• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN

B. KONTEKS

5. Kepemimpinan

Kepemimpinan menyangkut tiga aspek, yakni kemampuan manajerial, pengambilan keputusan, dan pencapaian visi. Berkaitan dengan kemampuan manajerial Amstrong (1988: 90) berpendapat bahwa kepemimpinan (leadership) adalah mengerjakan segala sesuatu melalui orang lain, jika ada sasaran untuk dicapai, jika suatu tugas dilaksanakan dan jika lebih satu orang diperlukan untuk melakukannya. Menurut definisi semua manajer adalah pemimpin, dalam arti bahwa mereka hanya akan dapat mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan dengan dukungan kelompoknya, yang harus tergerak atau dibujuk untuk mengikuti mereka. Karena itu, kepemimpinan adalah sesuatu mengenai mendorong dan membangkitkan individu dan kelompok untuk berusaha sebaik- baiknya demi mencapai hasil yang diinginkan.

Kepemimpinan memainkan peranan penting dalam manajemen sumber daya manusia. Pencapaian keunggulan dalam usaha dan manajemen sangat tergantung kepada kemampuan pemimpin untuk menyampaikan pandangannya (visi), antusiasme, dan rasa memiliki tujuan kepada kelompok. Arah dan gerak bersama ditentukan oleh keputusan yang dibuat oleh pemimpinnya. Maka keputusan yang selalu dibuat tepat, baik mengenai isi maupun waktu pengambilannya membuat kehidupan kelompoknya mantap dan berjalan lancar dalam mencapai tujuan bersama (Mangunhardjana, 1976: 46).

Dalam arti kemampuan memimpin, kepemimpinan ialah kesanggupan menggerakkan sekelompok manusia ke arah tujuan bersama sambil menggunakan daya bendawi dan rohani yang ada dalam kelompok tersebut. Kepemimpinan merupakan unsur dinamis, yang sanggup mengkaji masa lampau, menelaah masa

kini dan menyoroti masa depan lalu berani mengambil keputusan yang dituangkan dalam tindakan. Hal ini berkaitan dengan pencapaian visi (Riberu, 1978: 6).

b. Trend Kepemimpinan Masa Kini

Bangsa Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Namun trend kepemimpinan (leadership) dalam perusahaan-perusahaan sekarang ini mengutamakan manajemen berbasis mutu, berorientasi pada tenaga manusia (SDM), dan lingkungan. Hal ini diungkapkan oleh Lowney yang mengupas tentang kepemimpinan sebuah “perusahaan” yang telah terbukti mampu mengembangkan perusahaannya selama 450 tahun. “Perusahaan” yang dimaksudkan adalah Serikat Yesus. Lowney (2003: 11) berpendapat bahwa Yesuit menerapkan gaya kepemimpinan yang berfokus pada aspek manajerial, pengambilan keputusan dan pencapaian visi dengan empat pilar yang menciptakan substansi kepemimpinan, sehingga serikat ini tetap eksis hingga sekarang. Keempat pilar tersebut adalah:

1) Kesadaran diri: memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Hal ini merupakan aspek manajerial.

Pribadi yang tahu apa yang diinginkannya dapat dengan energik berupaya untuk mencapainya. Hanya mereka yang tahu kelemahan mereka sendiri dapat menanganinya atau bahkan mengalahkannya. Para eksekutif dengan karier yang kurang percaya diri dapat menempuh lagi perjalanan menanjak hanya dengan mengidentifikasi kelemahan-kelemahan mereka dan membabatnya. Mereka yang telah mengidentifikasi apa yang menggerakkan diri mereka dengan melibatkan

diri sepenuh hati mempunyai sedikit saja kesulitan untuk tetap termotivasi (Lowney, 2003: 111).

2) Ingenuitas (kecerdasan dan fleksibilitas): berinovasi dan beradaptasi dengan yakin untuk merangkul seluruh dunia. Ini merupakan aspek pengambilan keputusan.

Para Yesuit merangkul dunia dan menerjunkan diri mereka dalam hidup sehari-hari, hidup di kota dan pusat budayanya serta menempuh perjalanan dan bekerja dengan penduduknya. Dengan demikian ingenuitas memicu inovasi, kreativitas dan mentalitas global. Lowney (2003: 161). Ingenuitas mekar jika kebebasan pribadi untuk mengejar peluang dikaitkan dengan kepercayaan mendalam dan optimisme bahwa banyak peluang yang tersedia di dunia ini (Lowney, 2003: 150).

3) Cinta kasih: membangun kontak dengan orang lain dalam sikap yang positif, penuh cinta kasih. Cinta kasih kepada bawahan atau anggota merupakan aspek manajemen yang berorientasi pada tenaga manusia atau SDM.

Esensi kepemimpinan yang didorong oleh cinta kasih memiliki: visi untuk melihat bakat, potensi, dan harkat setiap pribadi; keberanian, gairah, dan komitmen untuk membukakan kunci potensi, kesetiaan, serta penghormatan satu sama lain yang dibangkitkannya, yang mengobarkan semangat dan mempersatukan tim (Lowney, 2003: 208).

Cinta kasih di dalam dunia bisnis dewasa ini, memacu manajer yang menyisihkan waktu yang tidak mereka miliki untuk membantu karyawan yang pas-pasan agar ia bekerja dengan lebih baik atau untuk memulai pembicaraan

yang kaku dengan karyawan yang berprestasi tinggi namun berperilaku buruk agar ia mau tak mau merenungkan tindak-tanduknya yang menyebalkan (Lowney, 2003: 209).

Pemimpin yang terlecut oleh cinta kasih memiliki visi untuk melihat dan melibatkan orang-orang lain sebagaimana adanya, tidak melewati saringan, prasangka-prasangka kultural, atau kesempitan pandangan yang mengecilkan mereka (Lowney, 2003: 237). Cinta kasih tentunya tidak lepas dari perhatian terhadap terpenuhinya kesejahteraan anggota atau bawahan. Dengan demikian anggota dapat bekerja dengan tenang, gembira dan bersemangat dalam mencapai hasil produksi yang bermutu.

4) Heroisme: menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi heroik. Sikap heroik merupakan aspek pencapaian visi.

Tantangan yang dihadapi entah oleh individu, tim atau secara menyeluruh adalah bagaimana bergeser dari kinerja yang sinis, dan sekedar menjalankan kebiasaan tanpa antusiame, ke arah kinerja yang termotivasi bahkan heroik. Dalam hal ini, tim Yesuit mengambil tiga langkah, yakni:

1) Mereka menganjurkan para rekrut (anggota baru) untuk mengubah aspirasi korporat menjadi misi pribadi.

2) Mereka menciptakan budaya perusahaan yang menekankan heroisme, sambil mencontohkan sendiri keutamaan itu.

3) Mereka memberi kepada setiap pribadi kesempatan untuk memperbesar diri sendiri dengan menyumbang secara bermakna pada sebuah usaha yang lebih besar daripada kepentingannya sendiri (Lowney, 2003: 243-244).

Tentu saja mereka yang membuat komitmen pribadi memerlukan dukungan. Para rekrut Yesuit menemukan bahwa dukungan tersebut selalu diperkokoh dari atas. Para pemimpin Yesuit tidak henti-hentinya memperkokoh komitmen pada keunggulan dan pada ambisi (suci) (Lowney, 2003: 245).

Selain itu Yesuit melatih para calon anggotanya untuk memimpin, karena yakin bahwa kepemimpinan berawal dengan kepemimpinan diri sendiri. Formula empat pilar ini masih berlaku sebagai alat menggembleng para pemimpin Yesuit dewasa ini. Dan formula ini dapat membentuk para pemimpin dalam semua arena kehidupan dan kerja.

Kekuatan terbesar seorang pemimpin ialah visi pribadinya, yang dikomunikasikan dalam contoh hidupnya sehari-hari. Kepemimpinan ialah kehidupan nyata seorang pemimpin. Para Yesuit awal seringkali mengacu kepada

nuestro modo de proceder atau dalam bahasa Indonesia “cara kita bertindak”. “Cara kita bertindak” mengalir dari sebuah pandangan hidup dan prioritas- prioritas yang sama-sama dirasakan oleh semua anggota Yesuit. Cara mereka bertindak merupakan sebuah kompas. Dengan mengetahui apa yang dianggapnya bernilai dan apa yang ingin dicapainya, ia mengorientasikan dirinya pada lingkungan yang baru, sembari dengan keyakinan beradaptasi dengan keadaan sekitar yang tak akrab baginya (Lowney, 2003: 22-24).

Dokumen terkait