• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN

B. KONTEKS

2. Kebudayaan

Menurut Hariyono (1996: 44) kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya”. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.

Secara sederhana pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya Dasar mengacu pada pengertian sebagai berikut:

1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil dan karya fisik manusia ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan) manusianya. Kebudayaan sebagai suatu sistem memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan baik. Karena dianggap benar dan baik, hasil renungan ini biasanya ingin diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh generasi berikutnya hasil renungan ini dipertimbangkan kembali sesuai dengan kemajuan yang dapat dicapai dan dirasa lebih memuaskan (Hariyono, 1996: 44-45).

2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai- nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia (Hariyono, 1996: 45).

b. Simbol dan Nilai

Redi Panuju (1996: 28) berpendapat pada dasarnya setiap orang terbentuk oleh lingkungan. Lingkungan pembentuk ini biasanya disebut kebudayaan. Sebaliknya manusia juga membentuk kebudayaan. Kebudayaan dapat dipandang sebagai tindakan berpola dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat terbentuk atau terkelompok oleh adanya kebudayaan.

Setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut memiliki simbol dan nilai yang sama. Simbol dan nilai ini merupakan perbendaharaan kelompok sebagai dasar bertindak. Dengan menggabungkan faktor diri dengan faktor kebudayaan, orang akan bertindak sesuai dengan kecenderungan psikisnya.

Nota Pastoral (KWI, 2007: 117) menyatakan bahwa budaya tidak dipahami sebagai sistem nilai yang amaterial. Budaya adalah cara kita memandang, merasa, bertindak dan berelasi yang menjelma di dalam kebiasaan (habit) yang sungguh bersifat fisik dan material. Budaya dipahami sebagai gugus kebiasaan sehari-hari hidup kita. Kebiasaan hidup mencakup hampir semua tindakan dan praktik sosial kita. Dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan itu, kita tidak lagi bertindak dengan

sepenuhnya sadar, namun juga tidak berarti tindakan kita mekanis seperti mesin. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan adalah gugus praktik instingtif yang dilakukan lantaran pengalaman dan pengulangan.

Maka transformasi kultural (cara kita memandang, merasa, bertindak dan berelasi) perlu dilakukan bukan dengan mengandaikan kesadaran kritis kita yang terlalu tinggi, namun juga bukan mengandaikan kita seperti mesin-mesin yang bergerak secara mekanis. Kita mempunyai kesadaran bukan hanya secara normatif tetapi juga deskriptif. Pengertian sudah banyak, penyadaran juga luas, nasehat sudah berlimpah tetapi jarak antara tahu (to know) dan berbuat (to do) tetaplah sangat jauh. Kita tidak menjadi bijaksana (wise) hanya dengan tahu apa itu kebijaksanaan (wisdom). Dengan kata lain, antara momen “tahu yang baik” dan momen “melakukan yang baik” adalah perjalanan panjang yang berisi pembentukan kebiasaan (habit) (KWI, 2007: 118).

c. Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme?

Negara Indonesia adalah negara majemuk atau pluralis. Magnis-Suseno (2008: 27-28) berpendapat bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung tinggi pluralitas. Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama dengan mereka. Pluralisme tidak hanya berarti membiarkan pluralitas, melainkan memandangnya sebagai sesuatu yang positif. Karena seorang pluralis menghormati dan menghargai sesama manusia dalam identitasnya, dan berarti juga dalam perbedaannya.

Kita akui bahwa negara Indonesia plural, namun pada praktek hidup bersama sebagai bangsa masih terjadi pertentangan. Seperti dikatakan Adi Prasetyo bahwa sepuluh tahun terakhir ini aksi intoleransi semakin meningkat. Terjadinya penutupan dan perusakan tempat ibadat, aksi penyerangan terhadap acara peluncuran buku penulis asal Kanada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Keputusan MA yang tak bisa dieksekusi akibat tekanan kelompok massa serta ketidakmampuan dan ketidakmauan aparat penegak hukum untuk memberi perlindungan dan pemenuhan hak asasi kepada kelompok minoritas (Adi Prasetyo, 2012: 36).

Menurut Magnis-Suseno (2008: 30) Negara Indonesia yang majemuk ini akan tetap bersatu apabila semua komponen bangsa mau bersatu dan mereka hanya akan mau bersatu apabila mereka dapat ikut mengurusnya. Itulah yang dijamin oleh demokrasi.

Namun menurut Eddy Kristiyanto (2001: 311) demokrasi dapat dicegat, ditangguhkan bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokratik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan.

Reza Syawawi (2012: 6) mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia sekarang ini berwajah ganda. Di satu sisi demokrasi merupakan instrumen yang dipercaya mengagregasi kepentingan publik, tetapi di sisi lain menggerogotinya. Dewasa ini demokrasi hanya diindentikan dengan peran partai dalam pemilihan umum.

Di sisi lain, pengaruh globalisasi telah memunculkan budaya baru di Indonesia, yakni gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme tentu berkaitan

dengan kapitalisme. Produksi kapitalis tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan masyarakat, melainkan sebaliknya malah menciptakan kebutuhan- kebutuhan itu (Magnis-Suseno, 2008: 16).

Menurut Kuntoro Adi (2011: 44-45) konsumerisme perlu dibedakan dari komsumsi. Komsumsi berkaitan dengan pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomi-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan

survival. Sedangkan konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Jika dipadatkan, kira-kira begini: konsumerisme adalah komsumsi yang mengada-ada. Komsumsi bukan soal ada tidaknya uang untuk shopping. Juga bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana konsumsi yang mengada-ada dilembagakan sebagi nirvana. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi klaim pada rasa percaya diri dan eksklusif. Karena eksklusif maka juga

prestise dan status. Konsumerisme bagaikan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.

Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan uang Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber decak kagum, atau panutan. Namun bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu adalah cerita tentang narcissme seorang konsumeris. Konsumeris ialah narcissts

sendiri. Dan seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja topengnya sendiri (Kuntoro Adi, 2011: 45-46).

Kapitalisme juga menciptakan produksi massal yang melahirkan budaya pop sebagai budaya massa. Budaya pop merupakan budaya komersial. Menurut Dadang Supardan kata pop diambil dari kata populer. Istilah pop memiliki empat makna yakni banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.

Menurut Dyah Hapsari (http://dyahhapsari.blogspot.com/2009/11/) kata massa mempunyai makna positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan dengan kerumunan (mob), atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positifnya yaitu massa memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat mencapai tujuan kolektif.

Budaya pop banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu, seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model handphone, model rumah, perawatan tubuh, dan semacamnya. Budaya pop dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Praktek budaya pop lebih dilihat sebagai fantasi publik. Budaya pop memberi ruang bagi eskapisme yang bukan hanya lari dari atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian

dari utopia kita sendiri. Massa cenderung “latah” meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris. Budaya massa menciptakan kelas sosial. Selera, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri kelas sosial.

Dokumen terkait