STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS
ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Brigitta Erlita Tri Anggadewi
029114088
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
“Anak Belajar dari Kehidupannya”
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar mempercaya Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri
v
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…
Dorothy Law Nolte
Terima kasih Tuhan atas semua cinta yang menguatkan, anugerah yang indah, serta rintangan dan cobaan yang mendewasakan
Terimakasih atas kelebihan serta kelemahan yang melengkapi di setiap sisi tumbuh kembang pribadiku, semua itu tidak kusesali pun kuingkari...
Aku hanya terus bersyukur dan berusaha membuat semuanya lebih baik sesuai dengan kemampuanku, sebab aku percaya... Engkau telah mempertimbangkan segalanya ketika menciptakan aku
Kupersembahkan karya ini dengan segenap Ketulusan Hati, Kasih dan Cinta untuk : Yesus dan Bunda Maria Alm. Bapakku Mc. Sutarto Widodo dan Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti Kedua kakakku tersayang Evitta dan Erikka beserta Suami Yu Ginem
ABSTRAK
STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA
Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Kasus kekerasan terhadap anak bagaikan fenomena gunung es. Tampak sedikit di permukaan namun sebenarnya sangat meluas. Kasus kekerasan terutama kekerasan fisik seringkali diwarnai dengan kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak hanya dapat membuat kondisi fisik korban terganggu, namun juga dampak psikologis yang dapat pula mempengaruhi aspek lain seperti kognitif, relasi sosial dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara sebagai data utama terhadap subjek dan significant others. Sebagai data sekunder, peneliti menggunakan tes psikologi meliputi tes proyektif (Grafis dan CAT) dan tes inteligensi (CPM). Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak korban kekerasan dalam keluarga berusia 6 tahun.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara umum dampak psikologis subjek terganggu. Dampak psikologis yang dialaminya antara lain : mengalami peristiwa traumatis (dengan melihat dan menjadi korban dari peristiwa traumatik); munculnya respon-respon kekhawatiran, ketakutan dan ketidakberdayaan akibat kekerasan fisik; munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan (dalam ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran perasaan percakapan, tempat aktivitas, orang, partisipasi atau aktivitas, perasan terpisah dan terasing); muncul simptom-simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih), durasi simptom lebih dari 1 bulan, serta ketidakberdayaan sosial dan ketidakmampuan melakukan tugas penting akibat dari munculnya gangguan-gangguan akibat kekerasan.
Dampak lain yang muncul sebagai temuan tambahan antara lain fobia, agresif, sulit dikendalikan/sulit diatur, fantasi, egoisme, pandangan yang negatif, kebutuhan akan afeksi yang kurang serta banyak melakukan mekanisme pertahanan diri. Namun di sisi lain subjek memiliki impian atau harapan mengenai keluarga dan cita-cita. Kemauan akan mencapai cita-cita didukung dengan hasil CPM yang berada pada grade II dimana subjek memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Kata kunci : kondisi psikologis; kekerasan
ABSTRACT
CASE STUDY ABOUT CHILD’S PSYCHOLOGICAL EFFECTS OF FAMILY VIOLENCE
Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088
Psychology Faculties Sanata Dharma University
Yogyakarta
Violence case like ice mountain phenomenon. Middle in the front but very big. Violence case expect physical violence is allways with phsycological violence. This violence not just made physical condition was disturb, but can disturb phsychological condition, cognition, social relation, etc was disurb. The purpose of this research is to know phsychological condition family violence of a child.
This research is case study with qualitative approach and this method is conversation face to face is first data to subject and significant others. The second datas, the researcher research tests is psychological tests are tes projective (Grafis and CAT) and intelligence test (CPM). The research subjects is a child family violence of age 6 year.
The result of this research shows that child abuse has psychological effects to the subject. Phsychological effects is : experienced (witnessed and threat to this traumatics event); response’s involved intense fear, helplessness, or horror; the traumatic event is persistently reexperienced (recurrent distressing recolections, acting, intense phsychological distress, and psychological reactivity); persistent avoidance of stimuli associated with the trauma (thoughts feelings and conversation, places activities and peoples, diminished participation or activities, feeling of detachment); persistent symptoms of increased arousal (outbursts of anger, hypervigilance), and distress or impairment social, occupational, or other important areas functioning.
The other condition is fobia, agressive, fantation, egoism, negative perception, need of afect and defense mechanism. Subject have a dream about family and success. That dream is support with CPM result in grade II, where is definitely above the average in intelectual capacity.
key words : psychological effects; violence
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul STUDI KASUS TENTANG KONDISI PSIKOLOGIS ANAK KORBAN
KEKERASAN DALAM KELUARGA.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Selain itu untuk menetapkan ilmu yang telah diterima penulis selama duduk
dibangku perkuliahan.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari banyaknya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dalam bentuk bimbingan, pemberian
data-data, doa serta dorongan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh kerena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Yesus dan Bunda Maria yang telah mencintai, mengampuni, mendampingi, melindungi
dan menjadi perisai di setiap langkah hidup penulis. Karya ini dipersembahkan seutuhnya
atas kasih-Nya.
2. Dekan bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si atas kesempatan untuk menimba ilmu di fakultas
tercinta ini.
3. Pembimbing skripsi bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi atas bimbingan serta kesabaran
dalam menghadapi peneliti yang sering cemas dan tidak sabar.
4. Penguji ibu ML. Anantasari, S.Psi.,M.Si. atas senyuman yang melegakan di tengah
ketegangan dalam ruang ujian.
5. Penguji sekaligus interater CAT ibu Agnes Indar Erikawati, S.Psi.,Psi.,M.Si atas tambahan wawasan serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Pembimbing akademik ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, M.Si atas bimbingan akademis
setahun ini.
7. Bapak Y. Agung Santosa, S.Psi yang telah ikhlas membantu peneliti dan telah menjadi
dosen pembimbing akademik yang sangat sabar selama 3 tahun.
8. Bapak. Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Si dan Ibu Y. Titik, S.Psi atas motivasi, perhatian serta
persahabatan sehingga peneliti percaya diri dan mampu menghargai diri sendiri.
9. Bapak Drs. Singgih Santoso Wibowo, SU yang telah membimbing sdan membantu
peneliti untuk belajar menjadi interater serta telah menjadi interater tes Grafis.
10.Pramusosial dan Pembina Panti atas bantuan dan dukungan selama penelitian, terutama
untuk subjek peneliti, terimakasih atas kejujuran kamu. Mbak tetep ingat beliin sandal
dek…
11.Alm Bapakku MC. Sutarto Widodo, I know you shining down on me from heaven…I miss
u, pak. Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti yang selalu menyayangi dan memaafkan di setiap
pembantahanku. Doa ibu adalah nyawa dari penulisan skripsi ini. Dan sampai seumur
hidupku tidak akan cukup untuk membalas apa yang telah ibu berikan. Lita sangat
menyayangi ibu.
12.Kedua kakakku Evitta & Erikka beserta suami (Mas Koko dan Bang Aci) yang selalu ada
menjaga peneliti juga Frans dan Freddie kecil (teriakan-teriakan kecil kalian mebuat tante
‘ga ngantuk ngerjain karya ini sayang…)
13.Yu Ginem yang setia menyediakan makanan kecil dan teh hangat setiap malam serta tak
pernah telat bangun pagi hanya untuk membangunkan peneliti. Makasih ya thok !
14.Te Yanti, Te Watik, dan semua tante-tanteku yang lain juga oom dan sepupu terutama Ius
yang rela diajak bolak-balik oleh peneliti. Hidupku ceria banget karena keluarga ini.
15.Mba’ Adjenk, Thea, Iantswiti dan Winta. Peneliti tidaklah lengkap tanpa kehadiran kalian
dalam hidup ini. Terimakasih atas tawa, airmata serta doa yang saling kita lantunkan
bersama. We’re the soulmates are we!
16.Para sahabatku yang tak pernah lupa untuk menyemangatiku : Mitha Arsanti (tetap saling
menguatkan ya!), Tanti, Fista (kemandiriannya), Trisa (easy going-nya), Lisna
(ketenangannya), Nopex (kemanjaannya, hihihi), Ntrie, Yak-yuk (makasih atas tempat
tidurnya ya!), Wiwin, Astrid, Dhewi, Era, dan banyak gadis-gadis yang tidak tersebut. I love you all, girls!!
17.Kelompok penelitian: mba Bertha, mba Lianawati, mba Tyo, mba Etik, mba Merlin, mas
Oho, mas Kris. Kalian adalah semangat pertama yang membuat peneliti sadar untuk
menerima diri sendiri apa adanya dan bahwa penulis juga layak untuk disayangi.
18.Aan dan Tisa (yang selalu ada menjadi sharring yang menyenangkan, terimakasih atas dukungan kalian), Panji (atas asisten dadakannya), Bona (teman sependeritaan kala
AKSI), Jaya, mbakku Cynthia (2001), teman-teman F-16 (Wawan, Danang, Neri, Yanuar,
Suko dan lainnya) serta adikku Asteria dan Agus, tetap semangat ya dek !
19.Teman-teman pengurus Mukiji angkatan 2003-2006 (Vindoel, Emsa, Riris, Goeng, mas
Lalang, mas Hendra, Ajeng, Randi, Tyas Pujo, Ditya, Lana, dll), atas semua pengalaman
serta pelajaran berharga akan arti sebuah kerja sama, maaf peneliti sering mengecewakan
kalian.
20.Semua teman-teman Psikologi Sanata Dharma angkatan 2002. Thank’s for being a
wonderful moment…
21.semua kawan dan sahabat yang tidak tersebut disini. Kalian semua sangat berharga di hati
peneliti. Maaf, karena halamannya tidak cukup untuk menulis nama kalian semua…terima
kasih banyak..
22.Untuk setiap orang yang pernah datang dan pergi dalam hidup peneliti. Terimakasih atas
semua pengalaman berharga yang dilalui bersama-sama.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...
iLEMBAR PENGESAHAN...
iiMOTTO DAN PERSEMBAHAN...
iiiPERNYATAAN KEASLIAN KARYA...
ivABSTRAK...
vi
ABSTRACT...
vii
KATA PENGANTAR...
viiiDAFTAR ISI... xi
BAB I PENDAHULUAN...
1
A.
Latar Belakang Masalah………... 1B.
Rumusan Masalah……….6
C.
Tujuan Penelitian………..6
D.
Manfaat Penelitian………6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………
8
A.
Anak………..8
1.
Pengertian dan Batasan Usia Anak...8
2.
Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak... 93.
Tugas Perkembangan Anak………..14
B.
Kekerasan Terhadap Anak………16
1.
Pengertian Kekerasan Terhadap Anak………. 162.
Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak……….17
3.
Lingkup Kekerasan Terhadap Anak………...18
4.
Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak...20
5.
Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis... 24C.
Dinamika Kekerasan Keluarga dan Kondisi Psikologis Anak... 27BAB III METODE PENELITIAN………
33
A.
Jenis Penelitian………. 33B.
Batasan Istilah….………..34
C.
Subjek Penelitian….………. 36D.
Metode Pengumpulan Data……….. 361.
Wawancara………... 372.
Tes Psikologi……… 41a)
Tes Inteligensi………... 41b)
Tes Proyektif………. 42E.
Metode Analisis Data………... 47F.
Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data... 52BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..
56
A.
Hasil Penelitian……….56
B.
Pembahasan……….. 84BAB V PENUTUP………..
96
A.
Kesimpulan………...96
B.
Saran………. 97DAFTAR PUSTAKA...
99
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena kekerasan dalam keluarga selama ini dianggap sebagai masalah
intern yang kurang perlu diketahui oleh publik. Namun pemberitaan kasus
kekerasan yang akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan menunjukkan bahwa
kasus kekerasan mulai dibuka dan disorot oleh berbagai media massa bahkan
dianggap perlu diketahui oleh khalayak umum. Ada banyak sekali kasus
kekerasan di Negara Indonesia yang mulai mencuat ke permukaan. Dari seluruh
kasus kekerasan tersebut, kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga adalah
yang dominan dari seluruh kasus yang ada yakni 302 kasus (Kompas, 9 Januari
2002). Dalam berbagai penulisan, termasuk survei yang dilakukan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) di berbagai Negara termasuk Indonesia, kekerasan
dalam keluarga bisa menimpa siapa saja, perempuan atau laki-laki; mulai dari
anak-anak, orang dewasa, hingga orang berusia lanjut (Kompas, 26 Mei 2003).
Data-data dalam kompas, 20 Desember 2004 menunjukkan bahwa dari tahun
1992 - 2002 terdapat 2.184 kasus kekerasan terhadap anak dan kasus kekerasan
ini terus bertambah setiap tahun (Kompas, 22 Juli 2006). Dari peningkatan
tersebut, peneliti melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak
mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Seto Mulyadi (Ketua umum Komisi Nasional Perlindungan Anak)
menduga 50-60 persen orang tua melakukan kekerasan terhadap anak (Kompas,
29 Juni 2003). Data ini menguatkan data sebelumnya dari Departemen Sosial
pada tahun 2002, dimana tercatat bahwa diperkirakan sebanyak 43.708 anak
mengalami kekerasan fisik yang tersebar di 27 propinsi (Pedoman Penanganan
Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, 2004). Sementara itu data lain
yang diperoleh menunjukkan bahwa sebanyak 53,5 % (Ikawati dan Rusmiyati,
2003) tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga sendiri, suatu
tempat dimana seharusnya anak mampu tumbuh kembang secara normal, aman
dan nyaman.
Terkait dengan kasus ini, Owen dan Strauss (1975) mendefinisikan
kekerasan domestik/ keluarga sebagai segala tindakan penganiayaan fisik, seksual
atau emosional oleh anggota keluarga. Pendapat lain mengemukakan kekerasan
dalam keluarga adalah segala bentuk penganiayaan, perlakuan yang menyimpang,
atau penolakan yang dialami oleh orang dewasa atau anak-anak dalam suatu
hubungan keluarga, dalam suatu hubungan yang intim, atau dalam hubungan yang
ditandai adanya ketergantungan (Department of Justice of Canada, 2003). Berbagai bentuk kekerasan dalam suatu keluarga merupakan suatu tindakan yang
melanggar Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
dapat dilihat pada penjelasan pasal 13 huruf d yang menjelaskan tentang
perlakuan kejam seperti tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, benci atau
tidak menaruh belas kasihan kepada anak dan pelaku kekerasan dalam dijerat
yang diberikan berupa hukuman pidana atau hukuman denda sesuai dengan
tingkat kekerasan fisik yang dilakukan.
Suharto (dalam Huraerah, 1998), mengelompokkan kekerasan terhadap
anak yaitu kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara psikologis (psychological abuse), kekerasan secara seksual (sexual abuse), dan kekerasan secara sosial (social abuse). Menurut Suharto (dalam Huraerah, 1998) pula, kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan terhadap anak dengan atau tanpa
menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau
kematian pada anak. Sedangkan kekerasan psikis/psikologis merupakan hardikan
atau penyampaian kata-kata kasar terhadap anak.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa kekerasan terhadap anak dapat
menimbulkan dampak-dampak tertentu pada perkembangan anak, baik secara
fisik maupun secara psikologis. Secara fisik, kekerasan dapat menimbulkan
luka-luka seperti memar-memar (bruiser), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanent (permanent disabilities), dan kematian (death) (Gelles dalam Huraerah, 2006). Menurut Gelles pula , dampak secara psikologis dapat seumur hidup seperti rasa harga diri
rendah (a lowered sense of selfworth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorder). Kasus kekerasan yang dialami pada masa tahap perkembangan anak dapat menjadi bahaya yang
potensial karena peristiwa yang dialami oleh anak merupakan sebuah pengalaman
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
perubahan-perubahan dalam perkembangannya.
Kasus-kasus kekerasan di atas telah banyak terjadi dan berbagai upaya
telah dilakukan oleh pemerintah yang salah satunya dengan mendirikan rumah
perlindungan dan pusat trauma untuk anak, namun demikian hanya sedikit yang
mampu tersentuh oleh lembaga-lembaga tersebut. Kasus-kasus ini seperti
tenggelam dan dianggap sebagai masalah keluarga yang tidak layak dikonsumsi
oleh publik terlebih apabila dibawa ke meja hukum. Akibatnya kasus kekerasan
bagaikan fenomena gunung es, dimana hanya beberapa saja yang tampak di
permukaan. Tanpa disadari kasus kekerasan terhadap anak telah merambah ke
hampir seluruh lapisan masyarakat.
Contoh secara nyata seperti yang dialami oleh Nn. Nn adalah seorang anak
laki-laki berumur 6 tahun dan merupakan anak pertama dari 2 (dua) bersaudara.
Nn dan adiknya lahir tanpa diketahui siapa ayah Nn dan tinggal di daerah kumuh
dengan kondisi ekonomi di bawah rata-rata. Ibu Nn bekerja sebagai pengamen
sekaligus wanita tuna susila sehingga seringkali tidak dapat bertemu dengan Nn
maupun adik Nn. Nn dititipkan dan dirawat oleh kakeknya. Dari kakek ini Nn
sering mendapat perlakuan kekerasan secara fisik dan psikis tanpa alasan yang
jelas. Bahkan tindak kekerasan sering dialami oleh Nn meskipun Nn tidak
melakukan suatu kesalahan. Kekerasan yang dialami oleh Nn antara lain dibentak,
dimaki sambil dipukul dengan atau tanpa menggunakan kayu, ditendang,
dibentur-benturkan ke dinding sampai diinjak-injak. Tindak kekerasan tersebut
dijadwalkan. Perlakuan kekerasan tersebut dilakukan pula kepada adik Nn bahkan
ibu Nn pun seringkali melakukan kekerasan fisik terhadap Nn dan adiknya.
Perlakuan kekerasan yang dialami oleh Nn dan adiknya dilakukan agar
mendapatkan uang serta simpati dari orang lain. Cara yang dilakukan adalah
membawa Nn ke jalanan dalam kondisi penuh luka untuk meminta-minta atau
mencari sumbangan dengan alasan memerlukan uang untuk membawa Nn
berobat. Kakek maupun ibu Nn tidak memperdulikan kondisi fisik maupun
psikologis yang dialami oleh Nn. Semakin Nn luka parah maka semakin banyak
pula uang yang didapatkan sehingga ketika luka fisik Nn mulai mengering,
perlakuan kekerasan kembali dialami oleh Nn. Beberapa waktu lalu adik Nn
akhirnya meninggal karena menderita tulang punggung patah dan Nn ditemukan
oleh pihak berwenang untuk kemudian diserahkan pada panti asuhan bagian
trauma center. Sampai saat ini pihak panti masih belum memberi ijin pada ibu Nn
untuk bertemu dengan Nn. Hal ini dilakukan untuk melindungi Nn dari perlakuan
kekerasan yang mungkin dapat terulang setelah sebelumnya dibujuk pulang oleh
ibunya.
Dari berbagai fakta yang telah disebutkan, maka peneliti tertarik untuk
mengkaji dan mendeskripsikan lebih dalam mengenai dampak psikologis Nn.
Melalui penelitian ini diharapkan permasalahan Nn menjadi mudah untuk
dipahami sehingga dalam perkembangan Nn selanjutnya dampak psikologis
akibat dari kekerasan yang dialami oleh Nn dapat diminimalisir. Berdasarkan
psikologis anak akibat dari kekerasan terutama kekerasan secara fisik dan
psikis/psikologis.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diungkap oleh
peneliti adalah : “Bagaimana dampak psikologis subjek yang mengalami
kekerasan dalam keluarga ?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : “Mendeskripsikan secara mendalam
dampak psikologis subjek yang mengalami kekerasan dalam keluarga.”
D. Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini :
1. Manfaat Teoretis
Manfaat dari penelitian ini secara teoretis dapat membantu
menambah pengetahuan mengenai kondisi psikologis yang dapat dialami oleh
anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Subjek
Subjek mendapatkan dukungan yang positif serta motivasi yang
tepat sehingga subjek mampu menghadapi permasalahannya dan dapat
b. Bagi Psikolog dan Pendamping
Merupakan tambahan referensi mengenai dampak kekerasan
terhadap trauma yang dialami subjek sehingga psikolog/pendamping
mampu memberikan sikap, dukungan dan terapi yang tepat supaya subjek
dapat bertumbuh kembang secara normal.
c. Bagi Pembaca dan Orang Tua pada umumnya
Memberikan tambahan informasi mengenai kondisi psikologis anak
akibat dari kekerasan sehingga pembaca dan orang tua pada umumnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak
1.Pengertian dan Batasan Usia Anak
Pengertian anak berkaitan dengan batas umur anak. Dalam berbagai
peraturan perundangan terdapat perbedaan tentang batasan umur anak (Endang
Sumiarni, 2006), diantaranya dalam KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 1
menyebutkan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk
anak-anak, kedewasaannya telah dicapai lebih cepat. Undang-undang No. 4 Tahun
1974 tentang Kesejahteraan Anak memberikan batasan umur 21 (duapuluh satu)
tahun dan atau belum menikah. Sedangkan KUHP Pasal 45 memberikan batasan
umur maksimal 16 (enam belas) tahun, selain itu terdapat batasan umur di bawah
12 (dua belas) tahun, 15 (lima belas) tahun, 16 (enam belas) tahun, 21 (dua puluh
satu) tahun (Andi Hamzah, 1990; R.Susilo, 1976). Sementara dalam
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 mengatakan, bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, temasuk anak yang masih
dalam kandungan. Batasan umur anak pada undang-undang ini tidak ada
pengecualian apapun seperti batasan “dan/atau sudah kawin”, sehingga bagi anak
yang berusia di bawah 18 tahun seandainya sudah kawin dan sudah mempunyai
Menurut Hurlock (1998), secara luas diketahui bahwa masa kanak-kanak
harus dibagi lagi menjadi dua periode yang berbeda-awal dan akhir masa
kanak-kanak. Periode awal berlangsung dari umur 2 hingga 6 tahun dan periode akhir
dari 6 tahun sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Hurlock juga
mengatakan, bahwa pada awal dan akhirnya, masa akhir kanak-kanak ditandai oleh
kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial
anak.
2. Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak
Subjek mengalami peristiwa kekerasan pada saat berumur di bawah 6 tahun,
maka peneliti menggunakan teori pada awal masa anak-anak. Anak memiliki
beberapa ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan remaja atau dewasa. Adapun
beberapa ciri tersebut antara lain perkembangan fisik, perkembangan emosi,
perkembangan kognitif, serta perkembangan sosial yang dapat membantu anak
dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya secara bertahap.
a. Perkembangan Fisik
Pertumbuhan selama masa awal anak-anak berlangsung lambat
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi (Hurlock, 1998).
Beberapa perkembangan fisik pada awal masa anak-anak menurut Hurlock
(1998) antara lain dalam hal tinggi badan yang rata-rata bertambah tiga inci
serta berat rata-rata tiga sampai lima pon setiap tahun. Hurlock menyebutkan
perbandingan tubuh untuk masa awal anak-anak, dimana wajah tetap kecil tetapi
bagian-bagian tubuh berangsur-angsur berkurang dan tubuh cenderung
berbentuk kerucut, perut yang rata (tidak buncit), dada yang lebih bidang dan
rata, serta bahu lebih luas dan lebih persegi. Untuk masa awal anak-anak ada 3
jenis postur tubuh, yaitu gemuk lembek atau endomorfik, kuat berotot atau mesomorfik, dan ada yang relatif kurus atau ektomorfik. Hurlock (1998) juga menambahkan, bahwa tulang dan otot pada masa awal kanak-kanak menjadi
lebih besar dan berat, banyaknya lemak tergantung jenis postur tubuh, serta gigi
pada geraham belakang muncul.
b. Perkembangan Emosi
Semua emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak
karena emosi memiliki pengaruh terhadap penyesuaian pribadi dan sosial
(Hurlock, 1991). Menurut Hurlock (1998) pula, selama awal masa anak-anak
emosi mereka sangat kuat. Saat ini (awal masa anak-anak) merupakan saat
dimana terjadi ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar fokus”. Dalam arti
bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional, sehingga sulit untuk
dibimbing dan diarahkan.
Hurlock (1998) menambahkan, bahwa emosi yang meninggi pada masa
awal kanak-kanak ditandai oleh ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang
hebat, dan iri hati yang tidak masuk akal. Ada beberapa hal yang menunjang
timbulnya emosionalitas yang meninggi (Hurlock, 1991), antara lain :
1) Kondisi fisik seperti kesehatan yang buruk, kondisi yang merangsang (eksim
2)Kondisi psikologis seperti perlengkapan intelektual yang buruk, kegagalan
mencapai tingkat aspirasi, serta kecemasan.
3) Kondisi lingkungan seperti ketegangan, kekangan yang berlebihan, serta
sikap orangtua yang terlalu mencemaskan atau melindungi.
Emosi umum yang seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak
(Hurlock, 1998) antara lain amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati,
gembira, sedih, dan kasih sayang.
c. Perkembangan Kognitif
Dunia kognitif anak-anak pra sekolah ialah kreatif, bebas, dan penuh
imajinasi (Santrock, 1995). Mengenai perkembangan kognitif pada masa awal
kanak-kanak akan terbagi dalam beberapa konsep menurut Santrock (1995),
antara lain :
1) Tahap pemikiran praoperasional Piaget (2 – 7 tahun)
Tahap pemikiran praoperasional Piaget memiliki 2 subtahap
(Hargenhahn, 2000) :
a) Pemikiran Prekonseptual (2 – 4 tahun)
Pada tahap ini anak membentuk konsep yang belum sempurna.
Mereka mulai mengklasifikasikan sesuatu berdasarkan kelompok tertentu
karena suatu persamaan, tetapi mereka seringkali membuat kesalahan
karena konsep tersebut; semua laki-laki adalah ayah, semua perempuan
adalah ibu, dan semua mainan dilihat mereka sebagai miliknya. Logika
berkaki empat. Binatang itu besar dan mempunyai empat kaki jadi
binatang itu adalah sapi”.
b) Periode Intuitif (4 – 7 tahun)
Pada tahap ini anak memecahkan masalah secara intuitif sebagai
pengganti yang sesuai dengan beberapa aturan secara logis. Hal yang
paling menyolok pada tahap ini adalah kegagalan mereka dalam
mengembangkan konservasi. Konservasi didefinisikan sebagai
kemampuan dalam mencapai angka, panjang, isi, atau area tetap yang
konstan meskipun ditunjukkan pada anak dalam angka yang berbeda-beda.
Contohnya, seorang anak ditunjukkan pada dua kotak yang diisi pada
tingkatan tertentu dengan air. Kemudian salah satu kotak dibalik posisinya
menjadi lebih tinggi daripada kotak yang satu. Maka ketika diminta untuk
memilih, anak akan memilih kotak yang dibalik sebagai kotak yang
memiliki berisi banyak air karena posisi air pada kotak yang dibalik
tampak lebih tinggi dan banyak dibandingkan kotak yang satunya. Pada
tahap ini anak belum mampu membedakan sesuatu secara kognitif, dimana
pada contoh, anak melihat bahwa kotak yang lebih tinggi berisi lebih
banyak air daripada yang pendek, padahal kotak tersebut memiliki bentuk
serta banyaknya air yang sama.
2)Pemrosesan informasi
Dalam Santrock (1995), dua keterbatasan dalam pemikiran anak-anak
prasekolah adalah perhatian dan ingatan, yakni dua hal penting yang
lain yang juga penting dalam pemrosesan informasi adalah analisis tugas.
Penganut pemrosesan informasi yakin suatu komponen tugas harus
dianalisis. Dengan membuat tugas lebih menarik dan sederhana, peneliti
menunjukkan bahwa beberapa aspek perkembangan kognitif anak terjadi
lebih awal daripada yang diperkirakan (Santrock, 1995).
Teori anak (Santrock, 1995) mengatakan bahwa anak-anak
mengembangkan suatu kesadaran bahwa pikiran itu ada, berhubungan
dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, bisa berupa obyek secara akurat
atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realitas dan
emosi yang dialami.
3)Perkembangan bahasa
Perkembangan bahasa pada masa awal kanak-kanak dalam Santrock
(1995) terbagi dalam perluasan tahap-tahap Brown dan sistem aturan. Lima
tahap Brown meliputi panjang rata-rata ucapan, rentang usia, karakteristik
bahasa, dan variasi kalimat. Sedangkan dalam system aturan, meliputi
perubahan-perubahan dalam fonologi, morfologi, sintaks, semantik, dan
pragmatik selama tahun-tahun awal masa anak-anak (Santrock, 1995).
4) Teori perkembangan Vygotsky
Dalam teori perkembangan Vygotsky terdapat istilah ZPD (Zone of Proximal Development) dimana untuk tugas-tugas yang terlalu sulit dapat dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi dengan bimbingan dan bantuan orang
d. Perkembangan Sosial
Dalam Hurlock (1991), dari umur 2 sampai 6 tahun, anak belajar
melakukan hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan
rumah, terutama dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Mereka belajar
menyesuaikan diri dan bekerjasama dalam kegiatan bermain. Pada masa
kanak-kanak awal, pola perilaku dalam situasi sosial terbagi dalam pola perilaku sosial
dan pola perilaku yang tidak sosial (Hurlock, 1991) yaitu :
1)Pola Perilaku Sosial, tampak dalam sikap kerja sama, persaingan, kemurahan
hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap
ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, dan perilaku kelekatan
(attachment behavior)
2) Pola Perilaku Yang Tidak Sosial, tampak dalam sikap negativisme, agresi,
pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa,
egosentrisme, prasangka, serta antagonisme jenis kelamin.
3. Tugas Perkembangan Anak
Dalam perkembangannya, anak juga mempunyai tugas-tugas tertentu yang
harus dilakukan. Havighurst (dalam Hurlock, 1991) mendefinisikan bahwa
tugas perkembangan merupakan tugas yang timbul pada periode kehidupan
tertentu. Keberhasilan melakukan tugas perkembangan menimbulkan
kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya. Di sisi lain kegagalan
dapat menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan masyarakat, dan
beberapa tugas perkembangan di masa awal kanak-kanak (lahir sampai usia 6
tahun), yaitu :
a. Belajar berjalan
b. Belajar makan makanan padat
c. Belajar berbicara
d. Belajar mengendalikan pembuangan sampah dalam tubuh
e. Belajar membedakan jenis kelamin dan kesopanan seksual
f. Mencapai stabilitas fisiologis
g. Membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik
h. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung,
dan orang lain
i. Belajar membedakan yang benar dan yang salah serta mengembangkan
nurani.
Menurut Hurlock (1991), tugas perkembangan ini memiliki 3 tujuan. Yang
pertama, tugas ini bertindak sebagai pedoman untuk membantu orang tua dan guru guna mengetahui apa yang harus dipelajari anak pada usia tertentu. Kedua, tugas perkembangan menimbulkan kekuatan motivasi bagi anak untuk belajar
mengenai hal-hal yang diharapkan masyarakat dari mereka pada usia tersebut.
B. Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa hal mengenai kekerasan fisikdan psikologis terhadap anak juga perlu
dibahas dalam tinjauan pustaka ini untuk lebih mendalami serta untuk menyamakan
persepsi antara peneliti dengan pembaca. Hal-hal yang perlu untuk dibahas dan
disamakan persepsi antara lain pengertian serta bentuk-bentuk kekerasan kekerasan,
lingkup kekerasan, penyebab kekerasan, serta dampak dari kekerasan fisik terhadap
anak.
1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
Barker (dalam The Social Work Dictionary, 1987) mengatakan, bahwa kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara
fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat,
hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau
kekerasan seksual. Sementara itu Vander (www.e-psikologi.com, 2002)
mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak diartikan sebagai bentuk
penyerangan fisik atau melukai anak dan biasanya dilakukan justru oleh orang tua
atau atau pengasuh pengaruh dari orang lain yang bukan keluarga. Gelles (dalam
Huraerah, 2004) menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan
disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara
fisik maupun emosional.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan suatu perlakuan yang
salah terhadap anak dimana perlakuan tersebut tidak hanya menimbulkan luka
2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Ahimsa, dkk (Suyanto, dkk., 2000) telah mengadakan suatu studi dan
menemukan 3 (tiga) bentuk kekerasan yang sering dialami oleh anak-anak, antara
lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Sementara itu,
Suharto (Huraerah, 2006), menambahkan kekerasan terhadap anak menjadi 4
(empat) antara lain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan
secara seksual, serta kekerasan secara sosial. Penjelasan keempat hal tersebut
dapat dilihat sebagai berikut :
1). Kekerasan anak secara fisik merupakan suatu penganiayaan terhadap anak
dengan atau tanpa menggunakan alat tertentu sehingga dapat menimbulkan
luka-luka fisik bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap anak.
2). Kekerasan anak secara psikis merupakan penyampaian kata-kata kasar dan
kotor, menghardik, memaki, sampai meperlihatkan gambar atau film
pornografi pada anak.
3). Kekerasan anak secara seksual merupakan perlakuan prakontak (sentuhan,
exhibitionism) maupun kontak seksual langsung (perkosaan) yang dilakukan oleh orang yang lebih besar pada anak.
4). Kekerasan anak secara sosial meliputi penelantaran serta eksploitasi anak.
Penelantaran anak merupakan sikap orang tua yang tidak memperhatikan
proses tumbuh kembang anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2006).
Pope (Nunally, dkk., 1988) menyebutkan bahwa kekerasan fisik
fisik, Child Maltreatment juga mencakup bentuk kekerasan lain, yaitu kekerasan seksual (sexual abuse), penelantaran atau penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau psikologis.
3. Lingkup Kekerasan Terhadap Anak
Widjaja (1985) mengatakan bahwa sejak dilahirkan sampai dengan
kematian, manusia tidak pernah hidup “sendiri” tetapi selalu berada dalam suatu
lingkungan sosial yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Berdasarkan
pernyataan tersebut maka bukan hal yang tidak mungkin pula apabila tindak
kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam hubungan sosial itu sendiri termasuk
dalam keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan fakta bahwa kekerasan
merupakan masalah yang kompleks dimana banyak faktor-faktor yang berbeda
(individu, hubungan yang terjalin, dan masyarakat) memainkan peran
(Department of Justice Canada, 2003).
Adianingsih (2003) merinci lingkup kekerasan yang dapat terjadi pada anak,
antara lain :
a. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga :
1) Ayah, Ibu, Kakek, Nenek
2) Saudara kandung
3) Kerabat
b. Orang-orang yang terikat atau pernah terikat dalam perkawinan ataupun
sebagai partner :
2)Isteri/mantan isteri
3)Pacar/pasangan
c. Orang-orang yang memiliki hubungan kerja di lingkup domestik/keluarga
1) Pengasuh/perawat formal atau informal
2) Pembantu rumah tangga.
Dari beberapa lingkup tersebut, keluarga sering disebut sebagai pelaku
utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terbukti dalam suatu
penulisan oleh media Jawa Pos, bahwa dari 103 kasus, sebanyak 39,8 %
lingkungan keluarga melakukan tindak kekerasan (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).
Sementara dari media Memorandum menuliskan hal yang serupa dimana dari 230
kasus kekerasan yang dialami oleh anak, sebanyak 53,5 % dilakukan oleh
keluarga sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam lingkup keluarga,
kekerasan terhadap anak paling rentan terjadi. Hal ini menimbulkan suatu
keprihatinan, dimana keluarga seharusnya mampu menjadi tempat yang nyaman
agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar.
4. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak
Dalam The National Clearinghouse on Family Violence (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam keluarga dapat dilihat pada bagan di
Bagan 1
Sistem yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Keluarga
Faktor Individu
Faktor Keluarga
Faktor Komunitas
Faktor
Masyarakat/ Budaya
Penjelasan mengenai faktor-faktor di atas dapat disimak di bawah ini :
a. Faktor Individu, antara lain temperamen, kepribadian, perilaku yang dipelajari,
sikap, dan pengetahuan mengenai kekerasan dalam keluarga.
b. Faktor Keluarga, antara lain pola interaksi dalam keluarga (antara ayah-anak,
suami-isteri, antar saudara kandung), sikap dan nilai mengenai hak anak,
c. Faktor Komunitas, antara lain tingkat dan jenis dukungan yang tersedia,
kesempatan belajar yang tersedia, sikap mengenai peran dan tanggung jawab
keluarga.
d. Faktor Masyarakat/budaya, antara lain sikap mengenai hak, peran, dan
tanggung jawab keluarga, sikap mengenai penggunaan kekuatan untuk
mengatasi masalah, sikap mengenai jumlah dan jenis kekerasan yang
diperbolehkan.
Moore dan Parton (Huraerah, 2006) juga mengungkapkan bahwa
kekerasan anak disebabkan oleh faktor individual, namun ada juga yang
berpendapat bahwa struktur sosial lebih berperan sebagai penyebab dari
kekerasan terhadap anak. Secara rinci Rusmil (Huraerah, 2006), membagi
penyebab kekerasan terhadap anak dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :
1. Faktor Orang tua atau Keluarga
Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terhadap
anak diantaranya :
a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak (kepatuhan anak kepada
orang tua, hubungan asimetris)
b. Dibesarkan dengan penganiayaan
c. Gangguan mental
d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka
yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun
2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
Faktor lingkungan sosial juga dapat menjadi penyebab kekerasan terhadap
anak, diantaranya :
a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis
b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah
c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri
d. Sistem keluarga patriarkhal
e. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis
3. Faktor Anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan
ketergantungan anak kepada lingkungannya
b. Perilaku menyimpang pada anak
Suharto (Huraerah, 2006) berpendapat bahwa kekerasan terhadap anak
umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri
maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat.
Faktor-faktor internal tersebut antara lain anak mengalami cacat tubuh, retardasi
mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki
temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu
bergantung pada orang dewasa. Faktor eksternal yang berasal dari kondisi
keluarga dan masyarakat antara lain :
1)Kemiskinan keluarga, orangtua menganggur, penghasilan tidak cukup,
2)Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak
mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
3)Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik
anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan
(unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.
4)Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orangtua,
misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan
emosional dan depresi.
5)Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami
perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.
6)Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya
tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,
pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham
ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya kontrol sosial yang
stabil.
Berdasarkan beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa penyebab dari kekerasan yang
dialami oleh anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal yaitu anak, namun
juga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor eksternal seperti kondisi keluarga
dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan yang
muncul dan dapat menjadi penyebab munculnya perlakuan kekerasan terhadap
5. Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis
Kekerasan dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak bagi
korbannya, demikian pula dalam kasus kekerasan fisik terhadap anak. Beberapa
dampak dari kekerasan terhadap anak diantaranya adalah dampak psikologis,
dampak fisik, dampak perilaku, dampak akademis, dampak seksual, dampak
hubungan sosial, dampak persepsi diri, serta dampak spiritual (Tanya, 1999;
Blasio & Camisasca, 2000., dalam Anantasari, 2006). Penelitian ini lebih fokus
pada dampak psikologis anak akibat dari kekerasan (fisik dan psikis) yang
dilakukan oleh orang tua.
Dalam perspektif psikologis, kekerasan terhadap anak dapat mempengaruhi
kesejahteraan psikologis secara permanen serta dapat menyebabkan kerusakan
emosi anak. Kerusakan-kerusakan tersebut diantaranya terwujud dalam
masalah-masalah seperti mimpi buruk berulang-ulang, kecemasan, rasa takut dan agresi
tingkat tinggi, perasaan malu dan bersalah, fobia mendadak, keluhan
psikosomatis, simtom depresi, perasaan susah berkepanjangan serta penarikan diri
(Tanya, 1999; Blasio & Camisasca, 2000., dalam Anantasari, 2006).
Pada beberapa kasus, kekerasan juga menimbulkan gangguan kejiwaan
seperti depresi, kecemasan berlebihan, atau gangguan disosiatif, dan juga
bertambahnya resiko bunuh diri (Gelles dalam Huraerah, 2006). Moore dalam
Fentini (Huraerah, 2006) merinci dampak psikologis akibat kekerasan secara fisik
dalam beberapa kategori yaitu negatif, agresif serta mudah frustrasi; pasif dan
apatis; tidak mempunyai kepribadian sendiri dan hanya menurut pada orang tua;
lain; sampai timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri.
Ketidakberdayaan anak saat menghadapi kekerasan menyebabkan anak
mengalami stress dan menimbulkan berbagai macam respon-respon khusus diantaranya mengembangkan PTSD (Post-traumatic Stress Disorder) (www.aap.org/advocacy.childhealthmonth/effects.htm, 2002).
PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca trauma yang merupakan suatu respon berkepanjangan atau tertunda terhadap kejadian
atau situasi yang cenderung menyebabkan distress pada hampir setiap orang (PPDGJ III, 1993). Salah satu contoh penyebab distress yang juga merupakan kasus dalam penelitian ini adalah suatu peristiwa dimana subjek menjadi korban
penyiksaan. Menurut PPDGJ III (1993), gejala khas gangguan ini adalah
munculnya kejadian traumatik yang terulang kembali (Flashback) atau dalam mimpi, kondisi perasaan “beku” dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain,
tidak responsif, anhedonia, serta menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan
dengan traumanya. Gejala ini muncul setelah terjadinya peristiwa kekerasan yang
menyebabkan anak mengalami trauma selama beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Jarang ada yang melampaui dari 6 bulan, namun apabila hal itu terjadi
maka dapat masuk dalam kategori Acute (kurang lebih 3 bulan) sampai Chronic (lebih dari 3 bulan).
Gejala-gejala dalam PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang digunakan didasarkan dalam DSM IV-TR (2003) untuk mendeskripsikan dampak
A. Peristiwa traumatis dapat terjadi pada individu yang mengalami 1 atau lebih
pada beberapa hal berikut ini :
1.) Mengalami, melihat, atau berhadapan langsung dengan peristiwa tersebut
atau peristiwa yang menyulitkan atau ancaman kematian atau penyiksaan
atau ancaman terhadap serangan fisik pada dirinya atau orang lain.
2.) Muncul respon-respon kekhawatiran, tidak berdaya, dan ketakutan yang
mendalam.
B. Peristiwa traumatik dialami berulang dan bertahan melalui cara berikut :
1.) Pengingatan akan distress yang berulang dan mengganggu akan suatu
peristiwa, gambaran, pikiran atau persepsi
2.) Mimpi menyedihkan yang berulang akan suatu peristiwa
3.) Bertindak atau merasakan seolah peristiwa traumatik berlangsung lagi
4.) Kesedihan psikologis yang mendalam terhadap picuan internal (dari diri
sendiri) dan eksternal (faktor luar) yang mensyaratkan aspek dari peristiwa
traumatik
5.) Ada reaksi fisiologis (fisik) yang muncul atas faktor internal (dari diri
sendiri) atau eksternal (faktor luar) yang menyimbolkan atau menyerupai
aspek dari peristiwa traumatik
C. Penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang terkait dengan trauma
dan mati rasa pada respon umum, sebagaimana diindikasikan dengan tiga atau
lebih hal berikut ini :
1). Usaha menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan
2). Usaha menghindari aktivitas, tempat atau orang yang mengingatkan akan
trauma
3). Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma
4). Secara nyata menghilangkan ketertarikan atau partisipasi pada aktifitas
5). Perasaan tidak terikat dan terpisah dari orang lain
6). Keterbatasan aspek afeksi/emosional
7). Perasaan tidak punya harapan pada masa depan
D. Simptom-simptom yang menetap :
1). Kesulitan tidur dan bangun tidur
2). Irritabilitas atau ledakan amarah
3). Kesulitan berkonsentrasi
4). Kewaspadaan berlebih
5). Respon terkejut yang berlebih
E. Durasi dari gangguan (kriteria simptom B, C, D) lebih dari satu bulan
F. Gangguan mengakibatkan distress klinis yang signifikan atau
ketidakberdayaan dalam sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain atau
ketidakmampuan dalam melakukan tugas-tugas penting.
C. Dinamika Kekerasan Keluarga Terhadap Dampak Psikologis Anak
Keluarga atau rumah tangga adalah fondasi primer bagi kepribadian, dan tingkah
laku anak (Huraerah, 2006). Sikap serta perilaku anak yang telah atau akan terbentuk
dimulai dari keluarga yang juga merupakan inti dari masyarakat. Maka sudah
sehingga nantinya anak dapat tumbuh kembang secara wajar dan memiliki cukup
bekal untuk kemudian terjun di dalam masyarakat ketika dewasa. Keluarga yang
memiliki hubungan antar anggota yang hangat dan cukup kasih sayang akan
menciptakan perilaku maupun kepribadian yang baik pada anak. Sebaliknya, keluarga
dengan suasana yang tidak harmonis dan rentan dengan kekerasan dapat mengancam
kestabilan tumbuh kembang anak.
Huraerah (2006) mengatakan bahwa ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana
pertengkaran, perselisihan dan permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan dan
yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak. Kekerasan terhadap anak
terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat
berasal dari anak itu sendiri atau faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga
dan masyarakat (Suharto dalam Huraerah, 2006). Beberapa hal yang menyebabkan
orangtua melakukan kekerasan diantaranya adalah kemiskinan keluarga, penelantaran
serta kondisi lingkungan yang buruk (Huraerah, 2006). Kondisi-kondisi demikian
seringkali menyebabkan stress karena tidak terpenuhinya taraf hidup yang baik sehingga ketidakmampuan dalam mengatasi stress tersebut dapat menyebabkan
sebuah keluarga diwarnai konflik dan kekerasan. Mulai dari sinilah anak sering
menjadi korban pelampiasan dan mendapatkan tindak kekerasan serta kurang
mendapatkan perawatan serta kasih sayang yang dapat membimbing anak menuju
kedewasaan.
Para ahli psikologi seperti Freud, Adler, dan Erikson menekankan bahwa awal
kehidupan seseorang (masa anak) sangat penting dalam pembentukan kepribadian
bahwa pengalaman-pengalaman selama 6 tahun pertama dalam kehidupan merupakan
faktor penentu yang sangat penting. Maka tindak kekerasan yang melampaui batas
dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak terutama perkembangan
psikologisnya. Pada proses perkembangannya, anak seringkali memiliki emosi yang
tidak stabil atau terjadi ketidakseimbangan karena anak “keluar fokus” (Hurlock,
1998). Artinya, anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosi sehingga seringkali sulit
dibimbing dan diarahkan. Hal ini akan semakin parah ketika pada masa-masa kritis
tersebut anak mengalami perlakuan kekerasan. Akibat dari perlakuan tersebut anak
merasa diremehkan dan merasa tidak aman sehingga memunculkan konflik-konflik
dalam diri anak seperti konflik-konflik yang bersifat neurotik. Konflik neurotik
muncul tidak hanya karena dipelajari oleh anak saja, tetapi terutama dipelajari sebagai
akibat dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh orang tua (Dollard Miller dalam
Supratiknya, 1993). Jadi apa yang terjadi pada anak merupakan suatu respon dari
stimulus yang dikembangkan oleh orang tua termasuk stimulus kekerasan yang
memberikan respon rasa takut dan kesendirian pada anak. Dollard Miller
(Supratiknya, 1993) menyatakan bahwa stimulus-stimulus tidak menyenangkan yang
diperkuat akan menimbulkan respon perasaan takut dan sendirian sehingga reaksi
khas yang muncul dapat berupa takut terhadap gelap atau takut sendirian. Dalam
penelitian ini, beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan merupakan suatu
stimulus yang berulang dan semakin diperkuat sehingga mengembangkan
permasalahan-permasalahan psikologis.
Maka kekerasan dalam bentuk apapun termasuk kekerasan fisik serta psikis yang
atau melihat kekerasan dalam keluarga membawa berbagai macam konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi tersebut antara lain konsekuensi psikologis serta fisik
sehingga menimbulkan dampak-dampak yang buruk bagi anak. Dampak yang paling
jelas terlihat adalah dampak fisik yang berupa luka ringan atau kecil seperti lecet,
luka berat, sampai pada kematian. Selain itu, Family and Domestic Violence Unit (2003) melaporkan bahwa anak korban kekerasan dalam keluarga memiliki
peningkatan stress, kecemasan, depresi, dan penyakit-penyakit psikiatris.
Kekerasan yang dilakukan menimbulkan ketakutan pada anak namun seringkali
pula anak tidak berdaya dan tidak mampu menunjukkan perlawanan atas ketakutan
yang dirasakannya. Mereka hanya mampu menangis atau justru tidak mampu berbuat
apapun (www.aap.org/advocacy.childhealthmonth/effects.htm, 2002). Namun melalui
kekerasan tersebut anak dapat mengembangkan luka emosional dan turut
mempengaruhi aspek-aspek lain yang terkait seperti kognitif maupun interaksi sosial.
Beberapa hal ini disebabkan karena anak yang mengalami atau melihat kekerasan di
dalam rumah dapat menunjukkan perilaku menarik diri, kecemasan, masalah
penyesuaian diri, minat sosial yang sedikit, prestasi pendidikan yang buruk,
mengompol, gelisah, penyakit psikosomatis, perilaku dan ucapan yang agresif
(Adianingsih, 2003).
Dalam penelitiannya, Adianingsih (2003) menuliskan bahwa ada berbagai
macam dampak yang ditimbulkan pada anak korban kekerasan antara lain dampak
psikologis, dampak fisik, serta dampak keluarga. Dampak psikologis yang dapat
dialami oleh anak antara lain negatif, agresif serta mudah frustrasi; pasif dan apatis;
mampu menghargai dirinya sendiri; sulit menjalin relasi dengan individu lain; sampai
timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Anak yang mengalami
kekerasan juga dapat mengembangkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Adapun dampak psikologis anak dalam penelitian ini didasarkan dalam DSM IV
antara lain mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Gejala dari gangguan tersebut berdasarkan pada beberapa hal yaitu pengulangan peristiwa traumatik,
penghindaran, serta simptom-simptom yang menetap. Bentuk pengulangan dapat
muncul melalui pengingatan akan peristiwa traumatik, mimpi, tindakan seolah
peristiwa muncul kembali, kesedihan serta reaksi fisiologis. Penghindaran yang
dilakukan muncul dalam bentuk penghindaran terhadap tempat, aktivitas, pikiran,
maupun perasaan yang berhubungan dengan trauma, ketidakmampuan mengingat
aspek penting dari trauma, menghilangkan partisipasi terhadap aktifitas, merasa
terasing, keterbatasan afeksi serta merasa tidak punya harapan. Sedangkan
simptom-simptom yang menetap berupa sulit tidur, marah, sulit berkonsentrasi, waspada, serta
respon terkejut yang berlebih. Aspek-aspek yang terkait dalam hal ini adalah
bagaimana anak mengalami peristiwa traumatis (sebagai korban tindak kekerasan
atau melihat perlakuan kekerasan) dan durasi munculnya gangguan. Tidak jarang,
anak juga mengalami distress klinis dan gangguan dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Kondisi tersebut dapat semakin buruk ketika anak tidak segera mendapatkan
penanganan khusus sehingga menimbulkan dampak-dampak psikologis tertentu pada
anak.
Beberapa yang telah diungkap sebelumnya menunjukkan bahwa kehidupan
nyaman. Sebaliknya kekerasan tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk
terhadap anak terutama dari segi psikologis. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan
di rumah akan belajar bahwa kekerasan merupakan suatu pemecahan dari setiap
permasalahan. Pernyataan tersebut dikuatkan dalam penulisan Steele, Geele, Raberst,
dan Pope (Patnawi, 1999) yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan
memiliki potensi untuk mengembangkan perilaku delinquent dan dapat mempengaruhi kepribadiannya antara lain harga diri yang rendah, hubungan dengan
teman yang kurang baik, serta memiliki hambatan dalam perilaku.
Jadi jelaslah bahwa keluarga merupakan fondasi primer yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan psikologis anak. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan
tempat pembelajaran pertama sebelum memasuki dunia pembelajaran formal. Ketika
anak kekurangan kasih sayang dan justru mendapatkan tindak kekerasan fisik dalam
keluarga terutama oleh orangtua, anak akan tumbuh dengan perasaan emosional, tidak
tenang bahkan menjadi rentan terhadap masalah psikologis seperti trauma, stress,
depresi, ketakutan, sampai kecemasan yang berkepanjangan. Maka sudah sepantasnya
jika anak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang yang cukup dalam keluarga
dan dijauhkan dari tindakan kekerasan terutama oleh orangtua sehingga anak tidak
mengalami kesulitan maupun gangguan pada tahap perkembangannya serta mampu
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case study) atau penelitian lapangan (field study), dengan pendekatan kualitatif. Menurut Danin (2002), penelitian kasus merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek
yang diteliti relatif terbatas, tetapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat
luas dimensinya. Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok, institusi,
ataupun masyarakat.
Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami
suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik
tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam (Patton dalam Poerwandari, 1998).
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka peneliti menggunakan desain penelitian
studi kasus sehingga peneliti dapat menggali perasaan-perasaan serta kondisi
psikologis yang dialami oleh anak korban kekerasan dalam keluarga.
Menurut Sarantoks (Poerwandari, 1998), pandangan mendasar dalam
penelitian kualitatif sebagai suatu metode penelitian adalah bahwa realitas sosial
merupakan sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang
berada di luar individu-individu. Manusia tidak secara sederhana mengikuti
hukum-hukum alam diluar diri melainkan menciptakan rangkaian makna dalam
induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta penelitian ini bertujuan untuk
memahami kehidupan sosial.
Berdasarkan dari beberapa hal tersebut diatas, pendekatan dalam
penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari kasus secara mendalam.
Selain itu, pendekatan tersebut juga diharapkan mampu untuk menghasilkan
data-data dari suatu kasus yang unik, detail dan menyeluruh.
B. Batasan Istilah
Dampak psikologis anak korban kekerasan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah suatu gangguan psikologis yang terbentuk pada anak akibat
dari kekerasan yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa
(www.aap.org/advocacy/childhealthmonth/effects.htm, 2002), dalam penelitian
ini adalah ibu dan kakek subjek. Dampak psikologis akibat dari kekerasan antara
lain :
1. Mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), merupakan suatu respon berkepanjangan atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang cenderung
menyebabkan distress pada hampir setiap orang (PPDGJ III, 1993). Gejala-gejala dalam PTSD antara lain, munculnya respon-respon tertentu yang
bertahan dan berulang dari mimpi, pikiran maupun perasaan, melakukan
penghindaran, muncul symptom-simptom tertentu yang menetap dan
2. Ketakutan; merasa tidak aman.
3. Agresif terhadap orang lain, merupakan suatu tindak penyerangan,
permusuhan, mengganggu, merusak, atau melakukan sesuatu yang dapat
merugikan serta membahayakan orang lain (Chaplin, 2002)
4. Depresi
5. Gangguan tidur
6. Menghindari berbagai hal yang mengingatkan akan peristiwa kekerasan yang
dialaminya
7. Gangguan psikosomatis (sakit kepala; sakit perut), merupakan gangguan fisik
yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis (Chaplin, 2002)
8. Gangguan mental (neurosa, kecemasan)
9. Gangguan makan
10.Harga diri rendah; memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain
11.Menarik diri
12.Sulit konsentrasi
13.Tendensi ingin bunuh diri
14.Fobia, suatu ketakutan terus menerus dan irrasional yang ditimbulkan oleh situasi khusus (Chaplin, 2002)
15.Egoisme, merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk berkelakuan
menguntungkan atau mementingkan diri sendiri (Chaplin, 2002)
sangat luas dan berbeda satu dengan yang lain sehingga memungkinkan
munculnya gejala-gejala lain selain dalam PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Untuk mengetahui memperoleh data yang menunjukkan bahwa subjek mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), maka peneliti menggunakan wawancara serta tes psikologi yaitu tes inteligensi (CPM) dan tes proyektif
(Grafis; CAT).
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 1 (satu) anak laki-laki yang menjadi
korban kekerasan dalam keluarga berumur 6 tahun. Pemilihan subjek didasarkan
pada data kasus kekerasan dalam keluarga dan telah dinyatakan sebagai kasus
kekerasan terhadap anak yang murni secara hukum.
Saat ini subjek telah berumur 7 tahun, namun peristiwa kekerasan yang
terjadi adalah ketika subjek berumur 6 tahun. Penelitian ini dilakukan ketika
subjek juga masih berumur 6 tahun, sehingga data yang digunakan merupakan
data pada masa awal kanak-kanak dengan rentang usia 6 tahun ke bawah.
D. Metode Pengumpulan Data
Marshall dan Rossman (dalam Poerwandari, 2001) menyampaikan bahwa
data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan untuk mengelaborasi dan
memperkaya hasil penelitian. Data dari sumber berbeda, dengan teknik
pengumpulan yang berbeda akan menguatkan derajat manfaat studi pada setting
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kepada subjek,
pramusosial dan pembina panti sekaligus psikolog. Data sekunder diperoleh dari
tes psikologi yaitu tes inteligensi dan tes proyektif. Adapun jenis tes inteligensi
yang digunakan adalah CPM (Colour Progressive Matrices), sedangkan jenis tes proyektif adalah tes Grafis dan CAT (Children’s Apperception Test).
1. Wawancara
Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan
dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancara, atau
responden (Kerlinger, 2000). Menurut Banister, dkk (Poerwandari, 1998),
wawancara kualitatif dilakukan dengan maksud memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan
topik yang diteliti, dan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.
Wawancara dilakukan secara langsung kepada subjek untuk
memperoleh keakuratan data sekaligus menjaga kerahasiaan data subjek.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Wawancara
semi terstruktur lebih fleksibel karena selain menggunakan pedoman/panduan
wawancara, peneliti juga bebas untuk mengajukan pertanyaan di luar panduan
sehingga data dan informasi yang diperoleh lebih mendalam.
Wawancara semi terstruktur merupakan kombinasi dari wawancara
terstruktur dan wawancara tidak terstruktur (Nietzel, 1994). Wawancara semi
luwes dan terbuka. Walaupun pertanyaan yang diajukan ditentukan oleh
maksud dan tujuan penelitian, namun muatan, runtutan, dan rumusan
kata-kata terserah pada pewancara (Kerlinger, 2000).
Ada beberapa langkah dalam wawancara sebagai tuntunan (Nietzel,
1994), yaitu :
1) Wawancara Awal
Hal penting yang perlu dilakukan pada wawancara awal adalah melakukan
rapport. Rapport ini dilakukan untuk menjalin hubungan yang baik, nyaman, dan harmonis dengan subjek. Rapport ini juga mendorong subjek
untuk berbicara secara bebas dan bersahabat tentang masalah yang
dihadapi. Kemampuan interviewer untuk membangun rapport pada
wawancara awal ini dapat membentuk proses wawancara selanjutnya
sehingga akan diperoleh data dan informasi yang jelas mengenai diri dan
masalah subjek.
2) Wawancara Pertengahan
Ada tiga teknik dalam tahap wawancara pertengahan ini, yaitu :
a) Teknik tidak langsung
Pada pertengahan wawancara ada beberapa hal yang dapat dilakukan.
Pendekatan pertama adalah dengan pendekatan secara open-ended. Dengan pendekatan open-ended ini klien diberikan kekebasan untuk memulai sesuai keinginannya dan memudahkan klien untuk masuk
pada pokok masalah yang dihadapinya. Pendekatan yang kedua adalah
mengekspresikan diri secara penuh. Pendekatan yang ketiga adalah
dengan mempharafrasekan perkataan klien. Hal ini dilakukan untuk
membantu mengklarifikasikan pernyataan dari klien serta feedback dari interviewer sendiri. Pendekatan yang terakhir adalah dengan
melakukan refleksi yang penekananya bukan saja pada mengulang isi
dari perkataan subjek tetapi juga menyoroti perasaan subjek.
b) Teknik langsung
Teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi khusus dan
memberikan kebebasan pada klien untuk merespon perrtanyaan
interviewer. Pada teknik ini seorang interviewer perlu berhari-hati
dalam mengajukan pertanyaan secara langsung untuk mengeksplorasi
masalah subjek karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.
c) Kombinasi teknik langsung dan tidak langsung
Wawancara pertengahan yang dilakukan dengan menggunakan kedua
teknik tersebut karena sifat wawancara yang fleksibel.
Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan teknik kombinasi pada
wawancara pertengahan karena memudahkan peneliti untuk dapat
menggali lebih dalam mengenai informasi penting dari subjek.
3) Wawancara Penutup
Pada wawancara penutup yang perlu dilakukan adalah membuat
kesimpulan dari apa yang telah dilakukan selama proses wawancara. Hal
proses wawancara dilakukan dan melakukan evaluasi yang telah dilakukan
untuk membantu proses selanjnutnya.
Wawancara dilakukan dengan mengunakan suatu panduan atau daftar
pertanyaan yang akan diajukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini. Namun peneliti dapat lebih fleksibel karena peneliti
bebas mengajukan pertanyaan di luar panduan apabila dimungkinkan untuk
mendapatkan informasi yang lebih mendalam.
Informasi yang akan digali terhadap subjek dilakukan dengan
menggunakan panduan sebagai berikut :
a) Wawancara mengenai latar belakang subjek
Bagaimana keadaan atau latar belakang keluarga subjek, perlakuan
ibu, adik, serta kakek subjek. Dalam wawancara ini pula akan digali
secara mendalam mengenai bentuk kekerasan apa saja yang telah
dialami oleh subjek.
b) Wawancara mengenai keadaan subjek saat ini
Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui akibat secara psikologis
dari perlakuan kekerasan terhadap subjek di masa lalu. Akibat tersebut
yaitu mengalami PTSD atau stress yang terjadi akibat dari kekerasan
yang dialami. Kondisi ini meliputi ingatan akan peristiwa traumatik,
sikap menghindari dari peristiwa traumatik, serta respon-respon yang
muncul akibat kekerasan yang dialami (trauma).
Wawancara juga dilakukan terhadap orang-orang yang dekat dengan
subjek di panti serta pramusosial yang merawat dan selalu bersama-sama
dalam keseharian subjek karena saat ini subjek tidak bersama keluarganya
melainkan di panti. Wawancara terhadap significant others ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang akurat mengenai dampak psikologis serta
perkembangan pada diri subjek. Selain itu hal tersebut juga dilakukan untuk
mengetahui perilaku subjek secara verbal dan non verbal.
2. Tes Psikologi
Tes psikologi digunakan ol