vii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul:”UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI: IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI” dengan latar belakang bahwa upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para anggotanya; sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian.
Spiritualitas kongregasi yang diwariskan oleh pendiri kepada generasi penerusnya dapat mengalami perubahan maupun berkurang bahkan bisa hilang karena perubahan zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri pada masa kini agar nilai-nilai spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri ini dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.
Fokus penelitian ini adalah upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang dilakukan oleh Kongregasi SFS beserta hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tempat penelitian di biara-biara cabang SFS di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Responden dipilih secara purposive sampling dengan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Dari hasil wawancara kepada para responden disimpulkan bahwa pemahaman dan pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri kongregasi masih sesuai dengan yang diharapkan oleh para pendahulu. Para responden juga memahami perkembangan konteks komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan yang sedang nge-trend sekarang ini. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri kongregasi yang telah dilakukan selama ini membawa kemajuan dalam hidup persaudaraan, hidup rohani, dan karya pelayanan. Sedangkan implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS memberikan peluang sekaligus tantangan.
viii ABSTRACT
This thesis entitles:”AN EFFORT TO CONTEXTUALIZE THE SPIRITUALIYT OF THE FOUNDER ITS IMPLICATION FOR THE FORMATION OF JUNIOR SISTERS OF FRANSISCAN OF SUKABUMI.” Its background is the effort to deepen the spirituality conducted by SFS Congregation has not been enough to motivate, to encourage and to inspire its members; thus encouraging the writer to do this research.
The spirituality of the congregation inherited by the founder to the next generation might be changed or diminished even be lost because of the change of the era. Therefore, it takes an effort to contextualize the spirituality of the founder at present so that spiritual values remain actual and relevant. An effort to contextualize spirituality of the founder is limited to the field of communication, culture, psychology, education, and leadership.
The focus of this research is an effort to contextualize spirituality of the founder that has been done by the SFS Congregation and its results. This research is a qualitative research. The research took place at SFS communities in Central and West Java. Respondents were selected purposively sampling with snowball sampling technique. Data was collected through interviews, observation and document studies.
By these respondents’ interviews can be concluded that the understanding and realization of spiritual based on the founder of the congregation is still as expected as its predecessors. The respondents also understand that the context of the development of communication, culture, psychology, education, and leadership is a today’s trend. The effort to contextualize the spirituality of the founder that has been done this far, brings progress in fraternity, spiritual life, and caritative service. While the implications for the formation of junior sisters of SFS Congregation provide opportunities and challenges.
i
UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI
IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIORKONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Sunarsi NIM: 081124039
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
v MOTTO
vii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul:”UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI: IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI” dengan latar belakang bahwa upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para anggotanya; sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian.
Spiritualitas kongregasi yang diwariskan oleh pendiri kepada generasi penerusnya dapat mengalami perubahan maupun berkurang bahkan bisa hilang karena perubahan zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri pada masa kini agar nilai-nilai spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri ini dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.
Fokus penelitian ini adalah upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang dilakukan oleh Kongregasi SFS beserta hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tempat penelitian di biara-biara cabang SFS di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Responden dipilih secara purposive sampling dengan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Dari hasil wawancara kepada para responden disimpulkan bahwa pemahaman dan pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri kongregasi masih sesuai dengan yang diharapkan oleh para pendahulu. Para responden juga memahami perkembangan konteks komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan yang sedang nge-trend sekarang ini. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri kongregasi yang telah dilakukan selama ini membawa kemajuan dalam hidup persaudaraan, hidup rohani, dan karya pelayanan. Sedangkan implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS memberikan peluang sekaligus tantangan.
viii ABSTRACT
This thesis entitles:”AN EFFORT TO CONTEXTUALIZE THE SPIRITUALIYT OF THE FOUNDER ITS IMPLICATION FOR THE FORMATION OF JUNIOR SISTERS OF FRANSISCAN OF SUKABUMI.” Its background is the effort to deepen the spirituality conducted by SFS Congregation has not been enough to motivate, to encourage and to inspire its members; thus encouraging the writer to do this research.
The spirituality of the congregation inherited by the founder to the next generation might be changed or diminished even be lost because of the change of the era. Therefore, it takes an effort to contextualize the spirituality of the founder at present so that spiritual values remain actual and relevant. An effort to contextualize spirituality of the founder is limited to the field of communication, culture, psychology, education, and leadership.
The focus of this research is an effort to contextualize spirituality of the founder that has been done by the SFS Congregation and its results. This research is a qualitative research. The research took place at SFS communities in Central and West Java. Respondents were selected purposively sampling with snowball sampling technique. Data was collected through interviews, observation and document studies.
By these respondents’ interviews can be concluded that the understanding and realization of spiritual based on the founder of the congregation is still as expected as its predecessors. The respondents also understand that the context of the development of communication, culture, psychology, education, and leadership is a today’s trend. The effort to contextualize the spirituality of the founder that has been done this far, brings progress in fraternity, spiritual life, and caritative service. While the implications for the formation of junior sisters of SFS Congregation provide opportunities and challenges.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan rahmat-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI”. Skripsi ini ditulis dengan latar belakang kepedulian atas keprihatinan para Ibu Komunitas dan Penanggungjawab Karya yang bertanggungjawab atas pendampingan para suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi yang mengeluhkan tentang adanya perbedaan atau menurunnya daya juang dalam penghayatan spiritualitas Kongregasi bagi para suster yunior. Keprihatinan ini mendorong penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri Kongregasi hingga di zaman sekarang yang terus berubah.
Penulis menghaturkan limpah terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini hingga selesai, yakni:
1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ selaku Kepala Program Studi IPPAK-FKIP-Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan peneguhan selama penulisan skripsi ini.
xi
3. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M.Pd., selaku pembimbing utama yang telah dengan sabar dan setia menyumbangkan pemikiran, mengarahkan, membimbing dan senantiasa menyemangati serta mendukung penulis untuk senantiasa tekun dalam proses penulisan skripsi ini, yang diharapkan berguna untuk pembelajaran dalam melakukan evaluasi dalam berbagai bidang di masa depan demi Kongregasi yang saya cintai agar tetap eksis dan mempertahankan nilai-nilai spiritualitas Pendiri Kongregasi dalam arus zaman yang terus berubah.
4. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar dan teliti memberikan bantuan pemikiran serta senantiasa meneguhkan penulis pada waktu mengalami kejenuhan selama penulisan skripsi ini.
5. Rm. Dr. C. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing ketiga sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan dengan sabar telah mendengarkan serta memahami pergulatan penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Para staf dosen dan karyawan IPPAK yang selalu menyemangati dan senantiasa siap-sedia membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini. 7. Staf karyawan perpustakaan IPPAK dan Kolsani yang telah begitu murah hati
memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjam buku-buku yang penulis butuhkan selama penulisan hingga selesainya skripsi ini.
xii
9. Secara khusus penulis berterimakasih kepada para suster yang telah bersedia menjadi responden penelitian sehingga penulis memperoleh informasi dalam penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman seangkatan tahun 2008 dan rekan-rekan mahasiswa IPPAK yang selalu memberi peneguhan untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Para suster OSF Semarang di komunitas Senopati yang telah menyediakan segala fasilitas selama penulis tugas studi hingga penulisan skripsi ini selesai. 12. Rekan-rekan suster yang saya cintai, yang pernah tinggal bersama di
komunitas Inviolata di komunitas para suster OSF Semarang di komunitas Senopati yang telah memberikan perhatian, doa dan dukungan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis hingga skripsi ini selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka kepada semua pihak yang berkenan memberikan saran dan kritik yang membangun.
Yogyakarta, 21 November 2012
Penulis
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
SUSUNAN PANITIA PENGUJI ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... ix
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi
KATA PENGANTAR ... xii
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xxiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG PENULISAN ... 1
B. IDENTIFIKASI MASALAH ... 6
C. PEMBATASAN MASALAH ... 7
D. RUMUSAN MASALAH ... 8
E. TUJUAN PENULISAN ... 8
F. MANFAAT PENULISAN ... 9
G. METODE PENULISAN ... 9
H. SISTEMATIKA PENULISAN ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN ... 11
A. SPIRITUALITAS PENDIRI KONGREGASI SUSTER- SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI ... 11
1. Spiritualitas dan Karisma... ... 11
xiv
di Indonesia ... 15
4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi 16 a. Pengungsian bagi yang menderita ... 17
5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 19
a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 19
b. Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 20
c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 20
B. KONTEKS ... 20
xv
5. Kepemimpinan ... 39
a. Pengertian Kepemimpinan ... 39
b. Trend Kepemimpinan Masa Kini ... 41
C. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PEMBINAAN ... 45
1. Bidang Komunikasi ... 45
D. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI ... 53
xvi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 64
A. JENIS PENELITIAN ... 64
1. Uji Validitas, Reliabilitas dan Objektivitas... 69
a. Uji Validitas ... 69
a. Situasi umum komunitas-komunitas cabang Kongregasi SFS ... 71
b. Latar belakang responden ... 73
2. Temuan Khusus ... 73
a. Pemahaman responden mengenai spiritualitas pendiri ... 73
xvii
2) Pemahaman para responden mengenai spiritualitas
pengendalian diri ... 74
3) Pemahaman responden mengenai spiritualitas cinta kasih yang melayani ... 75
b. Konteks trend masa sekarang menurut para responden... .. 75
1) Trend komunikasi sekarang menurut para responden ... 75
2) Trend kebudayaan sekarang menurut para responden ... 77
3) Trend psikologi sekarang menurut para responden... 79
4) Trend pendidikan sekarang menurut para responden ... 79
5) Trend kepemimpinan sekarang menurut para responden ... 83
c. Pengalaman pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri ... 85
1) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas ulah tapa dan hasilnya ... 86
2) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas pengendalian diri beserta hasilnya ... 89
3) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas cinta kasih yang melayani beserta hasilnya .... 94
d. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang telah dilakukan oleh Kongregasi SFS ... 98
3. Validasi Pendapat Responden Mengenai Upaya Kontekstualisasi Spiritualitas Pendiri ... 103
B. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN.... ... 105
1. Pemahaman Spiritualitas Ulah Tapa, Pengendalian Diri dan Cinta Kasih yang Melayani ... 105
xviii
8. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Pengendalian Diri
Beserta Hasilnya ... 114
9. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Cinta Kasih Beserta Hasilnya ... 117
10. Upaya Kontekstualisasi Spiritualitas Pendiri Yang Telah Dilakukan Oleh Kongregasi SFS Beserta Hasilnya ... 120
C. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SFS ... 120
1. Pembinaan ... 120
2. Pembina ... 121
3. Formandi ... 123
4. Tujuan Pembinaan Religius ... 123
5. Pertumbuhana Religius yang Diharapkan ... 124
6. Usulan Program Pembinaan ... 126
6) Spiritualitas Pendiri ... 130
b. Usulan Tema dan Tujuan Pembinaan ... 130
c. Penjabaran Program ... 132
d. Pengertian Katekese Umat dan Model Katekese Shared Christian Praxis (SCP) ... 135
e. Contoh Satuan Program ... 136
D. KETERBATASA PENELITIAN ... 149
xix
B. SARAN ... 155
DAFTAR PUSTAKA ... 157 LAMPIRAN ... 160 Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada
Pimpinan Umum (I) ... (1) Lampiran : Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada
Pimpinan Umum (II) ... (2) Lampiran : Surat Ijin Permohonan Penelitian
xx
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci Pkh : Pengkotbah Mat : Matius Mrk : Markus Yoh : Yohanes B. Singkatan Dokumen Gereja
PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.
C. Singkatan lain
AD : Anggaran Dasar
ATMI : Akademi Tehnik Mesin Indonesia art : artikel
BB : Black Berry BOZ : Bergen op Zoom
BPSDMP & PMP : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidik
CSA : Congregatio Sancti Aloysii CTL : Contextual Teaching and Learning dll. : dan lain-lain
xxi fax : fax-email
FCh : Kongregasi Fransiskanes Charitas
FSE : Kongregasi Fransiskanes Santa Elizabeth hal : halaman
HAM : hak asasi manusia HP : Hand Phone
IFT : Institut Filsafat dan Teologi IPA : Ilmu Pengetahuan Alam
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IT : Ilmu Teknologi
IQ : Intelligence Quotient
KLMTD : kecil lemah miskin tersingkir dan difabel KMI : Konsultasi Multi Intellegen
Komkat : Komisi kateketik Konst. : Konstitusi
KPR : Kursus Pembina Religius
KSFL : Kongregasi Suster Fransiskanes Santa Lusia KWI : Konferesi Wali Gereja Indonesia
LCD : Liquid Crystal Display MA : Majelis Agung
MPK : Majelis Pendidikan Katolik OFM : Ordo Fratrum Minorum
xxii PS : play station
psl : pasal
PUSKAT : Pusat Kateketik Rp : Rupiah
RPA : Rapat Paripurna Anggota
RSBI : Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SCP : Shared Christian Praxis
SDM : Sumber Daya Manusia SFS : Suster Fransiskan Sukabumi Sisdiknas : Sistem Pendidikan Nasional SJ : Societas Jesu
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sms : short message service
SP : Satuan Program
SPG : Sekolah Pendidikan Guru SQ : Spiritual Quotient
Sr : Suster
TIK : Teknologi Ilmu dan Komunikasi TV : Televisi
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab I ini, penulis menguraikan tentang latar belakang penulisan,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
Pembinaan merupakan hal terpenting dalam rangka pembentukan para calon
selibater dalam sebuah perhimpunan religius. Dalam masa pembinaan atau
formasi itulah nilai-nilai keutamaan Kristiani maupun spiritualitas pendiri serta
tradisi sehat yang diwariskan oleh para pendahulu dalam kongregasi ditanamkan
kepada setiap calon sehingga para calon dapat mengenal dan diharapkan mampu
mewujudkannya dalam kehidupan serta tugas pelayanannya, sesuai dengan situasi
zaman.
Religius muda merupakan harapan kongregasi di masa mendatang bagi setiap
perhimpunan religius. Para religius muda yang sering disebut para yunior yakni
mereka yang telah mengucapkan profesi sementara selama enam tahun, tetapi
dalam hal-hal khusus Pemimpin Umum dapat memperpanjang waktu, namun
tidak lebih dari tiga tahun (Konst. 2000: pasal 96). Para yunior diharapkan dapat
mengembangkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi, setelah mereka
mengalami formasi, khususnya setelah mengalami pembentukan selama masa
Namun dari hasil refleksi seluruh anggota Kongregasi SFS selama pra
kapitel, dari bidang kerja persaudaraan, karya, pembinaan dan kepemimpinan;
disimpulkan oleh kelompok bidang kerja spiritualitas bahwa upaya-upaya
pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh kongregasi belum cukup
memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk
hidup sesuai dengan spiritualitasnya (Gerarda, 2012: 27). Di samping itu,
akhir-akhir ini sering terdengar keluhan dari para religius yang lebih senior mengenai
perbedaan yang mencolok dalam hal daya juang serta perwujudan penghayatan
nilai-nilai luhur spiritualitas Kongregasi dari para calon di zaman sekarang ini.
Terjadinya perbedaan daya juang dalam penghayatan dan perwujudan
nilai-nilai spiritualitas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam
diri para yunior sendiri maupun faktor dari luar. Faktor dari dalam diri para yunior
antara lain, kurang bisa menyeimbangkan antara tugas studi dengan tugas
pelayanan dalam persaudaraan maupun pastoral. Prioritas pada prestasi akademik
dalam tugas studi bisa menyebabkan kurangnya penghayatan dan perwujudan
nilai-nilai rohani. Banyaknya tuntutan tugas dalam karya bagi para yunior yang
ditempatkan di unit-unit karya bisa juga menjadi penyebab dalam
ketidakseimbangan antara penghayatan nilai-nilai rohani dalam hidup konkret
sehari-hari.
Selain itu, bimbingan pribadi yang tidak selalu dapat dilakukan oleh para
yunior karena berbagai alasan, seperti jarak yang ditempuh cukup jauh antara
maupun karya, baik dari pihak yunior maupun formator. Formator di sini adalah
suster yang menjadi pembina, sedangkan yang dibina disebut formandi.
Kurangnya keterbukaan dari pihak para yunior dalam bimbingan pribadi
kepada para formator tentu juga mempengaruhi proses pembentukan dalam upaya
internalisasi nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi. Seringkali terjadi yunior
lebih terbuka dengan rekan suster yunior yang lain daripada dengan pembimbing
atau formator karena berbagai alasan, baik karena rasa sungkan, kurang percaya,
trauma pengalaman relasi pribadi dengan pembimbing, dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor dari luar antara lain, keterbatasan keterampilan dan
kemampuan para formator dalam membantu perkembangan psikologi para suster
yunior, perbedaan budaya yang mempengaruhi pembentukan karakter seseorang
membutuhkan kemampuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dalam proses
pembinaan sehingga dapat saling menemukan maksud dan tujuan dari setiap
materi pembinaan yang dikomunikasikan.
Dibutuhkan pula suasana dan kepemimpinan dalam komunitas biara yang
kondusif dalam pembinaan akan membantu perkembangan dan penghayatan
nilai-nilai hidup rohani dan manusiawi bagi para yunior. Pembinaan tidak terlepas dari
pendidikan atau pedagogi. Maka pihak kongregasi perlu menentukan program
pendampingan bagi para suster yunior untuk bisa mengalami perkembangan
dalam hidup rohani, baik mengenai dogma Gereja maupun nilai-nilai rohani yang
diwariskan oleh pendiri kongregasi.
Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, aneka bentuk pola hidup
yang terjadi di negara kita dapat juga menjadi faktor dari luar diri para yunior
yang bisa menjadi hambatan dalam proses pembentukan seorang religius muda
(Caesilia, 2012: 7). Tantangan dan hambatan itu tidak dapat dihindari, yang dapat
dilakukan adalah menerima dan menyikapinya secara bijaksana; untuk itu
diperlukan daya juang dan tekad yang kuat agar hidup religius yang dijalani
semakin dapat menghadirkan kebaikan Yesus sendiri, yang diistilahkan dengan
menghadirkan Kerajaan Allah, sesuai dengan kekhasan spiritualitas kongregasi.
Daya juang dan tekad yang kuat dapat juga memperlihatkan kualitas hidup
religius itu sebagai kesaksian hidupnya (Caesilia,2012: 3).
Dalam Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS), proses pembinaan ini
merupakan tanggungjawab seluruh anggotanya, di samping itu Kongregasi telah
memilih orang-orang yang secara khusus dan resmi untuk mengemban tugas ini.
Mereka adalah para formator, pimpinan komunitas dan pimpinan karya, yang
secara resmi ditunjuk oleh Pemimpin Umum. Formator pada masing-masing
tahap pembinaan memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan dalam
mendampingi formandi, demikian juga pimpinan komunitas dan pimpinan karya.
Dalam proses pembinaan para formator dan seluruh anggota dibantu dengan
sarana yang dimiliki oleh Kongregasi. Sarana dalam proses pembinaan itu adalah:
Arah Dasar Pendidikan SFS, Pedoman Pembinaan SFS, Konstitusi SFS, Kitab
Suci, Ajaran Gereja, Buku-buku Sejarah Kongregasi, Tradisi-tradisi sehat dalam
Kongregasi. Kongregasi telah menyelenggarakan berbagai program pembinaan
untuk mengupayakan penghayatan nilai-nilai spiritualitas pendiri melalui
kepada formator yunior, pemimpin komunitas maupun pimpinan karya bagi para
yunior yang sedang magang dalam karya pelayanan. Melalui sarana yang ada
diharapkan tujuan pembinaan dapat tercapai.
Dekrit Perfectae Caritatis (PC), tentang pembaharuan dan penyesuaian
hidup religius, artikel 2.b, menyatakan:
“Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat.”
Menurut Jacobs (1989: 1, 7), memelihara semangat Pendiri bukan berarti
para anggota kongregasi kembali pada situasi di mana pendiri berada pada masa
hidupnya, melainkan semangat pendiri tersebut tetap menjadi inspirasi yang
mendasari baik secara historis maupun aktual. Maka dari itu, spiritualitas pendiri
bisa terus-menerus berubah. Yang tidak bisa berubah adalah kharisma pribadi,
maka bagaimana setiap anggota kongregasi menyamakan kharismanya dengan
spiritualitas pendiri sehingga menjadi spiritualitas kongregasi.
Karisma Kongregasi SFS terdapat pada Konstitusi Tarekat Suster-suster
Fransiskan Sukabumi tahun 2000 pasal 3, yang menyatakan:
“Suster-suster Fransiskan Sukabumi mengikuti Anggaran Dasar Regular Santo Fransiskus dari Assisi yang telah disahkan oleh Paus Yohanes II, 08 Desember 1982, sesuai dengan kharisma khas Tarekat: Semangat doa dan kontemplasi, ulah tapa dan pengendalian diri, pelepasan dari hal-hal duniawi, ketaatan dan kerendahan hati, cintakasih yang melayani dan pengorbanan diri, kegembiraaan Fransiskan dan pengungsian bagi yang berkesusahan.”
Karisma ini merupakan nilai-nilai rohani yang diwariskan oleh pendiri yang
berubah. Dengan demikian, kekhasan spiritualitas yang telah dihayati oleh pendiri
menjadi kekhasan spiritualitas kongregasi. Namun untuk mengalirkan spiritualitas
dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi, tentulah akan ada yang berubah;
bahkan mungkin bisa terjadi menjadi berkurang dan bahkan mungkin juga hilang.
Oleh karena itu, diperlukan upaya kontekstualisasi penanaman nilai-nilai
spiritualitas pendiri, dengan harapan kongregasi tidak akan kehilangan kekhasan
spiritualitasnya di arus zaman yang terus berubah ini.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. Upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama
ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para suster
Fransiskan Sukabumi untuk hidup sesuai dengan spiritualitasnya.
2. Adanya keluhan dari para religius yang lebih senior mengenai perbedaan yang
mencolok dalam hal daya juang serta perwujudan penghayatan nilai-nilai
luhur spiritualitas kongregasi dari para calon di zaman sekarang ini.
3. Para yunior kurang bisa menyeimbangkan antara tugas studi dengan tugas
pelayanan dalam persaudaraan maupun pastoral yang menyebabkan
kurangnya penghayatan dan perwujudan nilai-nilai rohani.
4. Banyaknya tuntutan tugas dari unit karya bagi para yunior yang menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghayatan nilai-nilai rohani dalam hidup konkret
5. Bimbingan pribadi yang tidak selalu dapat dilakukan secara rutin oleh para
yunior.
6. Kurangnya keterbukaan dari pihak para yunior dalam bimbingan pribadi
kepada para formator.
7. Keterbatasan keterampilan dan kemampuan para formator dalam membantu
proses pembentukan yunior.
8. Suasana dan kepemimpinan dalam komunitas biara yang kurang kondusif.
9. Pola hidup yang serba instan, hedonisme, konsumerisme, situasi sosial
ekonomi dan politik.
C. PEMBATASAN MASALAH
Dari identifikasi masalah di atas dapat diketahui bahwa upaya pendalaman
spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup
memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk
hidup sesuai dengan spiritualitasnya. Perbedaan penghayatan spiritualitas pendiri
antara generasi tua dengan generasi muda merupakan fenomena yang dapat
dimungkinkan oleh kurangnya kontekstualisasi spiritualitas pendiri dalam situasi
masa kini. Oleh karena itu, permasalahan dibatasi pada:
1. Bagaimana karisma spiritualitas pendiri pada masa itu?
2. Bagaimana spiritualitas pendiri dikontekstualisasikan di masa sekarang ini dan
di masa mendatang?
3. Bagaimana implikasi spiritualitas pendiri bagi pembinaan suster-suster yunior
4. Apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitas dalam mendukung
pembinaan yunior?
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah ditetapkan tersebut yang perlu
diteliti adalah aktualisasi spiritualitas pendiri dalam konteks zaman sekarang,
maka masalah penulisan dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri dan implikasinya bagi
pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS?
E. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menemukan kembali nilai-nilai spiritualitas pendiri yang dihayati pada
masa hidupnya.
2. Untuk melihat kembali upaya yang telah dilakukan oleh kongregasi selama ini
dalam mengembangkan spiritualitas pendiri kongregasi sesuai dengan situasi
zaman sekarang ini.
3. Untuk menemukan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri di masa
sekarang dan mendatang.
4. Untuk menemukan cara-cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan dalam
upaya menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kepada para calon di masa
F. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Membantu anggota Kongregasi SFS untuk memahami dan
mengkomunikasikan serta mewujudkan nilai-nilai spiritualitas pendiri di masa
sekarang ini.
2. Memberikan masukan kepada Pimpinan Umum Kongregasi SFS beserta
Dewannya, serta Tim Komisi Spiritualitas Kongregasi SFS untuk menggali
lebih lanjut mengenai nilai-nilai spiritualitas pendiri sesuai dengan situasi
zaman sekarang.
3. Membantu para formator SFS dalam proses pembinaan dalam upaya
menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kepada para calon anggota
kongregasi sesuai dengan jenjang pembinaannya, khususnya masa yuniorat.
G. METODE PENULISAN
Metode penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis dengan studi pustaka
dan penelitian kualitatif untuk memperoleh gambaran mengenai upaya
kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster
yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Gambaran umum mengenai penulisan ini akan penulis uraikan dalam lima
Bab I : berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang penulisan,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab II: berisi kajian pustaka dan fokus penelitian yang menguraikan spiritualitas
pendiri Kongregasi Suster-suster Fransiskan Sukabumi, yang meliputi:
spiritualitas dan kharisma, riwayat pendiri Kongregasi Suster Bergen op
Zoom, sejarah berdirinya Kongregasi SFS, spiritualitas pendiri
Kongregasi SFS dan visi, misi serta tujuan Kongregasi SFS; konteks
yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi,
pendidikan, dan kepemimpinan; peluang dan tantangan dalam
pembinaan, kontekstualisasi spiritualitas pendiri, penelitian relevan serta
fokus penelitian.
Bab III: berisi metodologi penelitian yang meliputi: jenis penelitian, tempat dan
waktu penelitian, responden penelitian dan teknik pengambilan sampel,
instrumen penelitian, teknik dan alat pengumpulan data, serta
pengembangan instrumen.
Bab IV: berisi hasil temuan dan pembahasan upaya kontekstualisasi spiritualitas
pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi
SFS, berdasarkan metodologi penelitian yang telah diuraikan pada bab
III.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN
Pada bab II ini dipaparkan mengenai kajian pustaka yang terdiri dari
spiritualitas pendiri Kongregasi SFS yang meliputi: spiritualitas dan kharisma,
riwayat pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom, sejarah berdirinya
Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia, spiritualitas pendiri
kongregasi dan visi, misi serta tujuan Kongregasi SFS; konteks yang dibatasi pada
bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan;
peluang dan tantangan dalam pembinaan, kontekstualisasi spiritualitas pendiri,
penelitian relevan, serta fokus penelitian.
A. SPIRITUALITAS PENDIRI KONGREGASI SUSTER-SUSTER
FRANSISKAN SUKABUMI
1. Spiritualitas dan Karisma
Jacobs (1989: 3) berpendapat bahwa hanya ada satu spiritualitas, yaitu
spiritualitas Kristiani. Kita sama-sama milik Kristus. Dibaptis dalam Kristus,
digerakkan oleh Roh Kudus menuju Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.
Tetapi masing-masing orang menghayati imannya menurut kepribadian dan latar
belakang, kekhususan dan keunikannya sendiri. Maka ada sekelompok orang yang
menghayati iman Kristiani, yang memiliki ciri yang khas yang membedakan
dengan kelompok-kelompok yang lain. Kekhasan penghayatan iman Kristiani
Jacobs (1989: 1-2) menjelaskan bahwa kata spiritualitas berasal dari kata
Perancis, spiritualité yang berarti cara atau gaya hidup. Kata spiritualitas dari kata
spiritus, yang berarti roh. Jadi, kata spiritualis berarti orang yang digerakkan oleh
Roh Kudus. Pengertian spiritualis dalam bahasa Yunani: pneumatikos berarti
kharismatis. Yang artinya orang yang digerakkan oleh Roh. Yang khas dari orang
pneumatikos itu ialah, bahwa mereka orang yang spontan digerakkan oleh Roh
dan agak menyimpang dari yang biasa-biasa. Jadi, yang khas untuk pneumatisi
justru bahwa mereka tidak terikat pada lembaga, pada institusi, pada organisasi.
Selalu merupakan suatu gerakan bebas dalam Gereja. Spiritualitas selalu suatu
proses. Spiritualitas adalah sesuatu yang dinamis, yang berkembang. Maka
spiritualitas awal harus selalu diceritakan kembali. Kalau seseorang tertarik pada
suatu ordo atau kongregasi, hal itu berarti bahwa dia merasa cita-cita rohaninya
sendiri cocok dengan kelompok ini. Dan kalau dia betul-betul sudah terintegrasi
ke dalam ordo atau kongregasi, dia ikut menentukan spiritualitas. Setiap orang
berpartisipasi pribadi dalam spiritualitas kongregasi karena menghayati kharisma
secara pribadi.
Spiritualitas sangat tergantung dari situasi dan kondisi, sehingga setiap ordo
atau kongregasi mempunyai wajah yang berbeda dengan wajah cabang-cabang
lain di lain negara. Tetapi kita semua mempunyai dasar yang sama. Dan dalam
kharisma kita mempunyai dasar untuk berkomunikasi satu dengan yang lain.
Jacobs (1989: 4) menjelaskan bahwa yang pokok adalah karisma. Kata
karisma berasal dari bahasa Yunani yang berarti rahmat khusus. Rahmat khusus
atau karisma itu tentu dasar untuk kecocokan spiritualitas pendiri kongregasi.
Menurut Jacobs (1989: 8) karisma adalah sesuatu yang datang dari dalam,
dari Roh, dan dikembangkan dari dalam. Sedikit banyak lepas dari peraturan dan
ketetapan institusionalisasi, dan lain sebagainya. Maka segala hal yang
menyangkut karisma dan spiritualitas harus bersifat antusias, gembira dan
bersemangat. Oleh karena itu, bimbingan rohani khususnya kepada angkatan
muda harus stimulatif, dorongan, memberi semangat dan bukan menegur yang
tidak ada gunanya.
2. Riwayat Pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom
Menurut Eddy Kristiyanto (2009: 117-119), pendiri Kongregasi Suster
Fransiskan Sukabumi adalah Moeder Rosa de Bie, yang hidup tahun 1806-1851.
Beliau lahir di Antwerpen, Belgia, pada tanggal 3 April 1806; dengan nama,
Elisabeth de Bie, sebagai putri sulung dari pasangan suami-isteri, Bapak
Cornelius de Bie dan Ibu Petronella de Roek.
Pada usia ke-28 tahun, Rosa de Bie masuk biara Peniten Rekolek di Breda
pada tanggal 12 Desember 1834, dan menerima jubah biara pada tanggal 18
Pebruari 1835, dengan nama biara Suster Maria Rosa dari Aloysius.
Mengucapkan profesi religius pada tanggal 29 Pebruari 1836, ia tinggal di rumah
cabang pertama di Oosterhout. Kemudian ditugaskan sebagai kepala Rumah Sakit
Pada tanggal 21 November 1937, dalam koran Bredasche terdapat iklan yang
membutuhkan seorang Direktur, dengan syarat tidak menikah atau seorang janda,
dan berumur tidak kurang dari 30 tahun serta memiliki kemampuan dan terampil
melaksanakan tugas ke-rumah-tanggaan dan perawatan orang sakit (Kongregasi
SFS, 2005: 68-70). Suster Rosa mendapat tugas dari Moeder Theresia
Saelmaekers, Pemimpin Umum di Breda, untuk menulis surat lamaran sebagai
direktur dan pengurus rumah tangga Rumah Sakit milik pemerintah di Bergen op
Zoom tersebut. Pada tanggal 5 Desember 1937, Suster Rosa menulis lamaran dan
pada 9 Januari 1938, Sr Rosa diterima sebagai direktur Rumah Sakit Bergen op
Zoom, dengan kesepakatan akan diberi imbalan tahunan serta uang kos sebesar
250 gulden. Pada tanggal 12 Pebruari 1838, Suster Rosa memulai tugasnya,
dengan dua rekan suster yang baru mengucapkan kaul kekalnya, yakni Suster
Clara, BOZ dan Suster Philomena, BOZ. Mereka tidak mengenakan pakaian
biarawati, karena pada waktu itu pemerintah tidak akan mengijinkan keterlibatan
para biarawati karena masih berpandangan sempit dan toleransi terhadap agama
lain belum ada.
Gerlach (2004: 53) menyatakan bahwa sejak bulan September 1839, Moeder
Rosa de Bie memimpin sendiri komunitas religiusnya tanpa tergantung dari rumah
induk di Breda; dengan sedikit jumlah suster yang dipimpinnya, yaitu Suster
Philomena, Suster Victoria, yang keduanya sudah berprofesi kekal, Suster
Benedicta, Suster Anastasia dan Suster Agatha yang masih novis.
Sejak kunjungan resmi Raja Willem II ke kota Bergen op Zoom, pada
oleh Moeder Rosa, mereka mengenakan jubah biara. Raja menyatakan rasa
senang dan kepuasannya atas pengelolaan dan pelayanan kepada orang-orang
sakit di Rumah Sakit Sint Catarina tersebut.
3. Sejarah Berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia
Berkat pembicaraan melalui korespondensi antara Muder Gerarda BOZ
dengan Pater Műller, SJ; dalam tahun 1932 yang waktu itu menjabat sebagai
Rektor Seminari Tinggi di Yogyakarta, dan pembicaraan dengan Pater Wubbe, SJ,
serta setelah Moeder Gerarda mengadakan kunjungan ke Semarang secara
langsung; maka pada sore hari tanggal 23 Maret 1933, atas dorongan Ilahi dan
berkat restu Bapa Uskup setempat, Mgr. Hopmans, Kongregasi BOZ, mengutus
enam orang suster untuk bermisi ke Indonesia (Gerarda, 2000: 90-100). Ke-enam
suster tersebut yaitu Suster Seraphine Gulickx (dari Bavel), sebagai overste,
Suster Imelda den Aantrekker (dari Bergen op Zoom), Suter Agusta Hocke (dari
Neisse, Jerman), Suster Theresina Tax (dari Bergen op Zoom), Suster Gemma
Hertogh (dari Stoppeldyk), dan Suster Valentine Uitde Willingen (dari Heerle
Wouw). Mereka berangkat dari Rossendal naik kereta api ke pelabuhan Marseille
(Perancis). Dari sana para suster naik kapal laut “Baluran” menuju Indonesia.
Pada hari Kamis Putih, tanggal 13 April 1933, para misionaris dari
Kongregasi Peniten Rekolek BOZ ini mendarat di Tanjung Priuk. Mereka
disambut ramah oleh para suster Ursulin dari Weltevreden di Hindia Belanda
(sekarang: Jakarta). Mereka tinggal beberapa hari di tempat ini. Sementara itu,
Fransiskanes Heythuizen (OSF Semarang); untuk mempelajari penyakit-penyakit
tropis dan perawatannya.
Pada tanggal 10 Mei 1933, para misionaris BOZ memasuki kota praja
Sukabumi, namun belum bisa langsung bekerja di Rumah Sakit yang telah
disepakati dengan pejabat pemerintah kota Sukabumi. Pada waktu itu pihak
Kongregasi BOZ diwakili oleh Pater Wubbe, SJ. Para suster BOZ lebih dahulu
tinggal di rumah penduduk yang telah disiapkan untuk tempat tinggal mereka.
Pada hari itu juga dipersembahkan Misa pertama di rumah itu, kemudian mereka
mulai melaksanakan perawatan orang sakit di rumah-rumah penduduk sambil
belajar bahasa Indonesia. Pada tanggal 13 Juni 1933, para suster boleh
mengunjungi Rumah Sakit yang telah diatur oleh Pater Lukas, SJ; untuk
berkenalan dengan para dokter dan karyawan. Dan pada tanggal 28 Desember
1933, para suster resmi menetap di Jl. Rumah Sakit No. 1, Sukabumi dan berkarya
di Rumah Sakit St. Lidwina Sukabumi. Kemudian membuka beberapa cabang,
yang kemudian hari kongregasi ini di Indonesia dikenal dengan nama Suster
Fransiskan Sukabumi; yang mandiri pada tanggal 14 April 1996.
4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Kongregasi SFS yang berasal dari BOZ, Belanda mengikuti Reformasi
Limburg, Belgia yang didirikan oleh Moeder Yohana dari Yesus pada tahun 1623
dan berspiritualitas Peniten Rekolek yang berdevosi pada Yesus Kristus injili
Moeder Rosa de Bie sebagai ibu pendiri Kongregasi BOZ dan SFS berusaha
mewariskan nilai-nilai keutamaan rohani sebagai religius peniten rekolek kepada
para anggotanya secara terus-menerus, seperti tertulis pada buku Gerakan Awal
Kongregasi Peniten Rekolek (2009: 131-136). Nilai-nilai keutamaan rohani
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengungsian bagi yang menderita
Kongregasi ini bertujuan menghadirkan kasih Allah bagi mereka yang
sedang berkesusahan dan menderita. Pengungsian bagi yang menderita menjadi
motto Kongregasi Peniten Rekolek Bergen op Zoom, yang dipakai juga dalam
akte notaris berdirinya kongregasi ini.
b. Doa dan kontemplasi
Hidup doa menjadi yang utama bagi Moeder Rosa dan para pengikutnya.
Persatuan dengan Tuhan juga diterima melalui perayaan Ekaristi harian, yang
dilakukan di gereja paroki. Baginya kontemplasi adalah pemberian diri secara
total dalam merawat orang-orang sakit dan menderita, yang dipandangnya sebagai
Kristus yang miskin dan menderita.
c. Ulah tapa dan pengendalian diri
Olah rohani matiraga dan pengendalian diri merupakan praktek keutamaan
yang dijalankan dengan sangat ketat oleh Moeder Rosa dan anggotanya sebagai
Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus Assisi. Hal ini tampak dalam sikap hidup
sederhana, baik dalam berpakaian, tutur kata, cara bertindak dan menu makanan
d. Pelepasan dari hal-hal duniawi
Kaul kemiskinan dihayati secara tegas dan kokoh karena Moeder Rosa
meyakini bahwa Allahlah yang menjamin hidupnya. Sikap batin yang lepas bebas
tanpa terikat oleh barang-barang, tempat, relasi maupun harta benda yang akan
menjamin kelangsungan hidupnya. Beliau tidak khawatir akan hidupnya, masa
depannya, maupun kelangsungan hidup kongregasinya, sekalipun beliau sendiri
dan para anggotanya tidak digaji selama setahun dari pihak Rumah Sakit. Ia
meyakini bahwa Allah yang memulai karya baik ini, maka Allah sendiri yang
akan menyelesaikannya. Ia menggantungkan diri sepenuhnya pada
penyelenggaraan Ilahi.
e. Ketaatan dan kerendahan hati
Kaul ketaatan dihayati oleh Moeder Rosa dengan penuh tangungjawab. Ia
siap sedia diutus, sekalipun harus menyamar sebagai awam biasa, sewaktu
melamar ke Rumah Sakit pemerintah, yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya
Kongregasi BOZ. Ketaatannya juga tampak dalam bekerjasama dengan para
pengurus Rumah Sakit, tempat beliau mengabdikan diri, merawat orang-orang
sakit. Sikap rendah hati diwujudkan dalam keterbukaan dan ketulusan hati dalam
meminta bantuan kepada pengurus Rumah Sakit saat tidak memiliki biaya untuk
penguburan seorang anggotanya yang meninggal dan pada waktu meminta
sumbangan untuk membangun sebuah kapel, yang merupakan kerinduan hatinya
f. Cinta kasih yang melayani
Penghayatan kaul kemurnian diwujudkan dalam mencintai Tuhan dan
sesama dengan murni dan tak terbagi. Ia menghayati ajaran Tuhan Yesus dengan
menghayati kaul profesinya, agar perhatiannya hanya tertuju pada Allah Tri
Tunggal. Cinta kasih dan perhatiannya dicurahkan kepada para susternya dan para
pasien yang sakit dan menderita.
g. Pengorbanan diri
Semangat pengorbanan ia timba dari semangat pengorbanan diri Kristus yang
rela wafat demi keselamatan umat-Nya. Seluruh hidup Moeder Rosa tercurah
kepada kepentingan orang lain, terlebih untuk mereka yang menderita. Ia rela
mengorbankan kamar tidur dan ruang makan komunitasnya untuk para pasien
yang membutuhkan perawatan.
h. Kegembiraan Fransiskan
Semangat riang-gembira sebagai pengikut Fransiskus Assisi dihayati dalam
hidupnya. Berkat relasi dan imannya yang mendalam dengan Tuhan,
memancarkan kegembiaran sejati kepada setiap orang yang dijumpainya. Maka
tidak mengherankan bila banyak orang merasa terhibur bila dikunjungi oleh
beliau.
5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Visi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah suatu
menghayati dan meneruskan cita-cita Moeder Rosa de Bie, yaitu: mengusahakan
penyucian para anggotanya yang berdevosikan pada perjuangan dan penderitaan
Yesus yang tersalib, dengan hidup dalam semangat doa dan kontemplasi, tobat
dan silih, serta pelayanan cinta kasih seturut teladan Fransiskus Assisi (Zita, 2008:
212).
b. Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Misi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi mewujudkan visinya
dalam pelayanan kepada sesama melalui karya kesehatan, sosial karitatif, pastoral
dan pendidikan (Zita, 2008: 213).
c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Tujuan Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah menyucikan para
anggotanya dengan mempertahankan identitas Tarekat Suster Fransiskanes
Peniten Rekolektin sesuai dengan semangat Pendiri Moeder Rosa de Bie (Konst.
2000: pasal 4).
B. KONTEKS
Arti kata konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah situasi
yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Kontekstualisasi menurut
Hesselgrave (1994: 48), bersifat dinamis bukan statis. Kontekstualisasi mengakui
sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan
terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Namun
kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya.
bergumul untuk mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah
mereka sendiri, namun masih terdapat kesaling-tergantungan konteks.
Dengan demikian kontekstualisasi berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan
pembaharuan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing
dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesaling-tergantungan pada masa
kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu dan masa kini pada
kemungkinan-kemungkinan di masa depan (Hesselgrave, 1994: 52-53).
Kontekstualisasi dalam rangka menemukan spiritualitas masa kini dan masa
depan sebagai perwujudan baru dari konteks spiritualitas yang lama, maka dalam
penulisan ini menggunakan pendekatan beberapa bidang ilmu yang dibatasi pada
bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.
1. Komunikasi
a. Pengertian Komunikasi
Menurut Deddy Mulyana (2001: 41-42) komunikasi atau dalam bahasa
Inggris communication berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”,
communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama.”
Sama di sini maksudnya adalah sama makna.
Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam percakapan,
maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna
mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam
percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain,
mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh
kedua-duanya mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari
bahan yang dipercakapkan (Onong Uchjana Effendy, 1992: 9).
Komunikasi meliputi unsur-unsur: komunikator, pesan, media, komunikan,
dan efek. Jadi, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses
komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan
oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa
merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran,
kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk
hatinya (Onong Uchjana Effendy, 1992: 10-11).
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara
sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi
adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang
secara langsung mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain.
Baik berbentuk ide, informasi, atau opini; baik mengenai hal yang konkret
maupun abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat
sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang
(Onong Uchjana Effendy, 1992 : 11).
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator
menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan
sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.
Surat, telephone, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi
media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Akan tetapi, oleh para ahli
komunikasi diakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya
dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Yang efektif dan
efisien dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka
karena kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator, sedangkan
dalam proses komunikasinya, umpan balik berlangsung seketika, dalam arti kata
komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga
(Onong Uchjana Effendy, 1992: 16-17).
b. Trend Komunikasi Masa Kini
Derasnya teknologi yang masuk ke suatu negara dapat mendekatkan jarak
hubungan antar manusia. Meski demikian, tentunya tak lepas dari hal-hal negatif.
Dampak alienasi, keterasingan masing-masing individu, nilai-nilai primordialisme
juga dapat tercipta karena keberadaan teknologi informasi tersebut. Sebagian
generasi digital akan menjadi konsumtif, hedonis, dan narsistis yang akan
menghambat kemajuan bangsa (Dirjen Informasi dan Komunikasi RI, 2012: 10).
Iswarahadi (2003: 10-11) sarana komunikasi modern, seperti televisi,
komputer, internet, handphone, facebook, websites, dan lain sebagainya;
menyebabkan komunikasi verbal semakin hilang dan kurang dihargai perannya.
dan pemikiran orang yang sama secara massal, sehingga dalam waktu yang
singkat hal sama itu dapat dibaca, didengar, dan diketahui secara luas. Melalui
penggunaan sarana modern untuk berkomunikasi, orang tidak hanya menyentuh
dan menyapa seseorang melainkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang
sama. Sayangnya, dengan itu komunikasi juga kehilangan unsur pribadinya, sebab
orang tidak lagi berjumpa dengan seorang “engkau” tetapi dengan massa atau fans
yang banyak, sementara narasumber sendiri menjadi semacam idola atau abstraksi
asing yang tidak bisa disentuh.
Perkembangan jaringan komunikasi dan informasi melalui dunia maya,
sepintas tampak hanya sebagai perkembangan teknologi sarana-sarana komunikasi
yang semakin luas, semakin cepat, dan menjangkau banyak orang. Cita-cita yang
dikejar adalah publisitas, transparansi umum dan nilai yang diunggulkan adalah
kelayakan pasar, laku jual. Sebuah ide, gagasan, ataupun barang naik harganya
ketika semakin banyak orang menyukai dan merasa membutuhkannya. Untuk itu,
orang berusaha keras menggunakan media massa sebagai sarana promosi,
mencapai publisitas yang luas (Iswarahadi, 2003: 11).
Media massa sekarang ini bukanlah sekadar sarana, melainkan kebudayaan
itu sendiri, di mana manusia hidup, bergerak, dan ada. Kebudayaan media massa
telah menenggelamkan manusia seluruhnya ke dalam model komunikasi global
yang tidak bisa dicegah. Penggunaan media massa dengan sendirinya akan
menuntut penerimaan sifat-sifat mental, yang tercakup dalam budaya tersebut
seperti publisitas, keterbukaan atau transparansi, pembaruan terus-menerus, relasi
Kemajuan teknologi yang semakin pesat perlahan-lahan mempengaruhi
perkembangan pola komunikasi manusia yang dimuat dalam Kompas (Fitur
Klasika | Internet, 2012: 33). Kemunculan berbagai situs jejaring sosial, seperti
facebook dan twitter tak dapat dipungkiri telah mengubah pola pikir seseorang
dalam berinteraksi. Era new wave media memang seperti dua mata pisau, bisa
membawa hal positif dan negatif tergantung dari si pengguna. Misalnya, sebagian
orang kini cenderung lebih vokal saat menggunakan jejaring sosial. Sementara di
dunia nyata, orang justru lebih memilih untuk diam. Sayangnya, kebebasan
berekspresi di dunia maya kerap disalahgunakan para netizen. Oleh karena itu, tak
jarang kasus cyberbullying akhir-akhir ini bermunculan.
Cyberbullying diartikan sebagai kondisi saat seseorang diintimidasi,
dipermalukan, bahkan diancam oleh satu atau banyak pihak. Tindakan ini
dilakukan melalui teknologi informasi, seperti media sosial, blog, chat room,
bahkan telepon genggam. Hasil penelitian sebuah perusahaan yang bergerak pada
bidang riset pasar global Amerika Serikat, Ipsos pada pertengahan November
2011 memaparkan, 74% responden Indonesia memilih facebook sebagai sumber
dari kasus cyberbullying. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat berkembang ke
arah yang mengkawatirkan. Pihak yang diintimidasi bisa saja merasa tertekan dan
berangsur menjadi depresi, bahkan dapat memicu orang untuk bunuh diri karena
mental yang lemah.
2. Kebudayaan
Menurut Hariyono (1996: 44) kata “kebudayaan” berasal dari bahasa
Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau
“akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan
dengan akal”. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata “budaya” merupakan
perkembangan majemuk dari “budi daya”. Dari pengertian tersebut kemudian
dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, karsa
dan rasa dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.
Secara sederhana pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya
Dasar mengacu pada pengertian sebagai berikut:
1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjuk
dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil dan karya fisik
manusia ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan
pola perilaku (tindakan) manusianya. Kebudayaan sebagai suatu sistem
memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang
mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan
yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan
baik. Karena dianggap benar dan baik, hasil renungan ini biasanya ingin
diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh generasi berikutnya hasil
renungan ini dipertimbangkan kembali sesuai dengan kemajuan yang dapat
2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering
disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan
tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut
nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak.
Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga
merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang
dihadapi manusia (Hariyono, 1996: 45).
b. Simbol dan Nilai
Redi Panuju (1996: 28) berpendapat pada dasarnya setiap orang terbentuk
oleh lingkungan. Lingkungan pembentuk ini biasanya disebut kebudayaan.
Sebaliknya manusia juga membentuk kebudayaan. Kebudayaan dapat dipandang
sebagai tindakan berpola dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat
terbentuk atau terkelompok oleh adanya kebudayaan.
Setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut memiliki simbol dan
nilai yang sama. Simbol dan nilai ini merupakan perbendaharaan kelompok
sebagai dasar bertindak. Dengan menggabungkan faktor diri dengan faktor
kebudayaan, orang akan bertindak sesuai dengan kecenderungan psikisnya.
Nota Pastoral (KWI, 2007: 117) menyatakan bahwa budaya tidak dipahami
sebagai sistem nilai yang amaterial. Budaya adalah cara kita memandang, merasa,
bertindak dan berelasi yang menjelma di dalam kebiasaan (habit) yang sungguh
bersifat fisik dan material. Budaya dipahami sebagai gugus kebiasaan sehari-hari
hidup kita. Kebiasaan hidup mencakup hampir semua tindakan dan praktik sosial
sepenuhnya sadar, namun juga tidak berarti tindakan kita mekanis seperti mesin.
Dapat dikatakan bahwa kebiasaan adalah gugus praktik instingtif yang dilakukan
lantaran pengalaman dan pengulangan.
Maka transformasi kultural (cara kita memandang, merasa, bertindak dan
berelasi) perlu dilakukan bukan dengan mengandaikan kesadaran kritis kita yang
terlalu tinggi, namun juga bukan mengandaikan kita seperti mesin-mesin yang
bergerak secara mekanis. Kita mempunyai kesadaran bukan hanya secara normatif
tetapi juga deskriptif. Pengertian sudah banyak, penyadaran juga luas, nasehat
sudah berlimpah tetapi jarak antara tahu (to know) dan berbuat (to do) tetaplah
sangat jauh. Kita tidak menjadi bijaksana (wise) hanya dengan tahu apa itu
kebijaksanaan (wisdom). Dengan kata lain, antara momen “tahu yang baik” dan
momen “melakukan yang baik” adalah perjalanan panjang yang berisi
pembentukan kebiasaan (habit) (KWI, 2007: 118).
c. Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme?
Negara Indonesia adalah negara majemuk atau pluralis. Magnis-Suseno
(2008: 27-28) berpendapat bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung
tinggi pluralitas. Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa
dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda, serta
kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama dengan mereka. Pluralisme
tidak hanya berarti membiarkan pluralitas, melainkan memandangnya sebagai
sesuatu yang positif. Karena seorang pluralis menghormati dan menghargai
Kita akui bahwa negara Indonesia plural, namun pada praktek hidup bersama
sebagai bangsa masih terjadi pertentangan. Seperti dikatakan Adi Prasetyo bahwa
sepuluh tahun terakhir ini aksi intoleransi semakin meningkat. Terjadinya
penutupan dan perusakan tempat ibadat, aksi penyerangan terhadap acara
peluncuran buku penulis asal Kanada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Keputusan MA yang tak bisa dieksekusi akibat tekanan kelompok massa serta
ketidakmampuan dan ketidakmauan aparat penegak hukum untuk memberi
perlindungan dan pemenuhan hak asasi kepada kelompok minoritas (Adi
Prasetyo, 2012: 36).
Menurut Magnis-Suseno (2008: 30) Negara Indonesia yang majemuk ini
akan tetap bersatu apabila semua komponen bangsa mau bersatu dan mereka
hanya akan mau bersatu apabila mereka dapat ikut mengurusnya. Itulah yang
dijamin oleh demokrasi.
Namun menurut Eddy Kristiyanto (2001: 311) demokrasi dapat dicegat,
ditangguhkan bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokratik kalangan
tertentu para pemegang kekuasaan.
Reza Syawawi (2012: 6) mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia
sekarang ini berwajah ganda. Di satu sisi demokrasi merupakan instrumen yang
dipercaya mengagregasi kepentingan publik, tetapi di sisi lain menggerogotinya.
Dewasa ini demokrasi hanya diindentikan dengan peran partai dalam pemilihan
umum.
Di sisi lain, pengaruh globalisasi telah memunculkan budaya baru di
dengan kapitalisme. Produksi kapitalis tidak sekedar untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, melainkan sebaliknya malah menciptakan
kebutuhan-kebutuhan itu (Magnis-Suseno, 2008: 16).
Menurut Kuntoro Adi (2011: 44-45) konsumerisme perlu dibedakan dari
komsumsi. Komsumsi berkaitan dengan pemakaian barang/jasa untuk hidup layak
dalam konteks sosio-ekonomi-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan
survival. Sedangkan konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Jika dipadatkan,
kira-kira begini: konsumerisme adalah komsumsi yang mengada-ada. Komsumsi
bukan soal ada tidaknya uang untuk shopping. Juga bukan soal laba besar yang
dikeruk melalui permainan insting konsumen. Kunci untuk memahami
konsumerisme adalah psikologi, bagaimana konsumsi yang mengada-ada
dilembagakan sebagi nirvana. Mereka diburu dengan harga absurd karena
memberi klaim pada rasa percaya diri dan eksklusif. Karena eksklusif maka juga
prestise dan status. Konsumerisme bagaikan mengejar langit di atas langit. Orang
tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan
pakaian, tetapi memakai Armani.
Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus
selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan uang
Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber
decak kagum, atau panutan. Namun bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu
adalah cerita tentang narcissme seorang konsumeris. Konsumeris ialah narcissts
sendiri. Dan seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja
topengnya sendiri (Kuntoro Adi, 2011: 45-46).
Kapitalisme juga menciptakan produksi massal yang melahirkan budaya pop
sebagai budaya massa. Budaya pop merupakan budaya komersial. Menurut
Dadang Supardan
kata pop diambil dari kata populer. Istilah pop memiliki empat makna yakni
banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk
menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya
sendiri.
Menurut Dyah Hapsari (http://dyahhapsari.blogspot.com/2009/11/) kata
massa mempunyai makna positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan
dengan kerumunan (mob), atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak
memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positifnya yaitu massa
memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat
mencapai tujuan kolektif.
Budaya pop banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat
dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu, seperti pementasan
mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model handphone, model rumah,
perawatan tubuh, dan semacamnya. Budaya pop dibangun berdasarkan
kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan
kerja sepanjang hari. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Praktek
budaya pop lebih dilihat sebagai fantasi publik. Budaya pop memberi ruang bagi
dari utopia kita sendiri. Massa cenderung “latah” meniru segala sesuatu yang
sedang naik daun atau laris. Budaya massa menciptakan kelas sosial. Selera, bisa
disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri kelas
sosial.
3. Psikologi
a. Konsep Psikologi
Para ahli psikologi terdahulu, mendefinisikan bidang mereka sebagai studi
kegiatan mental. Dengan berkembangnya aliran behaviorisme dengan penekanan
studinya hanya pada fenomena yang dapat diukur secara obyektif, psikologi
didefinisikan sebagai studi mengenai perilaku. Definisi ini mencakup
penyelidikan mengenai perilaku binatang juga manusia dengan asumsi bahwa
informasi yang didapat dari percobaan dari binatang dapat diterapkan pada
organisme manusia (L. Atkinson, 1999: 18).
Studi perilaku manusia dapat menjangkau lebih jauh keadaan yang terjadi
pada setiap individu dan meninjau tata hubungan kelembagaan di mana mereka
hidup; yakni keluarga, lingkungan tetangga, dan masyarakat umumnya. Karena
lingkungan hidup itu terlalu beraneka ragam untuk dipahami jika hanya dilihat
dari sudut pandang, maka muncul sejumlah bidang penyelidikan, yakni
antropologi, ekonomi, linguistik, ilmu politik, sosiologi, dan bidang keahlian lain.
Secara keseluruhan dikenal sebagai ilmu perilaku dan ilmu sosial. Istilah ilmu
sosial dulu merupakan bidang yang eksklusif, sedangkan ilmu perilaku terbatas
linguistik). Karena semua bidang sudah semakin menyadari bahwa untuk dapat
memahami perilaku individu harus memahami juga perilaku sosial, istilah ilmu
perilaku dan ilmu sosial dipakai secara bergantian (L. Atkinson, 1999: 24).
b. Trend Psikologi Masa Sekarang
Dicky Hastjarjo
bahwa psikologi kognitif dinilai sebagai satu revolusi dalam psikologi oleh karena
psikologi kognitif merubah metateori psikologi. Metateori kognitif mengubah
metateori behaviorisme sebab objek studinya bukan perilaku untuk membuat
inferensi tentang faktor-faktor yang melandasi perilaku tersebut.
Munculnya psikologi kognitif didorong oleh kegagalan behaviorism,
munculnya teori komunikasi, ilmu linguistik modern, riset memori, kemajuan
ilmu komputer dan teknologi, serta teori perkembangan kognitif.
Psikologi kognitif dirumuskan sebagai studi mengenai kognisi atau
aktivitas-aktivitas mental yang mencakup pemerolehan, penyimpanan,
pengambilan dan penggunaan pengetahuan. Informasi megenai ruang lingkup
yang luas, yakni dari persepsi, rekognisi pola, perhatian, kesadaran, memori,
imajeri, bahasa, psikologi perkembangan, berpikir dan pembentukan konsep, serta
kecerdasan manusia dan kecerdasan artifisial; diharapkan memberikan gambaran
sekilas mengenai betapa pentingnya psikologi kognitif. Emosi juga memiliki
peranan penting dalam kognisi. Psikologi kognitif mempelajari proses-proses
mental yang dilandasi oleh kerja otak manusia. Psikologi kognitif menggunakan
tiga model untuk menerangkan bekerjanya kognisi manusia, yaitu model