya dan sektor pertanian pada umumnya.

1.4.3 Pengertian Alih Fungsi

Alih fungsi tanah merupakan kegiatan perubahan peggunaan tanah dari suatu kegiatan yang menjadi kegiatan lainnya. Alih fungsi tanah muncul sebagai akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah merubah strukur pemilikan dan penggunaan tanah secara terus menerus. Perkembangan struktur industri yang cukup pesat berakibat terkonversinya tanah pertanian secara besar-besaran. Selain untuk memenuhi kebutuhan industri, alih fungsi tanah pertanian juga terjadi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang jumlahnya jauh lebih besar. 9 Alih fungsi tanah pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari pembangunan. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan memperlambat dan mengendalikan kegiatan alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian.

(6)

1-6 Dalam rangka dilakukannya alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian para pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonannya melalui mekanisme perijinan. Mekanisme tersebut terbagi dalam dua jalur yaitu dapat melalui ijin lokasi atau ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian. Perbedaan dari dua mekanisme tersebut adalah terletak pada luasnya tanah yang dimohon, apabila luas tanah pertanian yang dimohonkan perubahan penggunaannya ke tanah non pertanian kurang dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, sedangkan apabila lebih dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin lokasi.

Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian). Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia, penguasaan dan penggunaan lahan mulai terusik. Keterusikan ini akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, kian waktu kian meningkat. Khusus untuk Indonesia, fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius di kemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari sekarang. Implikasinya, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Sebetulnya sejumlah perundang-undangan telah dibuat dan berbagai peraturan sudah diciptakan, namun semuanya seakan-akan mandul dalampengendalian alih fungsi lahan pertanian. Dengan kata lain, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi tersebut belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif, yaitu yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Secara umum tulisan ini bertujuan untuk menganalisis strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada partisipasi masyarakat.

(7)

1-7 Tujuan spesifiknya adalah :

1) Mengidentifikasi keragaan alih fungsi lahan pertanian dan kinerja pengendaliannya;

2) Merekomendasikan strategi alternatif pengendalian alih fungsi lahan, baik strategi peraturan kebijakan maupun strategi partisipasi masyarakat.

Di satu sisi, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lainnya, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi keragaan alih fungsi lahan pertanian dan kinerja pengendaliannya; dan (2) merekomendasikan strategi alternatif pengendalian alih fungsi lahan, baik strategi peraturan kebijakan maupun strategi partisipasi masyarakat. Strategi peraturan kebijakan mencakup komponen instrument hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Sementara itu, strategi partisipasi masyarakat ditempuh melalui pemahaman terhadap eksistensi pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Dengan kata lain, strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada partisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus analisis) perundang-undangan dan peraturan yang ada melalui pendekatan sosialisasi dan advokasi. Dua kata kunci dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian adalah holistik dan komprehensif. Dengan kata lain, alih fungsi lahan pertanian harus jadi perhatian semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang dimaksud merupakan tumpuan dengan dimensi cukup luas, yakni segenap lapisan masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang berhubungan secara nyata dan tidak nyata dengan alih fungsi lahan pertanian. Sehubungan dengan itu, dasar pemikiran mengenai strategi pengendalian alih fungsi lahan yang bertumpu pada masyarakat ini disajikan pada Gambar 1.2

(8)

1-8 Gambar 1.2

Dasar PemikiranStrategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat

Dari Gambar 1.2 dapat diperhatikan bahwa terdapat tiga langkah dalam mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat.

Pertama, titik tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi

segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan proses alih fungsi lahan pertanian. Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument hukum (peraturan perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif, kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan, sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan. Selanjutnya, fokus perhatian terhadap eksistensi dan partisipasi pemangku kepentingan dapat dicermati dengan metode analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Analisis ini berhubungan dengan penilaian kelembagaan dan analisis sosial dalam kerangka sosial kelembagaan. Implementasinya,

(9)

1-9 analisis pemangku kepentingan merupakan kerangka logis (logical framework) rancangan kegiatan partisipatif.

1.4.4 Strategi Alternatif Pengendalian Alih Fungsi Lahan

1) Strategi Peraturan Kebijakan

Perlu digarisbawahi bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka keputusan untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau dari segi jasa (service) yang dihasilkan maupun beragam fungsi yang melekat di dalamnya.

Sehubungan dengan isu di atas, Pearce and Turner (1990) merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland), yaitu melalui :

a) Regulation;

Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bias melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat kabupaten dalam proses alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.

b) Acquisition And Management;

Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land

tenure system) yang ada guna mendukung upaya ke arah mempertahankan

(10)

1-10 c) Incentive And Charge.

Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya. Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada acuan pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat. Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihak-pihak yang mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta kemudahan sarana produksi pertanian (Isa, 2006). Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan alih fungsi lahan yang implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber produksi pertanian (pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumen-instrumen tersebut berkaitan dengan pemberian penghargaan dan sanksi pelanggaran (reward andpunishment). Kebijakan zonasi berhubungan dengan ketatalaksanaan tata ruang wilayah melalui pengelompokan (cluster) lahan menjadi tiga kategori zona pengendalian, yaitu lahan yang dilindungi (tidak boleh dialihfungsikan), alih fungsi terbatas, dan boleh dialihfungsikan. Zonasi diatur berdasarkan kriteria klasifikasi irigasi, intensitas tanam, dan produktivitas lahan sawah. Kriteria irigasi dibedakan atas lahan sawah beririgasi dan nonirigasi. Kriteria intensitas tanam adalah satu hingga dua kali

(11)

1-11 tanam per tahun, sedangkan kriteria produktivitas yaitu di bawah 4,5 ton/ha/panen .

1.5 SISTEMATIKA LAPORAN

Sistematika Laporan Draft Akhir Pekerjaan ” Studi Penerapan Mekanisme Insentif dan Disinsentif Dalam Mendukung Lahan Pertanian Berkelanjutan” adalah:

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas mengenai latar belakang, maksud dan tujuan kegiatan, ruang lingkup kegiatan baik lingkup waktu maupun lingkup materi dari kegiatan penyusunan ” Studi Penerapan Mekanisme Insentif dan Disinsentif Dalam Mendukung Lahan Pertanian Berkelanjutan”.

BAB 2 TINJAUAN KEBIJAKAN

Pada bab ini membahas mengenai tinjauan terhadap undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan ketahanan pangan, kebijakan RTRW Kabupaten Serdang Bedagai, kebijakan RPJP Kabupaten Serdang Bedagai dan RPJM Kabupaten Serdang Bedagai

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

Pada bab ini membahas mengenai kondisi fisik Kabupaten Serdang Bedagai serta kondisi pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai.

BAB 4 ANALISA

Pada bab ini membahas analisa kesesuaian lahan, analisa

kependudukan, analisa pergeseran lahan yang beralih fungsi, analisa potensi pertanian padi, analisa terhadap ketersediaan infrastruktur pendukung, analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat petani, analisa terhadap penilaian responden.

(12)

1-12

BAB 5 KONSEP MEKANISME PENERAPAN INSENTIF DAN DISINSENTIF

LAHAN PERTANIAN

Pada bab ini mambahas mengenai tujuan penerapan insentif dan disinsentif, kebijakan pemerintah berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang lahan pangan berkelanjutan, serta kebijaksanaan yang ditempuh untuk mempertahankan lahan pangan berkelanjudan, dan mekanisme insentif dan disinsentif.

Referensi

Dokumen terkait

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi