• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS

ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Brigitta Erlita Tri Anggadewi

029114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)
(5)

“Anak Belajar dari Kehidupannya”

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar mempercaya Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri

v

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…

Dorothy Law Nolte

Terima kasih Tuhan atas semua cinta yang menguatkan, anugerah yang indah, serta rintangan dan cobaan yang mendewasakan

Terimakasih atas kelebihan serta kelemahan yang melengkapi di setiap sisi tumbuh kembang pribadiku, semua itu tidak kusesali pun kuingkari...

Aku hanya terus bersyukur dan berusaha membuat semuanya lebih baik sesuai dengan kemampuanku, sebab aku percaya... Engkau telah mempertimbangkan segalanya ketika menciptakan aku

Kupersembahkan karya ini dengan segenap Ketulusan Hati, Kasih dan Cinta untuk : Yesus dan Bunda Maria Alm. Bapakku Mc. Sutarto Widodo dan Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti Kedua kakakku tersayang Evitta dan Erikka beserta Suami Yu Ginem

(6)

ABSTRAK

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Kasus kekerasan terhadap anak bagaikan fenomena gunung es. Tampak sedikit di permukaan namun sebenarnya sangat meluas. Kasus kekerasan terutama kekerasan fisik seringkali diwarnai dengan kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak hanya dapat membuat kondisi fisik korban terganggu, namun juga dampak psikologis yang dapat pula mempengaruhi aspek lain seperti kognitif, relasi sosial dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga.

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara sebagai data utama terhadap subjek dan significant others. Sebagai data sekunder, peneliti menggunakan tes psikologi meliputi tes proyektif (Grafis dan CAT) dan tes inteligensi (CPM). Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak korban kekerasan dalam keluarga berusia 6 tahun.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara umum dampak psikologis subjek terganggu. Dampak psikologis yang dialaminya antara lain : mengalami peristiwa traumatis (dengan melihat dan menjadi korban dari peristiwa traumatik); munculnya respon-respon kekhawatiran, ketakutan dan ketidakberdayaan akibat kekerasan fisik; munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan (dalam ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran perasaan percakapan, tempat aktivitas, orang, partisipasi atau aktivitas, perasan terpisah dan terasing); muncul simptom-simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih), durasi simptom lebih dari 1 bulan, serta ketidakberdayaan sosial dan ketidakmampuan melakukan tugas penting akibat dari munculnya gangguan-gangguan akibat kekerasan.

Dampak lain yang muncul sebagai temuan tambahan antara lain fobia, agresif, sulit dikendalikan/sulit diatur, fantasi, egoisme, pandangan yang negatif, kebutuhan akan afeksi yang kurang serta banyak melakukan mekanisme pertahanan diri. Namun di sisi lain subjek memiliki impian atau harapan mengenai keluarga dan cita-cita. Kemauan akan mencapai cita-cita didukung dengan hasil CPM yang berada pada grade II dimana subjek memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Kata kunci : kondisi psikologis; kekerasan

(7)

ABSTRACT

CASE STUDY ABOUT CHILD’S PSYCHOLOGICAL EFFECTS OF FAMILY VIOLENCE

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

Psychology Faculties Sanata Dharma University

Yogyakarta

Violence case like ice mountain phenomenon. Middle in the front but very big. Violence case expect physical violence is allways with phsycological violence. This violence not just made physical condition was disturb, but can disturb phsychological condition, cognition, social relation, etc was disurb. The purpose of this research is to know phsychological condition family violence of a child.

This research is case study with qualitative approach and this method is conversation face to face is first data to subject and significant others. The second datas, the researcher research tests is psychological tests are tes projective (Grafis and CAT) and intelligence test (CPM). The research subjects is a child family violence of age 6 year.

The result of this research shows that child abuse has psychological effects to the subject. Phsychological effects is : experienced (witnessed and threat to this traumatics event); response’s involved intense fear, helplessness, or horror; the traumatic event is persistently reexperienced (recurrent distressing recolections, acting, intense phsychological distress, and psychological reactivity); persistent avoidance of stimuli associated with the trauma (thoughts feelings and conversation, places activities and peoples, diminished participation or activities, feeling of detachment); persistent symptoms of increased arousal (outbursts of anger, hypervigilance), and distress or impairment social, occupational, or other important areas functioning.

The other condition is fobia, agressive, fantation, egoism, negative perception, need of afect and defense mechanism. Subject have a dream about family and success. That dream is support with CPM result in grade II, where is definitely above the average in intelectual capacity.

key words : psychological effects; violence

(8)

KATA

PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah

melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul STUDI KASUS TENTANG KONDISI PSIKOLOGIS ANAK KORBAN

KEKERASAN DALAM KELUARGA.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Selain itu untuk menetapkan ilmu yang telah diterima penulis selama duduk

dibangku perkuliahan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari banyaknya

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dalam bentuk bimbingan, pemberian

data-data, doa serta dorongan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh kerena itu,

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Yesus dan Bunda Maria yang telah mencintai, mengampuni, mendampingi, melindungi

dan menjadi perisai di setiap langkah hidup penulis. Karya ini dipersembahkan seutuhnya

atas kasih-Nya.

2. Dekan bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si atas kesempatan untuk menimba ilmu di fakultas

tercinta ini.

3. Pembimbing skripsi bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi atas bimbingan serta kesabaran

dalam menghadapi peneliti yang sering cemas dan tidak sabar.

4. Penguji ibu ML. Anantasari, S.Psi.,M.Si. atas senyuman yang melegakan di tengah

ketegangan dalam ruang ujian.

(9)

5. Penguji sekaligus interater CAT ibu Agnes Indar Erikawati, S.Psi.,Psi.,M.Si atas tambahan wawasan serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Pembimbing akademik ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, M.Si atas bimbingan akademis

setahun ini.

7. Bapak Y. Agung Santosa, S.Psi yang telah ikhlas membantu peneliti dan telah menjadi

dosen pembimbing akademik yang sangat sabar selama 3 tahun.

8. Bapak. Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Si dan Ibu Y. Titik, S.Psi atas motivasi, perhatian serta

persahabatan sehingga peneliti percaya diri dan mampu menghargai diri sendiri.

9. Bapak Drs. Singgih Santoso Wibowo, SU yang telah membimbing sdan membantu

peneliti untuk belajar menjadi interater serta telah menjadi interater tes Grafis.

10.Pramusosial dan Pembina Panti atas bantuan dan dukungan selama penelitian, terutama

untuk subjek peneliti, terimakasih atas kejujuran kamu. Mbak tetep ingat beliin sandal

dek…

11.Alm Bapakku MC. Sutarto Widodo, I know you shining down on me from heaven…I miss

u, pak. Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti yang selalu menyayangi dan memaafkan di setiap

pembantahanku. Doa ibu adalah nyawa dari penulisan skripsi ini. Dan sampai seumur

hidupku tidak akan cukup untuk membalas apa yang telah ibu berikan. Lita sangat

menyayangi ibu.

12.Kedua kakakku Evitta & Erikka beserta suami (Mas Koko dan Bang Aci) yang selalu ada

menjaga peneliti juga Frans dan Freddie kecil (teriakan-teriakan kecil kalian mebuat tante

‘ga ngantuk ngerjain karya ini sayang…)

13.Yu Ginem yang setia menyediakan makanan kecil dan teh hangat setiap malam serta tak

pernah telat bangun pagi hanya untuk membangunkan peneliti. Makasih ya thok !

14.Te Yanti, Te Watik, dan semua tante-tanteku yang lain juga oom dan sepupu terutama Ius

yang rela diajak bolak-balik oleh peneliti. Hidupku ceria banget karena keluarga ini.

15.Mba’ Adjenk, Thea, Iantswiti dan Winta. Peneliti tidaklah lengkap tanpa kehadiran kalian

dalam hidup ini. Terimakasih atas tawa, airmata serta doa yang saling kita lantunkan

bersama. We’re the soulmates are we!

16.Para sahabatku yang tak pernah lupa untuk menyemangatiku : Mitha Arsanti (tetap saling

menguatkan ya!), Tanti, Fista (kemandiriannya), Trisa (easy going-nya), Lisna

(ketenangannya), Nopex (kemanjaannya, hihihi), Ntrie, Yak-yuk (makasih atas tempat

(10)

tidurnya ya!), Wiwin, Astrid, Dhewi, Era, dan banyak gadis-gadis yang tidak tersebut. I love you all, girls!!

17.Kelompok penelitian: mba Bertha, mba Lianawati, mba Tyo, mba Etik, mba Merlin, mas

Oho, mas Kris. Kalian adalah semangat pertama yang membuat peneliti sadar untuk

menerima diri sendiri apa adanya dan bahwa penulis juga layak untuk disayangi.

18.Aan dan Tisa (yang selalu ada menjadi sharring yang menyenangkan, terimakasih atas dukungan kalian), Panji (atas asisten dadakannya), Bona (teman sependeritaan kala

AKSI), Jaya, mbakku Cynthia (2001), teman-teman F-16 (Wawan, Danang, Neri, Yanuar,

Suko dan lainnya) serta adikku Asteria dan Agus, tetap semangat ya dek !

19.Teman-teman pengurus Mukiji angkatan 2003-2006 (Vindoel, Emsa, Riris, Goeng, mas

Lalang, mas Hendra, Ajeng, Randi, Tyas Pujo, Ditya, Lana, dll), atas semua pengalaman

serta pelajaran berharga akan arti sebuah kerja sama, maaf peneliti sering mengecewakan

kalian.

20.Semua teman-teman Psikologi Sanata Dharma angkatan 2002. Thank’s for being a

wonderful moment…

21.semua kawan dan sahabat yang tidak tersebut disini. Kalian semua sangat berharga di hati

peneliti. Maaf, karena halamannya tidak cukup untuk menulis nama kalian semua…terima

kasih banyak..

22.Untuk setiap orang yang pernah datang dan pergi dalam hidup peneliti. Terimakasih atas

semua pengalaman berharga yang dilalui bersama-sama.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...

i

LEMBAR PENGESAHAN...

ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...

iv

ABSTRAK...

vi

ABSTRACT...

vii

KATA PENGANTAR...

viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN...

1

A.

Latar Belakang Masalah………... 1

B.

Rumusan Masalah……….

6

C.

Tujuan Penelitian………..

6

D.

Manfaat Penelitian………

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………

8

A.

Anak………..

8

1.

Pengertian dan Batasan Usia Anak...

8

2.

Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak... 9
(12)

3.

Tugas Perkembangan Anak………..

14

B.

Kekerasan Terhadap Anak………

16

1.

Pengertian Kekerasan Terhadap Anak………. 16

2.

Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak……….

17

3.

Lingkup Kekerasan Terhadap Anak………...

18

4.

Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak...

20

5.

Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis... 24

C.

Dinamika Kekerasan Keluarga dan Kondisi Psikologis Anak... 27

BAB III METODE PENELITIAN………

33

A.

Jenis Penelitian………. 33

B.

Batasan Istilah….………..

34

C.

Subjek Penelitian….………. 36

D.

Metode Pengumpulan Data……….. 36

1.

Wawancara………... 37

2.

Tes Psikologi……… 41

a)

Tes Inteligensi………... 41

b)

Tes Proyektif………. 42

E.

Metode Analisis Data………... 47

F.

Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data... 52
(13)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..

56

A.

Hasil Penelitian……….

56

B.

Pembahasan……….. 84

BAB V PENUTUP………..

96

A.

Kesimpulan………...

96

B.

Saran………. 97

DAFTAR PUSTAKA...

99

Lampiran

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena kekerasan dalam keluarga selama ini dianggap sebagai masalah

intern yang kurang perlu diketahui oleh publik. Namun pemberitaan kasus

kekerasan yang akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan menunjukkan bahwa

kasus kekerasan mulai dibuka dan disorot oleh berbagai media massa bahkan

dianggap perlu diketahui oleh khalayak umum. Ada banyak sekali kasus

kekerasan di Negara Indonesia yang mulai mencuat ke permukaan. Dari seluruh

kasus kekerasan tersebut, kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga adalah

yang dominan dari seluruh kasus yang ada yakni 302 kasus (Kompas, 9 Januari

2002). Dalam berbagai penulisan, termasuk survei yang dilakukan Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) di berbagai Negara termasuk Indonesia, kekerasan

dalam keluarga bisa menimpa siapa saja, perempuan atau laki-laki; mulai dari

anak-anak, orang dewasa, hingga orang berusia lanjut (Kompas, 26 Mei 2003).

Data-data dalam kompas, 20 Desember 2004 menunjukkan bahwa dari tahun

1992 - 2002 terdapat 2.184 kasus kekerasan terhadap anak dan kasus kekerasan

ini terus bertambah setiap tahun (Kompas, 22 Juli 2006). Dari peningkatan

tersebut, peneliti melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak

mengalami peningkatan yang cukup tajam.

Seto Mulyadi (Ketua umum Komisi Nasional Perlindungan Anak)

(15)

menduga 50-60 persen orang tua melakukan kekerasan terhadap anak (Kompas,

29 Juni 2003). Data ini menguatkan data sebelumnya dari Departemen Sosial

pada tahun 2002, dimana tercatat bahwa diperkirakan sebanyak 43.708 anak

mengalami kekerasan fisik yang tersebar di 27 propinsi (Pedoman Penanganan

Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, 2004). Sementara itu data lain

yang diperoleh menunjukkan bahwa sebanyak 53,5 % (Ikawati dan Rusmiyati,

2003) tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga sendiri, suatu

tempat dimana seharusnya anak mampu tumbuh kembang secara normal, aman

dan nyaman.

Terkait dengan kasus ini, Owen dan Strauss (1975) mendefinisikan

kekerasan domestik/ keluarga sebagai segala tindakan penganiayaan fisik, seksual

atau emosional oleh anggota keluarga. Pendapat lain mengemukakan kekerasan

dalam keluarga adalah segala bentuk penganiayaan, perlakuan yang menyimpang,

atau penolakan yang dialami oleh orang dewasa atau anak-anak dalam suatu

hubungan keluarga, dalam suatu hubungan yang intim, atau dalam hubungan yang

ditandai adanya ketergantungan (Department of Justice of Canada, 2003). Berbagai bentuk kekerasan dalam suatu keluarga merupakan suatu tindakan yang

melanggar Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang

dapat dilihat pada penjelasan pasal 13 huruf d yang menjelaskan tentang

perlakuan kejam seperti tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, benci atau

tidak menaruh belas kasihan kepada anak dan pelaku kekerasan dalam dijerat

(16)

yang diberikan berupa hukuman pidana atau hukuman denda sesuai dengan

tingkat kekerasan fisik yang dilakukan.

Suharto (dalam Huraerah, 1998), mengelompokkan kekerasan terhadap

anak yaitu kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara psikologis (psychological abuse), kekerasan secara seksual (sexual abuse), dan kekerasan secara sosial (social abuse). Menurut Suharto (dalam Huraerah, 1998) pula, kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan terhadap anak dengan atau tanpa

menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau

kematian pada anak. Sedangkan kekerasan psikis/psikologis merupakan hardikan

atau penyampaian kata-kata kasar terhadap anak.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa kekerasan terhadap anak dapat

menimbulkan dampak-dampak tertentu pada perkembangan anak, baik secara

fisik maupun secara psikologis. Secara fisik, kekerasan dapat menimbulkan

luka-luka seperti memar-memar (bruiser), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanent (permanent disabilities), dan kematian (death) (Gelles dalam Huraerah, 2006). Menurut Gelles pula , dampak secara psikologis dapat seumur hidup seperti rasa harga diri

rendah (a lowered sense of selfworth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorder). Kasus kekerasan yang dialami pada masa tahap perkembangan anak dapat menjadi bahaya yang

potensial karena peristiwa yang dialami oleh anak merupakan sebuah pengalaman

(17)

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap

perubahan-perubahan dalam perkembangannya.

Kasus-kasus kekerasan di atas telah banyak terjadi dan berbagai upaya

telah dilakukan oleh pemerintah yang salah satunya dengan mendirikan rumah

perlindungan dan pusat trauma untuk anak, namun demikian hanya sedikit yang

mampu tersentuh oleh lembaga-lembaga tersebut. Kasus-kasus ini seperti

tenggelam dan dianggap sebagai masalah keluarga yang tidak layak dikonsumsi

oleh publik terlebih apabila dibawa ke meja hukum. Akibatnya kasus kekerasan

bagaikan fenomena gunung es, dimana hanya beberapa saja yang tampak di

permukaan. Tanpa disadari kasus kekerasan terhadap anak telah merambah ke

hampir seluruh lapisan masyarakat.

Contoh secara nyata seperti yang dialami oleh Nn. Nn adalah seorang anak

laki-laki berumur 6 tahun dan merupakan anak pertama dari 2 (dua) bersaudara.

Nn dan adiknya lahir tanpa diketahui siapa ayah Nn dan tinggal di daerah kumuh

dengan kondisi ekonomi di bawah rata-rata. Ibu Nn bekerja sebagai pengamen

sekaligus wanita tuna susila sehingga seringkali tidak dapat bertemu dengan Nn

maupun adik Nn. Nn dititipkan dan dirawat oleh kakeknya. Dari kakek ini Nn

sering mendapat perlakuan kekerasan secara fisik dan psikis tanpa alasan yang

jelas. Bahkan tindak kekerasan sering dialami oleh Nn meskipun Nn tidak

melakukan suatu kesalahan. Kekerasan yang dialami oleh Nn antara lain dibentak,

dimaki sambil dipukul dengan atau tanpa menggunakan kayu, ditendang,

dibentur-benturkan ke dinding sampai diinjak-injak. Tindak kekerasan tersebut

(18)

dijadwalkan. Perlakuan kekerasan tersebut dilakukan pula kepada adik Nn bahkan

ibu Nn pun seringkali melakukan kekerasan fisik terhadap Nn dan adiknya.

Perlakuan kekerasan yang dialami oleh Nn dan adiknya dilakukan agar

mendapatkan uang serta simpati dari orang lain. Cara yang dilakukan adalah

membawa Nn ke jalanan dalam kondisi penuh luka untuk meminta-minta atau

mencari sumbangan dengan alasan memerlukan uang untuk membawa Nn

berobat. Kakek maupun ibu Nn tidak memperdulikan kondisi fisik maupun

psikologis yang dialami oleh Nn. Semakin Nn luka parah maka semakin banyak

pula uang yang didapatkan sehingga ketika luka fisik Nn mulai mengering,

perlakuan kekerasan kembali dialami oleh Nn. Beberapa waktu lalu adik Nn

akhirnya meninggal karena menderita tulang punggung patah dan Nn ditemukan

oleh pihak berwenang untuk kemudian diserahkan pada panti asuhan bagian

trauma center. Sampai saat ini pihak panti masih belum memberi ijin pada ibu Nn

untuk bertemu dengan Nn. Hal ini dilakukan untuk melindungi Nn dari perlakuan

kekerasan yang mungkin dapat terulang setelah sebelumnya dibujuk pulang oleh

ibunya.

Dari berbagai fakta yang telah disebutkan, maka peneliti tertarik untuk

mengkaji dan mendeskripsikan lebih dalam mengenai dampak psikologis Nn.

Melalui penelitian ini diharapkan permasalahan Nn menjadi mudah untuk

dipahami sehingga dalam perkembangan Nn selanjutnya dampak psikologis

akibat dari kekerasan yang dialami oleh Nn dapat diminimalisir. Berdasarkan

(19)

psikologis anak akibat dari kekerasan terutama kekerasan secara fisik dan

psikis/psikologis.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diungkap oleh

peneliti adalah : “Bagaimana dampak psikologis subjek yang mengalami

kekerasan dalam keluarga ?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : “Mendeskripsikan secara mendalam

dampak psikologis subjek yang mengalami kekerasan dalam keluarga.”

D. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini :

1. Manfaat Teoretis

Manfaat dari penelitian ini secara teoretis dapat membantu

menambah pengetahuan mengenai kondisi psikologis yang dapat dialami oleh

anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek

Subjek mendapatkan dukungan yang positif serta motivasi yang

tepat sehingga subjek mampu menghadapi permasalahannya dan dapat

(20)

b. Bagi Psikolog dan Pendamping

Merupakan tambahan referensi mengenai dampak kekerasan

terhadap trauma yang dialami subjek sehingga psikolog/pendamping

mampu memberikan sikap, dukungan dan terapi yang tepat supaya subjek

dapat bertumbuh kembang secara normal.

c. Bagi Pembaca dan Orang Tua pada umumnya

Memberikan tambahan informasi mengenai kondisi psikologis anak

akibat dari kekerasan sehingga pembaca dan orang tua pada umumnya

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak

1.Pengertian dan Batasan Usia Anak

Pengertian anak berkaitan dengan batas umur anak. Dalam berbagai

peraturan perundangan terdapat perbedaan tentang batasan umur anak (Endang

Sumiarni, 2006), diantaranya dalam KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 1

menyebutkan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk

anak-anak, kedewasaannya telah dicapai lebih cepat. Undang-undang No. 4 Tahun

1974 tentang Kesejahteraan Anak memberikan batasan umur 21 (duapuluh satu)

tahun dan atau belum menikah. Sedangkan KUHP Pasal 45 memberikan batasan

umur maksimal 16 (enam belas) tahun, selain itu terdapat batasan umur di bawah

12 (dua belas) tahun, 15 (lima belas) tahun, 16 (enam belas) tahun, 21 (dua puluh

satu) tahun (Andi Hamzah, 1990; R.Susilo, 1976). Sementara dalam

Undang-undang No.23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 mengatakan, bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, temasuk anak yang masih

dalam kandungan. Batasan umur anak pada undang-undang ini tidak ada

pengecualian apapun seperti batasan “dan/atau sudah kawin”, sehingga bagi anak

yang berusia di bawah 18 tahun seandainya sudah kawin dan sudah mempunyai

(22)

Menurut Hurlock (1998), secara luas diketahui bahwa masa kanak-kanak

harus dibagi lagi menjadi dua periode yang berbeda-awal dan akhir masa

kanak-kanak. Periode awal berlangsung dari umur 2 hingga 6 tahun dan periode akhir

dari 6 tahun sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Hurlock juga

mengatakan, bahwa pada awal dan akhirnya, masa akhir kanak-kanak ditandai oleh

kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial

anak.

2. Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak

Subjek mengalami peristiwa kekerasan pada saat berumur di bawah 6 tahun,

maka peneliti menggunakan teori pada awal masa anak-anak. Anak memiliki

beberapa ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan remaja atau dewasa. Adapun

beberapa ciri tersebut antara lain perkembangan fisik, perkembangan emosi,

perkembangan kognitif, serta perkembangan sosial yang dapat membantu anak

dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya secara bertahap.

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan selama masa awal anak-anak berlangsung lambat

dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (Hurlock, 1998).

Beberapa perkembangan fisik pada awal masa anak-anak menurut Hurlock

(1998) antara lain dalam hal tinggi badan yang rata-rata bertambah tiga inci

serta berat rata-rata tiga sampai lima pon setiap tahun. Hurlock menyebutkan

perbandingan tubuh untuk masa awal anak-anak, dimana wajah tetap kecil tetapi

(23)

bagian-bagian tubuh berangsur-angsur berkurang dan tubuh cenderung

berbentuk kerucut, perut yang rata (tidak buncit), dada yang lebih bidang dan

rata, serta bahu lebih luas dan lebih persegi. Untuk masa awal anak-anak ada 3

jenis postur tubuh, yaitu gemuk lembek atau endomorfik, kuat berotot atau mesomorfik, dan ada yang relatif kurus atau ektomorfik. Hurlock (1998) juga menambahkan, bahwa tulang dan otot pada masa awal kanak-kanak menjadi

lebih besar dan berat, banyaknya lemak tergantung jenis postur tubuh, serta gigi

pada geraham belakang muncul.

b. Perkembangan Emosi

Semua emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak

karena emosi memiliki pengaruh terhadap penyesuaian pribadi dan sosial

(Hurlock, 1991). Menurut Hurlock (1998) pula, selama awal masa anak-anak

emosi mereka sangat kuat. Saat ini (awal masa anak-anak) merupakan saat

dimana terjadi ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar fokus”. Dalam arti

bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional, sehingga sulit untuk

dibimbing dan diarahkan.

Hurlock (1998) menambahkan, bahwa emosi yang meninggi pada masa

awal kanak-kanak ditandai oleh ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang

hebat, dan iri hati yang tidak masuk akal. Ada beberapa hal yang menunjang

timbulnya emosionalitas yang meninggi (Hurlock, 1991), antara lain :

1) Kondisi fisik seperti kesehatan yang buruk, kondisi yang merangsang (eksim

(24)

2)Kondisi psikologis seperti perlengkapan intelektual yang buruk, kegagalan

mencapai tingkat aspirasi, serta kecemasan.

3) Kondisi lingkungan seperti ketegangan, kekangan yang berlebihan, serta

sikap orangtua yang terlalu mencemaskan atau melindungi.

Emosi umum yang seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak

(Hurlock, 1998) antara lain amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati,

gembira, sedih, dan kasih sayang.

c. Perkembangan Kognitif

Dunia kognitif anak-anak pra sekolah ialah kreatif, bebas, dan penuh

imajinasi (Santrock, 1995). Mengenai perkembangan kognitif pada masa awal

kanak-kanak akan terbagi dalam beberapa konsep menurut Santrock (1995),

antara lain :

1) Tahap pemikiran praoperasional Piaget (2 – 7 tahun)

Tahap pemikiran praoperasional Piaget memiliki 2 subtahap

(Hargenhahn, 2000) :

a) Pemikiran Prekonseptual (2 – 4 tahun)

Pada tahap ini anak membentuk konsep yang belum sempurna.

Mereka mulai mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan kelompok tertentu

karena suatu persamaan, tetapi mereka seringkali membuat kesalahan

karena konsep tersebut; semua laki-laki adalah ayah, semua perempuan

adalah ibu, dan semua mainan dilihat mereka sebagai miliknya. Logika

(25)

berkaki empat. Binatang itu besar dan mempunyai empat kaki jadi

binatang itu adalah sapi”.

b) Periode Intuitif (4 – 7 tahun)

Pada tahap ini anak memecahkan masalah secara intuitif sebagai

pengganti yang sesuai dengan beberapa aturan secara logis. Hal yang

paling menyolok pada tahap ini adalah kegagalan mereka dalam

mengembangkan konservasi. Konservasi didefinisikan sebagai

kemampuan dalam mencapai angka, panjang, isi, atau area tetap yang

konstan meskipun ditunjukkan pada anak dalam angka yang berbeda-beda.

Contohnya, seorang anak ditunjukkan pada dua kotak yang diisi pada

tingkatan tertentu dengan air. Kemudian salah satu kotak dibalik posisinya

menjadi lebih tinggi daripada kotak yang satu. Maka ketika diminta untuk

memilih, anak akan memilih kotak yang dibalik sebagai kotak yang

memiliki berisi banyak air karena posisi air pada kotak yang dibalik

tampak lebih tinggi dan banyak dibandingkan kotak yang satunya. Pada

tahap ini anak belum mampu membedakan sesuatu secara kognitif, dimana

pada contoh, anak melihat bahwa kotak yang lebih tinggi berisi lebih

banyak air daripada yang pendek, padahal kotak tersebut memiliki bentuk

serta banyaknya air yang sama.

2)Pemrosesan informasi

Dalam Santrock (1995), dua keterbatasan dalam pemikiran anak-anak

prasekolah adalah perhatian dan ingatan, yakni dua hal penting yang

(26)

lain yang juga penting dalam pemrosesan informasi adalah analisis tugas.

Penganut pemrosesan informasi yakin suatu komponen tugas harus

dianalisis. Dengan membuat tugas lebih menarik dan sederhana, peneliti

menunjukkan bahwa beberapa aspek perkembangan kognitif anak terjadi

lebih awal daripada yang diperkirakan (Santrock, 1995).

Teori anak (Santrock, 1995) mengatakan bahwa anak-anak

mengembangkan suatu kesadaran bahwa pikiran itu ada, berhubungan

dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, bisa berupa obyek secara akurat

atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realitas dan

emosi yang dialami.

3)Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa pada masa awal kanak-kanak dalam Santrock

(1995) terbagi dalam perluasan tahap-tahap Brown dan sistem aturan. Lima

tahap Brown meliputi panjang rata-rata ucapan, rentang usia, karakteristik

bahasa, dan variasi kalimat. Sedangkan dalam system aturan, meliputi

perubahan-perubahan dalam fonologi, morfologi, sintaks, semantik, dan

pragmatik selama tahun-tahun awal masa anak-anak (Santrock, 1995).

4) Teori perkembangan Vygotsky

Dalam teori perkembangan Vygotsky terdapat istilah ZPD (Zone of Proximal Development) dimana untuk tugas-tugas yang terlalu sulit dapat dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi dengan bimbingan dan bantuan orang

(27)

d. Perkembangan Sosial

Dalam Hurlock (1991), dari umur 2 sampai 6 tahun, anak belajar

melakukan hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan

rumah, terutama dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Mereka belajar

menyesuaikan diri dan bekerjasama dalam kegiatan bermain. Pada masa

kanak-kanak awal, pola perilaku dalam situasi sosial terbagi dalam pola perilaku sosial

dan pola perilaku yang tidak sosial (Hurlock, 1991) yaitu :

1)Pola Perilaku Sosial, tampak dalam sikap kerja sama, persaingan, kemurahan

hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap

ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, dan perilaku kelekatan

(attachment behavior)

2) Pola Perilaku Yang Tidak Sosial, tampak dalam sikap negativisme, agresi,

pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa,

egosentrisme, prasangka, serta antagonisme jenis kelamin.

3. Tugas Perkembangan Anak

Dalam perkembangannya, anak juga mempunyai tugas-tugas tertentu yang

harus dilakukan. Havighurst (dalam Hurlock, 1991) mendefinisikan bahwa

tugas perkembangan merupakan tugas yang timbul pada periode kehidupan

tertentu. Keberhasilan melakukan tugas perkembangan menimbulkan

kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya. Di sisi lain kegagalan

dapat menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan masyarakat, dan

(28)

beberapa tugas perkembangan di masa awal kanak-kanak (lahir sampai usia 6

tahun), yaitu :

a. Belajar berjalan

b. Belajar makan makanan padat

c. Belajar berbicara

d. Belajar mengendalikan pembuangan sampah dalam tubuh

e. Belajar membedakan jenis kelamin dan kesopanan seksual

f. Mencapai stabilitas fisiologis

g. Membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik

h. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung,

dan orang lain

i. Belajar membedakan yang benar dan yang salah serta mengembangkan

nurani.

Menurut Hurlock (1991), tugas perkembangan ini memiliki 3 tujuan. Yang

pertama, tugas ini bertindak sebagai pedoman untuk membantu orang tua dan guru guna mengetahui apa yang harus dipelajari anak pada usia tertentu. Kedua, tugas perkembangan menimbulkan kekuatan motivasi bagi anak untuk belajar

mengenai hal-hal yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia tersebut.

(29)

B. Kekerasan Terhadap Anak

Beberapa hal mengenai kekerasan fisikdan psikologis terhadap anak juga perlu

dibahas dalam tinjauan pustaka ini untuk lebih mendalami serta untuk menyamakan

persepsi antara peneliti dengan pembaca. Hal-hal yang perlu untuk dibahas dan

disamakan persepsi antara lain pengertian serta bentuk-bentuk kekerasan kekerasan,

lingkup kekerasan, penyebab kekerasan, serta dampak dari kekerasan fisik terhadap

anak.

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Barker (dalam The Social Work Dictionary, 1987) mengatakan, bahwa kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara

fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat,

hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau

kekerasan seksual. Sementara itu Vander (www.e-psikologi.com, 2002)

mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak diartikan sebagai bentuk

penyerangan fisik atau melukai anak dan biasanya dilakukan justru oleh orang tua

atau atau pengasuh pengaruh dari orang lain yang bukan keluarga. Gelles (dalam

Huraerah, 2004) menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan

disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara

fisik maupun emosional.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka peneliti mengambil

kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan suatu perlakuan yang

salah terhadap anak dimana perlakuan tersebut tidak hanya menimbulkan luka

(30)

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Ahimsa, dkk (Suyanto, dkk., 2000) telah mengadakan suatu studi dan

menemukan 3 (tiga) bentuk kekerasan yang sering dialami oleh anak-anak, antara

lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Sementara itu,

Suharto (Huraerah, 2006), menambahkan kekerasan terhadap anak menjadi 4

(empat) antara lain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan

secara seksual, serta kekerasan secara sosial. Penjelasan keempat hal tersebut

dapat dilihat sebagai berikut :

1). Kekerasan anak secara fisik merupakan suatu penganiayaan terhadap anak

dengan atau tanpa menggunakan alat tertentu sehingga dapat menimbulkan

luka-luka fisik bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap anak.

2). Kekerasan anak secara psikis merupakan penyampaian kata-kata kasar dan

kotor, menghardik, memaki, sampai meperlihatkan gambar atau film

pornografi pada anak.

3). Kekerasan anak secara seksual merupakan perlakuan prakontak (sentuhan,

exhibitionism) maupun kontak seksual langsung (perkosaan) yang dilakukan oleh orang yang lebih besar pada anak.

4). Kekerasan anak secara sosial meliputi penelantaran serta eksploitasi anak.

Penelantaran anak merupakan sikap orang tua yang tidak memperhatikan

proses tumbuh kembang anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2006).

Pope (Nunally, dkk., 1988) menyebutkan bahwa kekerasan fisik

(31)

fisik, Child Maltreatment juga mencakup bentuk kekerasan lain, yaitu kekerasan seksual (sexual abuse), penelantaran atau penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau psikologis.

3. Lingkup Kekerasan Terhadap Anak

Widjaja (1985) mengatakan bahwa sejak dilahirkan sampai dengan

kematian, manusia tidak pernah hidup “sendiri” tetapi selalu berada dalam suatu

lingkungan sosial yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Berdasarkan

pernyataan tersebut maka bukan hal yang tidak mungkin pula apabila tindak

kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam hubungan sosial itu sendiri termasuk

dalam keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan fakta bahwa kekerasan

merupakan masalah yang kompleks dimana banyak faktor-faktor yang berbeda

(individu, hubungan yang terjalin, dan masyarakat) memainkan peran

(Department of Justice Canada, 2003).

Adianingsih (2003) merinci lingkup kekerasan yang dapat terjadi pada anak,

antara lain :

a. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga :

1) Ayah, Ibu, Kakek, Nenek

2) Saudara kandung

3) Kerabat

b. Orang-orang yang terikat atau pernah terikat dalam perkawinan ataupun

sebagai partner :

(32)

2)Isteri/mantan isteri

3)Pacar/pasangan

c. Orang-orang yang memiliki hubungan kerja di lingkup domestik/keluarga

1) Pengasuh/perawat formal atau informal

2) Pembantu rumah tangga.

Dari beberapa lingkup tersebut, keluarga sering disebut sebagai pelaku

utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terbukti dalam suatu

penulisan oleh media Jawa Pos, bahwa dari 103 kasus, sebanyak 39,8 %

lingkungan keluarga melakukan tindak kekerasan (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

Sementara dari media Memorandum menuliskan hal yang serupa dimana dari 230

kasus kekerasan yang dialami oleh anak, sebanyak 53,5 % dilakukan oleh

keluarga sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam lingkup keluarga,

kekerasan terhadap anak paling rentan terjadi. Hal ini menimbulkan suatu

keprihatinan, dimana keluarga seharusnya mampu menjadi tempat yang nyaman

agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar.

4. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak

Dalam The National Clearinghouse on Family Violence (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam keluarga dapat dilihat pada bagan di

(33)

Bagan 1

Sistem yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Keluarga

Faktor Individu

Faktor Keluarga

Faktor Komunitas

Faktor

Masyarakat/ Budaya

Penjelasan mengenai faktor-faktor di atas dapat disimak di bawah ini :

a. Faktor Individu, antara lain temperamen, kepribadian, perilaku yang dipelajari,

sikap, dan pengetahuan mengenai kekerasan dalam keluarga.

b. Faktor Keluarga, antara lain pola interaksi dalam keluarga (antara ayah-anak,

suami-isteri, antar saudara kandung), sikap dan nilai mengenai hak anak,

(34)

c. Faktor Komunitas, antara lain tingkat dan jenis dukungan yang tersedia,

kesempatan belajar yang tersedia, sikap mengenai peran dan tanggung jawab

keluarga.

d. Faktor Masyarakat/budaya, antara lain sikap mengenai hak, peran, dan

tanggung jawab keluarga, sikap mengenai penggunaan kekuatan untuk

mengatasi masalah, sikap mengenai jumlah dan jenis kekerasan yang

diperbolehkan.

Moore dan Parton (Huraerah, 2006) juga mengungkapkan bahwa

kekerasan anak disebabkan oleh faktor individual, namun ada juga yang

berpendapat bahwa struktur sosial lebih berperan sebagai penyebab dari

kekerasan terhadap anak. Secara rinci Rusmil (Huraerah, 2006), membagi

penyebab kekerasan terhadap anak dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :

1. Faktor Orang tua atau Keluarga

Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terhadap

anak diantaranya :

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak (kepatuhan anak kepada

orang tua, hubungan asimetris)

b. Dibesarkan dengan penganiayaan

c. Gangguan mental

d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka

yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun

(35)

2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas

Faktor lingkungan sosial juga dapat menjadi penyebab kekerasan terhadap

anak, diantaranya :

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis

b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah

c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri

d. Sistem keluarga patriarkhal

e. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis

3. Faktor Anak itu sendiri

a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan

ketergantungan anak kepada lingkungannya

b. Perilaku menyimpang pada anak

Suharto (Huraerah, 2006) berpendapat bahwa kekerasan terhadap anak

umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri

maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat.

Faktor-faktor internal tersebut antara lain anak mengalami cacat tubuh, retardasi

mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki

temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu

bergantung pada orang dewasa. Faktor eksternal yang berasal dari kondisi

keluarga dan masyarakat antara lain :

1)Kemiskinan keluarga, orangtua menganggur, penghasilan tidak cukup,

(36)

2)Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak

mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

3)Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik

anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan

(unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.

4)Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orangtua,

misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan

emosional dan depresi.

5)Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami

perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

6)Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya

tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,

pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham

ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya kontrol sosial yang

stabil.

Berdasarkan beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka

kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa penyebab dari kekerasan yang

dialami oleh anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal yaitu anak, namun

juga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor eksternal seperti kondisi keluarga

dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan yang

muncul dan dapat menjadi penyebab munculnya perlakuan kekerasan terhadap

(37)

5. Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis

Kekerasan dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak bagi

korbannya, demikian pula dalam kasus kekerasan fisik terhadap anak. Beberapa

dampak dari kekerasan terhadap anak diantaranya adalah dampak psikologis,

dampak fisik, dampak perilaku, dampak akademis, dampak seksual, dampak

hubungan sosial, dampak persepsi diri, serta dampak spiritual (Tanya, 1999;

Blasio & Camisasca, 2000., dalam Anantasari, 2006). Penelitian ini lebih fokus

pada dampak psikologis anak akibat dari kekerasan (fisik dan psikis) yang

dilakukan oleh orang tua.

Dalam perspektif psikologis, kekerasan terhadap anak dapat mempengaruhi

kesejahteraan psikologis secara permanen serta dapat menyebabkan kerusakan

emosi anak. Kerusakan-kerusakan tersebut diantaranya terwujud dalam

masalah-masalah seperti mimpi buruk berulang-ulang, kecemasan, rasa takut dan agresi

tingkat tinggi, perasaan malu dan bersalah, fobia mendadak, keluhan

psikosomatis, simtom depresi, perasaan susah berkepanjangan serta penarikan diri

(Tanya, 1999; Blasio & Camisasca, 2000., dalam Anantasari, 2006).

Pada beberapa kasus, kekerasan juga menimbulkan gangguan kejiwaan

seperti depresi, kecemasan berlebihan, atau gangguan disosiatif, dan juga

bertambahnya resiko bunuh diri (Gelles dalam Huraerah, 2006). Moore dalam

Fentini (Huraerah, 2006) merinci dampak psikologis akibat kekerasan secara fisik

dalam beberapa kategori yaitu negatif, agresif serta mudah frustrasi; pasif dan

apatis; tidak mempunyai kepribadian sendiri dan hanya menurut pada orang tua;

(38)

lain; sampai timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.

Ketidakberdayaan anak saat menghadapi kekerasan menyebabkan anak

mengalami stress dan menimbulkan berbagai macam respon-respon khusus diantaranya mengembangkan PTSD (Post-traumatic Stress Disorder) (www.aap.org/advocacy.childhealthmonth/effects.htm, 2002).

PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca trauma yang merupakan suatu respon berkepanjangan atau tertunda terhadap kejadian

atau situasi yang cenderung menyebabkan distress pada hampir setiap orang (PPDGJ III, 1993). Salah satu contoh penyebab distress yang juga merupakan kasus dalam penelitian ini adalah suatu peristiwa dimana subjek menjadi korban

penyiksaan. Menurut PPDGJ III (1993), gejala khas gangguan ini adalah

munculnya kejadian traumatik yang terulang kembali (Flashback) atau dalam mimpi, kondisi perasaan “beku” dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain,

tidak responsif, anhedonia, serta menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan

dengan traumanya. Gejala ini muncul setelah terjadinya peristiwa kekerasan yang

menyebabkan anak mengalami trauma selama beberapa minggu sampai beberapa

bulan. Jarang ada yang melampaui dari 6 bulan, namun apabila hal itu terjadi

maka dapat masuk dalam kategori Acute (kurang lebih 3 bulan) sampai Chronic (lebih dari 3 bulan).

Gejala-gejala dalam PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang digunakan didasarkan dalam DSM IV-TR (2003) untuk mendeskripsikan dampak

(39)

A. Peristiwa traumatis dapat terjadi pada individu yang mengalami 1 atau lebih

pada beberapa hal berikut ini :

1.) Mengalami, melihat, atau berhadapan langsung dengan peristiwa tersebut

atau peristiwa yang menyulitkan atau ancaman kematian atau penyiksaan

atau ancaman terhadap serangan fisik pada dirinya atau orang lain.

2.) Muncul respon-respon kekhawatiran, tidak berdaya, dan ketakutan yang

mendalam.

B. Peristiwa traumatik dialami berulang dan bertahan melalui cara berikut :

1.) Pengingatan akan distress yang berulang dan mengganggu akan suatu

peristiwa, gambaran, pikiran atau persepsi

2.) Mimpi menyedihkan yang berulang akan suatu peristiwa

3.) Bertindak atau merasakan seolah peristiwa traumatik berlangsung lagi

4.) Kesedihan psikologis yang mendalam terhadap picuan internal (dari diri

sendiri) dan eksternal (faktor luar) yang mensyaratkan aspek dari peristiwa

traumatik

5.) Ada reaksi fisiologis (fisik) yang muncul atas faktor internal (dari diri

sendiri) atau eksternal (faktor luar) yang menyimbolkan atau menyerupai

aspek dari peristiwa traumatik

C. Penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang terkait dengan trauma

dan mati rasa pada respon umum, sebagaimana diindikasikan dengan tiga atau

lebih hal berikut ini :

1). Usaha menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan

(40)

2). Usaha menghindari aktivitas, tempat atau orang yang mengingatkan akan

trauma

3). Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma

4). Secara nyata menghilangkan ketertarikan atau partisipasi pada aktifitas

5). Perasaan tidak terikat dan terpisah dari orang lain

6). Keterbatasan aspek afeksi/emosional

7). Perasaan tidak punya harapan pada masa depan

D. Simptom-simptom yang menetap :

1). Kesulitan tidur dan bangun tidur

2). Irritabilitas atau ledakan amarah

3). Kesulitan berkonsentrasi

4). Kewaspadaan berlebih

5). Respon terkejut yang berlebih

E. Durasi dari gangguan (kriteria simptom B, C, D) lebih dari satu bulan

F. Gangguan mengakibatkan distress klinis yang signifikan atau

ketidakberdayaan dalam sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain atau

ketidakmampuan dalam melakukan tugas-tugas penting.

C. Dinamika Kekerasan Keluarga Terhadap Dampak Psikologis Anak

Keluarga atau rumah tangga adalah fondasi primer bagi kepribadian, dan tingkah

laku anak (Huraerah, 2006). Sikap serta perilaku anak yang telah atau akan terbentuk

dimulai dari keluarga yang juga merupakan inti dari masyarakat. Maka sudah

(41)

sehingga nantinya anak dapat tumbuh kembang secara wajar dan memiliki cukup

bekal untuk kemudian terjun di dalam masyarakat ketika dewasa. Keluarga yang

memiliki hubungan antar anggota yang hangat dan cukup kasih sayang akan

menciptakan perilaku maupun kepribadian yang baik pada anak. Sebaliknya, keluarga

dengan suasana yang tidak harmonis dan rentan dengan kekerasan dapat mengancam

kestabilan tumbuh kembang anak.

Huraerah (2006) mengatakan bahwa ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana

pertengkaran, perselisihan dan permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan dan

yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak. Kekerasan terhadap anak

terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat

berasal dari anak itu sendiri atau faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga

dan masyarakat (Suharto dalam Huraerah, 2006). Beberapa hal yang menyebabkan

orangtua melakukan kekerasan diantaranya adalah kemiskinan keluarga, penelantaran

serta kondisi lingkungan yang buruk (Huraerah, 2006). Kondisi-kondisi demikian

seringkali menyebabkan stress karena tidak terpenuhinya taraf hidup yang baik sehingga ketidakmampuan dalam mengatasi stress tersebut dapat menyebabkan

sebuah keluarga diwarnai konflik dan kekerasan. Mulai dari sinilah anak sering

menjadi korban pelampiasan dan mendapatkan tindak kekerasan serta kurang

mendapatkan perawatan serta kasih sayang yang dapat membimbing anak menuju

kedewasaan.

Para ahli psikologi seperti Freud, Adler, dan Erikson menekankan bahwa awal

kehidupan seseorang (masa anak) sangat penting dalam pembentukan kepribadian

(42)

bahwa pengalaman-pengalaman selama 6 tahun pertama dalam kehidupan merupakan

faktor penentu yang sangat penting. Maka tindak kekerasan yang melampaui batas

dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak terutama perkembangan

psikologisnya. Pada proses perkembangannya, anak seringkali memiliki emosi yang

tidak stabil atau terjadi ketidakseimbangan karena anak “keluar fokus” (Hurlock,

1998). Artinya, anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosi sehingga seringkali sulit

dibimbing dan diarahkan. Hal ini akan semakin parah ketika pada masa-masa kritis

tersebut anak mengalami perlakuan kekerasan. Akibat dari perlakuan tersebut anak

merasa diremehkan dan merasa tidak aman sehingga memunculkan konflik-konflik

dalam diri anak seperti konflik-konflik yang bersifat neurotik. Konflik neurotik

muncul tidak hanya karena dipelajari oleh anak saja, tetapi terutama dipelajari sebagai

akibat dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh orang tua (Dollard Miller dalam

Supratiknya, 1993). Jadi apa yang terjadi pada anak merupakan suatu respon dari

stimulus yang dikembangkan oleh orang tua termasuk stimulus kekerasan yang

memberikan respon rasa takut dan kesendirian pada anak. Dollard Miller

(Supratiknya, 1993) menyatakan bahwa stimulus-stimulus tidak menyenangkan yang

diperkuat akan menimbulkan respon perasaan takut dan sendirian sehingga reaksi

khas yang muncul dapat berupa takut terhadap gelap atau takut sendirian. Dalam

penelitian ini, beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan merupakan suatu

stimulus yang berulang dan semakin diperkuat sehingga mengembangkan

permasalahan-permasalahan psikologis.

Maka kekerasan dalam bentuk apapun termasuk kekerasan fisik serta psikis yang

(43)

atau melihat kekerasan dalam keluarga membawa berbagai macam konsekuensi.

Konsekuensi-konsekuensi tersebut antara lain konsekuensi psikologis serta fisik

sehingga menimbulkan dampak-dampak yang buruk bagi anak. Dampak yang paling

jelas terlihat adalah dampak fisik yang berupa luka ringan atau kecil seperti lecet,

luka berat, sampai pada kematian. Selain itu, Family and Domestic Violence Unit (2003) melaporkan bahwa anak korban kekerasan dalam keluarga memiliki

peningkatan stress, kecemasan, depresi, dan penyakit-penyakit psikiatris.

Kekerasan yang dilakukan menimbulkan ketakutan pada anak namun seringkali

pula anak tidak berdaya dan tidak mampu menunjukkan perlawanan atas ketakutan

yang dirasakannya. Mereka hanya mampu menangis atau justru tidak mampu berbuat

apapun (www.aap.org/advocacy.childhealthmonth/effects.htm, 2002). Namun melalui

kekerasan tersebut anak dapat mengembangkan luka emosional dan turut

mempengaruhi aspek-aspek lain yang terkait seperti kognitif maupun interaksi sosial.

Beberapa hal ini disebabkan karena anak yang mengalami atau melihat kekerasan di

dalam rumah dapat menunjukkan perilaku menarik diri, kecemasan, masalah

penyesuaian diri, minat sosial yang sedikit, prestasi pendidikan yang buruk,

mengompol, gelisah, penyakit psikosomatis, perilaku dan ucapan yang agresif

(Adianingsih, 2003).

Dalam penelitiannya, Adianingsih (2003) menuliskan bahwa ada berbagai

macam dampak yang ditimbulkan pada anak korban kekerasan antara lain dampak

psikologis, dampak fisik, serta dampak keluarga. Dampak psikologis yang dapat

dialami oleh anak antara lain negatif, agresif serta mudah frustrasi; pasif dan apatis;

(44)

mampu menghargai dirinya sendiri; sulit menjalin relasi dengan individu lain; sampai

timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Anak yang mengalami

kekerasan juga dapat mengembangkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Adapun dampak psikologis anak dalam penelitian ini didasarkan dalam DSM IV

antara lain mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Gejala dari gangguan tersebut berdasarkan pada beberapa hal yaitu pengulangan peristiwa traumatik,

penghindaran, serta simptom-simptom yang menetap. Bentuk pengulangan dapat

muncul melalui pengingatan akan peristiwa traumatik, mimpi, tindakan seolah

peristiwa muncul kembali, kesedihan serta reaksi fisiologis. Penghindaran yang

dilakukan muncul dalam bentuk penghindaran terhadap tempat, aktivitas, pikiran,

maupun perasaan yang berhubungan dengan trauma, ketidakmampuan mengingat

aspek penting dari trauma, menghilangkan partisipasi terhadap aktifitas, merasa

terasing, keterbatasan afeksi serta merasa tidak punya harapan. Sedangkan

simptom-simptom yang menetap berupa sulit tidur, marah, sulit berkonsentrasi, waspada, serta

respon terkejut yang berlebih. Aspek-aspek yang terkait dalam hal ini adalah

bagaimana anak mengalami peristiwa traumatis (sebagai korban tindak kekerasan

atau melihat perlakuan kekerasan) dan durasi munculnya gangguan. Tidak jarang,

anak juga mengalami distress klinis dan gangguan dalam menyelesaikan tugas-tugas.

Kondisi tersebut dapat semakin buruk ketika anak tidak segera mendapatkan

penanganan khusus sehingga menimbulkan dampak-dampak psikologis tertentu pada

anak.

Beberapa yang telah diungkap sebelumnya menunjukkan bahwa kehidupan

(45)

nyaman. Sebaliknya kekerasan tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk

terhadap anak terutama dari segi psikologis. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan

di rumah akan belajar bahwa kekerasan merupakan suatu pemecahan dari setiap

permasalahan. Pernyataan tersebut dikuatkan dalam penulisan Steele, Geele, Raberst,

dan Pope (Patnawi, 1999) yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan

memiliki potensi untuk mengembangkan perilaku delinquent dan dapat mempengaruhi kepribadiannya antara lain harga diri yang rendah, hubungan dengan

teman yang kurang baik, serta memiliki hambatan dalam perilaku.

Jadi jelaslah bahwa keluarga merupakan fondasi primer yang sangat berpengaruh

dalam perkembangan psikologis anak. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan

tempat pembelajaran pertama sebelum memasuki dunia pembelajaran formal. Ketika

anak kekurangan kasih sayang dan justru mendapatkan tindak kekerasan fisik dalam

keluarga terutama oleh orangtua, anak akan tumbuh dengan perasaan emosional, tidak

tenang bahkan menjadi rentan terhadap masalah psikologis seperti trauma, stress,

depresi, ketakutan, sampai kecemasan yang berkepanjangan. Maka sudah sepantasnya

jika anak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang yang cukup dalam keluarga

dan dijauhkan dari tindakan kekerasan terutama oleh orangtua sehingga anak tidak

mengalami kesulitan maupun gangguan pada tahap perkembangannya serta mampu

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case study) atau penelitian lapangan (field study), dengan pendekatan kualitatif. Menurut Danin (2002), penelitian kasus merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek

yang diteliti relatif terbatas, tetapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat

luas dimensinya. Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok, institusi,

ataupun masyarakat.

Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami

suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik

tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam (Patton dalam Poerwandari, 1998).

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka peneliti menggunakan desain penelitian

studi kasus sehingga peneliti dapat menggali perasaan-perasaan serta kondisi

psikologis yang dialami oleh anak korban kekerasan dalam keluarga.

Menurut Sarantoks (Poerwandari, 1998), pandangan mendasar dalam

penelitian kualitatif sebagai suatu metode penelitian adalah bahwa realitas sosial

merupakan sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang

berada di luar individu-individu. Manusia tidak secara sederhana mengikuti

hukum-hukum alam diluar diri melainkan menciptakan rangkaian makna dalam

(47)

induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta penelitian ini bertujuan untuk

memahami kehidupan sosial.

Berdasarkan dari beberapa hal tersebut diatas, pendekatan dalam

penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari kasus secara mendalam.

Selain itu, pendekatan tersebut juga diharapkan mampu untuk menghasilkan

data-data dari suatu kasus yang unik, detail dan menyeluruh.

B. Batasan Istilah

Dampak psikologis anak korban kekerasan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah suatu gangguan psikologis yang terbentuk pada anak akibat

dari kekerasan yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa

(www.aap.org/advocacy/childhealthmonth/effects.htm, 2002), dalam penelitian

ini adalah ibu dan kakek subjek. Dampak psikologis akibat dari kekerasan antara

lain :

1. Mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), merupakan suatu respon berkepanjangan atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang cenderung

menyebabkan distress pada hampir setiap orang (PPDGJ III, 1993). Gejala-gejala dalam PTSD antara lain, munculnya respon-respon tertentu yang

bertahan dan berulang dari mimpi, pikiran maupun perasaan, melakukan

penghindaran, muncul symptom-simptom tertentu yang menetap dan

(48)

2. Ketakutan; merasa tidak aman.

3. Agresif terhadap orang lain, merupakan suatu tindak penyerangan,

permusuhan, mengganggu, merusak, atau melakukan sesuatu yang dapat

merugikan serta membahayakan orang lain (Chaplin, 2002)

4. Depresi

5. Gangguan tidur

6. Menghindari berbagai hal yang mengingatkan akan peristiwa kekerasan yang

dialaminya

7. Gangguan psikosomatis (sakit kepala; sakit perut), merupakan gangguan fisik

yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis (Chaplin, 2002)

8. Gangguan mental (neurosa, kecemasan)

9. Gangguan makan

10.Harga diri rendah; memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain

11.Menarik diri

12.Sulit konsentrasi

13.Tendensi ingin bunuh diri

14.Fobia, suatu ketakutan terus menerus dan irrasional yang ditimbulkan oleh situasi khusus (Chaplin, 2002)

15.Egoisme, merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk berkelakuan

menguntungkan atau mementingkan diri sendiri (Chaplin, 2002)

(49)

sangat luas dan berbeda satu dengan yang lain sehingga memungkinkan

munculnya gejala-gejala lain selain dalam PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Untuk mengetahui memperoleh data yang menunjukkan bahwa subjek mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), maka peneliti menggunakan wawancara serta tes psikologi yaitu tes inteligensi (CPM) dan tes proyektif

(Grafis; CAT).

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 1 (satu) anak laki-laki yang menjadi

korban kekerasan dalam keluarga berumur 6 tahun. Pemilihan subjek didasarkan

pada data kasus kekerasan dalam keluarga dan telah dinyatakan sebagai kasus

kekerasan terhadap anak yang murni secara hukum.

Saat ini subjek telah berumur 7 tahun, namun peristiwa kekerasan yang

terjadi adalah ketika subjek berumur 6 tahun. Penelitian ini dilakukan ketika

subjek juga masih berumur 6 tahun, sehingga data yang digunakan merupakan

data pada masa awal kanak-kanak dengan rentang usia 6 tahun ke bawah.

D. Metode Pengumpulan Data

Marshall dan Rossman (dalam Poerwandari, 2001) menyampaikan bahwa

data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan untuk mengelaborasi dan

memperkaya hasil penelitian. Data dari sumber berbeda, dengan teknik

pengumpulan yang berbeda akan menguatkan derajat manfaat studi pada setting

(50)

dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kepada subjek,

pramusosial dan pembina panti sekaligus psikolog. Data sekunder diperoleh dari

tes psikologi yaitu tes inteligensi dan tes proyektif. Adapun jenis tes inteligensi

yang digunakan adalah CPM (Colour Progressive Matrices), sedangkan jenis tes proyektif adalah tes Grafis dan CAT (Children’s Apperception Test).

1. Wawancara

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan

dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancara, atau

responden (Kerlinger, 2000). Menurut Banister, dkk (Poerwandari, 1998),

wawancara kualitatif dilakukan dengan maksud memperoleh pengetahuan

tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan

topik yang diteliti, dan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.

Wawancara dilakukan secara langsung kepada subjek untuk

memperoleh keakuratan data sekaligus menjaga kerahasiaan data subjek.

Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Wawancara

semi terstruktur lebih fleksibel karena selain menggunakan pedoman/panduan

wawancara, peneliti juga bebas untuk mengajukan pertanyaan di luar panduan

sehingga data dan informasi yang diperoleh lebih mendalam.

Wawancara semi terstruktur merupakan kombinasi dari wawancara

terstruktur dan wawancara tidak terstruktur (Nietzel, 1994). Wawancara semi

(51)

luwes dan terbuka. Walaupun pertanyaan yang diajukan ditentukan oleh

maksud dan tujuan penelitian, namun muatan, runtutan, dan rumusan

kata-kata terserah pada pewancara (Kerlinger, 2000).

Ada beberapa langkah dalam wawancara sebagai tuntunan (Nietzel,

1994), yaitu :

1) Wawancara Awal

Hal penting yang perlu dilakukan pada wawancara awal adalah melakukan

rapport. Rapport ini dilakukan untuk menjalin hubungan yang baik, nyaman, dan harmonis dengan subjek. Rapport ini juga mendorong subjek

untuk berbicara secara bebas dan bersahabat tentang masalah yang

dihadapi. Kemampuan interviewer untuk membangun rapport pada

wawancara awal ini dapat membentuk proses wawancara selanjutnya

sehingga akan diperoleh data dan informasi yang jelas mengenai diri dan

masalah subjek.

2) Wawancara Pertengahan

Ada tiga teknik dalam tahap wawancara pertengahan ini, yaitu :

a) Teknik tidak langsung

Pada pertengahan wawancara ada beberapa hal yang dapat dilakukan.

Pendekatan pertama adalah dengan pendekatan secara open-ended. Dengan pendekatan open-ended ini klien diberikan kekebasan untuk memulai sesuai keinginannya dan memudahkan klien untuk masuk

pada pokok masalah yang dihadapinya. Pendekatan yang kedua adalah

(52)

mengekspresikan diri secara penuh. Pendekatan yang ketiga adalah

dengan mempharafrasekan perkataan klien. Hal ini dilakukan untuk

membantu mengklarifikasikan pernyataan dari klien serta feedback dari interviewer sendiri. Pendekatan yang terakhir adalah dengan

melakukan refleksi yang penekananya bukan saja pada mengulang isi

dari perkataan subjek tetapi juga menyoroti perasaan subjek.

b) Teknik langsung

Teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi khusus dan

memberikan kebebasan pada klien untuk merespon perrtanyaan

interviewer. Pada teknik ini seorang interviewer perlu berhari-hati

dalam mengajukan pertanyaan secara langsung untuk mengeksplorasi

masalah subjek karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.

c) Kombinasi teknik langsung dan tidak langsung

Wawancara pertengahan yang dilakukan dengan menggunakan kedua

teknik tersebut karena sifat wawancara yang fleksibel.

Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan teknik kombinasi pada

wawancara pertengahan karena memudahkan peneliti untuk dapat

menggali lebih dalam mengenai informasi penting dari subjek.

3) Wawancara Penutup

Pada wawancara penutup yang perlu dilakukan adalah membuat

kesimpulan dari apa yang telah dilakukan selama proses wawancara. Hal

(53)

proses wawancara dilakukan dan melakukan evaluasi yang telah dilakukan

untuk membantu proses selanjnutnya.

Wawancara dilakukan dengan mengunakan suatu panduan atau daftar

pertanyaan yang akan diajukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan

dalam penelitian ini. Namun peneliti dapat lebih fleksibel karena peneliti

bebas mengajukan pertanyaan di luar panduan apabila dimungkinkan untuk

mendapatkan informasi yang lebih mendalam.

Informasi yang akan digali terhadap subjek dilakukan dengan

menggunakan panduan sebagai berikut :

a) Wawancara mengenai latar belakang subjek

Bagaimana keadaan atau latar belakang keluarga subjek, perlakuan

ibu, adik, serta kakek subjek. Dalam wawancara ini pula akan digali

secara mendalam mengenai bentuk kekerasan apa saja yang telah

dialami oleh subjek.

b) Wawancara mengenai keadaan subjek saat ini

Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui akibat secara psikologis

dari perlakuan kekerasan terhadap subjek di masa lalu. Akibat tersebut

yaitu mengalami PTSD atau stress yang terjadi akibat dari kekerasan

yang dialami. Kondisi ini meliputi ingatan akan peristiwa traumatik,

sikap menghindari dari peristiwa traumatik, serta respon-respon yang

muncul akibat kekerasan yang dialami (trauma).

Wawancara juga dilakukan terhadap orang-orang yang dekat dengan

(54)

subjek di panti serta pramusosial yang merawat dan selalu bersama-sama

dalam keseharian subjek karena saat ini subjek tidak bersama keluarganya

melainkan di panti. Wawancara terhadap significant others ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang akurat mengenai dampak psikologis serta

perkembangan pada diri subjek. Selain itu hal tersebut juga dilakukan untuk

mengetahui perilaku subjek secara verbal dan non verbal.

2. Tes Psikologi

Tes psikologi digunakan ol

Gambar

gambar berjumlah 36 soal. Item ini dikelompokkan dalam 3 kelompok
gambar yang telah dibuat oleh subjek sesuai dengan panduan tes Grafis yang telah
gambar tampak
Gambar subjek

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini dijalankan untuk melihat peranan faktor linguistik dan kognitif terhadap kefahaman bacaan teks sastera Arab di peringkat Sijil Tinggi Agama Malaysia

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

2) Penyelenggaraan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Peneliti. Dengan kewenangan ini, LIPI melalui Pusbindiklat Peneliti harus dapate. merumuskan akreditasi penilaian

Kawan-kawan Teknik Informatika angkatan 2011, selama 4,5 tahun kita lewati bersama dan terima kasih yang selalu memberi dukungan dan motivasi sampai akhir, sehingga saya

HUBUNGAN KEMAMPUAN MENCATAT DENGAN HASIL BELAJAR SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA MATERI SISTEM PEREDARAN DARAH PADA MANUSIA. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

PEMAHAMAN DAN PENALARAN SISWA SMA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENGENAI PENGGUNAAN VAKSIN PADA TUBUH MANUSIA. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Dengan termasuk edukasi didalamnya, diharapkan masyarakat memiliki kemampuan Neuropathy Service Point Merck Serono, divisi obat untuk mengedukasi masyarakat mengenai

 The impressed force p ( t ) acting on the simple oscillator in the figure is assumed to be harmonic and equal to F o sin w t , where F o is the amplitude or