• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: ANTARA NEGARA, AGAMA DAN WARGA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: ANTARA NEGARA, AGAMA DAN WARGA NEGARA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: ANTARA NEGARA, AGAMA DAN WARGA NEGARA

Hendra Ani Iswiyanto

Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah Balikpapan hendraani17@gmail.com

Abstrak

Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia yang beradab. Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik. Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu. Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai. Selain itu, tentunya kita sebagai warga negara Indonesia yang baik, memiliki banyak kewajiban yang harus kita laksanakan untuk negara. Diantaranya yang terpenting adalah mematuhi hukum-hukum yang berlaku. Negara membuat suatu peraturan dan hukum, pasti bertujuan yang baik untuk kelangsungan hidup dan tertatanya suatu negara. Untuk mewujudkan Indonesia yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.

Keyword: tatanegara; pancasila; fundamentalis A. Latar Belakang Masalah

Negara merupakan organisasi sekelompok orang yang bersama-sama mendiami dan tinggal di satu wilayah dan mengakui suatu pemerintahan. Unsur-unsur terbentuknya suatu negara secara konstitutif adalah wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 26 ayat 1, warga negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang bertempat tinggal di Indonesia, dan mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada NKRI yang disahkan dengan UU. Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi sesuai dengan Pancasila. Dimana warga negaranya diberi kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya tetapi tentunya dalam konteks yang positif. Sistem demokrasi ini menandakan bahwa Indonesia sangat menghargai warga negaranya sebagai mahluk ciptaan Allah SWT dan mengakui persamaan derajat manusia.

(2)

2

yang menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara negara dan agama menjadi polemik di antara berbagai pihak yang lain.

Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan negara dan agama telah mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi pemisahan antara negara dan agama.

Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum-kaum yang menuntut pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut, maka kami memilih judul “Antara Negara, Agama dan Warga Negara”.

A. Konsep Dasar Negara 1. Pengertian Negara

Istilah negara merupakan terjemahan dari bahasa asing yaitu state (Bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda), dan etat (bahasa Perancis). Kata state, staat, dan etat diambil dari bahasa latin yaitu status atau statum yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station (kedudukan).

Secara terminologi negara diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung unsur konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah) dan adanya pemerintahan yang berdaulat.1

Berikut pengertian negara menurut beberapa ahli:

a. Menurut Aristoteles: “Negara adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.”

b. Jean Bodin: “Negara adalah persekutuan dari keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.”

c. Hugo de Groot: “Negara adalah persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.” 2

1 Ni Wayan Dewi Tarini, Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: CV Trans Info Media, 2012), h. 43 2 Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h. 82

(3)

3

d. Jhon Locke dan Rousseau: “Dalam buku Ilmu Negara (1993), negara adalah suatu badan

atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat”

e. Mac Iver: “Dalam buku Demokrasi, HAM, dan Mayarakat madani (2000) suatu negara harus memenuhi tiga unsur pokok, yaitu pemerintahan, komunitas atau rakyat, dan wilayah tertentu.3

f. Roger H. Soultau: Negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. g. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang

diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan mereka bersama.

h. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.4

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.5 Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk

memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.

2. Bentuk-bentuk Negara

a. Negara Kesatuan

Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara dalam negara. Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan atau mengatur seluruh daerah. Merupakan suatu bentuk negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi dalam dua macam sistem pemerintahan yaitu pemerintahan sentral dan otonomi.

1) Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintahan pusat, dan pemerintahan dibawahnya melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat. (Pemerintahan Orde Baru)

3 Srijanti, A. Rahman & Purwanto, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mahasiswa, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009), h. 4

4 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), h. 39-40 5 Khairon, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), h. 111-114

(4)

4

2) Negara kesatuan dalam sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah diwilayahnya sendiri.

Ciri-ciri dari negara kesatuan adalah: 1) Satu UUD / konstitusi

2) Satu kepala negara

3) Satu dewan menteri/cabinet 4) Satu lembaga perwakilan. b. Negara Serikat

Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri. Negara-negara itu mengadakan kerjasama yang efektif. Sebagian urusan diserahkan kepada pemerintah federal, sebagian urusan ditangani negara bagian masing-masing. Ciri- ciri negara serikat antara lain:

1) Ada negara dalam negara 2) Ada beberapa UUD/konstitusi 3) Ada beberapa kepala negara

4) Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan6 3. Bentuk-bentuk Pemerintahan

a. Ajaran Klasik

Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius menyebutkan bahwa bentuk – bentuk pemerintahan antara lain:

1) Monarki: pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk kepentingan umum.

2) Tirani: pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk kepentingan diri sendiri.

3) Aristokrasi: pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk kepentingan umum.

4) Oligarki: pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk kepentingan diri sendiri

5) Demokrasi: pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk kepentingan umum. Merupakan bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat

(5)

5

atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.

6) Anarki: pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan kekuasaan dan kepentingan umum.

b. Ajaran Modern

Monarki (Kerajaan) yang mempunyai ciri-ciri: 1) Kepala negara disebut raja

2) Kepala negara menjabat secara turun temurun 3) Masa jabatan kepala negara seumur hidup Republik dengan ciri-ciri:

1) Kepala negara disebut presiden

2) Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil pemilu

3) Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai dengan undang-undang7 B. Antara Agama dan Negara

1. Definisi Agama

Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.

Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk.

Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya

(6)

6

adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.8

Eka Darma Putera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama terperangkap kepada institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan kepada dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.9

R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya kabur.

J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.

Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup satu pengertian saja.

2. Hubungan Negara dan Agama Dalam Tinjauan Politik Islam

Hubungan agama dan negara dalam konteks Islam masih menjadi perdebatan yang intensif dikalangan para pakar muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu sudah berlangsung sejak satu abad dan masih berlangsung hingga kini. menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan politik (dawlah).10

Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan terhadap agama dan politik.11

8 Djalaludin H, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), h. 15

9 Eka Darmaputera, Agama Sebagai Kekuatan Moral Bagi Proses Demokratisasi, Dalam Agama Dan Demokrasi,

(Jakarta: P3M, 1994), h. 58-59

10 Hidayat, Komaruddin & Azra, Azyumardi, Pendidikan Kewarganegaraan. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 47 11 A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila Demokrasi, HAM…, h. 129

(7)

7

Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik:

a. Paradigma Integralistik

Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara).12

Dalam pergulatan Islam negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagaaman. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam.

b. Paradigma Simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.

c. Paradigma sekularistik

Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).13 Negara adalah kesatuan publik, sementara agama

merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara. Berdasarkan pemahaman ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang bersalah dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama.

Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut Azra

12 Hidayat, Komaruddin & Azra, Azyumardi, Pendidikan…, h.51

(8)

8

mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.14

Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan diferensiasi antara utopia-utopia yang muncul di masa lalai dan mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada Gerakan-gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali pada masa-masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.15

3. Aliran-aliran Tentang Relasi Agama dan Negara

Pertama golongan sekuler yang mengatakan bahwa agama tidak mengurusi tentang negara sehingga agama tidak untuk dimasukan ke dalam tataran pemerintahan. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sekularisasi antara agama Islam dengan negara adalah Abd Ar-Raziq. Beliau mengatakan bahwa baik Alquran maupun Hadist tidak pernah menjelaskan tentang tatanan kenegaraan dalam Islam sehingga tidak ada konsep baku dalam Islam tentang negara.16 Lebih jauh, dia mengatakan bahwa negara Madina yang diyakini oleh umat muslim

sebagai sebuah tatanan negara yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah negara. Ajaran yang dibawa oleh Nabi hanyalah bersifat hubungan antara manusia dengan Tuhan17. Aliran ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme.

Selain Ali Abd Ar-Raziq, Tokoh lain yang juga terkenal dalam aliran ini adalah Mustafa Kemal Attaturk ketika dia berhasil mengkudetan Sultan Hamid II dalam masa pemerintahan Turki Usmani. Kemudian dia merubah secara total bentuk pemerintahan di Turki. Turki Usmani yang awalnya berbentuk monarki kemudian dirubah menjadi Republik Turki dengan memasukan paham-paham dari Barat untuk tatanan kenegaraannya yang sama sekali berbeda dengan masa pemerintahan Turki Usmani. Kemudian di Indonesia, ini menjadi salah satu contoh yang ingin ditiru oleh Ir. Soekarno. Ia memandanga bahwa Turki merupakan contoh yang pas untuk Indonesia dalam urusan agama dan negara usai membandingkan antara negara India dan juga Arab. Dalam pandangan Sokarno, bahwa nasionalisme yang ia bawa bukan serta

14 Hidayat, Komaruddin & Azra, Azyumardi, Pendidikan…, h.53

15 Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 88

16 Muhammad Anang Firdaus, Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya, (Jakarta:

Harmoni, 2018), h.166

(9)

9

merta menghilangkan Islam dari masyarakat, hanya saja Islam cukup menjadi urusan privat dan tidak pada tatanan kenegaraan karena Islam memang tidak punya konsep baku tentang negara.18

Kedua adalah golongan fundamentalis yang menginginkan agar syariat Islam dimasukan dalam konstitusi Negara. Menurut golongan ini, tidak ada pemisahan antara agama dengan negara. Bahkan dari kalangan ini mengusulkan pembangunan negara Islam. tokoh-tokoh yang terkenal di antaranya adalah Ibn Taimiyah, Al-Mawdudi dan juga Sayyid Qutb. Untuk di Indonesia sendiri, itu bukan lagi tokoh melainkan sudah menjadi sebuah organisasi pergerakan pembentukan Khilafah yang kemudian dikenal dengan istilah HTI atau Hisbut tahrir Indonesia, Laskar Jihad dan Majelis Mujahidin Indonesia.19

Paham atau aliran fundamentalis ini mengatakan bahwa hukum-hukum Tuhan harus dimasukan dalam sistem ketatanegaraan karena agama sendiri sudah mengatur segala bentuk urusan manusia, termasuk urusan ekonomi, politik dan lain sebagainya alias tidak ada yang tidak diatur oleh agama. Mereka yang tergabung atau mengikuti aliran ini kemudian menolak demokrasi karena menurut mereka demokrasi itu bertentangan dengan Islam sebab demokrasi membawa paham bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada pada kuasa rakyat. Menurut mereka, hal ini jelas bertentangan dengan Islam karena kekuasaan tertinggi tetaplah berada di tangan Tuhan.20 Hukum-hukum yang harusnya diberlakukan pun harus huku Syariah karena

hukum dari Tuhan sendirilah yang paling relevan dengan kehidupan manusia. Sementara hukum buatan manusia akan selalu menghadirkan kepentingan-kepentingan dari kelompok tertentu.

Dengan dijadikannya Alquran dan sunnah sebagai dasar konstitusi negara menharuskan negara hanya perlu merujuk pada dua sumber ini dalam menjalankan kebijakannya dan juga untuk merespon problematika sosial yang berlaku karena kedua sumber hukum ini telah mengatur semua sisi kehidupan manusia.21 Padahal ketika kita melihat lagi

bahwa aturan-aturan yang ada dalam Alquran masih bersifat universal normative sehingga perlu penafsiran secara komprehensif agar tetap sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat yang ada. Begitulah yang dikutip oleh Wildan dan dituangkan dalam majalah prisma melalui kutipannya dari Muhammad Natsir.

18 Wildan Sena Utama, Negara dan Islam: Seputar Polemik Soekarni dan Natsir, (Bandung: Prisma, 2006), h.

73

19 Moh. Dahlan, Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia, (Djogja: Absolute Media, 2014), h. 2 20 Muhammad Anang Firdaus, Relasi Agama dan Negara…, h.169

21 Hasyim Asy’ari, Relasi Negara dan Agama di Indonesia, Rechtsvinding oneline,

https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/Relasi%20Negara%20dan%20Agama%20di%20In donesia.pdf, h. 4

(10)

10

Semangat yang dibawa oleh kelompok ini adalah semangat negara Islam dengan aturan-aturan yang semuanya harus dirujuk pada aturan-aturan syariat. Negara harus tunduk pada agama tertentu, dalam hal ini ajaran Islam. pemerintah hanya menjalankan apa yang ada dalam aturan syariat.22 jika kita perhatikan, di sini ada motif yang mirip dengan otoritas gereja pada abad

kegelapan di Eropa yang menekankan negara harus tunduk pada aturan Gereja.

Ketiga adalah kelompok yang memandang Islam secara terbuka dan juga meihat perkembangan sosial yang sudah berbeda dengan sistem pemerintahan Islam di masa lalu. Kelompok ini mengakui bahwa Islam memang tidak mengatur ssitem politik ketatanegaraan yang baku tapi memiliki nilai-nilai atau petunjuk dalam pengelolaan sistem ketatanegaraan. Salah satu tokoh penting dalam aliran ketiga ini adalah Muhammad Husein Haekal. Menurut beliau, Islam tidak menawarkan satu sistem baku pun dalam urusan ketatanegaraan kecuali hanya sebuah prinsip-prinsip dan spirit bernegara.23

Dalam pandangan Haekal, Islam mengatur hubungan hidup manusia yang memandang baik semua makhluk, termasuk alam semesta maupun lingkungan manusia itu sendiri. Jadi, Islam mengatur relasi antar manusia dalam berinteraksi. Seuatu yang sudah pasti terjadi dalam masyarakat organisasi negara. Prinsip-prinsip dasar itu hanya mengingatkan kepada manusia yang pada akhirnya akan mewarnai atau berpengaruh juga hingga pada tataran politik kenegaraan yang menyatu pada individu dan jug gagasan politik yang tidak bertentangan dengan norma agama.24

Dalam pandangna Natsir, Islam dibutuhkan sebagai etika bernegara. Islam juga butuh sebuah negara yang menjadi tempat di mana hukum Islam dapat diberlakukan dan tetap sesuai dengan konteks sosial serta kemanusiaan yang ada. Natsir sendiri banyak dipengaruhi oleh dua tokoh besar pemikir pembaharu Islam. Muhammad Abduh dan juga muridnya, Rasyid Ridha. Sehingga ia dapat memahami bagaimana sebaiknya Islam terintegrasi dengan negara dengan suatu symbiosis yang baik (mutualisme) dengan Islam sebagai rujukan etika sedangkan negara sebagai wadah hukum Islam dapat diberlakukan di masyarakat.25

Di Indonesia, cita-cita mendirikan negara Islam telah berakhir dan berhasil ditumpas Bersama dengan tokoh populernya, Kartosuwiryo sebagai pemipinan Darul Islam Indonesia. Dalam ideologi Pancasila pun sudah jelas bahwa Indonesia merupakan negara yang religious.

22 Wildan Sena Utama, Negara dan Islam: Seputar Polemik Soekarno dan Natsir, Prisma,

https://www.prismajurnal.com/issues.php?id=%7B1A0F06D5-DBC3-8F35-B5AE

E715E50BBFB0%7D&bid=%7B0327B60F-DE6E-539B-9979-18978AD362C0%7D. h. 168-169

23 Ibid., h. 171 24 Ibid., h. 172 25 Ibid., h. 174

(11)

11

Bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler. Melainkan negara republik dan masyarat yang beragama. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang salah satu tokohnya adalah Wachid Hasyim telah berhasil menyatukan persepsi bahwa Indonesia merupakan negara republik yang tidak melupakan niali-nilai transendental.26

Tokoh-tokoh yang menganut aliran ini ialah mereka yang banyak dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam Islam di Indonesia seperti Wachid Hasyim, Muhammad Natsir, Abdurrahman Wachid dan juga Nurcholis Madjid. Relasi antara agama dengan negara di sini lebih menekankan pada aspek substansi ajaran Islam yaitu transendensi, egaliter, kebebasan dan pluralistik.

Dapat dilihat dalam pandangan ketiga ini bahwa apabila syariat Islam dijadikan sebagai dasar negara, ada kekhawatiran bahwa syariat Islam pada akhirnya akan sulit beradapasi dengan perkembangan sosial masyarkat karena perubahan-perubahan di dalamnya akan menundang unur politik dan kepentingan lebih banyak lagi sehingga semakin sulit merespon perkembangan sosial yang terjadi secara cepat. Namun ketika ia menjadi nilai budaya yang hidup dalam masyarakat, penafsirannya pun akan lebih fleksibel dan tidak cenderung mengikut pada satu penafsiran saja melainkan sesuai dengan kondisi sosial yang hadir pada saat itu juga.

Lantas, di manakah posisi Negara Indonesia dari tiga aliran di atas?

Posisi Indonesia dapat dilihat pada bagaimana syariat diterapkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara dan juga bagaimana tafsiran pencasila yang di dalamnya memuat nilai-nilai transendental. Dari situ dapat kita katakana bahwa posisi agama dalam hubungannya dengan negara Indonesia adalah terdapat pada posisi ketiga. Aliran yang tidak memisahkan antara agama dengan negara dan tidak juga menjadikan negara sebagai negara Islam dengan aturan-aturannya semua menjadi otoritas syariat Islam. Jalan yang dipilih adalah jalur integrasi antara agama dengan negara yang keduanya memiliki kepentingan terintegrasi dengan negara.

Agama sebagai sumber landasan nilai masyarakat yang nantinya dapat berpengaruh pada penerapan kebijakan dan hubungan sosial masyarakat itu sendiri. Sedangkan negara sabagai wadah masyarakat untuk menjalankan hukum-hukum agama yang membawa ajaran etis dan norma-norma yang harusnya berlaku dalam masyarakat agar tercipta masyarakat yang damai, sejahtera dan merdeka serta cita-cita negara dapat terwujud dengan tidak melupakan nilai-nilai etis ketika menjalankan misi untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Posisi Islam yang ada pada aliran ketiga urusan ketatanegaraan Indonesia tersebut tidak lepas dari peranan para pejuang yang tediri dari berbagai kalangan. Ada yang dari kalangan

(12)

12

nasionalis, ada komunis dan juga dari umat-umat beragama yang mayoritas dipegang oleh agama Islam. selain itu, hal yang menjadi pertimbangan penting sehingga memilih aliran ketiga adalah kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan budaya. Mereka semua harus terwadahi dalam bingkai Indonesia. Jadi, ada persamaan hak bagi segala bangsa dan juga tidak ada kecenderungan diskriminasi terhadap golongan lain. Ini juga memandakan bahwa pejuang yang turut merumuskan dasar negara pada saat itu sangat aspiratif dan plural. Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika membuat konstitusi atau Piagam Madina yang tetap menerima aspirasi dari golongan non-muslim. Selain itu juga mengutamakan masalah kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk kemaslahatan bersama dan bukan untuk satu golongan saja.27

Dengan alasan-alasan kemaslahatan itulah akhirnya para founding fathers bangsa menerima Pancasila sebagai ideologi bernegara yang diterima secara nasional dan dapat mewadahi semua golongan. Mereka tidak memperebutkan bagaimana negara harus berdasarkan pada satu aturan, syariat Islam. melainkan menaungi semua golongan yang terdapat dalam negara Indonesia.

C. Negara Dengan Warga Negara 1. Warga Negara

Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang merupakan warga negara Indonesia menurut UUKI 2006 (pasal 4, 5, 6) sebagai berikut:

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perudang-undangan dan/ atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia.

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing.

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia. Dst.

(13)

13

Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang status Anak Warga Negara Indonesia menyatakan;

a. Anak warga negara Indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah, sebelm berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.

b. Anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.

Sedangkan tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut;

a. Dalam hal status kewarganegaraan republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganearaan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

b. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan didalam peraturan perundang-undangan.

c. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagai mana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga (3) tahun setelah anak berusia delapan belas tahun atau sudah kawin.

2. Hubungan Negara Dengan Warga Negara

Negara dan warga negara memiliki hubungan yang sangat erat, misalnya negara Indonesia dengan konstitusi, berkewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Secara jelas dalam UUD Pasal 34, misalnya, disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (ayat 1); Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat 2); Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak (ayat 3). Selain itu, negara juga berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam beragama sesuai dengan keyakinannya.

Namun demikian, kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak akan dapat berlangsung dengan baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk pelaksanaan

(14)

14

kewajiban sebagai warga negara.28

D. Kesimpulan

Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah Negara biasanya dipimpin oleh yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut negara.

Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia yang beradab.

Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.

Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai.

Tidak akan ada negara tanpa warga negara. Warga negara merupakan unsur terpenting dalam hal terbentuknya negara. Warga negara dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang berupa hubungan timbal balik. Warga negara mempunyai kewajiban untuk menjaga nama baik negara dan membelanya. Sedangkan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan mensejahterakan kehidupan warga negaranya.

Sementara untuk hak, warga negara memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak dari negara, sedangkan negara memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan dan penjagaan nama baik dari warga negara. Dapat disimpulkan bahwa hak negara merupakan kewajiban warga negara dan sebaliknya kewajiban negara merupakan hak warga negara.

(15)

15

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Hidayat, Komaruddin & Azra. Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Kencana, 2010. Abdul Rozak, A. Ubaedillah. Pancasila Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE

UIN Syarief Hidayatullah, 2003.

Asy’ari, Hasyim. Relasi Negara dan Agama di Indonesia, Rechtsvinding oneline, https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/Relasi%20Negara%20dan%20Aga ma%20di%20Indonesia.pdf

Dahlan, Moh. Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia, Djogja: Absolute Media, 2014. Dewi Tarini, Ni Wayan. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: CV Trans Info Media,

2012.

Darmaputera, Eka. Agama Sebagai Kekuatan Moral Bagi Proses Demokratisasi, Dalam Agama Dan Demokrasi, Jakarta: P3M, 1994.

Firdaus, Muhammad Anang. Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya, Jakarta: Harmoni, 2018.

H, Djalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004. Khairon, Pendidikan Politik bagi Warganegara, Yogyakarta: LKIS, 1999. Kencana Syafi’ie, Inu. Ilmu Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987.

Muhammad, Husein. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, Yogyakarta: LKIS, 2000.

Srijanti, A. Rahman & Purwanto, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.

Suhendrasah, Alfian. Hubungan Agama dan Negara, Djogja: Absolute Media, 2007. Utami, Farih. BKS Pendidikan Kewarganegaraa, Kediri: Tim MGMP, 2001.

Utama, Wildan Sena. Negara dan Islam: Seputar Polemik Soekarno dan Natsir, Prisma,https://www.prismajurnal.com/issues.php?id=%7B1A0F06D5-DBC3-8F35-

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Jones et al., (2006), pembekuan sayuran, salah satunya adalah brokoli adalah proses pengolahan yang sering dilakukan oleh industri makanan dan selalu didahului

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNYA sehinga penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Teknik

In React Native, we write in JavaScript, so why don't we use familiar tools from web development for the same DX, but for mobile apps. Well, we can

Vitamin C dosis tinggi dapat mengurangi derajat nyeri sejak hari keempat pasca tonsilektomi ( p <0,05), dan mempercepat derajat epitelisasi sejak hari pertama pasca tonsilektomi

Kemungkinan lain adalah kita hanya menggunakan kepribadian topeng pada saat-saat tertentu dan kembali lagi pada kepribadian asli saat lingkungan nyaman dan tidak menuntut kita

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien JKN terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas Andalas dan Klinik Simpang

Seluruh dosen Program Studi IPAI, yang telah memberikan bantuan serta arahan. selama penulis menempuh pendidikan