• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SAKSI PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM By.H.Ridwan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN SAKSI PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM By.H.Ridwan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN SAKSI PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM By.H.Ridwan

Saksi merupakan salah satu bagian penting yang harus ada dan hadir dalam majelis pernikahan. Karena begitu pentingnya saksi maka tidak heran kalau jumhur ulama’ menempatkan saksi ini sebagai rukun di dalam pernikahan. Tetapi ketika saksi dijadikan suatu rukun dalam pernikahan ternyata masih terjadi debatebel diantara sebagian kalangan ulama’ fiqh. Penelitian ini memfokuskan bagaimana kedudukan saksi dalam perspektif Hukum Islam. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Diskriptif kualiltatif jenis kajian pustaka. Dimana data yang terkumpul dianalisis melalui Kondensasi data (data condensation), Penyajian data (data display) dan Penarikan kesimpulan

(conclusions drawing). Hasil analisis menunjukkan bahwa madzab Imam Syafi’i

berpendapat bahwa saksi menjadi bagian rukun dalam pernikahan, apabila dalam suatu pernikahan tidak ada saksi maka dipastikan tidak sah nikahnya. Metode istimbath hukum Mazhab Syafi’i juga menggunakan hadits yang diriwayat oleh Daruquthni, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa kata nahyu(peniadaan)dalam Sabda Rasulullah, bermakna tidak sah pernikahan sehingga menjadikan persaksian menjadi syarat dalam pernikahan, karena tanpa adanya saksi dalam aqadmaka dianggap pernikahan itu tidak ada, sehingga hal itu menjadi syarat dalam pernikahan.Namun berbeda dengan madzab Imam Maliki bahwa saksi tidak wajib hadir pada saat aqad pernikahan, pandangan Imam Malik berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Dalil yang digunakan oleh Mazhab Maliki dan metode istimbat hukumnya menggunakan Hadist yang diriwayatkan oleh Daruquthni, menurut Imam Malik saksi tidak wajib hadir pada saat aqad pernikahan, pandangan Imam Malik berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Mazhab maliki mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui pengumuman (i’lan).

Pendahuluan a. Latar Belakang

Pernikahan adalah sesuatu yang suci dan agung dalam agama, baik Islam maupun agama lainnya. Oleh karena itu, tidak setiap orang bisa melakukan sendiri, melainkan harus ada orang lain yang menikahkan dan menjadi saksi atas pernikahan tersebut. Lebih dari itu, dalam pernikahan juga terdapat kesepakatan dan perjanjian atau komitmen untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab masing-masing (suami-istri). Stabilitas kehidupan rumah tangga adalah modal dasar bagi upaya pembinaan keluarga bahagia dan sejahtera. Adapun nikah secara shara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera yang sakinah mawaddah warohmah (M. A. Tihami dan Sahrani, 2009).

(2)

Pernikahan merupakan sunatullah di dalam Islam sebagai ikhtiar untuk berkembang biak dan meneruskan estafet kehidupan manusia. Oleh karena itu pernikahan tidaklah semata-mata mengahalalkan hubungan biologis semata akan tetapi lebih daripada itu memilki nilai ibadah, maka dalam nikah diperlukan syarat dan rukun sehingga pernikahanya sah. Menurut Fiqh Munakahat yang mengatur masalah pernikahan secara rinci, termasuk didalamnya syarat dan rukun nikah. Adapun Rukun nikah terdiri dari; 1)Mempelai laki-laki; 2)Mempelai perempuan; 3) Wali; 4) Dua orang saksi dan 5) Ijab dan Qobul (Syarifuddin 2007).

Rukun nikah tersebut di atas ternyata masih menjadi debatebel dikalangan para ulama fiqh (Hukum Islam) .Perbedaan yang sangat mencolok terletak wali dan dua orang saksi, dimana sebagian ulama fiqh ada yang memasukkan dalam rukun dan ada yang tidak memasukkan sebagai rukun; ada yang mengatakan sebagai syarat sah dan ada juga yang mengatakan hanya sebagai pelengkap saja.

Berangkat dari debatebel diantara ulama’ fiqh tersebut di atas, maka sangat menarik perhatian untuk dibahas lebih lanjut dalam sebuah karya tulis ilmiah, yang berjudul “Kedudukan Saksi dalam Perkawinan Perspektif Hukum Islam”. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran wawasan pengetahuan dan informasi yang positif bagi penulis, civitas Akademik, dan para pembaca, serta sebagai solusi dalam masyarakat megenai saksi dalam pernikahan persepektif hukum Islam. Disamping itu Penelitian ini diharapkan bisa menambah hazanah keilmuan baik kepada peneliti maupun masyarakat mengenai sak pernikahan dalam perspektif hukum Islam

b. Identifikasi masalah

Setelah pemaparan latar belakang masalah, maka perlu untuk mengedentifikasi beberapa masalah yang timbul dan membatasi masalah tersebut dengan identifikasi dan batasan masalah.sebagai berikut:

1. Pernikahan di dalam Islam merupakan sunatullah bukan hanya sekedar menghalalkan dalam menyalurkan nafsu biologis, tetapi lebih daripada itu memiliki nilai ibadah. 2. Pernikahan di dalam Islam harus terpenuhi syarat dan rukun nikah. Sudah dipastikan

apabila tidak terpenuhi keduanya maka tidak sah nikahnya. Salah satu rukun dalam nikah diantaranya “dua orang saksi”.

3. Selama ini “dua orang saksi” yang harus ada dan hadir dalam majelis pernikahan, ternyata hal ini masih menjadi debatebel diantara kalangan ulama’ fiqh (Hukum Islam)

(3)

dimana sebagian ulama fiqh ada yang memasukkan dalam rukun dan ada yang tidak memasukkan sebagai rukun; ada yang mengatakan sebagai syarat sah dan ada juga yang mengatakan hanya sebagai pelengkap saja.

c. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan Saksi Pernikahan dalam perspektif hukum Islam?

d. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini untuk menjawab masalah di atas yakni guna mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukan saksi pernikahan dalam perspertif Hukum Islam. Secara teoritis, tulisan ini diharapkan dapat menambah kazanah keilmuan berpikir bagi penulis dan pembaca, serta dapat menjadi salah satu bahan refrensi.

Secara praktis, sebagai bentuk sumbangan pemikiran, bagi peneliti untuk dijadikan referensi dan bagi masyarakat bisa menjadi salah satu alternatif ketika ada masalah yang terkait dengan penyelenggaraan pernikahan . Masyarakat hendaknya memperhatikan ketentuan Fiqh (Hukum Islam).

Pembahasan

a. Pengertian saksi

Saksi mempunyai peranan yang sangat penting, baik dalam ranah pernikahan maupun jual beli, dikarenakan saksi dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang akan memberikan keterangan mengenai kejadian yang dilihatnya apabila alat bukti yang lain dirasa kurang. Saksi menurut bahasa arab yang bersal dari kata دھش – دھشی – ةداھش yang berarti berita pasti(Munawir 2002). Dalam kajian fiqih istilah kesaksian di ambil dari kata ةدھاشم yang artinya melihat dengan mata kepala, karena lafaz دھش (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan apa yang disaksikan dan dilihatnya.Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang apayang dia ketahui denganlafaz دھشا “aku menyaksikan atau akau telah menykasikannya”. (Munawir 2002).

Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui suatu peristiwa kejadian atau orang yang diminta hadir

(4)

pada suatu peristiwa untuk mengetahui agar suatu ketika diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi (Depdiknas 2002) Pengertian saksi secara bahasa yang dikemukakan beberapa para ahli sebagai berikut:

1. MenurutMuhammad Idris Al-Marbawi,saksi adalah orang melihat dengan mata sendiri”.(Idris 182)

2. W.J.S.Poedarwaminta mengemukakan bahwa saksi adalah sebuah katabenda dalam bahasaIndonesia yang berarti “orang yang melihat ataumengatur”.

( Poerwadarminta 1985)

3. Menurut Istilah Fiqih, saksi adalah orang atau orang-orang yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain. Dalam pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting sekali, apalagi ada kebiasaan di dalam masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak dicatat (Mujieb 1994).

Kemudian secara istilah menurut Sulaikin Lubis, saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, mendengar dan alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu (Lubis 2005).

Sedangkan Pengertian Saksi menurut KUHP Pasal 1:26, yakni: "Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu(KUHP 2007)

Dari berbagai definisi yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diambil benang merahnya bahwa pengertian saksi adalah orang atau orang-orang yang melihat, mendengar, atau menyaksikan secara langsung mengenai suatu peristiwa dan apabila terjadi persengketaan mengenai peristiwa tersebut, maka saksi akan dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan apa yangtelah ia lihat dan dengar, apabila kesaksian inidilakukan di depan pengadilan maka akan disumpah terlebih dahulu.Jika dikaitkan dengan peristiwa pernikahan,maka saksi adalah orang atau orang-orang yang melihat atau menyaksikan secara langsung bahwa telah terjadi suatu akad nikah di suatu tempat.

(5)

b. Dasar Hukum Saksi

Adapun dasar hukum yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits sebagaberikut:

Artinya: ...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu), jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...(Q.S. al-Baqarah ayat 282)(Departemen Agama 2007)

Artinya: ...dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya... (QS. Al-Baqarah ayat 283)(Departemen Agama 2007).

Artinya: Dari Zaid bin Khalid al-Juhani r.a. bahwasannya Nabi saw bersabda: Apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaik-baiknya saksi? ialah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya. (HR. Muslim).

(6)

Artinya: Dari Abdullah bin Amr r.a,Ia berkata,Rasulullah Saw pernah bersabda,“tidak bolehdijadikan saksi seorang lelaki atau wanita yang berkhianat dan seorang yang menyimpan dendam terhadap saudaranya, juga tidak boleh seorang pembantu bersaksi terhadap tuannya.” (H.R Ahmad dan Abu Dawud)(As-Shan'ani 2015)

Artinya: Dari IbnuAbbas r.a. Nabi saw bersabda,“Apakah kamu dapat melihat matahari dengan jelas?” Ia menjawab, “Dapat.” Beliau melanjutkan,”Seperti itulah hendaknya kamu bersaksi atau jangan beri persaksian”.(HR. Ibnu Adi dengan sanad yang dhaif. Al-Hakim menshahihkan hadits ini tetapi itu keliru) (As-Shan'ani 2015)

Dari beberapa ayat Al-Qur‟an dan hadits yang telah disampaikan di atas menunjukkan bahwa kedudukan saksi itu sangat penting dalam setiap peristiwa supaya saksi ini dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya tanpa ada yang disembunyikan dan kebohongan. Begitu juga halnya dengan peristiwa pernikahan, saksi disyaratkan ada pada saat akad nikah karena kedudukannya yang sangat penting untuk mencegah adanya tuduhan zina, mengumumkan kepada masyarakat bahwa telah terjadi pernikahan, dan juga menentukan sah atau tidaknya pernikahan tersebut.

c. Syarat Saksi

Saksi nikah adalah salah satu rukun yang tidak boleh ditinggalkan dalam suatu prosesi akad nikah. Hal ini senada dengan Hadits

لا لَالَنِ لانَ ي ٍّنِلَنِ يْلَنِالَلَ

يٍيَلَ

“tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. Ibnu Hibban dan al Baihaqi)(Rusyd tth).

Karena saksi dalam akad nikah bertanggungjawab sah dan tidaknya suatu akad nikah. Maka wajar kalau untuk menjadi saksi nikah ada syarat tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Fiqh (Hukum Islam). Adapun syarat-syarat saksi antara lain sebagai berikut:

(7)

Seorang saksi harus beragama Islam, karena Islam merupakan syarat untuk diterima kesaksian saksi. Hal ini sesua dengan QS An-Nisa ayat 141 ;

...Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman (Departemen Agama 2007).

Oleh sebab itu tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim. Kecuali dalam hal wasiat di tengah perjalanan, dalam hal ini diperbolehkan oleh Imam Abu Hanifah, Syuraih, dan Ibrahim al-Nakha‟i.Imam Abu Hanifah juga memperbolehkan kesaksian orang-orang kafir terhadap sesamanya. Sebab Rasulullah SAW merajam dua orang Yahudi dengan kesaksian orang-orang Yahudi atas keduanya bahwa keduanya telah berbuat zina (Rusyd 1990).

Sementara Imam al-Syafi‟i dan Imam Malik mengatakan bahwa tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim, baik dalam persoalan wasiat di perjalanan ataupun yang lainnya ( Sabiq 1987). Hal ini sesuai dengan Hadits ;

Artinya: Tidak dapat diterima kesaksian pemeluk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang Islam karena mereka itu adalah orang-orang yang adil baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. (HR. Abdur Rozzaq) (Zahrah 2008).

Dari ayat dan hadits serta pendapat para ulama tersebut di atas bahwa untuk menjadi saksi apapun yang terkait dengan perasalahan apa saja tidak diperbolehkan mengikut sertakan orang kafir untuk menjadi saksi umat Islam.

2. Baligh

Jumhur ulama sepakat bahwa syarat saksi sebuah akad nikah haruslah orang yang sudah baligh. Sedangkan anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumayyiz (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima pemberitahuan dan menghormati acara pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut di atas disepakati oleh fuqaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi telah mukallaf. Dasarnya adalah QS Al Baqarah 282 ;

(8)

ا وۡددهھ وشتَوۡا تۡ هِویتدوۡهھتش وِهم

ۚ

وۡدُهِاتَ هِّ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. (Depatemen Agama 2007).

Di dalam ayat tersebut di atas Allah SWT menggunakan istilah rijal yang maknanya bukan sekedar berjenis kelamin laki-laki, tetapi yang lebih kuat pesannya adalah orang yang sudah dewasa atau minimal sudah baligh. Karena makna rijal adalah laki-laki dewasa. Seorang bayi yang alat kelaminnya laki-laki tidak pernah disebut rijal, sebagaimana anak kecil laki-laki pun juga tidak disapa dengan panggilan rijal.

3. Sehat akalnya

Saksi merupakan orang yang menyaksikan langsung kejadian atau perbuatan seseorang. Oleh karena itu saksi diharuskan berakal sehat hal ini senada dengan Majmmu’atun bahwa “ Maka tidak sah kesaksian orang yang tidak berakal secara ijma’, karena ia tidak memahami apa yang ia katakan (Majmu’tun 2006) dan tidak akan tercapai tujuan kesaksian yaitu pemberitahuan, sehingga akan tetaplah nikah itu dalam keingkaran setelah akad nikah(Wahbah 2011)

Kategori yang dikatakan hilang akal bisa disebabkan gila atau mabuk, karena orang yang hilang akal tidak bisa dipertanggungjawabkan kesaksianya dan tidak akan timbul keyakinan orang terhadap perkataannya. Karena secara hukum taklifi bahwa orang gila tidak terbebani hukum sampai dengan ia kembali normal dan benar-benar dikatakan orang tersebut dinyatakan berakal sehat.

4. Merdeka

Hukum Islam mensyaratkan bahwa saksi harus merdeka. Menurut jumhur ulama’ sepakat bahwa saksi harus merdeka kecuali kecuali Hanabilah bahwa kedua saksi tidak mensyaratkan harus merdeka. Maka tidak sah kesaksian dua orang hamba karena keseriusan akad nikah dan karena seorang hamba tidak ada kekuasaan baginya terhadap dirinya, dia tidak boleh menjadi saksi karena tidak ada kekuasaan. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan baginya untuk orang lain. Kesaksian merupakan bagian dari kekuasaan. (Wahbah, 2011).

Hanabilah berpendapat bahwa tidak disyaratkan saksi itu harus merdeka, bahkan diterima kesaksian seorang hamba dalam segala hal, kecuali pada masalah

(9)

hudud dan qishash( Qudamah, tth) Dan tidak ada ketetapan yang menafikan kesaksian

seorang hamba baik dalam al-Qur’an, sunnah maupun ijma. 5. Laki-laki

Salah satu syarat saksi disyaratkan laki-laki hal ini merujuk ke pada QS Al Baqarah Ayat 282 ;

ا وۡدُهِ وۡتَوۡا تۡ هِوۡتُوۡهِتۡ وِهِ موۚدُهِاتَ هِّ وِهاتَ وۚلِ اتَ وۡدُتۡ هِوۡتَدَتِ لٌدَتِتَ هِتَتاتِ وِالۡ وِلِهِ

تِ وۡتَ وِتَ تِهِ هِااتُتِشِۡا وِتا لٌ هَتَ اتِدِٮتُ وۡها تِهُّتَدَتَ اتِدِٮتُ وۡها ىؕ تِ وۡد واا

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. (Departemen Agama 2007).

Dengan dasar ayat tersebut di atas wajar kalau jumhur ulama’ fiqh selain Hanafiyah bahwa kedua saksi itu mensyaratkan harus laki-laki. Maka tidak sah pernikahan dengan saksi perempuan keduanya dan tidak juga dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan sebab keseriusan pernikahan dan kepentingannya. Berbeda dengan kesaksian, dalam masalah harta dan muamalah yang sifatnya harta.

Az-Zuhri berkata: Telah terdahulu sunnah. bahwa tidak boleh kesaksian perempuan dalam masalah hudud, nikah dan talak. Hanafiyah berkata: boleh kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan pada akad nikah sama seperti kesaksian dalam masalah harta, karena perempuan termasuk yang ahli mengemban kesaksian dan melaksanakannya. Kesaksian perempuan tidak diterima hanyalah pada masalah hudud dan qishash(Zuhaily 2011)

6. Adil

Kategori saksi adil adalah muslim yang menjalankan kewajiban dan tidak melakukan dosa besar atau kebohongan. Oleh karena itu dalam suatu akad nikah diperlukan saksi adil yang bisa dipertanggungjawabkan secara Hukum Islam. Tetapi dikalangan ulama’ fiqh berbeda pendapat tentang kedudukan saksi dalam pernikahan ada yang menjadikan syarat dan ada yang menjadikan sebagai rukun nikah.

Pertama, Hanafiyah berpendapat bahwa sifat adil untuk saksi, bukan syarat. Pernikahan hukumnya sah, meskipun dengan saksi dua orang fasik. Setiap orang yang layak

(10)

menjadi wali nikah, maka dia layak menjadi saksi. Karena maksud utama adanya saksi adalah pengumuman adanya pernikahan. (Ghozaly, 2013).

Kedua, Syafi’iyah dan mayoritas ulama berpendapat bahwa saksi dalam urusan manusia harus adil. (Ghozaly, 2013). Hal ini merujuk pada hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ل حاُن لا يِوب يدھاشۡ لدع

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (HR. At-Thabrani dalam al-Ausath, Ad-Daruquhni, dan dishahihkan al-Albani)(Ghozaly, 2013).

Dengan demikian dapat difahami bahwa kriteria adil dalam masalah saksi, kembali pada standar yang ada di masyarakat. Artinya jika seseorang itu masih dianggap sebagai orang baik-baik di mata masyarakatnya, maka dia layak untuk menjadi saksi, kerena telah memenuhi kriteria adil di masyarakat tersebut, artinya orang yang terbaik dikalangan masyarakat.

7. Mendengar dan melalihat

Saksi akad nikah dipersyaratkan bisa mendengar dan melihat karena seorang saksi akan menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi di lokasi. Karena mendengar dan melihat adalah syarat mutlak yang harus dilakukan saksi. Maka wajar kalau para ulama’ fiqh memberikan ragam pendapat yang berbeda-beda, seperti menurut Syaikh Nizham wa Jama’atun min Ulama al-Hindi mengatakan “ Tidak diterima kesaksian orang yang buta secara mutlak”(Syaikh Nizham 1991).

Kemudian Madzab Imam Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak sah kesaksian orang yang buta dalam hal perbuatan karena jalan untuk mengetahui perbuatan itu adalah dengan melihat. Begitu juga dalam hal perkataan, kecuali apa yang sudah tetap karena sudah tersebar(Majmu’tun, 2006).

Berbeda dengan Asy-Syairazi bahwa Boleh orang yang buta menjadi saksi dalam hal yang sudah telah tetap karena sudah tersebar, sebab cara untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan mendengar. Orang yang buta seperti orang yang bisa melihat dalam pendengaran (Asy-Syairazi,tth)

(11)

Zufar rahimahullahu termasuk riwayat dari Abu Hanifah berpendapat bahwa diterima kesaksian orang yang buta kalau kondisinya bisa mendengar. Karena yang dibutuhkan dalam kesaksian itu adalah bisa mendengar dan tidak ada yang menghalangi pendengarannya(Abu Hasan, tt).

Dari pendapat tersebut di atas dapat difahami bahwa seorang saksi memiliki persyaratkan mendengar dan melihat karena dua hal tersebut bisa dijadikan acuan untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu perbuatan seseorang.

d. Kedudukan Saksi Dalam Perkawinan Perpektif Hukum Islam

Perkawinan merupakan Sunnah Allah yang sudah diketahui secara umum dan berlaku di dunia ini pada semua makhluk Allah baik manusia, jin, hewan, begitu juga tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan salah satu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan untuk memperbanyak diri (berkembang biak), dan meneruskan hidupnya. Adapun Tujuannya untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ada ketentuan syarat dan Rukun dalam Perkawinan. Adapun Rukun Nikah yaitu mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab qobul. Ulama fiqh (Hukum Islam) berbeda pendapat tentang ; wali dan dua orang saksi. Ulama’ Fiqh (Hukum Islam) ada yang memasukkan dalam rukun dan ada yang tidak memasukkan sebagai rukun; ada yang mengatakan sebagai syarat sah dan ada juga yang mengatakan hanya sebagai pelengkap saja. Hal ini dilakukan agar terwujudnya kepastian hukum serta menghindari sanggahan dari pihak-pihak yang berakad dibelakang hari(Syarifuddin 2007)

Ulama Fiqh (Hukum Islam) sepakat bahwasanya wali menjadi syarat sahnya pernikahan, maka tidak sah dua saksi selain wali. Hal ini merujuk pada dalil ;

Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil(Ghozaly 2013). Akan tetapi dalam literatur lain ditemukan perbedaan sebagai berikut;

1. Ulama Shafi’iyyah dan Hanabilah menempatkan saksi sebagai rukun dalam pernikahan.

(12)

3. Ulama Malikiyyah menurut riwayatnya Ahmad tidak memasukkan saksi dalam rukun dan syarat(al-Zuhaili 2011 ).

Tetapi wajib menghadirkan dua saksi ketika berhubungan intim. Jika tidak mendatangkan dua saksi maka pernikahannya rusak dengan bentuk talak bain, karena akad pernikahannya adalah akad yang sah. Karena jika tidak mewajibkan menghadirkan saksi secara mutlak akan membuka jalan perzinaan (al-Jaziri 2004).

Dalam Kompulasi Hukum Islam(Fiqh madzab Indonesia) mengatur saksi dalam perkawinanyang materi keseluruhannya diambil dari kitab fiqh madzab empat terutama Fiqh Imam Shafi’iyyah. Ketentuan saksi dalam perkawinan diatur KHI dalam Pasal 24, 25, dan 26 (Syarifuddin 2007) .Oleh karena itu KHI sama sekali tidak bertentangan dengan pendapatnya para ulama Fiqh (Hukum Islam).

Penutup a. Simpulan

Dari hasil pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bawa madzab Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa saksi menjadi bagian rukun dalam pernikahan, apabila dalam suatu pernikahan tidak ada saksi maka dipastikan tidak sah nikahnya.Namun berbeda dengan madzab Imam Maliki bahwa saksi harus ada tetapi tidak wajib hadir pada saat aqad pernikahan, pandangan Imam Malik berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Dalil yang digunakan oleh Mazhab Maliki dan Maliki dan metode istimbat hukumnya menggunakan Hadist yang diriwayatkan oleh Daruquthni, menurut Imam Malik saksi tidak wajib hadir pada saat aqad pernikahan, pandangan Imam Malik berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Mazhab maliki mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui pengumuman (i’lan). Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau Hukum Islam ala Indonesia tentang saksi nikah pada Pasal 24,25 dan 26 cenderung mengikuti madzab Imam Syafi’i yang menjadikan saksi nikah sebagai Rukun Nikah sehingga pada waktu akad nikah harus ada dan hadir dalam akad nikah.

(13)

Melalui tulisan ini diharapkan bisa memberikan informasi tentang saksi nikah yang dikategorikan sebagai rukun nikah. Oleh karena itu saksi dalam pernikahan harus ada dan hadir dalam akad nikah. Disamping itu saksi juga memiliki syarat ; Islam, Baligh, Berakal sehat, Laki-laki, Merdeka, Adil dan Mendengar dan melihat. Dengan demikian pada waktu akad nikah dilangsungkan diusahakan saksi akad nikah benar-benar memenuhi syarat sehingga pernikahannya sah dan afdhal.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin. 2007. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progessif, 2002

Ad-Daruquthuni, Ali Ibn Umar, Sunan Ad-Daruquthuni.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Cet 1. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Abdul Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2013, Cetakan ke-3.

Asy-Syairazi, Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Mahdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, (Beirut: tp, th), jilid 2.

Al-Marghiyani, Abu Hasan Ali bin Abu Bakar, al-Hidayah Syarh al-Bidayah, (tt: Maktabah Islamiyah, th), jilid 3.

Depdiknas, Tim Redaksi: Hasan, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Bali Pustaka, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 2007.

Idris Al-Marbawi,Kamus al-Marbawi, (Mesir: Mustafa al-Babilal Halaby, t.Th), Juz.ke-1. Ibnu Qudamah, Syarh al-Kabir li Ibn al-Qudamah, (tt: tp, th), jilid 12.

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press 2010)

M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah, Kamus Istilah Fiqih,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Muhammad bin Ismāīl Al-Amiri, al-Shan‟any, Subul Al-Salām Syarah Bulugh Al-Marām, Penerj. Ali Nur Medan dkk, Pustaka Press 2004.

(14)

Majmu’tun min al-Muallifina, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizarah al-Auqati wa asy-Syuun al-Islamiyah, 1427 H/2006).

Redaksi Sinar Grafika,KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. ke-7.

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtasyid.Terj.M. A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah “Terjemah Bidayatul Mujtahid”, Semarang: Al-Syifa’, Cet. Ke-1, 1990 SulaikinLubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2005.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung: Al-Ma‟arif, Cet.Ke-1, Juz 14, 1987.

Syaikh Nizham wa Jama’atun min Ulama al-Hindi, al-Fatawa al-Hindiyah, (Beirut: Dar al-Fikri, 1991).

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007.

W.J.S Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), Zahrah, Muhammad Abu, UshulFiqh,Terj. SaefullahMa’shum, dkk. Jakarta: PustakaFirdaus,

Referensi

Dokumen terkait

Tuturan ini termasuk ke dalam tindak tutur tidak langsung karena selain memberitahu mitra tutur bahwa murid TPA sudah banyak yang berdatangan, penutur secara tidak

ANB menerima pesanan kantor pusat, kemudian produk yang telah sesuai pesanan disampaikan pada pusat distribusi (PT. Semua aspek persyaratan ISO 9001:2008 telah dipenuhi oleh

(3) Tindakan medis pemberian darah dan/atau komponennya kepada pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan

Produk kalsium klorida keluaran reaktor dipisahkan dari padatan yang tidak bereaksi dengan menggunakan centrifuge dan ke dalam netralizer untuk menghilangkan

Bimbingan kelompok dengan teknik games adalah layanan yang diberikan secara kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok, dan games sebagai media untuk meningkatkan

Tungkai di bentuk oleh tulang atas atau paha (os femoris/femur), sedangkan tungkai bawah terdiri dari tulang kering (os Tibia) dan betis serta tulang kaki, sedangkan gelang

65 Sungai Medang Kecil (Ds. Batu Raja Kec. Rambang Dangku).. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya.. No. Batu Raja Kec. Rambang Dangku) 67 Sungai Sialang (Ds. Batu Raja

Obyek yang dapat dimanfaatkan sebagai potensi ekowisata di Desa Buluh Awar dianalisis mengacu pada 4 kriteria yakni daya tarik, aksesibilitas, akomodasi, dan sarana