TINJAUAN PUSTAKA
Domba Lokal
Ternak domba termasuk dalam phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, subfamili Cuprinae, famili Bovidae, genus Ovis, dan spesies Ovis aries.
Domba adalah ternak ruminansia yang mempunyai perut majemuk dan secara
fisiologis sangat berbeda dengan ternak berperut tunggal seperti babi dan unggas
(Wodzicka et al., 1993).
Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa yaitu domba garut, domba
ekor gemuk, dan domba ekor tipis atau lebih dikenal dengan nama domba lokal.
Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang memiliki daya adaptasi yang
baik pada iklim tropis dan tidak mengenal adanya musim pembiakan (non seasonal
breeding) sehingga perkembangbiakan dapat berlangsung sepanjang tahun. Domba
lokal memiliki ciri-ciri ukuran tubuh yang relatif kecil, warna bulunya beragam, ekor
tipis, dan tidak terlalu panjang (Devendra dan McLeroy, 1992).
Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa,
berbulu kasar, tidak seragam, hasil daging relatif sedikit, dan pola warna bulu sangat
beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam umumnya.
Bobot dewasa dapat mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg dengan
persentase karkas berkisar antara 44%-49% (Devendra dan McLeroy, 1992). Ekor
pada domba lokal umumnya pendek dengan ukuran panjang rata-rata 19,3 cm; lebar
pangkal ekor 5,6 cm; dan tebal 2,7 cm (Devendra dan McLeroy, 1992).
Prospek peternakan domba di Indonesia sangat menjanjikan, ditunjukkan
dengan peningkatan konsumsi daging domba sebesar 7,84% pada tahun 2011 (BPS,
2012a). Hai ini dikarenakan domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial, dan budaya serta merupakan
sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia
melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor (Sumantri et al.,
2007). Ternak-ternak lokal penting untuk dilindungi karena mempunyai keunggulan
antara lain mampu bertahan hidup pada tekanan iklim dan pakan yang berkualitas
rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara
dengan biaya rendah, mendukung keragaman pangan, pertanian, dan budaya (FAO,
Pakan
Tongkol Jagung
Potensi limbah tanaman jagung yaitu 50% batang, 20% daun, 20% tongkol,
dan 10% kulit buah jagung (klobot) dihasilkan pertahun, akan tetapi pemanfaatan
limbah tanaman jagung belum maksimal karena bersifat bulky, musiman, dan cepat
rusak setelah dipanen (Umiyasih dan Wina, 2008). Penggunaan limbah tongkol
jagung sebagai pakan umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki lahan dan
menanam tanaman pangan (Febrina dan Liana, 2008).
Tongkol jagung merupakan salah satu limbah padat yang dihasilkan industri
pengolahan jagung. Menurut Parakkasi (1999), tongkol jagung memiliki persentase
sebesar 20% dari berat jagung bertongkol (buah jagung tanpa klobot). Kuantitas
tongkol jagung dalam jumlah yang banyak, diindikasikan dengan produksi jagung
pipil di Indonesia pada tahun 2011 yang mencapai 17.643.250 ton (BPS, 2012b). Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa kuantitas tongkol jagung di Indonesia
sebanyak 4.410.813 ton. Komposisi nutrien tongkol jagung dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Nutrien Tongkol Jagung Berdasarkan Bahan Kering
Nutrien Tongkol Jagung a Tongkol Jagung b
Bahan Kering (%) 90 90 Abu (%) 1,9 2,2 Protein Kasar (%) 3,6 3,3 Lemak Kasar (%) 0,8 0,6 Serat Kasar (%) 40,2 40 BETN (%) 53,5 53,9 Selulosa (%) 28 - Lignin (%) 7 - TDN (%) 50 48
Keterangan : a Perry et al. (2003), b Parakkasi (1999)
Tongkol jagung mengandung protein kasar yang rendah yaitu sebesar 4,64%
dengan kadar lignin dan selulosa yang tinggi (Aregheore, 1995). Rendahnya
kandungan protein dan tingginya kandungan lignin tongkol jagung menyebabkan
selulosa tidak tersedia untuk difermentasi di dalam rumen yang berakibat
kecernaannya menjadi rendah (Brandt dan Klopfenstein, 1986). Menurut Perry et al.
(2003), tongkol jagung sebaiknya dipotong-potong atau digiling terlebih dahulu
sebelum diberikan pada ternak ruminansia agar dapat dimanfaatkan dengan baik dan
efisien. Yulistiani (2010) melaporkan bahwa, amoniasi tongkol jagung dapat
digunakan dalam ransum komplit domba komposit sumatra dan menghasilkan
pertambahan bobot badan 146-176 g/ekor/hari. Penelitian lain melaporkan bahwa
tongkol jagung giling dipakai dalam ransum kambing lokal afrika jantan pada level
36% dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian 37 g/ekor/hari
(Aregheore, 1995).
Onggok
Onggok adalah produk limbah yang merupakan hasil samping pembuatan pati
dari ubi kayu (cassava). Onggok merupakan pakan sumber energi yang berasal dari
limbah pembuatan tepung tapioka dengan jumlah mencapai 19,7% dari produksi ubi
kayu. Pemanfaatan onggok masih sangat sederhana dan dikategorikan sebagai hasil
samping yang bernilai ekonomi sangat rendah. Serat terdiri dari hemiselulosa, pektin,
dan selulosa. Onggok juga kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna bagi ternak
dan penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum karena
harganya murah, cukup tersedia, dan mudah didapat (Rasyid et al., 1996). Penelitian
Shaliha (2012) terhadap domba yang mendapat sumber energi berbasis onggok
mendapatkan pertambahan bobot badan 91-108 g/ekor/hari. Kandungan nutrien dari
onggok dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrien Onggok Berdasarkan Bahan Kering
Nutrien Kandungan Bahan Kering (%) 86 Abu (%) 0,89 Protein Kasar (%) 1,77 Lemak Kasar (%) 1,48 Serat Kasar (%) 6,66 BETN (%) 89,20 Sumber : Irawan (2002) Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah
kelapa segar/kering (SNI, 1996a) dan mengandung protein kasar sebesar 18% (Wibowo, 2010). Bahan pakan ini mengandung protein nabati dan sangat potensial
untuk meningkatkan kualitas karkas (Parakkasi, 1999). Sebagai sumber protein,
bungkil kelapa baik digunakan untuk ternak, namun bungkil kelapa memiliki
kecernaan yang rendah karena tingginya kandungan serat kasar. Menurut Sutardi
(1979), perpaduan antara bungkil kelapa dan bungkil kedelai ternyata lebih unggul
daripada bungkil kelapa atau bungkil kedelai saja. Kedua sumber protein ini seolah-
olah dapat saling menutupi kelemahan masing-masing sehingga menjadi jauh lebih
baik, kemungkinan bungkil kelapa yang biasanya defisien akan metionin,
kelemahannya itu dapat ditutupi oleh bungkil kedelai. Aregheore (2005) menyatakan
bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa dapat menurunkan konsumsi bahan
kering, namun dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan memberikan
konversi pakan yang rendah. Balitnak (2011) melaporkan bahwa bungkil kelapa
mengandung 21,7% protein kasar; 17,1% lemak kasar; 16,2% serat kasar; 0,1%
kalsium; 0,62% fosfor; 1667 kkal/kg ME; dengan kecernaaan bahan kering sebesar
60%. Kandungan nutrien bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Nutrien Bungkil Kelapa Berdasarkan Bahan Kering
Nutrien Mutu 1 Mutu 2
Bahan Kering (%) 88 88 Protein Kasar (%) 20 18 Serat Kasar (%) 16 18 Abu (%) 8 10 Lemak Kasar (%) 14 17 BETN (%) 42 36 Sumber: SNI (1996a) Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah
diekstraksi minyaknya secara mekanis (expeller) atau secara kimia (solvent) (SNI,
1996b). Kandungan protein bungkil kedelai mencapai 43%-48%. Bungkil kedelai juga mengandung zat antinutrisi seperti tripsin inhibitor, namun zat antinutrisi
tersebut tersebut akan rusak oleh pemanasan sehingga aman untuk digunakan sebagai
bahan pakan. Bungkil kedelai merupakan sumber protein nabati yang memiliki
kandungan protein yang tinggi tetapi kandungan Ca, P, dan vitamin A rendah serta
mengandung asam amino yang hampir lengkap (Tangendjaja, 1987). Fahmy et al.
(1992) mengatakan bahwa dengan bungkil kacang tanah dan kacang kedelai sebagai
sumber protein utamanya dapat menggemukkan berbagai bangsa domba. Hasilnya
adalah pertambahan bobot hidup 189-186 g/ekor/hari. Penggunaan bungkil kedelai
komposit sumatra dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 146-176 g/ekor/hari
(Yulistiani, 2010). Kandungan nutrien bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien Bungkil Kedelai Berdasarkan Bahan Kering
Nutrien Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3
Bahan Kering (%) 88 88 88 Protein Kasar (%) 53,4 50 46,6 Serat Kasar(%) 6,8 7,4 10,2 Abu(%) 6,8 8 9,1 Lemak Kasar(%) 4 4 5,7 BETN(%) 29 30,6 28,4 Sumber: SNI (1996b) Tepung Ikan
Tepung ikan adalah ikan atau bagian-bagian ikan yang minyaknya diambil
atau tidak, dikeringkan kemudian digiling (SNI, 1996c). Tepung ikan mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga bahan tersebut digunakan sebagai sumber utama
protein pada pakan, disamping pakan lainnya. Selain sebagai sumber protein, tepung
ikan juga digunakan sebagai sumber kalsium. Tepung ikan yang baik mempunyai
kandungan protein kasar 58%-68%; air 5,5%-8,5%; dan garam 0,5%-3,0%
(Sitompul, 2004). Tepung ikan mempunyai variasi kualitas yang sangat tinggi,
standarisasi pengolahan dan tingkat nutrien tepung ikan yang didatangkan dari luar
negeri mempunyai kadar protein antara 55%-65% dan lemak 5%-7% (NRC, 2006).
Kandungan nutrien tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Nutrien Tepung Ikan Berdasarkan Bahan Kering
Nutrien Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3
Bahan Kering (%) 90 88 88 Protein Kasar (%) 65 55 45 Serat Kasar(%) 1,5 2,5 3 Abu(%) 20 25 30 Lemak Kasar(%) 8 10 12 Ca(%) 2,5-5,0 2,5-6,0 2,5-7,0 P(%) 1,6-3,2 1,6-4,0 1,6-4,7 Sumber: SNI (1996c)
Rocha et al. (1995) menyatakan bahwa tepung ikan merupakan bahan pakan
sumber ruminally undegradable protein dan kaya akan lisin dan metionin yang
merupakan asam amino pembatas pada ternak ruminansia. Kandungan protein atau
asam amino tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses
pembuatannya. Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang
berwarna coklat dan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau
menjadi rusak (Sitompul, 2004). Susunan asam amino bungkil kelapa, bungkil
kedelai dan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Asam Amino Bungkil Kelapa, Bungkil Kedelai dan Tepung Ikan
No. Asam Amino B. Kelapa B. Kedelai Tepung Ikan
1 Arginin 1,96 3,14 3,68 2 Glisin 0,89 1,90 4,46 3 Serin 0,96 2,29 2,37 4 Histidin 0,41 1,17 1,42 5 Isoleusin 0,60 1,96 2,28 6 Leusin 1,21 3,39 4,16 7 Lisin 0,48 2,69 4,51 8 Metionin 0,37 0,62 1,63 9 Sistin 0,24 0,66 0,57 10 Fenilalanin 0,81 2,16 2,21 11 Tirosin 0,46 1,91 1,80 12 Treonin 0,66 1,72 2,46 13 Triptofan - 0,74 0,49 14 Valin 0,89 2,07 2,77
Sumber : NRC (2006) dan Parakkasi (1999)
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh terrnak yang
akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi
(Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi
oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum, tingkat konsumsi
ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari hewan, makanan
yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999).
Daya cerna makanan diikuti kecepatan aliran makanan yang tinggi dalam saluran
pencernaan dapat meningkatkan konsumsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat konsumsi adalah palatabilitas yang tergantung dari beberapa hal yaitu
penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan temperatur lingkungan (Pond et al., 1995).
Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Menurut Aregheore
(2005), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktivitas
kualitas makanan dan kebutuhan energi ternak. Semakin baik kualitas makanannya,
semakin tinggi konsumsi ransum ternak (Parakkasi, 1999).
Standar NRC (2006) menyebutkan bahwa, domba pada fase penggemukan
dengan bobot badan 20-30 kg, akan mengkonsumsi bahan kering sebanyak 690-1240
g/ekor/hari. Kisaran konsumsi bahan kering yang disarankan NRC untuk ternak
domba dengan bobot badan 20-30 kg adalah sebesar 3,44% - 4,14% bobot badan.
Yulistiani (2010) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering domba yang
mendapatkan ransum berbasis tongkol jagung adalah sebesar 1092-1240 g/ekor/hari
atau 4,17% bobot badan.
Protein Kasar
Protein merupakan zat makanan yang penting bagi pertumbuhan ternak dan
juga merupakan bagian terpenting dari jaringan-jaringan tubuh hewan. Protein
tersusun dari rantai asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Protein
berfungsi sebagai zat pembangun karena protein merupakan bahan pembentuk
jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh dan digunakan sebagai bahan
bakar jika kebutuhan energi tubuh belum terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak
(Winarno, 1992).
Pemberian pakan yang tidak dibatasi (melebihi hidup pokok) akan
meningkatkan konsumsi protein karena ternak mempunyai kesempatan untuk makan
lebih banyak (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Peningkatan konsumsi protein juga
dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan yaitu semakin tinggi kandungan
protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi (Boorman, 1980). Menurut
NRC (2006), domba yang sedang tumbuh membutuhkan protein dalam jumlah yang
tinggi dibandingkan domba yang dewasa. Kisaran standar NRC (2006) untuk domba
dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan konsumsi protein kasar sebesar 122-154
g/ekor/hari dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 100-200 g/ekor/hari.
Konsumsi protein kasar pakan dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan
yang dikehendaki setiap hari, serta jumlah dan kualitas pakan yang diberikan
(Parakkasi, 1999). Konsumsi protein pakan sangat erat kaitannya dengan konsumsi
bahan kering pakan, semakin tinggi konsumsi bahan kering pakan mengakibatkan
semakin tinggi pula konsumsi protein pakan (Sudarman et al., 2008). Konsumsi
ransum. Menurut Maynard dan Loosli (1993), sifat voluminous serat kasar dapat
menurunkan kapasitas ruang rumen sehingga ternak merasa kenyang dan konsumsi
protein pun menurun.
Lemak Kasar
Lemak merupakan zat tidak larut air, bahan organik yang larut dalam pelarut
organik (Parakkasi, 1999). Kadar lemak yang tinggi pada ransum mengganggu
pertumbuhan mikroba rumen. Penambahan lemak dalam ransum sapi dan domba
menurunkan kecernaan serat karena asam lemak rantai panjang menghambat
metabolisme mikroba rumen (Palmquist et al., 1986). Lemak mempengaruhi
palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan
(Toha et al., 1999). Konsumsi lemak kasar juga dapat dipengaruhi oleh sifat kimia
pakan, yaitu salah satunya kandungan asam lemak tak jenuh dalam perlakuan.
Konsumsi lemak kasar domba menurut Haddad dan Younis (2004) dalam ransum
untuk domba awwasi jantan lepas sapih pada periode pembesaran yaitu sebesar 59
g/ekor/hari.
Serat Kasar
Pakan kaya serat mempunyai sifat fisik yang bervariasi dan dapat
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan kecernaannya. Kandungan serat kasar
yang tinggi mampu menjadi faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pakan
(Tillman et al., 1998). Menurut Toharmat et al. (2006), jenis pakan kaya serat dapat
mempengaruhi konsumsi bahan kering yang selanjutnya mempengaruhi konsumsi
nutrien. Hal ini berarti bahwa konsumsi bahan kering pakan dapat dimanipulasi
melalui pemilihan jenis pakan kaya serat yang diberikan. Faktor yang berpengaruh
pada konsumsi serat kasar antara lain konsumsi bahan kering dan kandungan nutrien
ransum. Kandungan serat kasar dalam bahan pakan mampu mengurangi tingkat
kecernaan pakan dalam tubuh ternak. Semakin banyak serat kasar yang terdapat
dalam suatu bahan pakan maka semakin tebal dinding sel dan akibatnya semakin
rendah daya cerna dari bahan makanan (Hartadi et al., 1997).
Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen (BETN)
BETN merupakan fraksi karbohidrat selain serat kasar yang umumnya mudah
nutrien yang penting dalam pakan adalah energi, kebutuhan energi ini sangat
bergantung dari status fisiologis ternak. Hartadi et al. (1997) menambahkan bahwa
hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk hidup pokok, memenuhi
kebutuhan akan energi mekanik untuk gerak otot dan sintesa jaringan-jaringan baru.
Menurut Pond et al. (1995), secara umum nutrisi yang paling membatasi
dalam nutrisi ternak domba adalah energi. Konsumsi energi yang berlebihan oleh
ternak akan mengalihkan penggunaan energi untuk memproduksi lemak tubuh yang
lebih tinggi. Defisiensi energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan
menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan
menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun, dan yang paling buruk
adalah dapat menyebabkan kematian. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa
kebutuhan energi pakan ditentukan oleh lingkungan, umur, bobot badan, bangsa,
komposisi pakan, dan pertambahan bobot badan yang dikehendaki. Kondisi
lingkungan yang mempengaruhi kebutuhan energi adalah temperatur, kelembaban,
dan kecepatan angin (Haryanto dan Djajanegara, 1993).
Total Digestible Nutrient (TDN)
Total Digestible Nutrient (TDN) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah
dari zat-zat makanan yang dapat dicerna oleh hewan, yang merupakan jumlah dari
semua zat-zat makanan organik yang dapat dicerna seperti protein, lemak, serat
kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi TDN seperti suhu lingkungan, laju perjalanan melalui alat pencernaan,
bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan
dari zat makanan lainnya (Aboenawan, 1991). Perry et al. (2003) menyatakan bahwa
nilai TDN suatu bahan pakan dipengaruhi beberapa hal, antara lain persentase bahan
kering dari bahan tersebut, bahan kering pakan yang akan dicerna, jumlah bahan
mineral dalam kecernaan bahan kering, dan jumlah lemak dalam bahan kering yang
dapat dicerna. Semakin tinggi TDN dari suatu pakan, maka pakan tersebut akan
semakin baik karena banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan.
Kadar TDN bahan pakan umumnya berbanding terbalik dengan serat
kasarnya (Anggorodi, 1990). Standar NRC (2006) menyebutkan bahwa, domba
dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan konsumsi protein kasar sebesar 550-990
Rianto et al. (2006) melaporkan bahwa konsumsi TDN domba yaitu sebesar 341,33
g/hari dan menurut Purbowati et al. (2009) konsumsi TDN antar perlakuan yang
tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh kandungan TDN pakan relatif sama dan
konsumsi BK yang tidak berbeda nyata. Kurangnya konsumsi energi dapat
mengakibatkan pertumbuhan lambat atau berhenti, bobot hidup berkurang, fertilitas
menjadi rendah, kegagalan reproduksi, rendahnya kualitas wol, daya tahan tubuh
terhadap penyakit berkurang, dan angka kematian tinggi (Ensminger, 1991).
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran dari tulang, otot,
organ dalam, dan bagian lain dari tubuh ternak. Pertumbuhan secara normal dimulai
dari saat sebelum lahir dan sesudah lahir hingga ternak mencapai ukuran tubuh
dewasa (Ensminger, 1991). Hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi
pemeliharaan tubuh (hidup pokok), memenuhi kebutuhan akan energi mekanik untuk
gerak otot, dan sintesa jaringan-jaringan baru (Tillman et al., 1998). Pola
pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi
yang tersedia, kesehatan dan iklim. Laju pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh
umur, lingkungan dan genetik dimana berat tubuh awal fase penggemukan
berhubungan dengan berat dewasa (Wodzicka et al., 1993). Kurva yang
menunjukkan hasil penelitian Inounu et al. (2008) mengenai pertumbuhan bobot
badan domba dapat dilihat pada Gambar 1. Domba Garut Domba M. Charollais X Garut
Domba St. Croix X Garut Domba M. Charollais X St. Croix X Garut Domba St. Croix X M. Charollais X Garut
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Domba Garut dan Persilangannya Sumber : Inounu et al. (2008)
Pada umumnya pertumbuhan domba diketahui dengan cara pengukuran
terhadap bobot dan tinggi badan. Pengukuran bobot tubuh dapat menentukan tingkat
konsumsi, efisiensi pakan, dan harga (Parakkasi, 1999). Sebagai gambaran
pertumbuhan bobot badan domba, (Inounu et al., 2008) menyatakan bahwa domba
garut akan mencapai bobot potong 35 kg pada umur 25,07 bulan dan persilangannya
akan mencapai bobot potong 35 kg pada kisaran umur 15-19 bulan. Pertumbuhan
bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi total protein yang
diperoleh setiap hari, jenis kelamin, umur, keadaan genetik, lingkungan, kondisi
fisiologis ternak, dan tata laksana (NRC, 2006). Arifiyanti (2002) menyatakan bahwa
kandungan zat makanan dalam pakan memenuhi batas kebutuhan hidup pokok dan
pertumbuhan sehingga jumlah pakan yang dikonsumsi akan lebih tinggi dan akan
memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam pakan dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan penambahan serat kasar dalam
pakan akan menurunkan bobot badan. Tingkat kenaikan bobot badan harian domba
dan kambing di pedesaan berkisar antara 20-40 g/ekor/hari. Rataan pertambahan
bobot badan harian domba yang sedang dalam masa pertumbuhan berkisar antara 49-
71 g/ekor/hari (Tarmidi, 2004). Hasil penelitian Junaidi et al. (2011) menyatakan
bahwa PBB domba yang mendapat ransum 30% tongkol jagung berkisar antara 83-
97 g/ekor/hari. Yulistiani (2010) menyatakan bahwa PBB domba yang mendapatkan
ransum berbasis tongkol jagung adalah 146,3-176,2 g/ekor/hari. Penggunaan
konsentrat terutama yang banyak mengandung biji-bijian lebih tinggi akan
mempercepat pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan lebih baik (Velez et al.,
1993). Kualitas hijauan juga sangat menentukan konsumsi dan pertambahan bobot
badan ternak ruminansia (Hart et al., 1993).
Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk
menghasilkan satu unit produksi ternak (Katangole et al., 2009). Konversi pakan
suatu ransum bergantung pada konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan
harian. Konsumsi bahan kering yang rendah belum tentu menyebabkan nilai konversi
pakan menjadi rendah atau sebaliknya konsumsi pakan yang tinggi juga belum tentu
Nilai konversi yang tinggi menunjukkan bahan makanan tersebut kurang
efisien untuk diubah menjadi daging, sebaliknya semakin rendah nilai konversi
ransum menunjukkan bahan makanan tersebut sangat efisien untuk diubah menjadi
daging. Semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak, akan diikuti dengan
pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan semakin efisien penggunaan
pakannya (Martawidjaja, 2003). Penelitian Yulistiani (2010) menyatakan bahwa
konversi pakan domba yang mendapatkan ransum berbasis tongkol jagung adalah
6,6-7,5.
Konversi pakan khususnya ternak ruminansia kecil dipengaruhi oleh kualitas
pakan, nilai kecernaan, dan efisiensi pemanfaatan zat gizi dalam proses metabolisme
di dalam jaringan tubuh ternak. Semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi
ternak, diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi maka nilai konversi
pakan akan semakin rendah dan akan semakin efisien pakan yang digunakan (Pond et al., 1995). Konversi pakan bergantung pada konsumsi bahan kering dan
pertambahan bobot badan harian. Konsumsi bahan kering yang tinggi belum tentu
menyebabkan nilai konversi pakan menjadi tinggi atau sebaliknya konsumsi bahan
kering yang rendah belum tentu menyebabkan nilai konversi pakan menjadi rendah
(Thalib et al., 2001).
Income Over Feed Cost (IOFC)
Income Over Feed Cost (IOFC) adalah salah satu cara untuk menghitung
pendapatan yang diterima oleh peternak. Secara sederhana, perhitungan IOFC adalah
pendapatan dari penjualan ternak dikurangi biaya pakan. Komponen utama yang
diperhatikan dari perhitungan ini adalah harga jual domba, harga beli bakalan, dan
biaya pakan. Faktor lain yang mempengaruhi nilai IOFC antara lain jumlah konsumsi
pakan dan pertambahan bobot badan (Kamesworo, 2010). IOFC adalah pendapatan
yang diperoleh setelah dikurangi biaya pakan selama pemeliharaan. Pendapatan
diperoleh dari perkalian pertambahan bobot badan dengan harga jual ternak dalam
bobot hidup, sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan pertambahan bobot badan tersebut (Mayulu et al., 2009). Kasim
(2002) menyatakan bahwa konsumsi pakan, PBB, dan harga pakan saat pemeliharaan
dapat berpengaruh terhadap nilai perhitungan IOFC. Faktor-faktor yang berpengaruh
pakan selama pemeliharaan. Pertambahan bobot badan yang tinggi belum tentu
menjamin keuntungan yang maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik diikuti dengan
konversi pakan yang baik pula serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan
keuntungan yang maksimal (Wahju, 1997).