• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN

D. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI

Spiritualitas pendiri Kongregasi BOZ yang diwariskan kepada para anggotanya hingga ke Indonesia dengan sebutan Kongregasi SFS masih sama, yakni: pengungsian bagi yang menderita, semangat doa dan kontemplasi, ulah tapa dan pengendalian diri, pelepasan dari hal-hal duniawi, ketaatan dan kerendahan hati, cinta kasih yang melayani, pengorbanan diri dan kegembiaraan Fransiskan (hal. 17-19).

Konteks yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan dan kepemimpinan menunjukkan adanya perbedaan dengan trend

komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan dan kepemimpinan di masa sekarang, seperti telah diuraikan sebelumnya (hal. 20-44). Dari perbedaan tersebut diperoleh peluang dan tantangan dalam pembinaan (hal. 45-53).

Berdasarkan kedua pemikiran di atas maka dikemukakan gagasan kontekstualisasi spiritualitas pendiri dalam pembinaan suster-suster yunior dalam masing-masing bidang sebagai berikut:

1. Bidang Komunikasi

Komunikasi verbal antara formator dan formandi dalam proses pembinaan harus lebih intensif mengingat spiritualitas pendiri harus terus-menerus

disampaikan sebagai warisan pendiri yang menjadi kekhasan kongregasi kepada para religius muda agar tidak menjadi semakin berkurang, berubah ataupun hilang melainkan tetap dapat dihayati oleh para suster yunior dalam situasi sekarang yang semakin mengandalkan media komunikasi tanpa harus saling bertemu secara langsung. Di sisi lain, media komunikasi yang semakin canggih di era globalisasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendukung dalam pembinaan sehingga informasi dapat diterima lebih cepat. Media komunikasi yang semakin murah juga dapat dimanfaatkan untuk membangun jejaring dengan lembaga religius lain demi mendukung pembinaan suster yunior.

Kemajuan teknologi komunikasi membawa dampak positif dan negatif maka pengarahan para formator kepada para suster yunior sangat dibutuhkan agar mereka dapat menggunakan media komunikasi secara bijaksana. Oleh karena itu, semangat diskresi harus terus-menerus ditekankan dengan demikian diharapkan para suster yunior semakin mampu menyikapi dan selektif dalam memilih informasi melalui media komunikasi.

Namun demikian, para suster yunior perlu diberi kebebasan dan kepercayaan untuk mewujudkan nilai-nilai spiritualitas pendiri yang menjadi kekhasan kongregasi dalam hidup sehari-hari sesuai dengan kharisma pribadinya dengan menggunakan media komunikasi tersebut.

2. Bidang Kebudayaan

Warisan nilai-nilai spiritualitas pendiri akan tetap sama maknanya dari zaman ke zaman bila tetap dikomunikasikan. Maka budaya dialog antar para

suster yunior sendiri maupun dengan pihak lain yang melibatkan para suster yunior baik dalam kongregasi maupun lintas kongregasi harus dibiasakan mengingat situasi zaman semakin individualis, egois, mencari yang instan dan narsistis. Dengan demikian diharapkan para suster yunior semakin memiliki sikap terbuka untuk mengakui dan menghargai setiap perbedaan serta semakin menjadi kebiasaan (habit) dalam praktek hidup konkret bersama dengan orang lain dalam keseharian.

Dalam menanamkan nilai-nilai spiritualitas yang bersifat informasi atau teori hendaklah diberlakukan waktu untuk menerapkan atau praktek atas pengetahuan tersebut kemudian dievaluasi terus-menerus mengingat transformasi budaya yang meliputi cara memandang, merasa, bertindak dan berelasi perlu dilatihkan dan membutuhkan waktu yang panjang untuk menjadi kebiasaan sehingga antara tahu (to know) dan berbuat (to do) tidak terpisah atau berjarak jauh.

Penciptaan budaya baru membutuhkan eksperimen maka para suster yunior perlu diberikan kebebasan untuk mengungkapkan gagasannya dan memperjuangkan cita-cita atau impiannya dalam mewujudkan nilai-nilai rohani yang luhur sebagai religius SFS. Tentu saja untuk mewujudkan hal itu membutuhkan sarana prasarana yang mendukung tugas perutusan dalam perwujudan cita-cita tersebut maka dibutuhkan arahan dari formator agar tetap selektif dan prioritas dalam memilih dan menggunakan sarana prasarana yang tersedia. Dengan demikian, penggunaan sarana prasarana bukan karena mengikuti

pendukung dalam perwujudan cita-cita luhur demi terwujudnya Kerajaan Allah di dunia ini.

3. Bidang Psikologi

Psikologi kognitif dipandang sebagai revolusi dalam psikologi karena merubah metateori psikologi. Psikologi kognitif mempelajari proses-proses mental yang dilandasi oleh kerja otak manusia maka kecenderungan dalam diri religius muda bisa terjadi lebih mengedepankan kemampuan rasio sehingga kurang seimbang dalam pengolahan afeksi dan perilaku kepribadian. Oleh karena itu, perpaduan psikologi kepribadian dan psikologi kognitif perlu dipadukan dalam pembinaan para suster yunior.

Penerapan perpaduan psikologi kepribadian dan psikologi kognitif membutuhkan kerjasama dengan tenaga ahli, juga dalam mengadakan tes untuk mengetahui sejauh mana efektifitas penerapan perpaduan psikologi tersebut dalam pembinaan terhadap para suster yunior.

Selain itu, formandi bersama formator perlu membiasakan pembuatan rencana kerja atau proyek pengolahan diri, latihan, refleksi dan evaluasi secara berkala untuk tercapainya tujuan penerapan perpaduan psikologi tersebut.

Psikologi kognitif didukung pula teori multi intelegen yang meliputi sembilan kecerdasan yang memungkinkan penerapan berbagai strategi dalam pembinaan yang akan membantu memberikan panduan dalam menyusun program pembinaan dengan menyesuaikan pada bakat dan kemampuan formandi.

4. Bidang Pendidikan

Nilai-nilai spiritualitas pendiri yang telah ditanamkan kepada para calon sejak masa postulat dan novisiat dikembangkan dijenjang berikutnya yakni masa yuniorat. Sedangkan materi pembinaan masa yuniorat meliputi teologi biblis, dogmatik, spiritual, dan pastoral, dan khususnya pada pendalaman pemahaman doktrinal akan hidup bakti dan akan kharisma lembaga (Pedoman-pedoman Pembinaan Dalam Kongregasi Untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, 1990: art. 61). Oleh karena itu, Kongregasi SFS harus menentukan masa yuniorat untuk tinggal di rumah yuniorat bersama formator dalam jangka waktu tertentu untuk mendalami materi yang harus digumuli di masa yuniorat tersebut.

Sumber belajar dalam pendidikan sekarang ini sangat banyak, maka konsep pendidikan seumur hidup (ongoing formation) dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Perlu juga memberikan kebebasan bagi para formandi untuk aktif mencari dan mengembangkan secara mandiri, termasuk pembuatan karya ilmiah. Spiritualitas yang telah dimiliki para suster yunior akan dapat diwujudkan secara kompeten dan optimal dalam tugas pelayanan kepada sesama yang membutuhkan apabila didukung dengan studi formal yang memperkembangkan bakat dan minat masing-masing suster yunior sehingga spiritualitas pendiri tetap relevan pada situasi zaman yang terus berubah.

5. Bidang Kepemimpinan

Kepemimpinan yang memperlakukan seluruh anggota setara dan memberikan kepercayaan serta kesempatan untuk berkembang secara optimal sesuai fungsi, peran dan masanya merupakan hal penting dalam kepemimpinan di masa sekarang ini mengingat kecenderungan khalayak pada umumnya menolak kepemimpinan yang otoriter dan hirarkis.

Kesempatan dan kepercayaan penting diberikan kepada para suster yunior untuk belajar memimpin berbagai kegiatan, baik internal maupun eksternal kemudian dievaluasi secara terbuka. Begitu juga kepercayaan dan kesempatan mengelola dan mengembangkan unit karya sebagai arena berlatih secara langsung dalam memimpin diri sendiri dan orang lain seraya tetap didampingi oleh pemimpin yang terkait.

Kepemimpinan yang efektif adalah melalui keteladanan hidup sehari-hari maka budaya saling melayani dan memberi teladan baik sebagai religius SFS harus terus-menerus diwujudkan sehingga masing-masng anggota temasuk para suster yunior mengetahui apa yang bernilai dan harus dicapai dalam hidup sehari- hari sebagai orang-orang yang terpanggil untuk diselamatkan oleh Allah Bapa dalam penebusan Yesus Kristus Putera-Nya.

E. PENELITIAN RELEVAN

Terkait dengan penelitian yang hendak penulis lakukan, penulis menemukan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu yang membahas tentang panggilan imamat beserta tinjauan pastoralnya. Kelompok psikoreligius

Yogyakarta (1975), yang diketuai oleh A. Widyarta, yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Penyelidikan PUSKAT, mengadakan penelitian mengenai panggilan imamat beserta tinjauan pastoralnya, yang dibatasi pada variabel: gambaran imamat, pandangan keagamaan dan pandangan hidup. Penelitian dilakukan dengan membandingkan antara para pemuda katolik yang tertarik pada jabatan imamat dan mereka yang tidak tertarik dengan para calon imam dari pelbagai tingkatan pendidikan calon imam. Subyek penelitian adalah para pemuda katolik SLTA dan SPG Katolik kelas III, dari 14 (empat belas) sekolah katolik di wilayah keuskupan-keuskupan, yakni keuskupan Agung Semarang, Jakarta, Ujung Pandang dan Ende; yang berjumlah 554 orang. Sedangkan para calon imam terdiri dari siswa-siswa Seminari Menengah kelas tertinggi dari 7 (tujuh) sekolah dari keuskupan-keuskupan tersebut sejumlah 151 orang; dan mahasiswa IFT tingkat I, III dan V berasal dari 5 (lima) Institut dari keuskupan-keuskupan tersebut berjumlah 233 orang. Alat-alat penelitian yang dipakai berbentuk opinionnaire, questionnaire dan checklist. Umumnya pertanyaan-pertanyaan bersifat tertutup. Berdasarkan hasil analisa data dari kelompok subyek penelitian di lingkungan SLTA, kelompok peminat relatif lebih konservatif, baik dalam gambaran imamat, pandangan keagamaan maupun pandangan hidup, daripada kelompok non peminat. Sedangkan hasil penelitian di lingkungan kelompok seminaris dan mahasiswa IFT sangat variatif, yakni:

1) Gambaran imamat tidak ada perbedaan.

Dibandingkan dengan mahasiswa IFT tingkat I, seminari menengah memiliki pandangan keagamaan yang lebih tradisional dan pandangan hidup yang lebih konservatif.

3) Perbedaan arah pandangan IFT tingkat I, III dan V

Dalam gambaran imamat, pandangan keagamaan dan pandangan hidup terdapat perbedaan yang secara berangsur semakin jelas mengarah ke sekularisasi.

4) Afinitas gambaran imamat SLTA, Seminari Menengah dan IFT

Dilihat dari skor rata-ratanya, gambaran imamat kelompok peminat dari SLTA, siswa-siswa Seminari Menengah dan IFT tingkat I, dapat disebut sama. Dilihat dari skor rata-rata pula, dalam gambaran imamat, mahasiswa IFT tingkat V lebih dekat dengan kelompok non peminat daripada dengan mahasiswa IFT tingkat I.

5) Besar kelompok mantap dan kelompok konflik

Jumlah mahasiswa IFT yang menyatakan konflik panggilan pada tingkat I dan III kira-kira dua kali lipat jumlah mahasiswa yang mantap dalam niatnya untuk menjadi imam, yakni 56,1% dan 58%. Tetapi pada tingkat V, kelompok konflik hanya meliputi separoh dari kelompok mantap, atau 24,4% saja. 6) Sebab-sebab konflik panggilan yang disebutkan

Sebab-sebab konflik panggilan yang disebutkan oleh subjek penelitian berkisar pada: beratnya studi, tertarik pada jabatan lain, perbedaan antara gambaran imamat yang dahulu dimiliki dengan kenyataan sebenarnya, tertarik pada status hidup berkeluarga dan tak dapat hidup bahagia sebagai rohaniwan.

7) Perbedaan gambaran imamat kelompok mantap dan kelompok konflik pada tingkat I dan III

Kelompok mantap memiliki gambaran imamat yang relatif tidak begitu sekuler daripada kelompok konflik. Pada tingkat V, antara kedua kelompok itu tidak ada perbedaan.

8) Perbedaan pandangan keagamaan kelompok mantap dan konflik

Pada tingkat I, kelompok mantap memiliki pandangan keagamaan yang relatif kurang sekuler dari pada kelompok konflik. Pada tingkat III dan V tidak ada perbedaan lagi.

9) Pandangan hidup kelompok mantap dan kelompok konflik

Antara kelompok mantap dan kelompok konflik pada garis besarnya tidak terdapat perbedaan baik di tingkat I, III maupun V.

10)Kemajuan arah pandangan kelompok mantap tingkat I, III dan V

Antara kelompok mantap tingkat I, III dan V terdapat perbedaan yang secara berangsur-angsur mengarah pada sekularisasi dalam gambaran imamat, pandangan keagamaan dan pandangan hidup.

11)Kemajuan arah pandangan kelompok konflik tingkat I, III dan V

Antara kelompok konflik tingkat I dan III terdapat perbedaan dalam gambaran imamat, pandangan keagamaan dan pandangan hidup, secara jelas semakin mengarah ke pandangan sekularisasi. Akan tetapi antara kelompok konflik tingkat III dan V, dalam ketiga pandangan itu tidak terdapat perbedaan yang meyakinkan.

12)Kesulitan-kesulitan kelompok konflik

Kesulitan yang khas bagi kelompok konflik terutama berkisar pada: pertentangan-pertentangan antara keinginan/kecenderungan mau ke luar dan kepentingan pihak lain (Gereja, keluarga, kehendak Tuhan), keraguan apakah Tuhan sungguh memanggil dan kesulitan-kesulitan emosional, loneliness.

F. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian ini adalah upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang telah dilakukan selama ini oleh Kongregasi SFS beserta hasilnya. Yang dimaksud spiritualitas pendiri di sini adalah cara atau gaya hidup kristiani yang diwariskan oleh Moeder Rosa de Bie sebagai pendiri Kongregasi BOZ-SFS.

Oleh karena spiritualitas pendiri terdiri dari beberapa nilai keutamaan, maka dalam penelitian ini dibatasi pada spiritualitas ulah tapa dan pengendalian diri serta cinta kasih yang melayani. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah keseluruhan situasi kondisi yang tercermin dalam bidang ilmu yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan dan kepemimpinan. Sedangkan kontekstualisasi yang dimaksudkan di sini adalah kemungkinan- kemungkinan pembaharuan spiritualitas pendiri pada masa kini dalam kerangka kesaling-tergantungan yang mengikat spiritualitas pendiri pada konteks masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan pembaharuan spiritualitas pendiri di masa depan. Oleh karena itu, dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana spiritualitas ulah tapa dan pengendalian diri serta cinta kasih yang melayani dipahami oleh para suster Kongregasi SFS?

2. Bagaimana Kongregasi SFS memahami konteks selama ini?

3. Bagaimana Kongregasi mengupayakan kontekstualisasi spiritualitas pendiri selama ini dan apa hasilnya?

Dokumen terkait