• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS

MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN

KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN

SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

MUCHAMAD ALI RIDHO

NIM : 21210008

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)

i

SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS

MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN

KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN

SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

MUCHAMAD ALI RIDHO

NIM : 21210008

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(3)
(4)
(5)
(6)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Pastikan ada jalan untuk meraih kesuksesan.

PERSEMBAHAN

Untuk orang tuaku,

para dosenku, saudara-saudaraku,

(7)

vi

ABSTRAK

Ali, Muchamad. 2015. SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG. Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Al Ahwal Asy Syakhshiyyah. Instutut Agama Islam NegeriSalatiga. Dosen Pembimbing Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A.

Kata kunci: Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim Desa Kalongan Waris merupakan salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah mati.Kewarisan yang ada di dalam Al Qur‟an adalah bagian laki-laki dua berbanding satu dengan bagian perempuan. Dalam pembagian waris apabila perempuan mendapatkan lebih banyak daripada

laki-laki, apakah kewarisan sudah sesuai dengan hukum sayri‟at Islam. Berdasarkan

latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut, kenapa pembagian harta waris di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur untuk perempuan mendapatkan lebih banyak dibandingkan laki-laki, bagaimana jika ditinjau menurut hukum waris Islam.

Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif. Peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research), yakni penelitian yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini data yang ingin diperoleh adalah adanya pembagian harta waris untuk perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan interview (wawancara) kemudian data ditranskip menjadi data yang lengkap.

Masyarakat muslim di Desa Kalongan dalam hal melakukan pembagian harta waris selalu dengan jalan musyawarah, dan itu sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dilakukan di masyarakat tersebut. Untuk hasil perolehan harta waris yang diperoleh masing-masing ahli waris jelaslah berbeda dengan apa yang

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ya Allah, dzat yang maha segalanya. Alhamdulillahi robbil’alamin, segala puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Kalongan

(Studi Kasus di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten

Semarang)”

Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi utusanMu Muhammad

Rasul KekasihMu sang pembawa risalah Uswatun Khasanah beserta keluarga dan

para sahabatnya. Mudah-mudahan kita diakui sebagai umatnya dan mendapat

syafaat di yaumul qiyamah kelak. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy) di Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Skripsi ini berjudul “Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Kalongan

(Studi Kasus di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten

Semarang)”

Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari

berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Rektor IAIN Salatiga.

(9)

viii

3. Syukron Ma‟mun, M.Si. Ketua Jurusan Al Ahwal Asy Syakhshiyyah IAIN

Salatiga.

4. Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi

ini dapat terselesaikan.

5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu

pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta

bantuan.

7. Bapak Munawar dan Ibu Sri Sutiah tercinta yang telah mengasuh, mendidik,

membimbing penulis, baik moral maupun spiritual.

8. Bapak Yarmuji Kepala Desa Kalongan beserta stafnya yang telah memberikan

ijin penelitian di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur.

9. Bapak dan Ibu yang ada di Desa Kalongan yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini. Skripsi ini masih jauh

dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi penulis

khususnya serta para pembaca pada umumnya.

Salatiga, 19 September 2015

(10)

ix

C. Syarat dan Rukun Pembagian Warisan ...17

D. Sistem Pembagian Warisan Berdasarkan Pengelompokan Ahli Waris dan Haknya Masing-masing ...20

BAB III : PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Masyarakat di Desa ...39

1. Letak Geografis ...39

2. Struktur Organisasi Desa Kalongan ...40

3. Jumlah Penduduk Desa Kalongan ...41

B. Kewarisan Menurut Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...45

C. Bagian Waris Untuk Anak Perempuan Dalam Hukum Islam ...48

BAB IV : PEMBAHASAN A. Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...51

B. Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Muslim di Desa Kalongan Memilih Sistem Pembagian Harta Waris Dengan Jalan Musyawarah ...58

C. Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...60

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ...67

(11)

x

2. Faktor Penyebab Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...67 3. Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...67 B. Saran-Saran ...68

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Biodata Penyusun

2. Nota Dosen Pembimbing Skripsi 3. Lembar Konsultasi

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum,

apabila seorang meninggal dunia meninggalkan harta peninggalan dan ahli

waris, tentunya harta peninggalan tersebut akan berpindah kepada ahli waris

yang ada.

Manusia di dalam perjalannya di dunia mengalami 3 peristiwa yang

penting: waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, waktu ia meninggal dunia.

(Afandi, 1997: 5)

Setiap mahluk pasti mati. Tiada orang yang mengetahui kapan dia mati

karena waktu kematian merupakan salah satu yang dirahasiakan Allah.

Kematian merupakan salah satu sebab terjadinya pewarisan, hal ini

menyangkut tata cara dan pemindahan harta benda dari pewaris kepada ahli

waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam

yang pokok.(Rohman, 1995: 9)

Dalam pandangan Islam kewarisan itu merupakan salah satu bagian

dari fiqih atau ketentuan yang harus dipatuhi umat Islam dan dijadikan

pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telahwafat.

(13)

2

tentang harta yang di satu sisi kecenderungan manusia dapat menimbulkan

persengketaan dan disisi lain Allah tidak menghendaki manusia memakan

harta yang bukan haknya. (Syarifudin, 2003: 147)

Sebagai umat Islam harus taat dan patuh terhadap hukum Islam yang

mengatur seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan manusia, baik dalam

hubungannya dengan Allah swt, hubungan sesama manusia dan hubungannya

dengan alam sekitarnya, sehingga lahir aturan-aturan bagi manusia, seperti

diantaranya hukum keluarga yang membahas mengenai perkawinan dan

kewarisan. Hukum kewarisan adalah bagian dari hukum keluarga yang

memegang peranan penting yang berlaku dalam masyarakat.

Masalah warisan berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang

yang tidak berwujud benda dari seorang manusia kepada keturunannya. Jadi

dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan.

Hukum Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai

harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Islam menetapkan hak

milik seseorang atas harta, baik laki-laki maupun perempuan pada waktu

masih hidup ataupun perpindahan harta kepada ahli warisnya setelah ia

meninggal dunia.

Berdasarkan observasi pendahuluan yang dilakukan di Desa Kalongan

Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang, dalam hal membagi harta

waris selalu dengan jalan musyawarah dan anak terakhir mendapat pembagian

(14)

3

meskipun anak yang terakhir itu adalah seorang perempuan dan mempunyai

saudara kandung yang lain yaitu laki-laki.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti

penelitian ini lebih lanjut, kenapa pembagian harta waris di Desa Kalongan

untuk perempuan mendapatkan lebih banyak dibandingkan laki-laki,

bagaimana jika ditinjau menurut hukum waris Islam. Peneliti bermaksud akan

melakukan penelitian yang berjudul SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS

MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN

UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sistem pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa

Kalongan?

2. Faktor apa yang mempengaruhi masyarakat muslim di Desa Kalongan

memilih sistem pembagian waris dengan jalan musyawarah?

3. Apakah sistem pembagian waris masyarakat muslim di Desa Kalongan

sesuai dengan hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana sistem pembagian harta waris masyarakat

muslim di Desa Kalongan.

2. Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi masyarakat muslim di

Desa Kalongan memilih sistem pembagian waris dengan jalan

(15)

4

3. Untuk mengetahui apakah sistem pembagian harta waris masyarakat

muslim di Desa Kalongan sesuai dengan hukum Islam.

D. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini layak dan perlu dilaksanakan supaya dapat bermanfaat

sebagai bahan wacana bagi semua pihak apalagi yang berkepentingan dalam

rangka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hukum kewarisan

dalam Islam.

E. Penegasan Istilah

1. Warisan adalah istilah menurut bahasa Indonesia yang mengandung arti

harta peninggalan, pusaka, surat-surat wasiat. (Purwadarta, 1983: 148)

2. Ahli Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran

mempunyai hubungan sebab-sebab untuk mempusakai seperti adanya

ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan), hubungan hak perwalian

dengan si muwaris. (Abdullah, 1960: 57)

3. Muwaris adalah orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun

mati hukmi. Mati hukmi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh

keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun ia sesungguhnya

belum mati sejati. (Rahman, 1981: 37)

4. Pembagian adalah Suatu kegiatan akal budi yang tertentu. Dalam kegiatan

itu akal budi menguraikan “membagi”, “menggolongkan”, dan menyusun

pengertian-pengertian dan barang-barang tertentu. Penguraian dan

penyusunan itu diadakan menurut kesamaan dan perbedaannya. (Alex,

(16)

5

F. Telaah Pustaka

Dalam skripsi Abdul Wahid yang berjudul Pembagian Waris Antara

Laki-laki dan Perempuan di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Munawir

Sjadzali) membahas tentang konsep waris yang ditawarkan Munawir S jadzali

dalam soal pembagian waris yang berkembang di Indonesia adalah pembagian

waris yang seimbang antara laki-laki dan perempuan tanpa ada diskriminasi

jender tetapi lebih mengutamakan keadilan sosial. Skripsi ini berbeda dengan

pembahasan peneliti yang mengangkat judul Sistem Pembagian Harta Waris.

Sistem pembagian harta waris lebih fokus terhadap besarnya bagian ahli waris

perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki.

Skipsi yang berjudul Pelaksanaan Hukum Waris Dalam Masyarakat

Islam (Studi Kasus Atas Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kelurahan Tingkir

Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga). Yang ditulis oleh Muhammad Ali

As‟ad fokus terhadap pelaksanaan hukum waris 1:1 antara laki-laki dan

perempuan adapun pelaksanaannya setiap pembagian warisan dalam satu

keluarga di saksikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat dan hasil

perolehannya 1:1 antara laki-laki dan perempuan. Dan pembahasan peneliti

sistem pembagian harta waris untuk hasil yang diperoleh perempuan

mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.

Meskipun peneliti menyinggung tentang pelaksanaan pembagian warisan yang

dihadiri oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak ada kesamaan antara

pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan 1:1 dengan pembagian

(17)

6

G. Kerangka Teori

Hukum kewarisan menduduki tempat amat penting dalam Islam.

Masalah-masalah yang menyangkut tentang kewarisan sudah ada

ketentuannya. Dalam al-Qur'an dan al-Hadits terdapat lima asas hukum

kewarisan yang terangkum dalam doktrin ajaran agama Islam, Asas-asas

tersebut adalah sebagai berikut: (Syarifudin, 2004: 17)

1. Asas Ijbari

Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah

meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa

usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima.

2. Asas Bilateral

Asas bilateral ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih

kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima

hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat

garis keturunan laki-laki pihak kerabat garis keturunan perempuan.

3. Asas Individual

Asas ini mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi

dan dimiliki secara perorangan.

4. Asas Keadilan Berimbang

Artinya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan

keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

(18)

7

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada

orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah

yang mempunyai harta meninggal dunia.

Dari kelima asas tersebut di atas, asas keadilan berimbang merupakan

titik permasalahan yang selalu diartikan berbeda di kalangan masyarakat,

bahwa yang disebut dengan adil dalam pembagian warisan itu ialah bahwa

anak perempuan mendapat lebih banyak dari anak laki-laki. Padahal dalam

Kompilasi Hukum Islam bagian laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda.

BAB III Besarnya Bahagian pasal 176 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

menjelaskan:

“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 54)

Dari pasal tersebut sangat jelas bahwa bagian anak laki-laki lebih

banyak daripada bagian anak perempuan yaitu dua kali bagian dari anak

perempuan. Misalnya anak laki-laki mendapatkan harta warisan Rp

1.000.000,00 maka anak perempuan mendapatkan Rp. 500.000,00.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini jenis yang digunakan adalah penelitian

(19)

8

dalam membagi harta waris perempuan mendapatkan harta waris lebih

banyak dibandingkan dengan laki-laki.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan ini penyusun menggunakan pendekatan

Sosiologis, yaitu dengan mendeskripsikan masalah-masalah sosial yang

terjadi di lingkungan masyarakat. Penulis mencoba mendeskripsikan

masalah-masalah mengenai kewarisan yang terjadi di Desa Kalongan

melalui pengumpulan, penyusunan, dan menganalisa data, kemudian

dijelaskan.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi data dari

beberapa literature buku maupun jurnal sebagai bahan teoritik dan

memperoleh sumber informasi riil dari proses data observasi dan

wawancara yang peneliti lakukan secara langsung yang kemudian

dianalisis. Dengan kata lain sumber data yang diperoleh dalam penelitian

ini adalah:

a. Sumber Data Primer

Yaitu sumber data yang berkaitan langsung dengan objek riset. Data

primer dalam penelitian ini adalah perilaku masyarakat kalongan yang

diperoleh dari hasil wawancara dan hasil observasi.

b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder adalah sumber data yang mendukung dan

(20)

9

adalah buku-buku jurnal dan penelitian orang lain yang berkaitan dengan

sistem pembagian harta waris.

4. Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan tanya

jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan pada tujuan

penelitian. (Hadi, 1992: 193) Wawancara dilakukan kepada orang-orang

yang melakukan pembagiaan waris anak perempuan mendapat lebih

banyak daripada laki-laki. Di samping informan umum atau masyarakat

umum ataupun kultur yang mempengaruhi praktek pembagian waris

anak perempuan mendapatkan lebih banyak daripada laki-laki.

b. Observasi

Observasi disebut juga pengamatan, yang meliputi kegiatan

pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan

seluruh alat indera. (Moeloeng, 2002: 146) Maksud dari penggunaan

metode ini adalah peneliti mengamati fenomena-fenomena yang terjadi

di masyarakat yang menjadi objek penelitian, terutama faktor-faktor

yang mempengaruhi pelaksanaan sistem waris anak perempuan

mendapatkan lebih banyak daripada laki-laki.

5. Analisis Data

Penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu:

(21)

10

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang teramati. (Moeloeng,

2002: 3)

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan tentang sistem

pembagian harta waris di masyarakat Kalongan. Yang kemudian diuraikan

sebagai sebuah narasi, kemudian diperhatikan sisi-sisi data yang harus dan

memang memerlukan analisis lebih lanjut.

I. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini penyusun akan

menguraikan sistematikanya yaitu dengan membagi seluruh materi menjadi

lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun kelima bab

yang dimaksud dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik,

metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tentang

kajian teoritik tentang waris dalam Islam yang terdiri atas:

pengertian waris, dasar hukum, syarat dan rukun waris

kemudian tentang pembagian harta waris berdasarkan

pengelompokan ahli waris dan haknya masing-masing.

BAB III : Bab ini memuat tentang gambaran umum masyarakat di Desa

Kalongan, kewarisan menurut masyarakat muslim di Desa

Kalongan dan bagian waris untuk perempuan dalam hukum

(22)

11

BAB IV : Sistem pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa

Kalongan, faktor yang mempengaruhi masyarakat muslim Desa

Kalongan memilih sistem pembagian waris dengan musyawarah

dan analisis hukum Islam terhadap sistem pembagian harta

waris di Desa Kalongan.

(23)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Waris

Waris berasal dari bahasa Arab al-mirats; bentuk masdar dari kata

waratsa, yaritsu, irtsan, mirasatun. Artinya menurut bahasa adalah berpindah sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum

yang lain. (Ash-Shabuni, 1995: 33) Ilmu waris disebut juga dengan ilmu

faraidh bentuk jamak dari kata faridhah, artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-Qur'an.(Rofiq, 2001: 1)

Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraidh, bentuk jamak dari kata tunggal faridhah, artinya ketentuan. menurut syariat, faraidh berarti bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu yang membahas tentang

hal-hal yang berkenaan harta warisan ini disebut dengan ilmu faraidh.

Dalam KHI pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

berbunyi:

“Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 52)

Pewarisan adalah merupakan salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan

yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan dijadikan pedoman dalam

menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah mati. (Syarifuddin,

(24)

13

yang telah meninggal dunia kepada pihak penerima yang jumlah dan ukuran

bagiannya telah ditentukan. (Shahrur, 2004: 334)

Jadi apabila ada seseorang meninggal dunia, maka secara otomatis akan

terjadi pengoperan harta benda dari pewaris kepada ahli waris. Namun ada

hak-hak yang harus dilaksanakan sebelum itu.

Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu secara tertib

adalah sebagai berikut: (Basyir, 1999: 12)

1. Hak-hak yang menyangkut kepentingan pewaris sendiri, yaitu biaya-biaya

penyelenggaraan jenazahnya, sejak dimandikan sampai dimakamkan.

2. Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur

3. Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang-orang yang menerima wasiat

4. Hak-hak ahli waris

Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa sebelum harta warisan

dibagikan, perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelunasan wasiatnya

harus dilaksanakan. Ini dimaksudkan agar orang yang meninggal dunia tersebut

tidak terhalang oleh tanggung jawabnya yang belum selesai.

B. Dasar hukum

Adapun yang menjadi dasar hukum dari kewarisan adalah: Al-Qur‟an,

As-Sunnah, Al-Ijma‟ dan Al-ijtihad.

1. Al-Qur‟an

(25)

14 atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’: 7)

(26)

15

bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (Q.S An Nisa’, 11) yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang menninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisa: 11)

(27)

16 telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang telah kamu bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. An-Nisa: 33)

2. Al-hadits

a. Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim

321. Nabi saw. Bersabda: "Berilah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang utama (dekat kekerabatannya)”. (Shahih, Muttafaq Alaih)

b. Riwayat al-Bukhari dan Muslim

322. Orang-orang muslim tidak berhak mewarisi orang-orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang-orang muslim".

(Shahih, Muttafaq Alaih)

c. Riwayat Imam Bukhari dan Muslim

312. Rasulullah saw datang menjengukku pada tahun Haji Wada' diwaktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau: wahai Rasulullah saw aku sedang menderita sakit keras, bagaimana menurutmu, aku ini orang berada dan tidak ada yang mewarisi hartaku selain anak perempuan, apakah aku sedekahkan (wasiatkan) dua pertiga? "jangan" jawab Rasulullah aku bertanya: "sepertiga?" jawab Rasulullah" sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar sedang jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.(Shahih, Muttafaq Alaih)

3. Al-ijma'

Artinya kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang

(28)

17

harus dilaksanakan dalam mengupayakan dan mewujudkan keadilan dalam

masyarakat. Karena telah diterima secara mufakat, maka tidak ada alasan

untuk menolaknya.(Ismail, 1992: 22)

4. Al-ijtihad

Yaitu pemikiran para ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria

sebagai mujtahid untuk menjawab berbagai persoalan-persoalan yang

muncul. Yang dimaksud disini adalah ijtihad dalam menetapkan hukum,

bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada, misalnya

bagaimana jika dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta,

diselesaikan dengan cara aul atau dan lain-lain.(Ismail, 1992: 33) C. Syarat dan Rukun Pembagian Warisan

Syarat-syarat warisan ada tiga macam: (Basyir, 1999:16)

1. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim

dinyatakan telah meninggal; misalnya orang yang tertawan dalam

peperangan dan orang hilang (mafqud) yang telah lama meninggalkan

tempat tanpa diketahui hal ihwalya. Menurut pendapat ulama Malikiyah

dan Hanbaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu sampai berlangsung

selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat

ulama-ulama madzhab lain, terserah kepada itjtihad hakim dalam melakukan

pertimbangan-pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.

2. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan

keputusan hakim dinyatakan masih hidup disaat pewaris meninggal.

(29)

18

sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi tidak dapat

diketahui siapa yang mati lebih dulu, maka diantara mereka tidak terjadi

waris-mewaris. Misalnya orang-orang yang meninggal dalam suatu

kecelakaan penerbangan, tenggelam, kebakaran dan sebagainya.

3. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli, atau dengan

kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan

berhak waris; syarat ketiga ini disebutkan sebagai suatu penegasan yang

diperlukan. Terutama dalam pengadilan meskipun secara umum telah

disebutkan dalam sebab-sebab warisan.

Adapun hal-hal yang menyebabkan seseorang berhak mewaris ada

tiga hal,(Ash-Shabuni, 1994: 55) yaitu:

1. Kekerabatan sesungguhnya, yakni hubungan nasab; orang tua, anak dan

orang-orang yang bernasab dengan mereka.

2. Pernikahan, yaitu akad nikah yang sah yang terjadi antara suami dan

istri.

3. Perbudakan, yaitu kekerabatan berdasarkan hukum. Sebab memberinya

warisan karena memerdekakan budak, dan sebab itu ia berhak mewarisi.

Qawl qadim dan qawl jadid tentang waris hanya satu topik, yaitu pewarisan harta seorang hamba yang telah dimerdekakan. (Mubarok,

2002: 283)

Di samping itu terdapat beberapa sebab yang menghalangi sesorang

(30)

19

berhak atas warisan tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat adanya empat

sebab: (Sudarsono, 2002: 299)

1. Berbeda agama, seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi

orang kafir, demikian juga sebaliknya.

2. Pembunuhan, apabila seseorang dengan sengaja membunuh sesorang

yang ia akan menjadi ahli warisnya.

3. Perhambaan, seorang hamba selama belum merdeka tidak dapat menjadi

ahli waris maupun menjadi pewaris bagi harta peninggalannya untuk

diwarisi.

4. Tidak tentu kematiannya, apabila ada dua orang yang memiliki

hubungan mewaris, padahal mereka tertimpa musibah seperti mengalami

kecelakaan mobil atau tenggelam bersama, sehingga keduanya

meninggal bersama, jika tidak dapat diketahui siapa yang meninggal

terlebih dahulu, maka dalam keadaan demikian tidak dapat seseorang

menjadi ahli waris bagi yang lain.

Setelah seseorang jelas sebab mendapatkan warisan dan terbebas

dari halangan, selanjutnya adalah pembahasan mengenai rukun mewaris.

Menurut hukum Islam, warisan memiliki beberapa unsur. Adapun rukun

pembagian warisan tersebut adalah sebagai berikut: (Sudarsono, 2001: 304)

(31)

20

2. Warits (orang yang berhak mewaris; disebut ahli waris) yakni adanya ahli waris yang ditinggalkan si pewaris yang masih hidup dan berhak

menerima pusaka si pewaris.

3. Mauruts miratsatan tirkah (harta warisan) yakni adanya harta pusaka atau peninggalan si mati yang memang nyata-nyata miliknya.

D. Sistem Pembagian Warisan Berdasarkan Pengelompokan Ahli Waris dan

Haknya Masing-Masing

Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan atas dasar

tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari

segi jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli

waris laki-laki dan ahli waris perempuan. (Basyir, 1999: 24) Sedangkan dari

segi haknya atas harta warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

dzawil furudl, ashabah dan dzawil arham (Kompilasi Hukum Islam).

1. Dari segi jenis kelaminnya

a. Ahli waris laki-laki, terdiri dari: (Basyir, 1999: 24)

1) Ayah.

2) Kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.

3) Anak laki-laki.

4) Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari

garis laki-laki.

5) Saudara laki-laki kandung (seibu seayah).

6) Saudara laki-laki seayah.

(32)

21

8) Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki

kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.

9) Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki dari saudara laki-laki

seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.

10) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya ke

atas dari garis laki-laki.

11) Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah) dan seterusnya ke atas

dari garis laki-laki.

12) Saudara laki-laki sepupu kandung (anak laki-laki dari paman

kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Termasuk di

dalamnya anak paman ayah, anak paman kakek dan seterusnya, dan

anak-anak keturunannya dari garis laki-laki.

13) Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah) dan

seterusnya ke bawah dari garis laki-laki.

14) Suami.

15) Laki-laki yang memerdekakan budak (mu‟tiq).

b. Ahli waris perempuan, terdiri dari: (Basyir, 1999: 25)

1) Ibu.

2) Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan.

3) Nenek (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan,

atau berturut-turut dari garis laki-laki kemudian sampai kepada nenek,

atau turut dari garis laki-laki bersambung dengan

(33)

22

4) Anak perempuan.

5) Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah

dari garis laki-laki.

6) Saudara perempuan kandung.

7) Saudara perempuan seayah.

8) Saudara perempuan seibu.

9) Isteri.

10) Perempuan yang memerdekakan budak (mu‟tiqah).

2. Dari segi haknya atas dasar harta warisan

a. Ahli waris dzawil furudl

Ahli waris dzawil furudl disebutkan dalam pasal 192 KHI. Kata

dzawil furudl berarti mempunyai bagian. Dengan kata lain mereka

adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam syariat.

(Afdol, 2003: 99)

Ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang mempunyai

bagian-bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-qur‟an atau

Sunnah Rasul. Sebagaimana telah disebutkan, bagian-bagian tertentu itu

ialah: 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. (Basyir, 1999: 25)

Ahli dzawil furudl itu antara lain adalah: (Syarifudin, 2004: 225)

1) Anak perempuan. Bagian anak perempuan adalah sebagai berikut:

a) ½ bila ia sendirian (tidak bersama anak laik-laki).

b) 2/3 bila anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama anak

(34)

23

2) Cucu perempuan. Bagian cucu perempuan adalah:

a) ½ bila ia sendirian saja.

b) 2/3 bila ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama cucu

laki-laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.

c) 1/6 bila bersamanya ada anak perempuan seorang saja.

3) Ibu. Bagian ibu ada tiga,yaitu:

a) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau

bersama dengan dua orang saudara atau lebih.

b) 1/3 bila ia tidak bersama anak atau cucu, tetapi hanya bersama

ayah.

c) 1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama

dengan suami atau istri.

4) Ayah. Bagian ayah adalah:

a) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki.

b) 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan

anak atau cucu perempuan.

5) Kakek. Sebagai ahli waris dzawil furudl bagian kakek sama dengan

ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu ayah sudah tidak ada.

Bagiannya adalah sebagai berikut:

a) 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki.

b) 1/6 bagian dan mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau

cucu perempuan.

(35)

24

a) 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu.

b)1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau cucu.

7) Saudara perempuan kandung. Mendapat bagian yaitu:

a) ½ bila ia hanya seorang tidak ada bersamanya saudara laki-laki.

b) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya saudara

laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.

8) Saudara perempuan seayah. Bagiannya adalah:

a) ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara laki-laki seayah.

b) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki

seayah.

c) 1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan.

9) Saudara laki-laki seibu. Bagiannya adalah:

a) 1/6 bila ia hanya seorang.

b) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama

banyak.

10) Saudara perempuan seibu. Bagiannya adalah:

a) 1/6 bila ia hanya seorang.

b) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama

banyak.

11) Suami. Bagian suami adalah:

a) ½ bila tidak ada anak atau cucu.

b) ¼ bila ada bersamanya anak atau cucu.

(36)

25

a) ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris.

b) 1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan.

b. Ahli waris „ashobah

Ahli waris „ashobah ialah ahli waris yang tidak ditentukan

bagiannya, tetapi akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada

ahli waris dzawil furudl sama sekali; jika ada dzawil furudl, berhak atas

sisanya, dan apabila tidak ada sisa sama sekali, tidak mendapat bagian

apapun. (Basyir, 1999: 26)

Menurut Al-Mahaliy, Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi

ashabah itu kepada tiga macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi

ghairihi dan ashabah ma‟a ghairihi. (Syarifudin, 2004: 232)

1) Ashabah bi Nafsihi

Ashabah bi nafsihi adalah ahli waris yang berhak mendapat seluruh harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli

waris lain. Ashabah bi nafsihi itu seluruhnya adalah laki-laki yang secara berurutan adalah: anak, cucu (dari garis laki-laki), ayah, kakek,

saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak

saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung

dan anak paman seayah.

a) Anak laki-laki

Anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, berhak atas

seluruh harta bila tidak ada ahli waris yang lain atau sisa harta

(37)

26

berhak. Dengan adanya anak laki-laki sebagai ashabah, maka ahli waris lain yang dapat mewaris bersama anak laki-laki (sebagai

dzawil furudl) ayah, ibu atau nenek, suami atau istri. Bila anak laki-laki terdiri dari beberapa orang mereka berbagi sama banyak.

b) Cucu laki-laki (melalui anak laki-laki)

Cucu laki-laki mewarisi sebagai ahli waris ashabah bila anak sudah meninggal, baik anak itu adalah ayahnya atau saudara

dari ayahnya. Kewarisan cucu laki-laki sama dengan kewarisan

anak laki-laki. Ia dapat mewaris bersama dengan ahli waris yang

dapat mewaris bersama anak laki-laki dan menutup orang yang

ditutup oleh anak laki-laki.

c) Ayah

Ayah sebagai ahli waris ashabah bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Dengan kehadiran anak

atau cucu laki-laki ayah hanya akan menerima sebagai dzawil furudl sebesar 1/6. Ahli waris yang dapat mewaris bersama ayah sebagai dzawil furudl adalah anak perempuan, cucu perempuan,

ibu, suami atau istri.

d) Kakek

Kakek berkedudukan sebagai ahli waris ashabah bila dalam

susunan ahli waris tidak ada anak atau cucu laki-laki dan tidak ada

pula ayah. Pada umumnya kewarisan kakek sama dengan ayah,

(38)

27

ayah. Oleh karena itu, kedudukan kakek adalah sebagai pengganti

ayah apabila ayah sudah meninggal lebih dahulu, baik sebagai ahli

waris dzawil furudl atau ashabah. Ia akan menutup orang-orang

yang ditutup oleh ayah dan dapat mewaris dengan orang-orang

yang dapat mewaris bersama ayah.

Dalam keadaan tertentu kakek tidak berkedudukan sebagai

ayah, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut: (Syarifudin, 2004: 236)

(1) Kakek tidak menutup hak kewarisan saudara (menurut jumhur

ulama), sedangkan ayah menutup kedudukan saudara kecuali

menurut paham ulama Hanafiyah.

(2) Kakek tidak dapat mengalihkan hak ibu dari sepertiga harta

kepada sepertiga harta dalam kasus gharawain.

(3) Menurut Ibnu Qudamah kakek tidak dapat menutup hak nenek

(ibu dari ayah) karena keduanya sama berhak menerima

warisan, kecuali menurut pendapat ulama Zhahiri dan Hanbali.

e) Saudara kandung laki-laki

Saudara kandung laki-laki menjadi ahli waris ashabah bila

ia tidak mewarisi bersama anak atau cucu laki-laki dan tidak juga

ayah. Saudara dapat mewarisi bersama kakek menurut jumhur

ulama. Menurut ulama Hanafi dan Zhahiri, saudara tidak dapat

mewaris bersama kakek, karena kakek dalam kedudukannya

sebagai pengganti ayah menutup kedudukan saudara. (Syarifudin,

(39)

28

Bila saudara kandung laki-laki sendirian, ia berhak atas

semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain ia

memperoleh sisa harta sesudah dibagikan terlebih dahulu hak

dzawil furudl yang ada. Jika saudara ada beberapa orang atau bersama dengan kakek mereka berbagi sama banyak. (Syarifudin,

2004: 237)

f) Saudara laki-laki seayah

Saudara laki-laki seayah berkedudukan sebagai ashabah, dengan syarat tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, saudara

kandung laki-laki. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu

perempuan, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara seibu laki-laki

atau perempuan dan saudara kandung perempuan dan saudara

seayah perempuan yang bersama menjadi ashabah bi ghairihi

bersama saudara seayah laki-laki.

Pada umumnya hak kewarisan saudara seayah laki-laki

sama dengan kedudukan saudara kandung laki-laki, karena ia

menempati kedudukan saudara kandung laki-laki, kecuali dalam

hal:

(1) Saudara kandung laki-laki dapat mengajak saudara kandung

(40)

29

(2) Saudara kandung laki-laki dapat berserikat dengan saudara

seibu dalam kasus musyarakah sedangkan saudara seayah laki-laki tidak dapat.

g) Anak saudara kandung laki-laki

Anak saudara kandung laki-laki dapat menjadi ahli waris

ashabah bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara kandung seayah laki-laki. Ia

dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, saudara

perempuan kandung atau seayah, ibu atau nenek, suami atau istri,

saudara seibu laki-laki atau perempuan. Kewarisan anak saudara

kandung laki-laki adalah sebagaimana kewarisan saudara kandung

laki-laki dalam segala bentuknya.

h) Anak saudara seayah laki-laki

Anak saudara seayah laki-laki dapat menjadi ahli waris

ashabah bila tidak mewarisi bersamanya anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah dan anak

saudara laki-laki kandung. Ia dapat mewaris bersama anak atau

cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau

seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan.

i) Paman kandung

Paman kandung adalah saudara kandung dari ayah. Paman

(41)

30

laki kandung atau seayah dan anak laki dari saudara

laki-laki kandung atau seayah. Ia dapat mewaris bersama anak atau

cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau

seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan,

suami atau istri.

Bila ahli waris hanyalah paman sendirian, maka ia dapat

mengambil semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain

yang berhak ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan hak ahli

waris dzawil furudh. Jika ia ada beberapa orang, maka mereka berbagi sama banyak.

j) Paman seayah

Paman seayah adalah saudara seayah dari ayah. Ia berhak

atas warisan secara ashabah bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu laki, ayah atau kakek, saudara

laki-laki kandung atau seayah, anak laki-laki-laki-laki dari saudara laki-laki-laki-laki

kandung atau seayah dan paman kandung. Paman seayah bersama

anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan

kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau

perempuan, suami atau istri.

k) Anak paman kandung

Anak paman kandung berhak atas warisan secara ashabah

bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu

(42)

31

laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan paman

kandung atau seayah. Bila ia sendiri, ia dapat mengambil semua

harta, sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya yang berhak, ia

mengambil sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris. Bila ia

ada beberapa orang, maka mereka berbagi sama banyak.

l) Anak paman seayah

Anak paman seayah berhak atas warisan secara ashabah

bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu

laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak

laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anak

paman kandung pewaris. Paman seayah bersama anak atau cucu

perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau

seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan,

suami atau istri. Bila ia sendiri, ia dapat mengambil semua harta

warisan tersebut dan sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya

yang berhak, ia mengambil sisa harta itu dan bila ia ada beberapa

orang, maka mereka berbagi sama banyak.

2) Ashabah bi Ghairihi

Yang dimaksud dengan ashabah bi ghairihi disini adalah seseorang yang sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah

perempuan, namun karena ada bersama saudara laki-lakinya maka ia

(43)

32

setelah dibagikan kepada ahli waris furudl yang berhak. Kemudian di antara mereka berbagi dengan bandingan laki-laki mendapat sebanyak

dua bagian perempuan. (Syarifudin, 2004: 243)

Ahli waris perempuan baru dapat diajak menjadi ashabah oleh saudara laki-lakinya bila ia sendiri adalah ahli waris yang berhak, jika

tidak berhak maka keberadaan saudaranya itu tidak ada artinya.

Seumpama anak saudara yang perempuan bukan ahli waris sedangkan

anak saudara yang laki-laki atau saudara dari anak perempuan itu

adalah ashabah. Dalam hal ini anak saudara yang laki-laki itu tidak berdaya untuk menolong saudaranya yang permpuan itu. (Syarifudin,

2004: 243)

Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi itu adalah: (Syarifudin, 2004: 244)

a) Anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki atau anak

laki-laki dari anak laki-laki. Bila ahli waris hanya mereka berdua,

keduanya mengambil semua harta dan bila ada ahli waris lain

yang lain mereka mendapat sisa harta.

b) Cucu perempuan bersama dengan cucu laki atau anak

laki-laki dari cucu laki-laki-laki-laki. Cucu perempuan itu dapat menjadi

ashabah oleh laki-laki yang sederajat dengannya atau yang berada satu tingkat di bawahnya. Jika ahli waris hanya mereka saja, maka

(44)

33

ada ahli waris furudl, mereka mengambil sisa harta sesudah pembagian dzawil furudl.

c) Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung

Saudara perempuan kandung menjadi ashabah karena keberadaan saudara laki-laki kandung (saudara laki-lakinya) saat

mewarisi harta. Bila ahli waris hanya mereka saja, keduanya

mengambil semua harta dan bila ada ahli waris lain bersamanya,

mereka mengambil sisa harta yang tinggal.

d) Saudara seayah perempuan bersama saudara seayah laki-laki

Saudara seayah perempuan menjadi ahli waris ashabah

bila diajak menjadi ashabah oleh saudaranya yang laki-laki. Ia mengambil seluruh harta bila ahli waris yang berhak hanyalah

mereka berdua. Bila ada ahli waris lain yang mewarisi secara

dzawil furudl maka mereka mengambil sisa harta yang tinggal.

3) Ashabah ma‟a Ghairihi

Ashabah ma’a Ghairihi berarti ashabah karena bersama dengan orang lain. Orang yang menjadi ashabah ma’a ghairihi itu sebenarnya bukan ashabah, tetapi karena kebetulan bersamanya ada ahli waris lain yang juga bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai

ashabah sedangkan orang yang menyebabkannya menjadi ashabah

itu tetap bukan ashabah. (Syarifudin, 2004: 247)

(45)

34

perempuan. Anak perempuan tersebut menjadi ahli waris furudl,

sedangkan saudara perempuan menjadi ashabah. Kasus khusus ini

timbul pada waktu seseorang minta fatwa kepada Ibnu Mas‟ud

tentang ahli waris yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan

dan saudara perempuan. Ibnu Mas‟ud memutuskan berdasarkan apa

yang dilihatnya dari Nabi yang menyelesaikan kasus yang sama,

bahwa untuk anak perempuan adalah ½ untuk cucu perempuan adalah

1/6 dan sisanya untuk saudara perempuan. (Syarifudin, 2004: 247)

c. Ahli waris dzawil arham

Ahli waris dzawil arham ialah orang-orang yang dihubungkan

nasabnya dengan pewaris karena pewaris sebagai leluhur yang

menurunkannya ahli waris yang mempunyai hubungan family dengan

pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil furudl dan

ashabah. (Ghofur, 2002: 27)

Yang termasuk ahli waris dzawil arham ialah: (Basyir, 1999: 27)

1) Cucu laki-laki atau perempuan, anak-anak dari anak perempuan.

2) Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak-anak saudara perempuan

kandung, seayah atau seibu.

3) Kemenakan perempuan, anak-anak perempuan saudara laki-laki

kandung atau seayah.

4) Saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman (saudara

laki-laki ayah).

(46)

35

6) Paman, saudara laki-laki ibu.

7) Bibi, saudara perempuan ayah.

8) Bibi, saudara perempuan ibu.

9) Kakek, ayah ibu.

10) Nenek buyut, ibu kakek.

11) Kemenakan seibu, anak-anak saudara laki-laki seibu.

Tentang hak waris dzawil arham ini para ulama tidak

sependapat, ada yang memasukkan mereka sebagai ahli waris dan

ada yang tidak. Di antara sahabat Nabi yang tidak memasukkan

dzawil arham sebagai ahli waris adalah Zaid bin Tsabit, yang diikuti

pula oleh para tabi‟in seperti Sa‟id bin Musayah dan Sa‟id bin Jubair.

Ulama‟ Dhahiriyah, Imam Malik dan Imam dan Imam Syafi‟i

menganut pendapat ini. (Basyir, 1999: 28)

Kebanyakan sahabat nabi memasukkan dzawil-arham sebagai

ahli waris, seperti „Umar, „Ali, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Abbas dan lain

-lain, yang diikuti pula oleh para tabi‟in seperti „Alqamah, Syurah,

Ibnu sirin, dan lain-lain. Iman Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan

kebanyakan ulama menyokong pendapat ini. Ulama‟ mutakhir

madzhab Maliki dan Syafi‟i menganut pendapat ini juga. (Afdol,

2003: 98)

Adanya hijab dalam ilmu faraidh yaitu untuk lebih memperjelas

(47)

36

Hijab artinya halangan yang merintangi untuk mendapatkan warisan

bagi sebagian ahli waris, karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya

dengan yang meninggal dunia. Sedang ahli waris yang terhalang tersebut

dinamakan mahjub. Hijab itu ada dua macam. (Rahman, 1981: 128)

1. Hijab Nuqsan yaitu mengurangi bagian ahli waris, karena ada ahli waris

lain yang bersama-sama, seperti bagian suami setengah jika istri yang

meninggal tidak meninggalkan anak, akan tetapi jika ada anak bagiannya

menjadi berkurang yakni seperempat bagian.

2. Hijab Hirman yaitu dinding yang menghalangi untuk mendapatkan warisan.

Misalnya kakek terhalang oleh bapak, cucu laki-laki terhalang oleh anak

laki-laki.

Adapun ahli waris yang terhalang oleh sebagian ahli waris lain yang

lebih dekat lagi ialah.

1. Kakek terhalang oleh bapak atau kakek yang lebih dekat.

2. Nenek terhalang oleh Ibu.

3. Cucu terhalang oleh anak laki-laki.

4. Saudara sekandung terhalang oleh bapak, anak, cucu laki-laki dan anak

laki-laki.

5. Saudara sebapak terhalang oleh bapak, anak, cucu laki, anak

laki-laki dan saudara sekandung.

6. Saudara seibu terhalang oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu

laki-laki atau perempuan, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung

(48)

37

7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung terhalang oleh anak

laki, cucu laki dari anak laki, bapak, kakek, saudara

laki-laki sekandung dan saudara laki-laki-laki-laki sebapak.

8. Anak laki dari saudara laki sebapak terhalang oleh anak

laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki

sekandung, saudara laki-laki sebapak dan saudara sekandung.

9. Saudara sekandung dari bapak terhalang oleh anak laki, cucu

laki-laki dari anak laki-laki-laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki-laki-laki sekandung,

saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung dan anak dari

saudara sebapak.

10.Saudara sebapak dari bapak terhalang oleh anak laki, cucu

laki-laki dari anak laki-laki-laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki-laki-laki sekandung,

saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung, anak dari saudara

sebapak dan saudara kandung dari bapak.

11.Anak dari paman sekandung terhalang oleh anak laki, cucu

laki-laki dari anak laki-laki-laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki-laki-laki sekandung,

saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung, anak dari saudara

sebapak, saudara kandung dari sebapak, saudara kandung dari bapak,

saudara sebapak dari bapak.

12.Anak lebih dari saudara laki sekandung terhalang oleh anak

laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki

(49)

38

dari saudara sebapak, saudara kandung dari bapak, saudara sebapak

dari bapak dan anak dari paman sekandung.

(50)

39

BAB III

PAPARAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Masyarakat di Desa Kalongan

1. Letak geografis

Desa Kalongan terletak di Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten

Semarang. Jarak Desa Kalongan dengan Kota Ungaran kira-kira kurang

lebih 2 kilo untuk sampai di desa tersebut. Dari Kota Ungaran untuk sampai

di desa tersebut banyak sekali dijumpai bukit-bukit dan pohon-pohon karet.

Desa Kalongan merupakan salah satu desa dari berberapa desa yang ada di

Kecamatan Ungaran Timur yang termasuk desa yang berada di dataran

tinggi. Disamping desanya yang berada di dataran tinggi Desa Kalongan

Kecamatan Ungaran Timur juga tergolong luas karena desa tersebut terbagi

menjadi 13 Dusun yakni: Dusun Dampu, Dusun Kajangan, Dusun

Bandungan, Dusun Sepete, Dusun Sigude, Dusun Bulu, Dusun Mendiro,

Dusun Kalongan, Dusun Glepung, Dusun Tompogunung, Dusun

Rejowinangun, Dusun Pringkurung, Dusun Ngaliyan.

Masyarakat di Desa Kalongan sebagian besar mata pencahariannya

adalah petani. Bahasa yang digunakan setiap hari masyarakat kalongan

adalah bahasa Indonesia dan Jawa. Mengenai rasa sosial masyarakat di Desa

Kalongan sama seperti halnya masyarakat pada umumnya, ketogong

(51)

40

2. Struktur Organisasi Desa Kalongan

Struktur organisasi dan tata kerja Desa Kalongan Kecamatan

Ungaran Timur Kabupaten Semarang adalah sebagai berikut:

SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DESA KALONGAN

KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG

KEPALA DESA

KASI KEUANGAN KASI UMUM

KAUR PEMERINTAHAN KAUR PEMBANGUNAN KAUR KEMASYARAKATAN

DAMPU KAJANGAN BANDUNGAN SEPETE SIGUDE BULU MENDIRO KALONGAN GLEPUNG TOMPOGUNUNG REJOWINANGUN PRINGKURUNG NGALIYAN

YARMUJI, A.Md

AFIFUDIN MUNTASIR

BAHRODIN SISWADI

NASIKUN

ROHADI MURSID ASRO SHODIQ SANY OTO IMAM S QOMARUDIN DAMAN H SANTOSA SUNOTO SUNARNO

IMAM S

UT ISMAN ABU YAHMIN

KASI PEMERINTAHAN

(52)

41

3. Jumlah Penduduk Desa Kalongan

Jumlah penduduk Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur

Kabupaten Semarang 9.427 Jiwa dengan jumlah laki-laki 4.662 dan

perempuan 4.765 Jiwa. Untuk lebih jelas dan rinci diklasifikasikan jumlah

penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin lihat tabel berikut:

Tabel 1

Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Usia dan Jenis

Kelamin

(53)

42

a. Keadaan Desa Kalongan berdasarkan mata pencaharian

Mata pencaharian di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur

Kabupaten Semarang sebagaian besar adalah petani. Adapun jumlah

penduduk berdasarkan mata percaharian mereka dapat dilihat pada tabel

di bawah:

Tabel 2

Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Mata Pencaharian

NO JENIS

(54)

43

b. Keadaan Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam

masyarakat, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan

di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur dapat juga dilihat pada

Tabel:

Tabel 3

Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Pendidikan

NO JENIS

PENDIDIKAN

LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

1 Tidak Sekolah 596 596 1,192

2 TK / Play Group 108 129 237

5 Tamat SD 2,273 2,427 4,700

6 Tamat SLTP 989 987 1,976

7 Tamat SLTA 631 553 1,184

8 Tamat Akademi

Diploma 43 51 94

9 Sarjana Keatas 22 22 44

JUMLAH 4,662 4,765 9,427

(55)

44

c. Keadaan Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Keagamaan

Setiap orang dalam memilih suatu agama itu merupakan hak asasi

manusia. Mayoritas agama di Desa Kalongan adalah agama Islam, jumlah

pemeluk agama Islam adalah 9,075. Berikut tabel jumlah penduduk Desa

Kalongan berdasarkan agama:

Tabel 4

Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Agama

NO KELOMPOK

AGAMA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

1 ISLAM 4,487 4,588 9,075

2 KATHOLIK 48 10 58

3 KRISTEN 127 167 294

4 HINDU - - -

5 BUDHA - - -

6 KHONGHUCU - - -

JUMLAH 4,662 4,765 9,427

(56)

45

B. Kewarisan menurut Masyarakat Muslim di Desa Kalongan

Pengetahuan masyarakat tentang hukum waris sebagian besar

masyarakat mengetahui tentang hukum waris. Sangat sedikit yang tidak tahu

tentang hukum waris rata-rata mereka mengetahui tentang hukum waris.

Masyarakat di Desa Kalongan sebagian besar penduduknya beragama Islam

jadi untuk mengetahui hukum waris Islam mereka banyak belajar dengan tokoh

agama.

Tanggapan tentang hukum waris Islam, sebagian besar masyarakat

belum paham tentang hukum Islam, sehingga sangat jarang sekali masyarakat

menerapkan hukum Islam, mereka lebih memilih pembagian warisan secara

musyawarah. Karena secara turun-temurun masyarakat di desa tersebut dalam

hal membagi waris selalu dengan jalan musyawarah, dianggap dengan jalan

musyawarah itu pembagian warisan akan selesai dengan pembagian yang adil

dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Pengetahuan masyarakat tentang dasar hukum waris yang dilaksanakan

di desa tersebut atas dasar ahli waris satu dengan ahli waris yang lain telah

bersepakat dengan melalui pertimbangan-pertimbangan hingga menghasilkan

suatu kesepakatan yang di akui dan di jaga oleh seluruh ahli waris yang ada.

Pengetahuan masyarakat tentang dasar hukum Islam, sebagian besar

masyarakat mengetahui tentang dasar hukum Islam yaitu al-Qur‟an dan al

-Hadis. Sedangkan dasar hukum kewarisan tentang al-ijma‟ dan al-ijtihad

(57)

46

Masyarakat dalam memahami ayat-ayat al-Quran tentang hukum waris,

sebagian besar mereka mengetahui di dalam ayat al-Qur‟an terdapat dasar

hukum waris. Dan tentang kewajiban yang tercantum dalam al-Qur‟an untuk

membagi harta waris seperti apa yang ada dalam ilmu faraidh mereka sebagian besar tidak mengetahui secara rinci bagaimana perhitungan-perhitungan yang

ada dalam ilmu Faraidh karena dalam membagi harta waris mereka lebih memilih dengan cara musyawarah meskipun hasil yang diperoleh sangatlah

berbeda dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur‟an.

Pengetahuan masyarakat tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Mereka sebagian besar tidak mengetahui adanya Kompilasi Hukum Islam

(KHI). Sangat sedikit sekali yang mengetahui akan adanya Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Sangat sedikit sekali masyarakat yang paham akan itu jadi

masyarakat tidak mengetahui secara jelas apa isi yang terkandung dalam

kompilasi hukum Islam.

Pengetahuan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal

warisan, masyarakat sebagian besar mengetahui sebelum dilaksanakannya

pembagian harta waris ada hak-hak yang harus dilaksanakan yaitu

menyangkut; penguburan jenazah, melunasi hutangnya apabila pada masa

hidupnya orang yang meninggal dunia itu mempunyai hutang, melaksanakan

wasiat dan hak-hak ahli waris.

Pengetahuan masyarakat terhadap rukun warisan sebagian besar mereka

(58)

47

mewarisi harta peninggalan tersebut dan harta benda yang ditinggalkan oleh

orang yang meninggal dunia atau mati.

Pengetahuan masyarakat tentang sebab seseorang tidak bisa

mendapatkan warisan dari keluarga muslim seperti perbudakan, pembunuhan,

murtad dan orang kafir. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui

halangan-halangan seseorang untuk mendapatkan warisan. Sangat sedikit sekali

masyarakat yang mengetahui tentang halangan-halangan tersebut.

Pengetahuan masyarakat tentang wasiat, masyarakat sebagian besar

mengetahui bahwa wasiat itu paling banyak sepertiga dan wasiat itu akan

berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Sangat sedikit yang tidak mengetahui

tentang wasiat.

Tentang anak perempuan mendapatkan harta waris lebih banyak

daripada laki-laki. Mereka menganggap bahwa anak perempuan memang lebih

pantas mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan

saudara-saudaranya. Karena anak perempuanlah yang lebih mengerti keadaan orang

tuanya di bandingkan dengan saudara-saudaranya. Anak perempuan adalah

anak yang menjaga orang tua semasa hidupnya.

Masyarakat di Desa Kalongan sebagian besar mengetahui bahwa dalam

hukum waris Islam terdapat perbedaan pembagian harta waris untuk laki-laki

dan perempuan, perempuan mendapatkan separoh bagian daripada laki-laki,

bagian laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Misalnya

laki-laki mendapatkan Rp. 2.000.000,00 perempuan hanya mendapatkan Rp.

(59)

48

C. Bagian Waris Untuk Perempuan Dalam Hukum Islam

Warisan adalah termasuk hak milik yang paling menonjol. Di dalam

warisan terdapat dua hak dasar yaitu: hak kesinambungan dan hak mengelola

barang milik. Arti hak kesinambungan adalah kelestarian hak milik selama

masih ada barang milik.(Qardhawi, 2004: 336)

Tentang siapa-siapa yang menjadi ahli waris, kompilasi hukum Islam

mengelompokkan kelompok ahli waris yang terdiri dari menurut hubungan

darah dan menurut hubungan perkawinan:

BAB II Ahli Waris Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, paman dan

kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara

perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:

anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Dalam hukum Islam apabila ahli waris semua ada baik dari garis

keturunan laki-laki maupun perempuan, maka yang mendapat bagian harta

waris hanyalah:

(60)

49

2. Ibu

3. Bapak

4. Anak laki-laki

5. Anak perempuan

Ketentuan bagian yang harus diterima ahli waris perempuan jika dilihat

lebih dekat lagi adalah sebagai berikut:

1. Istri

a. ¼ jika mayat tidak meninggalkan anak.

b. 1/8 jika mayat meninggalkan anak.

2. Anak perempuan

a. ½ jika sendirian.

b. 2/3 jika banyak (dua keatas).

c. Ashabah jika bersama-sama dengan saudara laki-lakinya. Ahli waris

perempuan sebagai ashabah Bi al-Ghair, menjadi ashabah karena

(dengan) waris yang lain.

3. Cucu perempuan (dari anak laki-laki)

a. ½ jika seorang diri.

b. 2/3 jika saudara perempuannya banyak.

c. Ashabah bersama cucu laki-laki.

d. 1/6 jika bersama-sama anak perempuan.

4. Ibu

a. 1/6 jika mayat meninggalkan anak, cucu, 2 saudara atau lebih.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

Pengunjung Tidak Menginap : pengunjung yang datang ke resort hanya untuk sekedar menggunakan fasilitas rekreasi ataupun sekedar mengantar barang, dalam artian hanya

Tempat atau lokasi penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMA Negeri 5 Singkawang untuk mata pelajaran bahasa Indonesia kelas X C. Kolaborator dalam

Pelaksanaan penilaian kinerja karyawan yang dilihat dari kompetensi ini dilakukan secara objektif sehingga diharapkan bisa berakibat positif bagi karyawan seperti

Artinya anak (siswa) sebagai organisme yang merespon terhadap stimulus dari dunia sekitarnya. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan dan bagian yang diperoleh ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris berdasarkan hukum waris Islam dalam

Aplikasi utama secara logika dijalankan pada sisi client yang biasanya mengirimkan request dalam bentuk sintaks SQL ke sebuah database server yang berfungsi sebagai

Model LKS ini dikembangkan dalam bentuk LKS eksperimen yang alur penyajiannya berorientasi pada keterampilan 4 (empat) keterampilan yang dimunculkan, yaitu bahasa