• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi - USD Repository"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

i

UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI

IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR

KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Sunarsi NIM: 081124039

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

(5)

v MOTTO

(6)
(7)

vii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul:”UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI: IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI” dengan latar belakang bahwa upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para anggotanya; sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian.

Spiritualitas kongregasi yang diwariskan oleh pendiri kepada generasi penerusnya dapat mengalami perubahan maupun berkurang bahkan bisa hilang karena perubahan zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri pada masa kini agar nilai-nilai spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri ini dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.

Fokus penelitian ini adalah upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang dilakukan oleh Kongregasi SFS beserta hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tempat penelitian di biara-biara cabang SFS di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Responden dipilih secara purposive sampling dengan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen.

Dari hasil wawancara kepada para responden disimpulkan bahwa pemahaman dan pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri kongregasi masih sesuai dengan yang diharapkan oleh para pendahulu. Para responden juga memahami perkembangan konteks komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan yang sedang nge-trend sekarang ini. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri kongregasi yang telah dilakukan selama ini membawa kemajuan dalam hidup persaudaraan, hidup rohani, dan karya pelayanan. Sedangkan implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS memberikan peluang sekaligus tantangan.

(8)

viii ABSTRACT

This thesis entitles:”AN EFFORT TO CONTEXTUALIZE THE SPIRITUALIYT OF THE FOUNDER ITS IMPLICATION FOR THE FORMATION OF JUNIOR SISTERS OF FRANSISCAN OF SUKABUMI.” Its background is the effort to deepen the spirituality conducted by SFS Congregation has not been enough to motivate, to encourage and to inspire its members; thus encouraging the writer to do this research.

The spirituality of the congregation inherited by the founder to the next generation might be changed or diminished even be lost because of the change of the era. Therefore, it takes an effort to contextualize the spirituality of the founder at present so that spiritual values remain actual and relevant. An effort to contextualize spirituality of the founder is limited to the field of communication, culture, psychology, education, and leadership.

The focus of this research is an effort to contextualize spirituality of the founder that has been done by the SFS Congregation and its results. This research is a qualitative research. The research took place at SFS communities in Central and West Java. Respondents were selected purposively sampling with snowball sampling technique. Data was collected through interviews, observation and document studies.

By these respondents’ interviews can be concluded that the understanding and realization of spiritual based on the founder of the congregation is still as expected as its predecessors. The respondents also understand that the context of the development of communication, culture, psychology, education, and leadership is a today’s trend. The effort to contextualize the spirituality of the founder that has been done this far, brings progress in fraternity, spiritual life, and caritative service. While the implications for the formation of junior sisters of SFS Congregation provide opportunities and challenges.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan rahmat-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI”. Skripsi ini ditulis dengan latar belakang kepedulian atas keprihatinan para Ibu Komunitas dan Penanggungjawab Karya yang bertanggungjawab atas pendampingan para suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi yang mengeluhkan tentang adanya perbedaan atau menurunnya daya juang dalam penghayatan spiritualitas Kongregasi bagi para suster yunior. Keprihatinan ini mendorong penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri Kongregasi hingga di zaman sekarang yang terus berubah.

Penulis menghaturkan limpah terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini hingga selesai, yakni:

1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ selaku Kepala Program Studi IPPAK-FKIP-Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan peneguhan selama penulisan skripsi ini.

(11)

xi

3. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M.Pd., selaku pembimbing utama yang telah dengan sabar dan setia menyumbangkan pemikiran, mengarahkan, membimbing dan senantiasa menyemangati serta mendukung penulis untuk senantiasa tekun dalam proses penulisan skripsi ini, yang diharapkan berguna untuk pembelajaran dalam melakukan evaluasi dalam berbagai bidang di masa depan demi Kongregasi yang saya cintai agar tetap eksis dan mempertahankan nilai-nilai spiritualitas Pendiri Kongregasi dalam arus zaman yang terus berubah.

4. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar dan teliti memberikan bantuan pemikiran serta senantiasa meneguhkan penulis pada waktu mengalami kejenuhan selama penulisan skripsi ini.

5. Rm. Dr. C. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing ketiga sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan dengan sabar telah mendengarkan serta memahami pergulatan penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

6. Para staf dosen dan karyawan IPPAK yang selalu menyemangati dan senantiasa siap-sedia membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini. 7. Staf karyawan perpustakaan IPPAK dan Kolsani yang telah begitu murah hati

memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjam buku-buku yang penulis butuhkan selama penulisan hingga selesainya skripsi ini.

(12)

xii

9. Secara khusus penulis berterimakasih kepada para suster yang telah bersedia menjadi responden penelitian sehingga penulis memperoleh informasi dalam penulisan skripsi ini.

10.Teman-teman seangkatan tahun 2008 dan rekan-rekan mahasiswa IPPAK yang selalu memberi peneguhan untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Para suster OSF Semarang di komunitas Senopati yang telah menyediakan segala fasilitas selama penulis tugas studi hingga penulisan skripsi ini selesai. 12.Rekan-rekan suster yang saya cintai, yang pernah tinggal bersama di

komunitas Inviolata di komunitas para suster OSF Semarang di komunitas Senopati yang telah memberikan perhatian, doa dan dukungan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka kepada semua pihak yang berkenan memberikan saran dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 21 November 2012

Penulis

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SUSUNAN PANITIA PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... ix

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xxiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG PENULISAN ... 1

B. IDENTIFIKASI MASALAH ... 6

C. PEMBATASAN MASALAH ... 7

D. RUMUSAN MASALAH ... 8

E. TUJUAN PENULISAN ... 8

F. MANFAAT PENULISAN ... 9

G. METODE PENULISAN ... 9

H. SISTEMATIKA PENULISAN ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN ... 11

A. SPIRITUALITAS PENDIRI KONGREGASI SUSTER- SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI ... 11

1. Spiritualitas dan Karisma... ... 11

(14)

xiv

di Indonesia ... 15

4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi 16 a. Pengungsian bagi yang menderita ... 17

b. Doa dan kontemplasi... 17

h. Kegembiraan Fransiskan ... 19

5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 19

a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 19

b. Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 20

c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 20

B. KONTEKS ... 20

c. Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme? ... 28

b. Faktor-faktor Pendidikan ... 35

(15)

xv

5. Kepemimpinan ... 39

a. Pengertian Kepemimpinan ... 39

b. Trend Kepemimpinan Masa Kini ... 41

C. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PEMBINAAN ... 45

1. Bidang Komunikasi ... 45

a. Strength (Kekuatan) ... 45

b. Weakness (Kelemahan) ... 45

c. Opportunity (Peluang) ... 45

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 46

2. Bidang Kebudayaan ... 46

a. Strength (Kekuatan) ... 46

b. Weakness (Kelemahan) ... 47

c. Opportunity (Peluang) ... 47

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 48

3. Bidang Psikologi ... 48

a. Strength (Kekuatan) ... 48

b. Weakness (Kelemahan) ... 49

c. Opportunity (Peluang) ... 49

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 49

4. Bidang Pendidikan ... 50

a. Strength (Kekuatan) ... 50

b. Weakness (Kelemahan) ... 50

c. Opportunity (Peluang) ... 50

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 51

5. Bidang Kepemimpinan ... 51

a. Strength (Kekuatan) ... 51

b. Weakness (Kelemahan) ... 51

c. Opportunity (Peluang) ... 52

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 52

D. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI ... 53

(16)

xvi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 64

A. JENIS PENELITIAN ... 64

E. PENGEMBANGAN INSTRUMEN ... 69

1. Uji Validitas, Reliabilitas dan Objektivitas... 69

a. Uji Validitas ... 69

a. Situasi umum komunitas-komunitas cabang Kongregasi SFS ... 71

b. Latar belakang responden ... 73

2. Temuan Khusus ... 73

a. Pemahaman responden mengenai spiritualitas pendiri ... 73

(17)

xvii

2) Pemahaman para responden mengenai spiritualitas

pengendalian diri ... 74

3) Pemahaman responden mengenai spiritualitas cinta kasih yang melayani ... 75

b. Konteks trend masa sekarang menurut para responden... .. 75

1) Trend komunikasi sekarang menurut para responden ... 75

2) Trend kebudayaan sekarang menurut para responden ... 77

3) Trend psikologi sekarang menurut para responden... 79

4) Trend pendidikan sekarang menurut para responden ... 79

5) Trend kepemimpinan sekarang menurut para responden ... 83

c. Pengalaman pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri ... 85

1) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas ulah tapa dan hasilnya ... 86

2) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas pengendalian diri beserta hasilnya ... 89

3) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas cinta kasih yang melayani beserta hasilnya .... 94

d. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang telah dilakukan oleh Kongregasi SFS ... 98

3. Validasi Pendapat Responden Mengenai Upaya Kontekstualisasi Spiritualitas Pendiri ... 103

B. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN.... ... 105

1. Pemahaman Spiritualitas Ulah Tapa, Pengendalian Diri dan Cinta Kasih yang Melayani ... 105

2. Trend Komunikasi ... 105

3. Trend Budaya ... 107

4. Trend Psikologi ... 108

5. Trend Pendidikan ... 109

6. Trend Kepemimpinan... 110

(18)

xviii

8. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Pengendalian Diri

Beserta Hasilnya ... 114

9. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Cinta Kasih Beserta Hasilnya ... 117

10.Upaya Kontekstualisasi Spiritualitas Pendiri Yang Telah Dilakukan Oleh Kongregasi SFS Beserta Hasilnya ... 120

C. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SFS ... 120

1. Pembinaan ... 120

2. Pembina ... 121

3. Formandi ... 123

4. Tujuan Pembinaan Religius ... 123

5. Pertumbuhana Religius yang Diharapkan ... 124

6. Usulan Program Pembinaan ... 126

6) Spiritualitas Pendiri ... 130

b. Usulan Tema dan Tujuan Pembinaan ... 130

c. Penjabaran Program ... 132

d. Pengertian Katekese Umat dan Model Katekese Shared Christian Praxis (SCP) ... 135

e. Contoh Satuan Program ... 136

D. KETERBATASA PENELITIAN ... 149

(19)

xix

B. SARAN ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 157 LAMPIRAN ... 160 Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada

Pimpinan Umum (I) ... (1) Lampiran : Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada

Pimpinan Umum (II) ... (2) Lampiran : Surat Ijin Permohonan Penelitian

(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci Pkh : Pengkotbah Mat : Matius Mrk : Markus Yoh : Yohanes B. Singkatan Dokumen Gereja

PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.

C. Singkatan lain

AD : Anggaran Dasar

ATMI : Akademi Tehnik Mesin Indonesia art : artikel

BB : Black Berry BOZ : Bergen op Zoom

BPSDMP & PMP : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidik

CSA : Congregatio Sancti Aloysii CTL : Contextual Teaching and Learning dll. : dan lain-lain

(21)

xxi fax : fax-email

FCh : Kongregasi Fransiskanes Charitas

FSE : Kongregasi Fransiskanes Santa Elizabeth hal : halaman

HAM : hak asasi manusia HP : Hand Phone

IFT : Institut Filsafat dan Teologi IPA : Ilmu Pengetahuan Alam

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IT : Ilmu Teknologi

IQ : Intelligence Quotient

KLMTD : kecil lemah miskin tersingkir dan difabel KMI : Konsultasi Multi Intellegen

Komkat : Komisi kateketik Konst. : Konstitusi

KPR : Kursus Pembina Religius

KSFL : Kongregasi Suster Fransiskanes Santa Lusia KWI : Konferesi Wali Gereja Indonesia

LCD : Liquid Crystal Display MA : Majelis Agung

MPK : Majelis Pendidikan Katolik OFM : Ordo Fratrum Minorum

(22)

xxii PS : play station

psl : pasal

PUSKAT : Pusat Kateketik Rp : Rupiah

RPA : Rapat Paripurna Anggota

RSBI : Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SCP : Shared Christian Praxis

SDM : Sumber Daya Manusia SFS : Suster Fransiskan Sukabumi Sisdiknas : Sistem Pendidikan Nasional SJ : Societas Jesu

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sms : short message service

SP : Satuan Program

SPG : Sekolah Pendidikan Guru SQ : Spiritual Quotient

Sr : Suster

TIK : Teknologi Ilmu dan Komunikasi TV : Televisi

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab I ini, penulis menguraikan tentang latar belakang penulisan,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

A. LATAR BELAKANG PENULISAN

Pembinaan merupakan hal terpenting dalam rangka pembentukan para calon

selibater dalam sebuah perhimpunan religius. Dalam masa pembinaan atau

formasi itulah nilai-nilai keutamaan Kristiani maupun spiritualitas pendiri serta

tradisi sehat yang diwariskan oleh para pendahulu dalam kongregasi ditanamkan

kepada setiap calon sehingga para calon dapat mengenal dan diharapkan mampu

mewujudkannya dalam kehidupan serta tugas pelayanannya, sesuai dengan situasi

zaman.

Religius muda merupakan harapan kongregasi di masa mendatang bagi setiap

perhimpunan religius. Para religius muda yang sering disebut para yunior yakni

mereka yang telah mengucapkan profesi sementara selama enam tahun, tetapi

dalam hal-hal khusus Pemimpin Umum dapat memperpanjang waktu, namun

tidak lebih dari tiga tahun (Konst. 2000: pasal 96). Para yunior diharapkan dapat

mengembangkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi, setelah mereka

mengalami formasi, khususnya setelah mengalami pembentukan selama masa

(24)

Namun dari hasil refleksi seluruh anggota Kongregasi SFS selama pra

kapitel, dari bidang kerja persaudaraan, karya, pembinaan dan kepemimpinan;

disimpulkan oleh kelompok bidang kerja spiritualitas bahwa upaya-upaya

pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh kongregasi belum cukup

memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk

hidup sesuai dengan spiritualitasnya (Gerarda, 2012: 27). Di samping itu,

akhir-akhir ini sering terdengar keluhan dari para religius yang lebih senior mengenai

perbedaan yang mencolok dalam hal daya juang serta perwujudan penghayatan

nilai-nilai luhur spiritualitas Kongregasi dari para calon di zaman sekarang ini.

Terjadinya perbedaan daya juang dalam penghayatan dan perwujudan

nilai-nilai spiritualitas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam

diri para yunior sendiri maupun faktor dari luar. Faktor dari dalam diri para yunior

antara lain, kurang bisa menyeimbangkan antara tugas studi dengan tugas

pelayanan dalam persaudaraan maupun pastoral. Prioritas pada prestasi akademik

dalam tugas studi bisa menyebabkan kurangnya penghayatan dan perwujudan

nilai-nilai rohani. Banyaknya tuntutan tugas dalam karya bagi para yunior yang

ditempatkan di unit-unit karya bisa juga menjadi penyebab dalam

ketidakseimbangan antara penghayatan nilai-nilai rohani dalam hidup konkret

sehari-hari.

Selain itu, bimbingan pribadi yang tidak selalu dapat dilakukan oleh para

yunior karena berbagai alasan, seperti jarak yang ditempuh cukup jauh antara

(25)

maupun karya, baik dari pihak yunior maupun formator. Formator di sini adalah

suster yang menjadi pembina, sedangkan yang dibina disebut formandi.

Kurangnya keterbukaan dari pihak para yunior dalam bimbingan pribadi

kepada para formator tentu juga mempengaruhi proses pembentukan dalam upaya

internalisasi nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi. Seringkali terjadi yunior

lebih terbuka dengan rekan suster yunior yang lain daripada dengan pembimbing

atau formator karena berbagai alasan, baik karena rasa sungkan, kurang percaya,

trauma pengalaman relasi pribadi dengan pembimbing, dan lain sebagainya.

Sedangkan faktor dari luar antara lain, keterbatasan keterampilan dan

kemampuan para formator dalam membantu perkembangan psikologi para suster

yunior, perbedaan budaya yang mempengaruhi pembentukan karakter seseorang

membutuhkan kemampuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dalam proses

pembinaan sehingga dapat saling menemukan maksud dan tujuan dari setiap

materi pembinaan yang dikomunikasikan.

Dibutuhkan pula suasana dan kepemimpinan dalam komunitas biara yang

kondusif dalam pembinaan akan membantu perkembangan dan penghayatan

nilai-nilai hidup rohani dan manusiawi bagi para yunior. Pembinaan tidak terlepas dari

pendidikan atau pedagogi. Maka pihak kongregasi perlu menentukan program

pendampingan bagi para suster yunior untuk bisa mengalami perkembangan

dalam hidup rohani, baik mengenai dogma Gereja maupun nilai-nilai rohani yang

diwariskan oleh pendiri kongregasi.

Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, aneka bentuk pola hidup

(26)

yang terjadi di negara kita dapat juga menjadi faktor dari luar diri para yunior

yang bisa menjadi hambatan dalam proses pembentukan seorang religius muda

(Caesilia, 2012: 7). Tantangan dan hambatan itu tidak dapat dihindari, yang dapat

dilakukan adalah menerima dan menyikapinya secara bijaksana; untuk itu

diperlukan daya juang dan tekad yang kuat agar hidup religius yang dijalani

semakin dapat menghadirkan kebaikan Yesus sendiri, yang diistilahkan dengan

menghadirkan Kerajaan Allah, sesuai dengan kekhasan spiritualitas kongregasi.

Daya juang dan tekad yang kuat dapat juga memperlihatkan kualitas hidup

religius itu sebagai kesaksian hidupnya (Caesilia,2012: 3).

Dalam Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS), proses pembinaan ini

merupakan tanggungjawab seluruh anggotanya, di samping itu Kongregasi telah

memilih orang-orang yang secara khusus dan resmi untuk mengemban tugas ini.

Mereka adalah para formator, pimpinan komunitas dan pimpinan karya, yang

secara resmi ditunjuk oleh Pemimpin Umum. Formator pada masing-masing

tahap pembinaan memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan dalam

mendampingi formandi, demikian juga pimpinan komunitas dan pimpinan karya.

Dalam proses pembinaan para formator dan seluruh anggota dibantu dengan

sarana yang dimiliki oleh Kongregasi. Sarana dalam proses pembinaan itu adalah:

Arah Dasar Pendidikan SFS, Pedoman Pembinaan SFS, Konstitusi SFS, Kitab

Suci, Ajaran Gereja, Buku-buku Sejarah Kongregasi, Tradisi-tradisi sehat dalam

Kongregasi. Kongregasi telah menyelenggarakan berbagai program pembinaan

untuk mengupayakan penghayatan nilai-nilai spiritualitas pendiri melalui

(27)

kepada formator yunior, pemimpin komunitas maupun pimpinan karya bagi para

yunior yang sedang magang dalam karya pelayanan. Melalui sarana yang ada

diharapkan tujuan pembinaan dapat tercapai.

Dekrit Perfectae Caritatis (PC), tentang pembaharuan dan penyesuaian

hidup religius, artikel 2.b, menyatakan:

“Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat.”

Menurut Jacobs (1989: 1, 7), memelihara semangat Pendiri bukan berarti

para anggota kongregasi kembali pada situasi di mana pendiri berada pada masa

hidupnya, melainkan semangat pendiri tersebut tetap menjadi inspirasi yang

mendasari baik secara historis maupun aktual. Maka dari itu, spiritualitas pendiri

bisa terus-menerus berubah. Yang tidak bisa berubah adalah kharisma pribadi,

maka bagaimana setiap anggota kongregasi menyamakan kharismanya dengan

spiritualitas pendiri sehingga menjadi spiritualitas kongregasi.

Karisma Kongregasi SFS terdapat pada Konstitusi Tarekat Suster-suster

Fransiskan Sukabumi tahun 2000 pasal 3, yang menyatakan:

“Suster-suster Fransiskan Sukabumi mengikuti Anggaran Dasar Regular Santo Fransiskus dari Assisi yang telah disahkan oleh Paus Yohanes II, 08 Desember 1982, sesuai dengan kharisma khas Tarekat: Semangat doa dan kontemplasi, ulah tapa dan pengendalian diri, pelepasan dari hal-hal duniawi, ketaatan dan kerendahan hati, cintakasih yang melayani dan pengorbanan diri, kegembiraaan Fransiskan dan pengungsian bagi yang berkesusahan.”

Karisma ini merupakan nilai-nilai rohani yang diwariskan oleh pendiri yang

(28)

berubah. Dengan demikian, kekhasan spiritualitas yang telah dihayati oleh pendiri

menjadi kekhasan spiritualitas kongregasi. Namun untuk mengalirkan spiritualitas

dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi, tentulah akan ada yang berubah;

bahkan mungkin bisa terjadi menjadi berkurang dan bahkan mungkin juga hilang.

Oleh karena itu, diperlukan upaya kontekstualisasi penanaman nilai-nilai

spiritualitas pendiri, dengan harapan kongregasi tidak akan kehilangan kekhasan

spiritualitasnya di arus zaman yang terus berubah ini.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi

sebagai berikut:

1. Upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama

ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para suster

Fransiskan Sukabumi untuk hidup sesuai dengan spiritualitasnya.

2. Adanya keluhan dari para religius yang lebih senior mengenai perbedaan yang

mencolok dalam hal daya juang serta perwujudan penghayatan nilai-nilai

luhur spiritualitas kongregasi dari para calon di zaman sekarang ini.

3. Para yunior kurang bisa menyeimbangkan antara tugas studi dengan tugas

pelayanan dalam persaudaraan maupun pastoral yang menyebabkan

kurangnya penghayatan dan perwujudan nilai-nilai rohani.

4. Banyaknya tuntutan tugas dari unit karya bagi para yunior yang menyebabkan

ketidakseimbangan antara penghayatan nilai-nilai rohani dalam hidup konkret

(29)

5. Bimbingan pribadi yang tidak selalu dapat dilakukan secara rutin oleh para

yunior.

6. Kurangnya keterbukaan dari pihak para yunior dalam bimbingan pribadi

kepada para formator.

7. Keterbatasan keterampilan dan kemampuan para formator dalam membantu

proses pembentukan yunior.

8. Suasana dan kepemimpinan dalam komunitas biara yang kurang kondusif.

9. Pola hidup yang serba instan, hedonisme, konsumerisme, situasi sosial

ekonomi dan politik.

C. PEMBATASAN MASALAH

Dari identifikasi masalah di atas dapat diketahui bahwa upaya pendalaman

spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup

memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk

hidup sesuai dengan spiritualitasnya. Perbedaan penghayatan spiritualitas pendiri

antara generasi tua dengan generasi muda merupakan fenomena yang dapat

dimungkinkan oleh kurangnya kontekstualisasi spiritualitas pendiri dalam situasi

masa kini. Oleh karena itu, permasalahan dibatasi pada:

1. Bagaimana karisma spiritualitas pendiri pada masa itu?

2. Bagaimana spiritualitas pendiri dikontekstualisasikan di masa sekarang ini dan

di masa mendatang?

3. Bagaimana implikasi spiritualitas pendiri bagi pembinaan suster-suster yunior

(30)

4. Apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitas dalam mendukung

pembinaan yunior?

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah ditetapkan tersebut yang perlu

diteliti adalah aktualisasi spiritualitas pendiri dalam konteks zaman sekarang,

maka masalah penulisan dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri dan implikasinya bagi

pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS?

E. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menemukan kembali nilai-nilai spiritualitas pendiri yang dihayati pada

masa hidupnya.

2. Untuk melihat kembali upaya yang telah dilakukan oleh kongregasi selama ini

dalam mengembangkan spiritualitas pendiri kongregasi sesuai dengan situasi

zaman sekarang ini.

3. Untuk menemukan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri di masa

sekarang dan mendatang.

4. Untuk menemukan cara-cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan dalam

upaya menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kepada para calon di masa

(31)

F. MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Membantu anggota Kongregasi SFS untuk memahami dan

mengkomunikasikan serta mewujudkan nilai-nilai spiritualitas pendiri di masa

sekarang ini.

2. Memberikan masukan kepada Pimpinan Umum Kongregasi SFS beserta

Dewannya, serta Tim Komisi Spiritualitas Kongregasi SFS untuk menggali

lebih lanjut mengenai nilai-nilai spiritualitas pendiri sesuai dengan situasi

zaman sekarang.

3. Membantu para formator SFS dalam proses pembinaan dalam upaya

menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kepada para calon anggota

kongregasi sesuai dengan jenjang pembinaannya, khususnya masa yuniorat.

G. METODE PENULISAN

Metode penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis dengan studi pustaka

dan penelitian kualitatif untuk memperoleh gambaran mengenai upaya

kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster

yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Gambaran umum mengenai penulisan ini akan penulis uraikan dalam lima

(32)

Bab I : berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang penulisan,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika

penulisan.

Bab II: berisi kajian pustaka dan fokus penelitian yang menguraikan spiritualitas

pendiri Kongregasi Suster-suster Fransiskan Sukabumi, yang meliputi:

spiritualitas dan kharisma, riwayat pendiri Kongregasi Suster Bergen op

Zoom, sejarah berdirinya Kongregasi SFS, spiritualitas pendiri

Kongregasi SFS dan visi, misi serta tujuan Kongregasi SFS; konteks

yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi,

pendidikan, dan kepemimpinan; peluang dan tantangan dalam

pembinaan, kontekstualisasi spiritualitas pendiri, penelitian relevan serta

fokus penelitian.

Bab III: berisi metodologi penelitian yang meliputi: jenis penelitian, tempat dan

waktu penelitian, responden penelitian dan teknik pengambilan sampel,

instrumen penelitian, teknik dan alat pengumpulan data, serta

pengembangan instrumen.

Bab IV: berisi hasil temuan dan pembahasan upaya kontekstualisasi spiritualitas

pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi

SFS, berdasarkan metodologi penelitian yang telah diuraikan pada bab

III.

(33)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN

Pada bab II ini dipaparkan mengenai kajian pustaka yang terdiri dari

spiritualitas pendiri Kongregasi SFS yang meliputi: spiritualitas dan kharisma,

riwayat pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom, sejarah berdirinya

Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia, spiritualitas pendiri

kongregasi dan visi, misi serta tujuan Kongregasi SFS; konteks yang dibatasi pada

bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan;

peluang dan tantangan dalam pembinaan, kontekstualisasi spiritualitas pendiri,

penelitian relevan, serta fokus penelitian.

A. SPIRITUALITAS PENDIRI KONGREGASI SUSTER-SUSTER

FRANSISKAN SUKABUMI

1. Spiritualitas dan Karisma

Jacobs (1989: 3) berpendapat bahwa hanya ada satu spiritualitas, yaitu

spiritualitas Kristiani. Kita sama-sama milik Kristus. Dibaptis dalam Kristus,

digerakkan oleh Roh Kudus menuju Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.

Tetapi masing-masing orang menghayati imannya menurut kepribadian dan latar

belakang, kekhususan dan keunikannya sendiri. Maka ada sekelompok orang yang

menghayati iman Kristiani, yang memiliki ciri yang khas yang membedakan

dengan kelompok-kelompok yang lain. Kekhasan penghayatan iman Kristiani

(34)

Jacobs (1989: 1-2) menjelaskan bahwa kata spiritualitas berasal dari kata

Perancis, spiritualité yang berarti cara atau gaya hidup. Kata spiritualitas dari kata

spiritus, yang berarti roh. Jadi, kata spiritualis berarti orang yang digerakkan oleh

Roh Kudus. Pengertian spiritualis dalam bahasa Yunani: pneumatikos berarti

kharismatis. Yang artinya orang yang digerakkan oleh Roh. Yang khas dari orang

pneumatikos itu ialah, bahwa mereka orang yang spontan digerakkan oleh Roh

dan agak menyimpang dari yang biasa-biasa. Jadi, yang khas untuk pneumatisi

justru bahwa mereka tidak terikat pada lembaga, pada institusi, pada organisasi.

Selalu merupakan suatu gerakan bebas dalam Gereja. Spiritualitas selalu suatu

proses. Spiritualitas adalah sesuatu yang dinamis, yang berkembang. Maka

spiritualitas awal harus selalu diceritakan kembali. Kalau seseorang tertarik pada

suatu ordo atau kongregasi, hal itu berarti bahwa dia merasa cita-cita rohaninya

sendiri cocok dengan kelompok ini. Dan kalau dia betul-betul sudah terintegrasi

ke dalam ordo atau kongregasi, dia ikut menentukan spiritualitas. Setiap orang

berpartisipasi pribadi dalam spiritualitas kongregasi karena menghayati kharisma

secara pribadi.

Spiritualitas sangat tergantung dari situasi dan kondisi, sehingga setiap ordo

atau kongregasi mempunyai wajah yang berbeda dengan wajah cabang-cabang

lain di lain negara. Tetapi kita semua mempunyai dasar yang sama. Dan dalam

kharisma kita mempunyai dasar untuk berkomunikasi satu dengan yang lain.

(35)

Jacobs (1989: 4) menjelaskan bahwa yang pokok adalah karisma. Kata

karisma berasal dari bahasa Yunani yang berarti rahmat khusus. Rahmat khusus

atau karisma itu tentu dasar untuk kecocokan spiritualitas pendiri kongregasi.

Menurut Jacobs (1989: 8) karisma adalah sesuatu yang datang dari dalam,

dari Roh, dan dikembangkan dari dalam. Sedikit banyak lepas dari peraturan dan

ketetapan institusionalisasi, dan lain sebagainya. Maka segala hal yang

menyangkut karisma dan spiritualitas harus bersifat antusias, gembira dan

bersemangat. Oleh karena itu, bimbingan rohani khususnya kepada angkatan

muda harus stimulatif, dorongan, memberi semangat dan bukan menegur yang

tidak ada gunanya.

2. Riwayat Pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom

Menurut Eddy Kristiyanto (2009: 117-119), pendiri Kongregasi Suster

Fransiskan Sukabumi adalah Moeder Rosa de Bie, yang hidup tahun 1806-1851.

Beliau lahir di Antwerpen, Belgia, pada tanggal 3 April 1806; dengan nama,

Elisabeth de Bie, sebagai putri sulung dari pasangan suami-isteri, Bapak

Cornelius de Bie dan Ibu Petronella de Roek.

Pada usia ke-28 tahun, Rosa de Bie masuk biara Peniten Rekolek di Breda

pada tanggal 12 Desember 1834, dan menerima jubah biara pada tanggal 18

Pebruari 1835, dengan nama biara Suster Maria Rosa dari Aloysius.

Mengucapkan profesi religius pada tanggal 29 Pebruari 1836, ia tinggal di rumah

cabang pertama di Oosterhout. Kemudian ditugaskan sebagai kepala Rumah Sakit

(36)

Pada tanggal 21 November 1937, dalam koran Bredasche terdapat iklan yang

membutuhkan seorang Direktur, dengan syarat tidak menikah atau seorang janda,

dan berumur tidak kurang dari 30 tahun serta memiliki kemampuan dan terampil

melaksanakan tugas ke-rumah-tanggaan dan perawatan orang sakit (Kongregasi

SFS, 2005: 68-70). Suster Rosa mendapat tugas dari Moeder Theresia

Saelmaekers, Pemimpin Umum di Breda, untuk menulis surat lamaran sebagai

direktur dan pengurus rumah tangga Rumah Sakit milik pemerintah di Bergen op

Zoom tersebut. Pada tanggal 5 Desember 1937, Suster Rosa menulis lamaran dan

pada 9 Januari 1938, Sr Rosa diterima sebagai direktur Rumah Sakit Bergen op

Zoom, dengan kesepakatan akan diberi imbalan tahunan serta uang kos sebesar

250 gulden. Pada tanggal 12 Pebruari 1838, Suster Rosa memulai tugasnya,

dengan dua rekan suster yang baru mengucapkan kaul kekalnya, yakni Suster

Clara, BOZ dan Suster Philomena, BOZ. Mereka tidak mengenakan pakaian

biarawati, karena pada waktu itu pemerintah tidak akan mengijinkan keterlibatan

para biarawati karena masih berpandangan sempit dan toleransi terhadap agama

lain belum ada.

Gerlach (2004: 53) menyatakan bahwa sejak bulan September 1839, Moeder

Rosa de Bie memimpin sendiri komunitas religiusnya tanpa tergantung dari rumah

induk di Breda; dengan sedikit jumlah suster yang dipimpinnya, yaitu Suster

Philomena, Suster Victoria, yang keduanya sudah berprofesi kekal, Suster

Benedicta, Suster Anastasia dan Suster Agatha yang masih novis.

Sejak kunjungan resmi Raja Willem II ke kota Bergen op Zoom, pada

(37)

oleh Moeder Rosa, mereka mengenakan jubah biara. Raja menyatakan rasa

senang dan kepuasannya atas pengelolaan dan pelayanan kepada orang-orang

sakit di Rumah Sakit Sint Catarina tersebut.

3. Sejarah Berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia

Berkat pembicaraan melalui korespondensi antara Muder Gerarda BOZ

dengan Pater Műller, SJ; dalam tahun 1932 yang waktu itu menjabat sebagai

Rektor Seminari Tinggi di Yogyakarta, dan pembicaraan dengan Pater Wubbe, SJ,

serta setelah Moeder Gerarda mengadakan kunjungan ke Semarang secara

langsung; maka pada sore hari tanggal 23 Maret 1933, atas dorongan Ilahi dan

berkat restu Bapa Uskup setempat, Mgr. Hopmans, Kongregasi BOZ, mengutus

enam orang suster untuk bermisi ke Indonesia (Gerarda, 2000: 90-100). Ke-enam

suster tersebut yaitu Suster Seraphine Gulickx (dari Bavel), sebagai overste,

Suster Imelda den Aantrekker (dari Bergen op Zoom), Suter Agusta Hocke (dari

Neisse, Jerman), Suster Theresina Tax (dari Bergen op Zoom), Suster Gemma

Hertogh (dari Stoppeldyk), dan Suster Valentine Uitde Willingen (dari Heerle

Wouw). Mereka berangkat dari Rossendal naik kereta api ke pelabuhan Marseille

(Perancis). Dari sana para suster naik kapal laut “Baluran” menuju Indonesia.

Pada hari Kamis Putih, tanggal 13 April 1933, para misionaris dari

Kongregasi Peniten Rekolek BOZ ini mendarat di Tanjung Priuk. Mereka

disambut ramah oleh para suster Ursulin dari Weltevreden di Hindia Belanda

(sekarang: Jakarta). Mereka tinggal beberapa hari di tempat ini. Sementara itu,

(38)

Fransiskanes Heythuizen (OSF Semarang); untuk mempelajari penyakit-penyakit

tropis dan perawatannya.

Pada tanggal 10 Mei 1933, para misionaris BOZ memasuki kota praja

Sukabumi, namun belum bisa langsung bekerja di Rumah Sakit yang telah

disepakati dengan pejabat pemerintah kota Sukabumi. Pada waktu itu pihak

Kongregasi BOZ diwakili oleh Pater Wubbe, SJ. Para suster BOZ lebih dahulu

tinggal di rumah penduduk yang telah disiapkan untuk tempat tinggal mereka.

Pada hari itu juga dipersembahkan Misa pertama di rumah itu, kemudian mereka

mulai melaksanakan perawatan orang sakit di rumah-rumah penduduk sambil

belajar bahasa Indonesia. Pada tanggal 13 Juni 1933, para suster boleh

mengunjungi Rumah Sakit yang telah diatur oleh Pater Lukas, SJ; untuk

berkenalan dengan para dokter dan karyawan. Dan pada tanggal 28 Desember

1933, para suster resmi menetap di Jl. Rumah Sakit No. 1, Sukabumi dan berkarya

di Rumah Sakit St. Lidwina Sukabumi. Kemudian membuka beberapa cabang,

yang kemudian hari kongregasi ini di Indonesia dikenal dengan nama Suster

Fransiskan Sukabumi; yang mandiri pada tanggal 14 April 1996.

4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Kongregasi SFS yang berasal dari BOZ, Belanda mengikuti Reformasi

Limburg, Belgia yang didirikan oleh Moeder Yohana dari Yesus pada tahun 1623

dan berspiritualitas Peniten Rekolek yang berdevosi pada Yesus Kristus injili

(39)

Moeder Rosa de Bie sebagai ibu pendiri Kongregasi BOZ dan SFS berusaha

mewariskan nilai-nilai keutamaan rohani sebagai religius peniten rekolek kepada

para anggotanya secara terus-menerus, seperti tertulis pada buku Gerakan Awal

Kongregasi Peniten Rekolek (2009: 131-136). Nilai-nilai keutamaan rohani

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengungsian bagi yang menderita

Kongregasi ini bertujuan menghadirkan kasih Allah bagi mereka yang

sedang berkesusahan dan menderita. Pengungsian bagi yang menderita menjadi

motto Kongregasi Peniten Rekolek Bergen op Zoom, yang dipakai juga dalam

akte notaris berdirinya kongregasi ini.

b. Doa dan kontemplasi

Hidup doa menjadi yang utama bagi Moeder Rosa dan para pengikutnya.

Persatuan dengan Tuhan juga diterima melalui perayaan Ekaristi harian, yang

dilakukan di gereja paroki. Baginya kontemplasi adalah pemberian diri secara

total dalam merawat orang-orang sakit dan menderita, yang dipandangnya sebagai

Kristus yang miskin dan menderita.

c. Ulah tapa dan pengendalian diri

Olah rohani matiraga dan pengendalian diri merupakan praktek keutamaan

yang dijalankan dengan sangat ketat oleh Moeder Rosa dan anggotanya sebagai

Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus Assisi. Hal ini tampak dalam sikap hidup

sederhana, baik dalam berpakaian, tutur kata, cara bertindak dan menu makanan

(40)

d. Pelepasan dari hal-hal duniawi

Kaul kemiskinan dihayati secara tegas dan kokoh karena Moeder Rosa

meyakini bahwa Allahlah yang menjamin hidupnya. Sikap batin yang lepas bebas

tanpa terikat oleh barang-barang, tempat, relasi maupun harta benda yang akan

menjamin kelangsungan hidupnya. Beliau tidak khawatir akan hidupnya, masa

depannya, maupun kelangsungan hidup kongregasinya, sekalipun beliau sendiri

dan para anggotanya tidak digaji selama setahun dari pihak Rumah Sakit. Ia

meyakini bahwa Allah yang memulai karya baik ini, maka Allah sendiri yang

akan menyelesaikannya. Ia menggantungkan diri sepenuhnya pada

penyelenggaraan Ilahi.

e. Ketaatan dan kerendahan hati

Kaul ketaatan dihayati oleh Moeder Rosa dengan penuh tangungjawab. Ia

siap sedia diutus, sekalipun harus menyamar sebagai awam biasa, sewaktu

melamar ke Rumah Sakit pemerintah, yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya

Kongregasi BOZ. Ketaatannya juga tampak dalam bekerjasama dengan para

pengurus Rumah Sakit, tempat beliau mengabdikan diri, merawat orang-orang

sakit. Sikap rendah hati diwujudkan dalam keterbukaan dan ketulusan hati dalam

meminta bantuan kepada pengurus Rumah Sakit saat tidak memiliki biaya untuk

penguburan seorang anggotanya yang meninggal dan pada waktu meminta

sumbangan untuk membangun sebuah kapel, yang merupakan kerinduan hatinya

(41)

f. Cinta kasih yang melayani

Penghayatan kaul kemurnian diwujudkan dalam mencintai Tuhan dan

sesama dengan murni dan tak terbagi. Ia menghayati ajaran Tuhan Yesus dengan

menghayati kaul profesinya, agar perhatiannya hanya tertuju pada Allah Tri

Tunggal. Cinta kasih dan perhatiannya dicurahkan kepada para susternya dan para

pasien yang sakit dan menderita.

g. Pengorbanan diri

Semangat pengorbanan ia timba dari semangat pengorbanan diri Kristus yang

rela wafat demi keselamatan umat-Nya. Seluruh hidup Moeder Rosa tercurah

kepada kepentingan orang lain, terlebih untuk mereka yang menderita. Ia rela

mengorbankan kamar tidur dan ruang makan komunitasnya untuk para pasien

yang membutuhkan perawatan.

h. Kegembiraan Fransiskan

Semangat riang-gembira sebagai pengikut Fransiskus Assisi dihayati dalam

hidupnya. Berkat relasi dan imannya yang mendalam dengan Tuhan,

memancarkan kegembiaran sejati kepada setiap orang yang dijumpainya. Maka

tidak mengherankan bila banyak orang merasa terhibur bila dikunjungi oleh

beliau.

5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Visi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah suatu

(42)

menghayati dan meneruskan cita-cita Moeder Rosa de Bie, yaitu: mengusahakan

penyucian para anggotanya yang berdevosikan pada perjuangan dan penderitaan

Yesus yang tersalib, dengan hidup dalam semangat doa dan kontemplasi, tobat

dan silih, serta pelayanan cinta kasih seturut teladan Fransiskus Assisi (Zita, 2008:

212).

b. Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Misi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi mewujudkan visinya

dalam pelayanan kepada sesama melalui karya kesehatan, sosial karitatif, pastoral

dan pendidikan (Zita, 2008: 213).

c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Tujuan Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah menyucikan para

anggotanya dengan mempertahankan identitas Tarekat Suster Fransiskanes

Peniten Rekolektin sesuai dengan semangat Pendiri Moeder Rosa de Bie (Konst.

2000: pasal 4).

B. KONTEKS

Arti kata konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah situasi

yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Kontekstualisasi menurut

Hesselgrave (1994: 48), bersifat dinamis bukan statis. Kontekstualisasi mengakui

sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan

terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Namun

kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya.

(43)

bergumul untuk mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah

mereka sendiri, namun masih terdapat kesaling-tergantungan konteks.

Dengan demikian kontekstualisasi berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan

pembaharuan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing

dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesaling-tergantungan pada masa

kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu dan masa kini pada

kemungkinan-kemungkinan di masa depan (Hesselgrave, 1994: 52-53).

Kontekstualisasi dalam rangka menemukan spiritualitas masa kini dan masa

depan sebagai perwujudan baru dari konteks spiritualitas yang lama, maka dalam

penulisan ini menggunakan pendekatan beberapa bidang ilmu yang dibatasi pada

bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.

1. Komunikasi

a. Pengertian Komunikasi

Menurut Deddy Mulyana (2001: 41-42) komunikasi atau dalam bahasa

Inggris communication berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”,

communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama.”

Sama di sini maksudnya adalah sama makna.

Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam percakapan,

maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna

mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam

percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain,

mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh

(44)

kedua-duanya mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari

bahan yang dipercakapkan (Onong Uchjana Effendy, 1992: 9).

Komunikasi meliputi unsur-unsur: komunikator, pesan, media, komunikan,

dan efek. Jadi, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator

kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses

komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan

oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa

merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.

Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran,

kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk

hatinya (Onong Uchjana Effendy, 1992: 10-11).

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara

sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran

atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang

(simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi

adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang

secara langsung mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain.

Baik berbentuk ide, informasi, atau opini; baik mengenai hal yang konkret

maupun abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat

sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang

(Onong Uchjana Effendy, 1992 : 11).

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh

(45)

kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator

menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan

sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.

Surat, telephone, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi

media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Akan tetapi, oleh para ahli

komunikasi diakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya

dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Yang efektif dan

efisien dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka

karena kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator, sedangkan

dalam proses komunikasinya, umpan balik berlangsung seketika, dalam arti kata

komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga

(Onong Uchjana Effendy, 1992: 16-17).

b. Trend Komunikasi Masa Kini

Derasnya teknologi yang masuk ke suatu negara dapat mendekatkan jarak

hubungan antar manusia. Meski demikian, tentunya tak lepas dari hal-hal negatif.

Dampak alienasi, keterasingan masing-masing individu, nilai-nilai primordialisme

juga dapat tercipta karena keberadaan teknologi informasi tersebut. Sebagian

generasi digital akan menjadi konsumtif, hedonis, dan narsistis yang akan

menghambat kemajuan bangsa (Dirjen Informasi dan Komunikasi RI, 2012: 10).

Iswarahadi (2003: 10-11) sarana komunikasi modern, seperti televisi,

komputer, internet, handphone, facebook, websites, dan lain sebagainya;

menyebabkan komunikasi verbal semakin hilang dan kurang dihargai perannya.

(46)

dan pemikiran orang yang sama secara massal, sehingga dalam waktu yang

singkat hal sama itu dapat dibaca, didengar, dan diketahui secara luas. Melalui

penggunaan sarana modern untuk berkomunikasi, orang tidak hanya menyentuh

dan menyapa seseorang melainkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang

sama. Sayangnya, dengan itu komunikasi juga kehilangan unsur pribadinya, sebab

orang tidak lagi berjumpa dengan seorang “engkau” tetapi dengan massa atau fans

yang banyak, sementara narasumber sendiri menjadi semacam idola atau abstraksi

asing yang tidak bisa disentuh.

Perkembangan jaringan komunikasi dan informasi melalui dunia maya,

sepintas tampak hanya sebagai perkembangan teknologi sarana-sarana komunikasi

yang semakin luas, semakin cepat, dan menjangkau banyak orang. Cita-cita yang

dikejar adalah publisitas, transparansi umum dan nilai yang diunggulkan adalah

kelayakan pasar, laku jual. Sebuah ide, gagasan, ataupun barang naik harganya

ketika semakin banyak orang menyukai dan merasa membutuhkannya. Untuk itu,

orang berusaha keras menggunakan media massa sebagai sarana promosi,

mencapai publisitas yang luas (Iswarahadi, 2003: 11).

Media massa sekarang ini bukanlah sekadar sarana, melainkan kebudayaan

itu sendiri, di mana manusia hidup, bergerak, dan ada. Kebudayaan media massa

telah menenggelamkan manusia seluruhnya ke dalam model komunikasi global

yang tidak bisa dicegah. Penggunaan media massa dengan sendirinya akan

menuntut penerimaan sifat-sifat mental, yang tercakup dalam budaya tersebut

seperti publisitas, keterbukaan atau transparansi, pembaruan terus-menerus, relasi

(47)

Kemajuan teknologi yang semakin pesat perlahan-lahan mempengaruhi

perkembangan pola komunikasi manusia yang dimuat dalam Kompas (Fitur

Klasika | Internet, 2012: 33). Kemunculan berbagai situs jejaring sosial, seperti

facebook dan twitter tak dapat dipungkiri telah mengubah pola pikir seseorang

dalam berinteraksi. Era new wave media memang seperti dua mata pisau, bisa

membawa hal positif dan negatif tergantung dari si pengguna. Misalnya, sebagian

orang kini cenderung lebih vokal saat menggunakan jejaring sosial. Sementara di

dunia nyata, orang justru lebih memilih untuk diam. Sayangnya, kebebasan

berekspresi di dunia maya kerap disalahgunakan para netizen. Oleh karena itu, tak

jarang kasus cyberbullying akhir-akhir ini bermunculan.

Cyberbullying diartikan sebagai kondisi saat seseorang diintimidasi,

dipermalukan, bahkan diancam oleh satu atau banyak pihak. Tindakan ini

dilakukan melalui teknologi informasi, seperti media sosial, blog, chat room,

bahkan telepon genggam. Hasil penelitian sebuah perusahaan yang bergerak pada

bidang riset pasar global Amerika Serikat, Ipsos pada pertengahan November

2011 memaparkan, 74% responden Indonesia memilih facebook sebagai sumber

dari kasus cyberbullying. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat berkembang ke

arah yang mengkawatirkan. Pihak yang diintimidasi bisa saja merasa tertekan dan

berangsur menjadi depresi, bahkan dapat memicu orang untuk bunuh diri karena

mental yang lemah.

2. Kebudayaan

(48)

Menurut Hariyono (1996: 44) kata “kebudayaan” berasal dari bahasa

Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau

“akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan

dengan akal”. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata “budaya” merupakan

perkembangan majemuk dari “budi daya”. Dari pengertian tersebut kemudian

dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, karsa

dan rasa dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.

Secara sederhana pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya

Dasar mengacu pada pengertian sebagai berikut:

1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

diri manusia dengan belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjuk

dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil dan karya fisik

manusia ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan

pola perilaku (tindakan) manusianya. Kebudayaan sebagai suatu sistem

memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang

mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan

yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan

baik. Karena dianggap benar dan baik, hasil renungan ini biasanya ingin

diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh generasi berikutnya hasil

renungan ini dipertimbangkan kembali sesuai dengan kemajuan yang dapat

(49)

2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering

disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan

tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut

nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak.

Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga

merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang

dihadapi manusia (Hariyono, 1996: 45).

b. Simbol dan Nilai

Redi Panuju (1996: 28) berpendapat pada dasarnya setiap orang terbentuk

oleh lingkungan. Lingkungan pembentuk ini biasanya disebut kebudayaan.

Sebaliknya manusia juga membentuk kebudayaan. Kebudayaan dapat dipandang

sebagai tindakan berpola dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat

terbentuk atau terkelompok oleh adanya kebudayaan.

Setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut memiliki simbol dan

nilai yang sama. Simbol dan nilai ini merupakan perbendaharaan kelompok

sebagai dasar bertindak. Dengan menggabungkan faktor diri dengan faktor

kebudayaan, orang akan bertindak sesuai dengan kecenderungan psikisnya.

Nota Pastoral (KWI, 2007: 117) menyatakan bahwa budaya tidak dipahami

sebagai sistem nilai yang amaterial. Budaya adalah cara kita memandang, merasa,

bertindak dan berelasi yang menjelma di dalam kebiasaan (habit) yang sungguh

bersifat fisik dan material. Budaya dipahami sebagai gugus kebiasaan sehari-hari

hidup kita. Kebiasaan hidup mencakup hampir semua tindakan dan praktik sosial

(50)

sepenuhnya sadar, namun juga tidak berarti tindakan kita mekanis seperti mesin.

Dapat dikatakan bahwa kebiasaan adalah gugus praktik instingtif yang dilakukan

lantaran pengalaman dan pengulangan.

Maka transformasi kultural (cara kita memandang, merasa, bertindak dan

berelasi) perlu dilakukan bukan dengan mengandaikan kesadaran kritis kita yang

terlalu tinggi, namun juga bukan mengandaikan kita seperti mesin-mesin yang

bergerak secara mekanis. Kita mempunyai kesadaran bukan hanya secara normatif

tetapi juga deskriptif. Pengertian sudah banyak, penyadaran juga luas, nasehat

sudah berlimpah tetapi jarak antara tahu (to know) dan berbuat (to do) tetaplah

sangat jauh. Kita tidak menjadi bijaksana (wise) hanya dengan tahu apa itu

kebijaksanaan (wisdom). Dengan kata lain, antara momen “tahu yang baik” dan

momen “melakukan yang baik” adalah perjalanan panjang yang berisi

pembentukan kebiasaan (habit) (KWI, 2007: 118).

c. Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme?

Negara Indonesia adalah negara majemuk atau pluralis. Magnis-Suseno

(2008: 27-28) berpendapat bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung

tinggi pluralitas. Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa

dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda, serta

kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama dengan mereka. Pluralisme

tidak hanya berarti membiarkan pluralitas, melainkan memandangnya sebagai

sesuatu yang positif. Karena seorang pluralis menghormati dan menghargai

(51)

Kita akui bahwa negara Indonesia plural, namun pada praktek hidup bersama

sebagai bangsa masih terjadi pertentangan. Seperti dikatakan Adi Prasetyo bahwa

sepuluh tahun terakhir ini aksi intoleransi semakin meningkat. Terjadinya

penutupan dan perusakan tempat ibadat, aksi penyerangan terhadap acara

peluncuran buku penulis asal Kanada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang.

Keputusan MA yang tak bisa dieksekusi akibat tekanan kelompok massa serta

ketidakmampuan dan ketidakmauan aparat penegak hukum untuk memberi

perlindungan dan pemenuhan hak asasi kepada kelompok minoritas (Adi

Prasetyo, 2012: 36).

Menurut Magnis-Suseno (2008: 30) Negara Indonesia yang majemuk ini

akan tetap bersatu apabila semua komponen bangsa mau bersatu dan mereka

hanya akan mau bersatu apabila mereka dapat ikut mengurusnya. Itulah yang

dijamin oleh demokrasi.

Namun menurut Eddy Kristiyanto (2001: 311) demokrasi dapat dicegat,

ditangguhkan bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokratik kalangan

tertentu para pemegang kekuasaan.

Reza Syawawi (2012: 6) mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia

sekarang ini berwajah ganda. Di satu sisi demokrasi merupakan instrumen yang

dipercaya mengagregasi kepentingan publik, tetapi di sisi lain menggerogotinya.

Dewasa ini demokrasi hanya diindentikan dengan peran partai dalam pemilihan

umum.

Di sisi lain, pengaruh globalisasi telah memunculkan budaya baru di

(52)

dengan kapitalisme. Produksi kapitalis tidak sekedar untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat, melainkan sebaliknya malah menciptakan

kebutuhan-kebutuhan itu (Magnis-Suseno, 2008: 16).

Menurut Kuntoro Adi (2011: 44-45) konsumerisme perlu dibedakan dari

komsumsi. Komsumsi berkaitan dengan pemakaian barang/jasa untuk hidup layak

dalam konteks sosio-ekonomi-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan

survival. Sedangkan konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Jika dipadatkan,

kira-kira begini: konsumerisme adalah komsumsi yang mengada-ada. Komsumsi

bukan soal ada tidaknya uang untuk shopping. Juga bukan soal laba besar yang

dikeruk melalui permainan insting konsumen. Kunci untuk memahami

konsumerisme adalah psikologi, bagaimana konsumsi yang mengada-ada

dilembagakan sebagi nirvana. Mereka diburu dengan harga absurd karena

memberi klaim pada rasa percaya diri dan eksklusif. Karena eksklusif maka juga

prestise dan status. Konsumerisme bagaikan mengejar langit di atas langit. Orang

tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan

pakaian, tetapi memakai Armani.

Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus

selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan uang

Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber

decak kagum, atau panutan. Namun bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu

adalah cerita tentang narcissme seorang konsumeris. Konsumeris ialah narcissts

(53)

sendiri. Dan seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja

topengnya sendiri (Kuntoro Adi, 2011: 45-46).

Kapitalisme juga menciptakan produksi massal yang melahirkan budaya pop

sebagai budaya massa. Budaya pop merupakan budaya komersial. Menurut

Dadang Supardan

kata pop diambil dari kata populer. Istilah pop memiliki empat makna yakni

banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk

menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya

sendiri.

Menurut Dyah Hapsari (http://dyahhapsari.blogspot.com/2009/11/) kata

massa mempunyai makna positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan

dengan kerumunan (mob), atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak

memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positifnya yaitu massa

memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat

mencapai tujuan kolektif.

Budaya pop banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat

dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu, seperti pementasan

mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model handphone, model rumah,

perawatan tubuh, dan semacamnya. Budaya pop dibangun berdasarkan

kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan

kerja sepanjang hari. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Praktek

budaya pop lebih dilihat sebagai fantasi publik. Budaya pop memberi ruang bagi

(54)

dari utopia kita sendiri. Massa cenderung “latah” meniru segala sesuatu yang

sedang naik daun atau laris. Budaya massa menciptakan kelas sosial. Selera, bisa

disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri kelas

sosial.

3. Psikologi

a. Konsep Psikologi

Para ahli psikologi terdahulu, mendefinisikan bidang mereka sebagai studi

kegiatan mental. Dengan berkembangnya aliran behaviorisme dengan penekanan

studinya hanya pada fenomena yang dapat diukur secara obyektif, psikologi

didefinisikan sebagai studi mengenai perilaku. Definisi ini mencakup

penyelidikan mengenai perilaku binatang juga manusia dengan asumsi bahwa

informasi yang didapat dari percobaan dari binatang dapat diterapkan pada

organisme manusia (L. Atkinson, 1999: 18).

Studi perilaku manusia dapat menjangkau lebih jauh keadaan yang terjadi

pada setiap individu dan meninjau tata hubungan kelembagaan di mana mereka

hidup; yakni keluarga, lingkungan tetangga, dan masyarakat umumnya. Karena

lingkungan hidup itu terlalu beraneka ragam untuk dipahami jika hanya dilihat

dari sudut pandang, maka muncul sejumlah bidang penyelidikan, yakni

antropologi, ekonomi, linguistik, ilmu politik, sosiologi, dan bidang keahlian lain.

Secara keseluruhan dikenal sebagai ilmu perilaku dan ilmu sosial. Istilah ilmu

sosial dulu merupakan bidang yang eksklusif, sedangkan ilmu perilaku terbatas

(55)

linguistik). Karena semua bidang sudah semakin menyadari bahwa untuk dapat

memahami perilaku individu harus memahami juga perilaku sosial, istilah ilmu

perilaku dan ilmu sosial dipakai secara bergantian (L. Atkinson, 1999: 24).

b. Trend Psikologi Masa Sekarang

Dicky Hastjarjo

bahwa psikologi kognitif dinilai sebagai satu revolusi dalam psikologi oleh karena

psikologi kognitif merubah metateori psikologi. Metateori kognitif mengubah

metateori behaviorisme sebab objek studinya bukan perilaku untuk membuat

inferensi tentang faktor-faktor yang melandasi perilaku tersebut.

Munculnya psikologi kognitif didorong oleh kegagalan behaviorism,

munculnya teori komunikasi, ilmu linguistik modern, riset memori, kemajuan

ilmu komputer dan teknologi, serta teori perkembangan kognitif.

Psikologi kognitif dirumuskan sebagai studi mengenai kognisi atau

aktivitas-aktivitas mental yang mencakup pemerolehan, penyimpanan,

pengambilan dan penggunaan pengetahuan. Informasi megenai ruang lingkup

yang luas, yakni dari persepsi, rekognisi pola, perhatian, kesadaran, memori,

imajeri, bahasa, psikologi perkembangan, berpikir dan pembentukan konsep, serta

kecerdasan manusia dan kecerdasan artifisial; diharapkan memberikan gambaran

sekilas mengenai betapa pentingnya psikologi kognitif. Emosi juga memiliki

peranan penting dalam kognisi. Psikologi kognitif mempelajari proses-proses

mental yang dilandasi oleh kerja otak manusia. Psikologi kognitif menggunakan

tiga model untuk menerangkan bekerjanya kognisi manusia, yaitu model

(56)

Ada tiga alasan mengapa penting mempelajari psikologi kognitif, karena:

1) Kognisi merupakan satu bagian utama dalam studi mengenai psikologi

manusia.

2) Pendekatan psikologi kognitif telah berpengaruh secara luas pada bidang

psikologi lain seperti psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi

perkembangan dan psikologi kesehatan.

3) Alasan yang bersifat lebih pribadi, bahwa kita punya alat yang lebih impresif

yakni pikiran kita dan kita menggunakan alat itu setiap menit.

4. Pendidikan

a. Pengertian Pendidikan

Menurut Hasbullah (1999: 1), pendidikan sering diartikan sebagai usaha

manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau

paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja

oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Kenyataannya, pengertian pendidikan

ini selalu mengalami perkembangan, meskipun secara essensial terdapat

unsur-unsur dan faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian

pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau

pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, peserta

didik, tujuan dan sebagainya.

Pendidikan dapat diselenggarakan secara informal, formal, maupun

Gambar

Tabel IV.1. Penjabaran Program Pembinaan
gambar Allah dijadikan sebagai pribadi yang mempunyai tubuh, jiwa dan roh.

Referensi

Dokumen terkait