• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI, KERANGA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Auditing

2.1.1.1 Pengertian Audit

Auditing memberikan nilai tambah bagi laporan keuangan perusahaan, karena akuntan publik yang ahli dan independen pada akhirnya akan memberikan pendapat mengenai kewajaran posisi keuangan, hasil usaha,perubahan ekuitas dan laporan arus kas. Dapat dikatakan bahwa audit merupakan salah satu bentuk jasa atestasi, (attestation service). Yang dimaksud dengan jasa atestasi (attestation service) adalah jasa yang diberikan akuntan publik untuk menilai keandalan sebuah asersi yang menjadi tanggung jawab pihak lain dan kemudian menerbitkan laporan keuangan mengenai penilaian atas keandalan aseri tersebut.

Menurut Agoes (2004) auditing adalah:

Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajamen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Istilah audit sering disebut juga auditing, auditing merupakan salah satu atestasi. Atestasi secara umum, merupakan suatu komunikasi dari seorang expert mengenai kesimpulan tentang realibilitas dan pernyataan seseorang. Sedangkan atestasi secara sempit

(2)

merupakan komunikasi tertulis yang menjelaskan suatu kesimpulan mengenai realibilitas dari asersi tertulis yang merupakan tanggung jawab dari pihak lainnya.

Sedangkan menurut Mautz dan Sharaf, teori auditing tersusun atas lima konsep dasar, yaitu:

1. Bukti (evidence)

Tujuan memperoleh dan mengevaluasi bukti adalah untuk memperoleh pengertian, sebagai dasar untuk memberikan kesimpulan, yang dituangkan dalam pendapat auditor. Bukti harus diperoleh dengan cara-cara tertentu agar dapat dicapai hasil yang maksimal. Secara umum, bukti diperoleh dengan cara-cara sebagai berikut: a. Authoritarianisme, bukti diperoleh berdasarkan informasi dari pihak lain,

misalnya keterangan lisan dari manajemen, karyawan, eksternal.

b. Mistikisme, bukti dihasilkan dari intuisi. misalnya dengan pemeriksaan buku besar, penelaahan atas keterangan dari pihak luar.

c. Rasionalisasi, merupakan pemikiran asumsi yang diterima, misalnya, penghitungan kembali oleh auditor, pengamat SPI.

d. Empidikisme, merupakan pengalaman yang sering terjadi, misalnya, perhitungan dan pengujian secara fisik.

e. Pragmatisme, merupakan hasil praktik, misalnya penelusuran kejadian/peristiwa kemudian (subsequent event).

(3)

Konsep ini didasarkan kepada issue pokok tingkat kehati-hatian yang diharapkan pada auditor yang bertanggungjawab (prudent auditor). Tanggungjawab yang dimaksud adalah tanggungjawab seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya. Konsep ini lebih dikenal dengan konsep konservatif. Walaupun sebagai manusia, auditor tak luput dari kesalahan, namun sebagai seorang yang profesional ia dituntut untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. (meminimalkan kesalahan yang bersifat kesalahan manusiawi).

3. Penyajian atau pengungkapan yang wajar (Fair presentation )

Konsep ini menuntut adanya informasi laporan keuangan yang bebas (tidak memihak), tidak bias, dan mencerminkan posisi keuangan, hasil operasi, dan aliran kas perusahaan yang wajar. Konsep ini dijabarkan lagi dalam tiga sub konsep, yaitu:

a. Accounting propriety, berhubungan dengan penerapan prinsip akuntansi tertentu, dalam kondisi tertentu.

b. Adequate Disclosure, berkaitan dengan jumlah dan luasnya pengungkapan.

c. Audit obligation, berkaitan dengan kewajiban auditor untuk bersikap independen dalam memberikan pendapat.

4. Independensi (Independence )

Merupakan suatu sikap mental yang dimiliki auditor untuk tidak memihak dalam melakukan audit. Masyarakat pengguna jasa audit memandang bahwa auditor akan independen terhadap laporan keuangan yang diperiksannya, dari pembuat dan

(4)

pemakai laporan laporan keuangan. Konsep independensi berkaitan dengan independensi pada diri pribadi auditor secara individual (practitioner-independence), dan independen pada seluruh auditor secara bersama-sama dalam profesi (profession-independence):

a. Practioner- Independence

 Merupakan pikiran, sikap tidak memihak, dan percaya diri yang mempengaruhi pendekatan auditor dalam pemeriksaan.

 Untuk itu auditor harus independen dalam menggunakan teknik dan prosedur audit (programming independence), harus independen dalam memilih aktivitas, berhubungan secara profesional, dan kebijakan manajemen yang akan diperiksannya (investigation –independence), dan harus independen dalam mengemukakan fakta hasil pemeriksaannya yang tercermin dalam pemerian pendapat dan rekomendasi yang diberikan (reporting- independence)

b. Profession Independence

 Merupakan persepsi yang timbul dari anggota masyarakat keuangan/bisnis dan masyarakat umum tentang profesi akuntan sebagai kelompok.

5. Etika perilaku ( Ethical conduct )

(5)

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat peneliti simpulkan bahwa auditing merupakan suatu proses pemeriksaan yang dilakukan secara sitematis terhadap laporan keuangan oleh pihak yang independen, yang bertujuan untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan tersebut sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

2.1.1.2 Jenis-Jenis Audit

Audit dapat dibedakan menurut jenis-jenis audit, misalnya jenis audit ditinjau dari luasnya dan jenis audit ditinjau dari jenis pemeriksaannya. Menurut Sukrisno Agoes (2004), ditinjau dari luasnya pemeriksaan, maka jenis-jenis audit dapat dibedakan atas:

1. General Audit (Pemerikasaan Umum)

Merupakan suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendpat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan

2. Special Audit (Pemeriksaan khusus)

Merupakan suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan audit) yang dilakukan oleh KAP independen, dan pada akhir pemeriksaannya

(6)

auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.

Menurut Sukrisno Agoes (2004) mengemukakan bahwa jenis-jenis audit ditinjau dari jenis pemeriksaannya, audit bisa dibedakan atas:

1. Audit Operasional (Management Audit)

yaitu suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditetapkan oleh manajemen dengan maksud untuk mengetahui apakah kegiatan operasi telah dilakukan secara efektif, efisien dan ekonomis. 2. Pemeriksaan Ketaatan (Complience Audit)

yaitu suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan telah mentaati peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik yang ditetapkan oleh pihak intern perusahaan maupun pihak ekstern perusahaan.

3. Pemeriksaan Intern (Internal Audit)

yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan yang mencakup laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan yang bersangkutan serta ketaatan terhadap kebijakan manajemen yang telah ditentukan.

(7)

yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap perusahaan yang melakukan proses data akuntansi dengan menggunakan sistem Elektronic Data Processing (EDP).

Sedangkan berdasarkan kelompok atau pelaksana audit, jenis auditor dibagi 4 yaitu:

1. Auditor Ekstern

Auditor ekstern/independent bekerja untuk kantor akuntan publik yang statusnya diluar struktur perusahaan yang mereka audit. Umumnya auditor ekstern menghasilkan laporan atas financial audit.

2. Auditor Intern

Auditor intern bekerja untuk perusahaan yang mereka audit. Laporan audit manajemen umumnya berguna bagi manajemen perusahaan yang diaudit. Oleh karena itu tugas internal auditor biasanya adalah audit manajemen yang termasuk jenis compliance audit.

3. Auditor Pajak

Auditor pajak bertugas melakukan pemeriksaan ketaatan wajib pajak yang di audit terhadap undang-undang perpajakan yang berlaku.

4. Auditor Pemerintah

Tugas auditor pemerintah adalah menilai kewajaran informasi keuangan yang disusun oleh instansi pemerintahan. Di samping itu audit juga dilakukan untuk menilai efisiensi, efektifitas dan ekonomisasi operasi

(8)

program dan penggunaan barang milik pemerintah. Dan sering juga audit atas ketaatan pada peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Auditing yang dilaksanakan oleh pemerintahan dapat dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

2.1.1.3 Kantor Akuntan Publik 1. Pengertian Kantor Akuntan Publik

Kantor akuntan publik (KAP) didefinisikan sebagai suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berusaha dibidang pemeberian jasa professional dalam praktik akuntan publik. (IAI;2001;20000.1)

Adapun pengertian akuntan publik menurut standar profesional akuntan publik (2010), yaitu:

Seorang akuntan publik harus telah lulus dari jurusan akuntansi fakultas ekonomi atau mempunyai ijazah yang disamakan, telah mendapatkan gelar akuntan dari panitia ahli pertimbangan persamaan ijazah akuntan, dan mendapat izin praktik dari menteri keuangan.

(9)

Kegiatan utama dari KAP adalah memberikan jasa audit atas laporan keuangan yang menjadi kliennya. Sekarang ini KAP memperluas ruang lingkup dengan memberikan jasa atestasi dan jasa assurance service, beberapa diantaranya:

1) Jasa Atestasi

Jasa atestasi adalah jasa yang diberikan kepada perusahaan untuk menyusun laporan keuangan atau menerapkan software akuntansi yang baru dikarenakan ketidakmampuan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Laporan yang dihasilkan berupa compilation report dan tidak memberikan assurance pada pihak ke-3.

2) Jasa Perpajakan

KAP membantu perusahaan menangani segala hal berkaitan dengan pajak, seperti pajak hadiah, perencanaan pajak lainnya. Untuk beberapa perusahaan kecil, masalah pajak lebih penting daripada audit.

3) Konsultasi Manajemen

Jasa yang di berikan KAP untuk membantu perusahaan dalam meningkatkan efektivitas kegiatan operasionalnya.

1. Hirarki Auditor di KAP

Menurut Mulyadi dan Kanaka Puradireja (1998) dalam buku auditing, umumnya hirarki auditor dalam penugasaan audit di dalam KAP yaitu :

(10)

1) Partner

Partner menduduki jabatan tertinggi dalam penugasaan audit, bertanggung jawab atas hubungan dengan klien dan bertanggung jawab secara menyeluruh mengenai auditing. Partner menandatangani laporan audit dan management letter, dan bertanggung jawab terhadap penugasan fee dari klien.

2) Manajer

Manajer bertindak sebagai pengawas audit, bertugas untuk membantu auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit, mereview kertas kerja laporan audit dan management letter. Biasanya manajer melakukan pengawasan terhadap pekerjaan beberapa auditor senior.

3) Auditor senior

Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit yaitu bertanggung jawab untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana, bertugas untuk mengerahkan dan mereview pekerjaan auditor junior. Auditor senior biasanya akan menetap di kantor klien sepanjang prosedur audit dilaksanakan. Umumnya auditor senior melakukan audit terhadap satu objek pada saat tertentu.

(11)

Auditor junior bertugas melaksanakan prosedur audit secara rinci, membuat kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah dilaksanakan. Biasanya auditor junior melaksanakan audit di berbagai jenis perusahaan guna memperoleh pengalaman yang banyak dalam menangani berbagai masalah audit. Auditor junior sering juga disebut asisten auditor.

Hirarki ini hampir sama dengan level auditor yang dikemukakan oleh Arens dan Beasly dalam Auditing Assurance Services An Intergrated Approach.

Tabel 2.1

Level dan Tanggung Jawab Staff pada Kantor Akuntan Publik Level Staff Rata-Rata

Pengalaman

Tanggung Jawab yang Khas

Auditor pemula 0 – 2 tahun Melaksanakan sebagian besar detail-detail audit.

Senior atau auditor yang memimpin audit

2 – 5 tahun Mengkoordinasikan dan bertanggung jawab atas audit di lapangan, termasuk mengawasi dan mereview pekerjaan auditor semula.

Manajer 5 – 10 tahun Membantu auditor yang memimpin audit dalam merencanakan dan mengelola audit, mereview pekerjaan auditor penanggung jawab, serta menjaga hubungan dengan klien. Manajer dapat bertanggung jawab atas lebih dari satu pekerjaan yang bersamaan.

Rekan Lebih dari 10

tahun

Mereview keseluruhan pekerjaan audit dalam pembuatan keputusan audit yang penting. Rekan adalah pemilik perusahaan, dan ia memiliki tanggung jawab mutlak untuk melaksanakan audit dan melayani kliennya.

(12)

2.1.1.4 Prosedur Audit

Sesuai dengan standar auditing (IAI, 2001) bahwa untuk menghasilkan laporan audit yang berkualitas maka auditor harus melaksanakan beberapa prosedur audit. Prosedur audit merupakan serangkaian langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam melaksanakan audit.

Standar pekerjaan lapangan ketiga menyebutkan beberapa prosedur audit yang harus dilaksanakan oleh auditor dalam mengumpulkan berbagai tipe bukti audit. Prosedur audit adalah instruksi rinci untuk mengumpulkan tipe bukti audit tertentu yang harus diperoleh pada saat tertentu dalam audit. Prosedur audit yang disebutkan dalam standart tersebut meliputi (Mulyadi, 2002) :

1. Inspeksi

Inspeksi merupakan pemeriksaan secara rinci terhadap dokumen atau kondisi fisik sesuatu. Prosedur audit ini banyak dilakukan oleh auditor. Dengan melakukan inspeksi terhadap sebuah dokumen, auditor akan dapat menentukan keaslian dokumen tersebut.

2. Pengamatan

Pengamatan merupakan prosedur audit yang digunakan oleh auditor untuk melihat atau menyaksikan pelaksanaan suatu kegiatan. Objek yang diamati auditor adalah karyawan, prosedur, dan proses.

(13)

3. Permintaan Keterangan

Permintaan keterangan merupakan prosedur audit yang dilakukan dengan meminta keterangan secara lisan. Bukti audit yang dihasilkan dari prosedur ini adalah bukti lisan dan bukti dokumenter.

4. Konfirmasi

Konfirmasi merupakan bentuk penyelidikan yang memungkinkan auditor memperoleh informasi secara langsung dari pihak ketiga yang bebas. Disamping auditor memakai prosedur audit yang disebutkan dalam standart tersebut, auditor melaksanakan berbagai prosedur audit lainnya untuk mengumpulkan bukti audit yang akan dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. Prosedur audit ini sangat diperlukan bagi asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efisien dan efektif (Malone dan Roberts, 1996) dalam Suryanita (2007). Kualitas dari auditor dapat diketahui dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedur-prosedur audit yang tercantum dalam program audit.

2.1.2 Pengambilan Keputusan Etis (Ethical Decision Making) 2.1.2.1 Pengertian Pengambilan Keputusan Etis

Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991 dalam Sasongko Budi, 2006). Beberapa review tentang penelitian etika

(14)

(Ford dan Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et.al., 2000; Paolillo & Vitell, 2002 dalam Sasongko Budi, 2006) mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang pengambilan keputusan etis. Mereka menyatakan bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu.

Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, sifat, dan kebangsaan), sedangkan faktor faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya. Penelitian tentang pengambilan keputusan etis, telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan mulai dari psikologi sosial dan ekonomi. Beranjak dari berbagai hasil penelitian tersebut kemudian dikembangkan dalam paradigma ilmu akuntansi. Louwers, Ponemon dan Radtke (1997) dalam Sasongko Budi (2006) menyatakan pentingnya penelitian tentang pengambilan keputusan etis dari pemikiran dan perkembangan moral (moral reasoning and development) untuk profesi akuntan dengan 3 alasan, yaitu:

1. Penelitian dengan topik ini dapat digunakan untuk memahami tingkat kesadaran dan perkembangan moral auditor dan akan menambah pemahaman tentang bagaimana perilaku auditor dalam menghadapi konflik etika.

(15)

2. Penelitian dalam wilayah ini akan lebih menjelaskan problematika proses yang terjadi dalam menghadapi berbagai pengambilan keputusan etis auditor yang berbeda-beda dalam situasi dilema etika.

3. Hasil penelitian ini akan dapat membawa dan menjadi arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi akuntan.

Beberapa model penelitian etis seringkali hanya mendeskripsikan bagaimana proses seseorang mengambil keputusan yang terkait dengan etika dalam situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino, 1986 dalam Sasongko Budi, 2006). Sebuah model pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya seseorang membuat keputusan etis (ought to do), namun lebih kepada pengertian bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu sendiri. Alasannya adalah sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan keputusan yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak etis akan mungkin sangat menyesatkan (McMahon, 2002 dalam Sasongko Budi, 2006).

2.1.2.2 Model Pengambilan Keputusan Etis

Rest dalam Zeigenfuss dan Martison (2002) dalam Sasongko Budi (2006) menyatakan bahwa model pengambilan keputusan etis terdiri dari 4 (empat tahapan), yaitu:

(16)

1. Pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema etika (recognizing that moral issue exists) Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika.

2. Pengambilan keputusan etis (make a moral judgment) Pengambilan keputusan etis, yaitu bagaimana seseorang membuat keputusan etis.

3. Moral Intention

Moral Intention yaitu bagaimana seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis.

4. Moral Behavior

Moral Behavior, yaitu bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku etis atau tidak etis.

2.1.2.3 Dimensi dan Indikator Pengambilan Keputusan Etis

Menurut Jones (1991) dalam Andriyani (2004) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pengambilan keputusan etis, yaitu:

1. Isu Moral (Moral Issue)

Menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi kepada

(17)

2. Agen Moral (Moral Agent)

Agen moral adalah orang yang membuat keputusan moral walaupun mungkin orang yang bersangkutan tidak mengenali isu moral tersebut.

3. Keputusan Etis (Ethical Decision)

Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino,1986; Jones, 1991 dalam Sasongko Budi, 2006). Kemampuan dalam mengidentifikasi dan melakukan perilaku etis atau tidak etis adalah hal yang mendasar dalam profesi akuntan. Sehingga menjadi kewajiban dan tanggung jawab akuntan itu sendiri terhadap keputusan etis yang diambil.

Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgment, moral thinking), merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut.

Trevino (1986) dalam Sasongko Budi (2006) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah merupakan sebuah interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional

(18)

(person-situation interactionistmodel). Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis seseorang akan sangat tergantung kepada faktor-faktor individu (individual moderators) seperti ego strength, field dependence, locus of control dan faktor situasional seperti immediate job context, organizational culture, and characteristics of the work. Model yang diajukan Trevino (1986) dapat jelaskan yaitu, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah dilema etika maka individu tersebut akan mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal ini searah dengan pernyataan Jones (1991) dalam Sasongko Budi (2006) tentang moral issue yang ada dalam dilema etika tersebut bahwa kesadaran kognitif moral seseorang akan sangat tergantung kepada level perkembangan moral. Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut akan tergantung kepada faktor individual (pengalaman, sifat, orientasi etika dan komitmen kepada profesi) dan faktor situasional (etika organisasi).

2.1.2.4 Nilai Dasar Pengambilan Keputusan Etis

James W. Brackner, penulis “ethics Column” dalam Management Accounting, melakukan observasi sebagai berikut:

Agar pendidikan etika dan moral mempunyai arti, harus ada kesepakatan mengenai nilai-nilai yang dianggap “benar”. Sepuluh dari nilai ini di identifikasi dan dijelaskan oleh Michael Joseph dalam “Teaching Ethical Decision Making and Principled

(19)

yang kuat mengenai nilia-nilai tertentu yang bersifat universal dan abadi bagi kehidupan yang beretika.

Sepuluh nilai dasar ini yang dimaksud dalam kutipan diatas adalah sebagai berikut:

1. Kejujuran & Keterbukaan (Honesty and Transparency) 2. Integritas yang tinggi (Integrity)

3. Pemenuhuan janji (Promissory) 4. Kesetiaan (Loyalty)

5. Keadilan (justice)

6. Kepedulian terhadap sesama (Sociability) 7. Penghargaan kepada orang lain (Respectability)

8. Tanggung Jawab (Profession and Organizational Responsibilities) 9. Kerahasiaan (Secrecy)

10. Objektivitas (Objectivity)

2.1.3 Profesionalisme

2.1.3.1 Pengertian Profesionalisme

Arens et al. (2003) dalam Noveria (2006:3) mendefinisikan profesionalisme sebagai tanggung jawab individu untuk berperilaku yang lebih baik dari sekedar mematuhi undang-undang dan peraturan masyarakat yang ada. Profesionalisme juga merupakan elemen dari motivasi yang memberikan sumbangan pada seseorang agar

(20)

mempunyai kinerja tugas yang tinggi (Guntur dkk, 2002 dalam Ifada dan M. Ja’far, 2005:13). Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugas tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Sebagai seorang yang professional, auditor harus menghindari kelalaian dan ketidakjujuran.

Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi. Seorang auditor dapat dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), antara lain (Wahyudi dan Aida, 2006:28):

1. Prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi.

2. Peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu keharusan.

3. Inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya. Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus memahaminya.

4. Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar oleh kliennya.

(21)

2.1.3.2 Dimensi dan Indikator Profesionalisme

Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003:11) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009:4) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:

1. Pengabdian pada profesi

Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalahkepuasan rohani, baru kemudian materi.

2. Kewajiban sosial

Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

3. Kemandirian

Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain

(22)

(pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

4. Keyakinan terhadap peraturan profesi

Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalm bidang ilmu dan pekerjaan mereka.

5. Hubungan dengan sesama profesi

Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional.

2.1.4 Sifat Machiavellian

Paham Machiavelianis diajarkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Italia bernama Niccolo Machiavelli (1469-1527). Machiavellian adalah suatu derajat kepribadian seorang individu dimana individu memandang sesuatu menurut gunanya atau pragmatisme yang membentuk suatu emosi tersendiri (Suprihanto, 2003). Christie dan Geis (1970) dalam Purnamasari (2006) mendefinisikan machiavellianisme sebagai “sebuah proses dimana manipulator mendapatkan lebih banyak reward dibandingkan yang dia peroleh ketika tidak melakukan manipulasi,

(23)

machiavellian diekspektasikan menjadi konstruk tambahan yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku tidak etis. Individu dengan sifat Machiavellian tinggi cenderung lebih berbohong (McLaughlin,1970), kurang bermoral, dan lebih manipulatif.

Individu dengan sifat Machiavellian tinggi akan lebih mungkin melakukan tindakan yang tidak etis dibandingkan dengan individu dengan sifat Machiavellian rendah. Christie dan Geis (1970) menyatakan bahwa kepribadian Machiavellian sebagai suatu kepribadian anti sosial, yang tidak memperhatikan moralitas konvensional dan mempunyai komitmen ideologis yang rendah.

(Christine and Geis, 1970) Mendeskripsikan Kepribdian Machiavellian sebagai berikut :

1. Kurang mempunyai afeksi dalam hubungan personal, 2. Mengabaikan moralitas konvensional,

3. Memperlihatkan komitmen ideologi yang rendah,

4. Mempunyai kecenderungan untuk memanipulasi orang lain.

Kohlberg (1981) menjelaskan bahwa orientasi etika mempunyai hubungan dengan dimensi-dimensi etis seperti Machiavellianisme. Christie (1970) dalam Shafer dan Simmons (2008) maupun Christie dan Lehmann (1970) dalam Shafer dan Simmons (2008) mengidentifikasi tiga hal yang mendasari machiavellianisme, yaitu:

(24)

b. Pandangan atas manusia yang tak menyenangkan, yaitu lemah, pengecut, dan mudah dimanipulasi,

c. Kurangnya perhatian dengan moralitas konvensional.

Richmond (2001) meneliti hubungan suatu sifat yang membentuk suatu tipe kepribadian yaitu sifat Machiavellian yang diukur dengan instrumen Mach IV Score dengan kecenderungan perilaku akuntan dalam menghadapi dilema-dilema etika. Sifat Machiavellian berpengaruh pada kecenderungan akuntan untuk menerima perilaku-perilaku dilematis yang berhubungan dengan etika profesinya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan sifat Machiavellian seorang akuntan maka semakin tinggi pula kecenderungannya untuk dapat menerima perilaku atau tindakan-tindakan yang dilematis secara etis. Sifat Machiavellian ini juga diindikasikan berpengaruh secara langsung terhadap independensi auditor. Individu dengan sifat Machiavellian tinggi cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan lebih memiliki keinginan untuk tidak taat pada aturan (Ghosh dan Crain, 1996).

Ciri-ciri machiavellian (dalam purnamasari, 2006) adalah individu dengan sifat machiavellian yang tinggi cenderung bertindak tidak independen, berperilaku tidak etis dan bersifat manipulatif. Skala mach yang dikembangkan richmond (dalam chrismastuti dan purnamasari, 2004) ini mengacu pada 4 pertanyaan etis :

(25)

c. Kemoralan, d. Penghargaan.

Skala machiavellian ini menjadi proksi perilaku moral yang mempengaruhi perilaku pembuatan keputusan etis (Hegarty dan sims, 1978 dan 1979) an Trevino et al. (1985). Sehingga diekspektasikan bahwa individu dengan sifat machiavellian tinggi akan lebih mungkin melakukan tindakan yang tidak etis dibanding individu dengan sifat Machiavellian rendah. Kepribadian machiavellian sebagai suatu kepribadian antisosial yang tidak memperhatikan moralitas konvensional dan mempunyai komitmen ideologis yang rendah (Christie dan Geis, 1970).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan penulis tidak lepas dari penelitian terdahulu, karena penelitian terdahulu dapat membantu penulis dalam melakukan penelitian. Adapun penelitian-penelitian terdahulu, yaitu :

Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian Judul Variabel Hasil Penelitian

Rika Dewi Kusumawati (2008) Pengaruh Pengalaman, Komitmen Profesional, Etika Organisasi dan Gender Terhadap Pengambilan Keputusan Etis Pengalaman, Komitmen Profesional, Etika Organisasi, Gender Pengalaman audit berpengaruh secara negatif dan tidak signifikan terhadap pengambilan keputusan etis auditor. Komitmen profesional dan etika berpengaruh secara positif

(26)

Auditor walaupun gender tidak signifikan terhadap pengambilan keputusan etis auditor. Novanda Friska (2012) Pengaruh Profesionalisme Auditor, Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Profesionalisme, Etika Profesi, Pengalaman audit Profesionalisme Auditor, Etika Profesi dan

Pengalaman secara bersama-sama

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas. St. Vena Purnamasari, SE.,MSi (2006) Sifat Machiavellian dan Pertimbangan Etis: Anteseden Independensi dan Perilaku Etis Auditor Sifat Machiavellian, Perilaku Etis Auditor, Pertimbangan Etis, Independensi Sifat Machiavellian berhubungan negatif dengan independensi dan perilaku etis auditor Independensi auditor berhubungan dengan perilaku etis auditor

2.3 Kerangka Pemikiran

Profesi akuntan publik merupakan sebuah profesi kepercayaan masyarakat bisnis, dimana eksistensinya dari waktu kewaktu semakin diakui oleh masyarakat bisnis itu sendiri. Dari profesi akuntan publik masyarakat mengharapkan penilaian bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan. Akuntan publik dalam menjalankan profesi diatur oleh suatu kode etik akuntan publik yang merupakan tatanan etika dan prinsip

(27)

profesi, dan dengan masyarakat. Dengan berpegang pada kode etik, akuntan publik dapat memberikan keyakinan kepada klien, pemakai laporan keuangan, atau masyarakat yang tentang kualitas jasa yang diberikan karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana diatur dalam kode etik. Namun demikian, dalam menjalankan profesinya akuntan publik sering kali mengalami dilema etis, karena harus memahami keinginan klien yang membayar fee untuk pekerjaan profesional yang telah diberikan dan menghadapi tuntutan masyarakat untuk memberikan laporan yang dapat diandalkan. Memenuhi tuntutan klien berarti melanggar standar pemeriksaan dan kemungkinan mendapatkan imbalan manfaat, namun dengan tidak memenuhi tuntutan klien akan mendapatkan tekanan, baik berupa penghentian penugasan, atau tekanan lainnya. Akuntan publik dihadapkan kepada pilihan pengambilan keputusan etis atau tidak etis.

Pengambilan keputusan etis adalah merupakan sebuah interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional (person-situation interactionist model) Trevino (1986) dalam Sasongko Budi (2006). Dia menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan etis atau tidak etis, perilaku auditor dipengaruhi oleh faktor individu (faktor internal) seperti profesionalisme, sifat machiavellian, dll serta faktor situasional saat melakukan audit (faktor eksternal). Dari uraian di atas maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut :

(28)

Keterangan : X1 Profesionalisme X2 Sifat Machiavellian

Y Pengambilan Keputusan Etis Auditor = Garis Pengaruh

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Profesionalisme terhadap Pengambilan Keputusan Etis Auditor Profesionalisme merupakan salah satu variabel individu yang diduga dapat digunakan untuk memprediksi perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh seorang individu. Arens et al. (2003) dalam Noveria (2006:3) mendefinisikan profesionalisme sebagai tanggung jawab individu untuk berperilaku yang lebih baik dari sekedar mematuhi undang-undang dan peraturan masyarakat yang ada. Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan

Profesionalisme

Sifat Machiavellian

Pengambilan Keputusan Etis Auditor

(29)

merupakan pengorbanan pribadi (Arens, 1997 dalam Lina Marhadi, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Rika Dewi Kusumastuti (2008) menjelaskan bahwa auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang saling berlawanan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Dengan begitu, orang yang memiliki sikap profesional akan lebih dilandasi oleh kode etik profesi dan standar pemeriksaan, sehingga auditor dapat mengambil keputusan secara etis. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sasongko Budi (2006), yang menyatakan bahwa auditor harus memiliki sikap profesionalisme untuk dapat mengerti dan peka akan adanya masalah etika dalam profesinya yang dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesinya, lingkungan organisasi atau tempat ia bekerja serta pengalaman pribadinya. Semakin tinggi kemampuan seorang profesional, maka akan bertanggungjawab terhadap profesinya, kepada masyarakat, dan dirinya sendiri untuk berkelakuan etis yang baik. Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesis yang di usulkan adalah :

H1 : Profesionalisme berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis

auditor

2.4.2 Pengaruh Sifat Machiavellian terhadap Pengambilan Keputusan Etis Auditor

Machiavellianisme didefinisikan sebagai sebuah proses dimana manipulator mendapatkan lebih banyak banyak reward dibandingkan yang dia peroleh ketika

(30)

tidak melakukan manipulasi, etika orang lain mendapatkan lebih kecil, minimal dalam jangka pendek (Crishtine dan Geiss dalam purnamasari, 2006). Dengan adanya definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki Machiavellian tinggi akan berperilaku tidak etis, dalam hal ini adalah melakukan perbuatan yang melanggar standar pemeriksaan. Hal itu disebabkan karena ia ingin mendapatkan sesuatu demi kepentingannya sendiri tanpa peduli apakah ia melanggar atau tidak. Dalam penelitian yang dilakukan Purnamasari (2006) dimana penelitian tersebut menyatakkan bahwa auditor yang memiliki sifat Mchiavellian yang tinggi akan cenderung menyetujui penyimpangan terhadap independensi dan cenderung berperilaku tidak etis.

H2 : Sifat machiavellian berpengaruh signifikan terhadap pengambilan

Gambar

Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah adalah variabel modal tetap, modal operasional, jam kerja, lama usaha, dan lokasi dalam penelitian ini modal sangat

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukana oleh Hiro Tugiman ( 1997;17 ) bahwa profesionalisme auditor internal adalah sebagai berikut : kesesuaian

Dari data hasil pengujian dianalisa korelasi antara pengamatan mikrostruktur terhadap sifat mekanik yang terjadi pada material komposit Al/SiC yang mengalami pelapisan oksida

Peserta tidak diperbolehkan masuk ke Schoology setelah 10 menit tes dimulai (Panitia akan mengeluarkan peserta yang sudah terlambat 10 menit ke atas) - jadi

Perlu dibuat standar prosedur operasional (SPO) kelengkapan pengisian resume medis 24 jam setelah selesai pelayanan, perlu melakukan koordinasi antara bagian keuangan

Apabila seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik maka akan menciptakan nilai tambah bagi perusahaan sehingga dapat meningkatkan

Sedangkan menurut penulis yaitu setelah melakukan praktek laut atau prola di kapal MT.Sengeti selama satu tahun, pesawat bantu fresh water generator adalah salah

No Judul Jenis Karya Penyelenggara/ Penerbit/Jurnal Tanggal/ Tahun Ketua/ Anggota Tim Sumber Dana Keterangan 1 NA NA NA NA NA NA NA GL. KEGIATAN