• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Hendrikus Kurniawan

NIM: 044314001

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

(5)

v Pa p a ku :

Y.V. Ma d a riu s Ma m a ku :

Yu lita Kris n a h

Ad ik-a d iku : Ro s a lin a ( Alm a rh u m )

N e tty W id ia s tu ty

W in a rs ih Ra tn a S a ri Irm a s u rya n i

D e lla Ra tu

“Te rim a ka s ih a ta s ka s ih s a ya n g, d o ro n ga n , n a s ih a t, m o tiva s i d a n d o a n ya

Tu h a n Ye s u s Me m be rka ti, Ale lu ya Am in …”

Ca h a ya H a tiku :

Pa u lin a Re te

“Ma ’ Ka s ih a ta s ka s ih s a ya n gm u ya n g b e gitu d a la m p a d a ku ,

s e h in gga m e m b u a t h id u p in i m e n ja d i le bih b e rm a kn a , ba gi

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali seperti yang telah disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya-karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 Juni 2010 Penulis,

(7)

Nama : Hendrikus Kurniawan Nomor Mahasiswa : 044314001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

TRANSFORMASI BUDAYA : UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN.

Beserta perangkat yang perlu (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 13 Juli 2010

Yang menyatakan

(8)

vii

Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan hampir punah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan awal kemunculan Upacara Adat Totokng, dinamika, makna atau simbol dan sejauh mana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Lebih dari itu, untuk mencari kausalitas munculnya ketegangan budaya sebagai bentuk transformasi budaya dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

Secara khusus, penelitian ini menggunakan sumber lisan atau metode wawancara. Selanjutnya, sebagai data-data pendukung menggunakan sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian dan majalah. Sementara dalam upaya untuk memahami masyarakat Kanayatn dan Upacara Adat Totokng menggunakan teori Emile Durkheim tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas. Sedangkan, untuk melihat simbol-simbol dalam Upacara Adat Totokng menggunakan metode thick description atau anthropology interpretative milik Clifford Geertz.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, upacara adat totokng merupakan bentuk wujud masyarakat Dayak Kanayatn untuk mengaktualisasi diri kepada adat istiadat, leluhur dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Upacara Adat totokng melambangkan sikap “pertobatan” si pengayau”, sebagai upaya memperoleh jalan keselamatan. Selain itu, dengan melaksanakan Upacara Adat Totokng diyakini akan mendatangkan berkah, terutama di bidang pertanian serta untuk menghindari berbagai musibah. Namun demikian dalam perkembangannya, Upacara Adat Totokng telah mengalami transformasi budaya yang signifikan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan munculnya transformasi budaya dalam Upacara Adat Totokng yaitu; Perjanjian Tumbang Anoi 1894, Masuknya Ajaran Agama Katolik dan Modernisasi Upacara Adat Totokng.

(9)

viii

Researching which tittled “Culture Transformation: Upacara Adat Totokng in Dayak Kanayatn Society”, emerged from concerning of Dayak Kanayatn’s culture which abandoned day by day and no longer existed. This research aimed to describe the appear of Upacara Adat Totokng, the dynamics, the meaning or symbol and the founction of Upacara Adat Totokng for the Dayak Kanayatn society. More than that to find the causality the emerge of culture tension as a form of culture transformation in Dayak Kanayatn society.

This research used interview methods. The supporting data used written sources such as book, research report and magazine. Meanwhile in understanding Kanayatn society and Upacara Adat Totokng used Emile Durkheim’s theory about main pilars supporting society which combined internaly. They were the sacred, clarification, ritus and solidarity. On the other hand to figure out the symbols in Upacara Adat Totokng used thick description method or anthropology intepretative by Clifford Geertz.

The results of the research showed that Upacara Adat Totokng was a form of Dayak Kanayatn society to actualize themselves to their ancestors, culture and God. Upacara Adat Totokng symbolized repented of “si pengayau” as a way to get safety. The process of doing Upacara Adat Totokng believed could give blessing, especially in farming and avoided many kinds of disaster. In the development, Upacara Adat Totokng had been experienced culture transformation which were significance. At least there were three things which emerged culture transformation in Upacara Adat Totokng. There were: Tumbang Anoi agreement in 1894, the enter of Catholic doctrine and the modernization of Upacara Adat Totokng.

(10)

ix

tangannya kasihNya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”.

Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Pada kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati menghaturkan limpah terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra. 2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu

Sejarah.

3. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku dosen pembimbing yang telah perhatian dan meluangkan waktunya dengan sabar membimbing, mengarahkan, memberi masukan, sehingga penulisan ini dapat terselesaikan.

(11)

x

sama yang diberikan kepada penulis penyelesaian skripsi ini.

6. Para-para Informan antara lain, Bapak Maniamas Midden (Mantan Aktivis Institut Dayakology), Bapak Amuk Jolak (Kepala Adat Binua Satolo, Menyuke) dan Pastor Yeremias Ofm. Cap (biarawan), yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya.

7. Bruder Bram, MTB, selaku pimpinan Kongregasi Maria Tak Bernoda (MTB) yang selalu memberikan nasihat, dorongan dan motivasi.

8. Bapak Jhon Bamba, selaku Direktur utama Lembaga Penelitian Institut Dayakology (ID) yang dengan senang hati memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

9. Kepada keluarga besarku di Darit, Jabeng, Kayuara, Mamek, Bengkayang, dan di Pontianak. Terima kasih atas tempat tumpangan selama melakukan penelitian di lapangan dan berserta nasihat-nasihatnya yang membangun. Tarima kasih manyak boh…(Terima kasih banyak ya…)

10.Bapak Lambertus Rete dan sekeluarga, terima kasih atas dorongan, motivasi dan nasihat-nasihatnya yang membangun. Terima Kasih banyak ya…Tuhan Yesus Memberkati. AMIN….

(12)

xi

Gama Baru), Alek, Doni, Sedo, Petrus, Ucilo, Denny (Joshua), Jezz Castro, Bene, Bosse, Ade Bayor, Mukry, Boncel, Niko, kak Githa, kak Nina, Monik, Vina Rete dan masih banyak lagi yang lainnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.

Yogyakarta, 25 Juni 2010 Penulis,

(13)

xii

an

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN MOTTO……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………. …. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... vi

ABSTRAK……… vii

1.5 Tinjauan Pustaka………9

1.6 Landasan Teori………..12

1.7 Metode Penelitian………..14

1.8 Sistematika Penulisan………... 16

(14)

xiii BAB IV TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG………. 45

(15)
(16)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Suku Dayak1 identik dengan masyarakat yang mendiami pulau Kalimantan, sampai saat ini masih memiliki adat istiadat yang kuat. Secara kompleks, adat istiadat tersebut sangat mempengaruhi pola pikir atau pandangan hidup masyarakat suku Dayak dalam setiap kehidupannya. Dalam adat istiadat tercakup sistem nilai budaya, norma dan hukum. Singkatnya adat istiadat adalah sistem budaya.2

Sistem budaya yang tercermin dalam adat istiadat masyarakat Dayak memiliki hubungan yang sangat erat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan ungkapan ekspresi fisik-mental dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara lisan dan diwariskan secara turun temurun oleh suatu masyarakat.3 Dengan

1

Berdasarkan hasil kesepakatan dalam Seminar Kebudayaan Dayak yang bertemakan “Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi” antar etnis Dayak se-Kalimantan tahun 1992 di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, secara resmi nama atau istilah “Dayak” mengalami perubahan di mana sebelumnya, Dayak, Dyak, Daya’, kemudian lebih dipertegaskan menjadi “Dayak”. Untuk lebih jelasnya lihat, Jhon Bamba, 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku Dayak Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 9-10, Stepanus Djuweng,. Dayak, Dyak, Daya’, Dan Daya (Cermin Kekaburan Sebuah Identitas) dalam Kalimantan Review No.I/Th.I, Januari-Juni, 1992, dan Edi Petebang, 2003. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.

2

Paulus Yusnono, 1997. “Peranan Strategis Yang Semestinya Diperankan Dewan Adat” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 106.

3

(17)

demikian, tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan cara pandang atau gagasan dalam menuntun dan menjiwai pedoman kehidupan masyarakat dalam lingkungan beserta kebudayaannya.

Tradisi lisan juga hidup pada masyarakat Dayak Kanayatn. Adapun jenis-jenis tradisi lisan yang ditemukan oleh para peneliti lembaga Dayak (Institut Dayakology) meliputi dua kelompok yaitu: (1) yang bercorak cerita seperti cerita biasa tales, mitos, legenda, epik; dan (2) yang bukan bercorak cerita seperti ungkapan, nyanyian, puisi lisan, peraturan/ upacara adat.

1. Bercorak Cerita

a) Singara yaitu jenis cerita rakyat, seperti cerita tentang binatang, pelipur lara percintaan, dan cerita jenaka.

b) Gesah yaitu cerita yang berhubungan dengan kepercayaan lama,

semisalnya asal usul orang Dayak Bukit (Kanayatn).

c) Osolant yaitu kisah atau tentang asal usul keturunan (sisilah). Osolant dan Gesah memiliki hubungan yang sangat erat. Sehingga, dalam menjelaskan tentang asal usul digunakan arti yang sama atau secara bolak-balik oleh masyarakat.

d) Batimang yaitu cerita yang dibacakan oleh orang tua saat anaknya

beranjak akan tidur. 2. Bercorak Non Cerita

a) Renyah, merupakan sebuah nyanyian atau pantun yang dilantunkan.

Semisalnya, berbentuk sindiran atau berupa nasihat.

(18)

b) Murat’an, biasanya berupa doa agar seseorang tidak tertimpa malapetaka.

c) Gawe, merupakan upacara atau pesta ucapan syukur atau menandai awal

suatu kehidupan baru, seperti, naik dango (pasca panen), gawe balak (awal masa remaja) dan gawe panganten (menempuh hidup baru berkeluarga).

d) Liatn, merupakan upacara asli adat Dayak Kanayatn yang memiliki

kekuatan magis dan sakral. Liatn biasanya berbentuk tarian, doa dan prosa berirama. Upacara adat ini biasanya dilaksanakan ketika adanya pengobatan, permohonan niat dan sebagainya.

e) Totokng, merupakan upacara adat besar sebagai penerimaan dan

pemeliharaan kepala hasil mengayau.4

Berdasarkan pengelompokkan di atas, upacara adat totokng tergolong ke dalam tradisi lisan yang bercorak non cerita. Upacara adat totokng adalah ritual yang dilakukan oleh nenek moyang suku Dayak pada zaman dahulu setelah melakukan kegiatan mengayau. Mengayau artinya mencari kepala atau memotong kepala musuh. Dalam tradisi masyarakat Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, ”mengayau” berasal dari kata “kayau” atau “kayo” yang artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala; “ngayau” adalah orang yang mencari kepala. Kata “ngayau”, bisa juga diartikan dengan orang yang mencari kepala atau memotong kepala musuh.5 Menurut masyarakat Dayak Kanayatn, kata “mengayau” mempunyai 3 komponen makna. “Kayo” artinya mencari, “ngayo

4

Ibid., hlm. 98-99. Lihat juga Stepanus Djuweng dkk (ed), 2003. Tradisi Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan Terlupakan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59-66.

5

(19)

artinya adalah orang yang mengayau, dan “mengayo” adalah kata kerja yang artinya melakukan praktek kayo.6

Mengayau adalah adat atau ritual yang dilakukan secara khusus sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Jadi, dalam hal ini mengayau tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Menurut adat, mengayau sesungguhnya adalah hukuman yang teramat berat bagi pihak yang “menang”.7 Dalam konteks ini, bagi pihak yang menang harus membayar adat dengan melaksanakan upacara adat totokng selama tujuh keturunan. Dengan melaksanakan upacara adat tersebut, maka pihak si pengayau diyakini akan mendapat semacam pengampunan dari kepala orang yang di kayau dan dipercaya akan terhindar dari jukat (musibah).8

Namun demikian sejarah kemunculan pengayauan dalam masyarakat Dayak sebenarnya sampai saat ini belum ada yang mengetahui dengan jelas, kapan praktek dari kegiatan itu mulai terjadi. Salah satu sumber untuk mengetahui kapan dimulainya adat mengayau ini dengan merekonstruksi tradisi lisan (cerita rakyat) orang Dayak, karena adat mengayau terdapat dalam berbagai cerita rakyat dari berbagai sub-suku Dayak. Menurut tradisi lisan Dayak, adat mengayau sudah dilakukan jaman purbakala, ketika manusia dengan Tuhannya serta semua binatang masih dapat saling berkomunikasi (berbicara).9

6

Ibid.

7

Ibid., hlm. 4.

8

Hasil wawancara dengan Maniamas Midden. Tanggal 7 Maret 2009. Di dusun Saleh, Simpakng Aur, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak.

9

(20)

Terkait dengan hal di atas, secara historis dalam tradisi lisan Dayak Kanayatn, kegiatan adat totokng sejaman atau sama tuanya dengan adat mengayau. Secara kronologis, kedua ritual adat tersebut memiliki kesinambungan dan keterkaitan. Upacara adat totokng merupakan perayaan terakhir dari kegiatan mengayau. Karena setelah berhasil mendapatkan kepala dari si pengayau, maka upacara ritual adat itu baru bisa dilaksanakan.

Hanya saja, tradisi adat totokng ini menjadi langka setelah pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat kesepakatan damai atau yang lebih dikenal dengan “Perjanjian Tumbang Anoi”, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1894 sampai dengan 30 Maret 1894 di rumah Damang Bahtu, Lovu kampung Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah). Perjanjian damai itu dihadiri hampir seluruh pemuka adat suku Dayak di Borneo (Kalimantan). Dalam pertemuan tersebut, seluruh para pemuka adat Dayak sepakat tidak lagi saling mengayau.10

Kesepakatan damai tersebut tidak begitu saja ditaati, bahkan tetap saja berlanjut sampai dengan tahun 1930-an. Di mana sekitar 1930-an, kegiatan mengayau masih berlaku dalam masyarakat Dayak Punan (Kapuas Hulu-Kalimantan Barat), Dayak Iban (Sarawak-Malaysia) dan Dayak Lamandau (Kalimantan Tengah).11 Namun, setidaknya melalui kesepakatan damai tersebut membuat kegiatan pengayauan antar sub-suku Dayak menjadi sedikit berkurang.

Sehubungan dengan itu, kemunculan para missionaris Katolik dan zending Protestan juga mempengaruhi tingkat kesadaran orang-orang Dayak untuk

10

Elias Ngiuk, 2003. “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau” dalam Majalah Kalimantan Review (KR)., Agustus 2003., hlm. 39.

11

(21)

perlahan-lahan menghilangkan kebiasaan adat mengayau. Dalam hal ini, para missionaris dan zending banyak keluar-masuk ke daerah pedalaman suku Dayak untuk memberikan khotbah tentang ajaran cinta kasih.

Dalam perkembangannya, para missionaris dan zending di Kalimantan Barat telah berhasil mengemban misi suci untuk memajukan masyarakat Dayak. Untuk memajukan suku Dayak, mereka membuka sekolah-sekolah dengan maksud memerangi apa yang mereka sebut sebagai “kebodohan”.12 Oleh karena itu, melalui pendidikan memberikan peradaban yang lebih maju yang kadangkala disertai dengan tindakan pelecehan atau penolakan terhadap adat istiadat, budaya dan agama adat.13

Pada tahun 1950-an di daerah Jangkang (Sanggau Kapuas), terjadi penghapusan terhadap upacara ritual totokng, belian (dukun),14 dan yang lainnya karena dianggap kuno, primitif, tidak beradab (uncivilized), kotor, takhayul dan ateis.15 Dengan penghapusan tersebut, secara tidak langsung memutus ikatan orang-orang Dayak dan budayanya dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih beradab (maju).

Pada masa kini kebudayaan Dayak telah mengalami masa transformasi budaya yang sangat signifikan. Namun, perubahan-perubahan tersebut kerap membuat kebudayaan Dayak berada di persimpangan jalan. Salah satu

12

Ricardus Giring, 2004. “Agama Adat Orang Dayak di “Titik” Degradasi” dalam Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 19.

13

Ibid.

14

Belian merupakan upacara ritual adat untuk memohon kesembuhan dari berbagai macam bentuk penyakit.

(22)

penyebabnya adalah ketidakmampuan orang Dayak dalam mempertahankan dan melestarikan budayanya.

Sebagaimana uraian di atas, budaya masyarakat Dayak Kanayatn juga mengalami hal yang sama. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan dalam budaya masyarakat Dayak Kanayatn; (1) faktor intern meliputi melemahnya struktur-struktur adat dan pemerintahan setempat; (2) faktor ekstern meliputi teknologi dan informasi. Dari kedua penyebab tersebut, tentunya sangat mempengaruhi tradisi lisan Dayak Kanayatn. Transformasi budaya yang cenderung meninggalkan tradisi asli Dayak Kanayatn dapat dilihat dari keengganan generasi muda untuk belajar ritual upacara adat totokng. Menurut mereka upacara adat totokng identik dengan tradisi kuno atau primitif di tengah-tengah modernitas yang menggejala di Kalimantan Barat.

Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masayarakat Dayak Kanayatn, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan

(23)

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari latarbelakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa masyarakat Dayak Kanayatn melakukan Upacara Adat totokng? 2. Bagaimana dinamika Upacara Adat totokng pada masyarakat Dayak

Kanayatn?

3. Sejauhmana fungsi Upacara Adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Akademis

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan serta menganalisa latarbelakang munculnya upacara totokng dalam masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan tata cara pelaksanaan upacara adat totokng serta peranan upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn.

2. Praktis

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Teoretis

Penelitian ini bermanfaat bagi penelitian-penelitian tentang kebudayaan Dayak, serta lebih khusus lagi menyangkut soal adat istiadat Dayak Kanayatn. Sumbangan dari tinjauan historis adalah memberikan konteks kesejarahan atas munculnya sebuah tradisi. Dalam konteks upacara adat totokng, penelitian ini memberikan penjelasan historis tentang kemunculan upacara adat totokng serta perkembangannya di kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

2. Praktis

Dalam dimensi praksis, keterangan sejarah menyangkut upacara adat totokng bermanfaat bagi masyarakat Dayak Kanayatn terlebih bagi generasi muda agar tidak melupakan budaya leluhur serta melestarikannya. Dengan demikian, sehingga pemahaman atas upacara adat totokng tidak hanya dimaknai sebagai ritualitas kebudayaan yang bersifat monumental. Melainkan dapat bermanfaat bagi pembentukan serta pelestarian identitas Dayak Kanayatn.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini berdasarkan hasil riset di lapangan berupa wawancara dan pengamatan. Sedangkan untuk mendukung data-data yang diperoleh dari lapangan, maka diperlukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku, laporan penelitian, majalah dan artikel di internet.

(25)

dalam Majalah Kalimantan Review (KR)terbitan Agustus 2003 yang ditulis oleh Elias Ngiuk. Majalah ini menguraikan awal kemunculan upacara adat totokng, prosesi, makna simbol-simbol dan fungsinya. Namun, majalah ini belum lengkap menguraikan apa yang mendasari orang Dayak Kanayatn untuk melaksanakan upacara adat totokng.

Selanjutnya adalah Buku Narasi Upacara Adat Totokng yang ditulis oleh Maniamas Midden S. Buku ini menuliskan tentang prosesi upacara adat totokng secara lebih terperinci. Selain itu, buku ini juga menjelaskan awal kemunculan upacara adat totokng, makna dan simbol-simbol dari upacara adat tersebut. Namun, buku ini tidak menjelaskan munculnya transformasi budaya dalam upacara adat totokng.

Buku yang ditulis Edi Petebang Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu,

Mangkok Merah. Buku ini menguraikan awal kemunculan tradisi mengayau

dalam masyarakat Dayak dan hanya sedikit menjelaskan tentang upacara adat totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab apa yang melatarbelakangi orang Dayak Kanayatn dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat tersebut.

Buku selanjutnya adalah Tradisi Lisan Dayak yang Tergusur dan

Terlupakan ditulis oleh Stephanus Djuweng dkk. Buku ini merupakan hasil

(26)

adat totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab latar belakang kemunculan, dinamika, simbol-simbol dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn.

Kemudian, buku yang berjudul Mencermati Dayak Kanayatn tulisan Nico Andasputra dan Vincentius Julipin bercerita tentang awal kemunculan orang-orang Dayak Kanayatn serta tradisi-tradisi yang melingkupinya. Buku ini sangat penting dijadikan sebagai sumber penelitian untuk memahami sejauhmana proses dari budaya Dayak Kanayatn lewat ide-ide, konsep-konsep dan aktivitasnya.

Buku Mickhail Commans yang berjudul Manusia Daya; Dahulu, Sekarang dan Masa Depan menuliskan perjalanan sejarah masyarakat Dayak

secara umum di Kalimantan Timur. Dalam hal ini, Commans, ingin memaparkan tentang realitas sosial masyarakat Dayak dan kebudayaanya. Selain itu, juga dijelaskan mengenai masalah-masalah munculnya proses transformasi dalam budaya Dayak.

Buku yang berjudul Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi yang ditulis oleh Paulus Florus dkk. Bercerita tentang realitas sosial kehidupan dari suku Dayak pada umumnya, serta peranannya dan sejauhmana eksistensi budaya Dayak dalam proses terciptanya pembangunan Nasional.

(27)

budaya Dayak, terutama masyarakat Dayak Kanayatn. Inilah yang membedakan penulisan ini dengan karya-karya peneliti terdahulu.

1.6 Landasan Teori

Dalam kajian sejarah, penggunaan landasan teori dimaksudkan untuk mengidentifikasi fakta-fakta sejarah menjadi klasifikasi-klasifikasi tertentu, sehingga penyusunan narasi sejarah dapat lebih kronologis dan sistematis. Secara lebih spesifik, landasan teori atau “kerangka pemikiran” bertujuan untuk menangkap, menerangkan dan menunjukan masalah yang telah didefinisikan.16

Dengan demikian, untuk melengkapi semuanya tersebut ilmu sejarah membutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, agama, politik dan ekonomi. Dalam kajian sejarah, ilmu-ilmu sosial tersebut bermanfaat untuk memperkaya wacana penulisan sejarah. Artinya, teori-teori ilmu sosial itu memiliki daya penjelas yang lebih besar bagi sejarawan dalam memberikan keterangan historis (historical explanation).

Penelitian ini menggunakan teori Emile Durkheim, tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas.17 Pada dasarnya, keeempat pilar-pilar tersebut tidak dapat dipisahkan, di mana the sacred merupakan induk utama yang berperan penting untuk menciptakan kesatuan masyarakat.

16

Dudung Abdurahman, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Az-Ruzz Media., hlm. 61.

17

(28)

Menurut Emile Durkheim, the sacred (yang keramat) bisa diartikan sebagai moralitas atau agama. The sacred juga bisa berubah menjadi ideologi atau semacamnya yang menjadi utopia masyarakat. Nilai-nilai yang disepakati (the sacred) berperan penting menjaga keutuhan dan ikatan sosial masyarakat, secara normatif dapat mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak dizinkan untuk melanggar nilai-nilai tersebut.18

Dalam konteks penelitian ini, maka perlu dilihat pilar-pilar pendukung masyarakat tentang ritus atau ritual. Ritus merupakan mediasi yang berakar dari the sacred, yang menghadirkan kembali makna realitas dalam masyarakat (makna sosial). Dalam hal ini, ritus memiliki kekuatan untuk memperkokoh keberakaran rasa kolektivitas, sehingga masyarakat menempatkan ritus sebagai sumber kekeramatan bersama.

Sementara itu, untuk memahami simbol atau makna mengenai upacara adat totokng, akan digunakanya teori thick description yang dikembangkan oleh Clifford Geertz. Menurut Geertz, budaya merupakan kesatuan yang kompleks dengan membaca dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan dalam sistem budaya masyarakat. Dalam perumusan teori ini, Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik. Untuk memahami semua itu, Geertz menganjurkan sebuah metode deskripsi mendalam atau anthropology interpretative.19

18

Ibid., hlm. 9.

19

(29)

Menurut Geertz, metode ini merupakan intrepretasi yang komprehensif dan fokus etnografis terhadap peristiwa-peristiwa kecil dan waktu-riel dari pada terobsesi untuk menemukan lautan makna dan merencanakan yang abstrak.20 Dalam etnografis, tugas teori adalah menyediakan sebuah kosakata di mana apa yang harus dinyatakan tindakan simbolis tentang dirinya, yakni tentang peranan kebudayaan dalam kehidupan manusia dapat diungkapkan.21 Lebih dari itu, dengan menggunakan metode thick description, bermaksud untuk menangkap cara berpikir atau pola kerja dari sistem budaya.

1.7 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek penelitian. Selain itu, metode juga bisa diartikan bagaimana cara untuk membuat atau mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur.22 Dalam metode penelitian sejarah, metode ini bertujuan agar penulisan sejarah menjadi lebih terstruktur dan sistematis.

Terkait dengan hal di atas, maka penelitian ini akan menggunakan metode penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam penelitian sejarah secara umum terdapat lima tahapan yaitu, pemilihan topik, pengumpulan sumber, Verifikasi

20

Ibid., hlm. 213.

21

Clifford Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius., hlm. 35.

22

(30)

(kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi: analisis & sintesis dan penulisan.23

Berdasarkan metode penelitian di atas, pemilihan topik sudah ditentukan yaitu upacara adat totokng dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Setelah topik penelitian berhasil ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah pengumpulan sumber. Penelitian ini menggunakan sumber lisan dan tertulis. Sumber lisan dilakukan dengan metode wawancara. Metode wawancara ini dilakukan dengan mewawancarai kepala adat, biarawan dan mantan aktivis Institut Dayakology. Wawancara tersebut dilakukan di Kecamatan Menyuke, Sengah Temila dan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sedangkan, sumber sekunder diperoleh dengan studi pustaka, seperti, buku-buku, laporan penelitian dan artikel-artikel di Institut Dayakology dan dari internet.

Setelah sumber-sumber itu terkumpul, selanjutnya dilakukan pemilahan yang bertujuan untuk melihat mana-mana saja sumber yang layak dipakai sebagai bahan kajian penelitian. Kemudian, untuk menguji kebenaran dan akurasi atau ketepatan sumber-sumber tersebut menggunakan cara kritik ekstern dan intern atau yang lebih dikenal dengan “metode verifikasi” (keabsahan sumber).

Tahapan selanjutnya, setelah sumber-sumber tersebut diuji tingkat kebenarannya (validitas), kemudian dikumpulkan menjadi satu dan dinterpretasikan untuk menemukan kesimpulan. Setelah sumber-sumber tersebut selesai diintrepretasikan, kemudian sampailah pada tahapan terakhir yaitu, metode penulisan.

23

(31)

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil Penelitian ini dijabarkan ke dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II berisikan Masyarakat Suku Dayak Kanayatn, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab; Lokasi Suku Dayak Kanayatn, Asal Usul, Sistem Kepercayaan, Sistem Pemerintahan, Sistem Perekonomian, Sistem Kekerabatan dan Adat Perkawinan.

Bab III berisikan Upacara Adat Totokng, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab; Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn, Prosesi Upacara Adat Totokng dan Simbolisme Upacara Adat Totokng.

Bab IV berisikan Transformasi Upacara Adat Totokng, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Perjanjian Tumbang Anoi 1894, Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi Upacara adat Totokng.

Bab V berisikan Fungsi Upacara Adat Totokng Bagi Masyarakat Dayak Kanayatn, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Konsep Kosmis, Penghormatan Kepada Roh Leluhur, Melindungi Pertanian dan Membangun Identitas.

(32)

BAB II

MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN

2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn

Suku Dayak Kanayatn24 merupakan salah satu sub-suku Dayak yang terdapat di Propinsi Kalimantan Barat. Dayak Kanayatn biasanya dikenal sebagai orang Dayak Ba’ahe dan Banana’. Sebutan ini disesuaikan karena sebagian besar masyarakat suku Dayak Kanayatn berdialek menggunakan bahasa Ba’ahe dan Banana’.

Secara garis besar tempat pemukiman suku Dayak Kanayatn tersebar luas di dua kabupaten yaitu, Landak dan Pontianak. Di kabupaten Landak terdapat di kecamatan Karangan, Menjalin, Menyuke, Menyuke Hulu, Meranti, Air Besar, Sengah Temila, Toho dan Mandor. Sementara di kabupaten Pontianak terdapat di kecamatan Anjungan, Toho dan Sungai Ambawang.25

2.2 Asal Usul

Asal usul masyarakat Dayak Kanayatn, secara terperinci terungkap dalam tradisi lisannya. Dari tradisi lisan tersebut dengan jelas dikisahkan tentang

24

Mengenai kata “Kanayatn”, menurut penuturan Maniamas Midden (Kepala Adat Binua Talaga, Simpang Aur, Kec. Sengah Temila Kab. Landak), bahwa sebelumnya tidak ada satu pun orang Dayak Kanayatn yang mengatakan dirinya “kanayatn”. Mereka hanya menyebut dirinya Dayak Bukit. Kata “Kanayatn” mulai akrab ditelinga orang-orang Dayak Kanayatn pada tahun 1980-an. Persis pada saat diadakannya upacara adat naik dango di Anjungan, kabupaten Pontianak. Untuk lebih jelasnya lihat Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.

25

Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 37.

(33)

penciptaan alam semesta dan manusia. Ada dua versi yang berbeda tentang kisah penciptaan yakni: kisah penciptaan yang dilakukan oleh tiga Jubata (Tuhan) dan Alam semesta yang berpusat pada Pohon Asam Besar (Pusat Ai’ Pauh Janggi).

2.2.1 Penciptaan Yang Dilakukan Oleh Tiga Pribadi Jubata (Tuhan)

Ketiga pribadi Jubata yang turut andil dalam menciptakan dunia dan manusia itu adalah Jubata Ne’ Jubata Panitah, Jubata Ne’ Patampa atau Jubata Ne’ Panjaji dan Jubata Ne’ Pangedokng. Menurut kisah penciptaan tersebut ketiga nama pribadi untuk Jubata (Tuhan) ini bukan berarti ada tiga Jubata, melainkan hanya satu pribadi Pencipta. Dari sabda atau titah Jubata Ne’ Panitah (yang betitah) ditempalah manusia dari tanah liat segambar dengan diri-Nya.26

Pekerjaan menempa ini dilakukan oleh Jubata Ne’ Patampa. Setelah proses penciptaan selesai, Jubata Ne’ Panjaji menjadikannya persis dengan gambaran Jubata (Sang Pencipta). Namun hasil karya Jubata Ne’ Pajanji dan Ne’ Patampa belum sempurna karena manusia tersebut belum bernapas. Untuk menyempurnakan manusia tersebut Jubata Ne’ Pangedokng memberikan nafas, sehingga hidup. Dari akhir penciptaan ini terciptalah sepasang manusia yaitu Ne’ Adam dan Ne’ Siti Hawa.27

26

Nico Andasputra dan Vincentius Julipin, 1997. “Orang Kanayatnkah atau Orang Dayak Bukit?” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3.

27

(34)

2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar

Menurut kisahnya, pohon asam besar ini adalah pohon kehidupan sumber segala sumber penciptaan dan kepada-Nya semua ciptaan akan kembali. Dari kisah penciptaan tersebut memiliki peranan yang penting dalam kejadian alam semesta dan kisah penciptaan manusia adalah perkawinan kosmis. Kisah penciptaan tersebut sebagai berikut:

Kulikng langit dua putar tanah’ Sino Nyandong dan Sino Nyoba. Memperanakan

Si Nyati anak Balo Bulatn, Tapancar anak matahari Memperanakan

Iro-iro dua angin-angin Memperanakan

Uang-uang dua Gantong Tali Memperanakan

Tukang Nange dua Malaekat Memperanakan

Sumarakng Ai’ sumarakng sunge Memperanakan

Tunggur batukng dua mara puhutn Memperanakan

Antayut dua Barujut Memperanakan Popo’ dua rusuk”.28 Terjemahan:

Kubah langit dan bulan bumi, Sino Nyandong dan Sino Nyoba Memperanakan

Si Nyati puteri bulan dan terpancar putera matahari Memperanakan

Kacau Balau dan Badai Memperanakan

Udara Mengawang dan Embun Menggantung Memperanakan

Pandai besi dan Sang Dewi Memperanakan

Segala air dan segala sungai

28

(35)

Memperanakan

Bambu dan perpohonan Memperanakan

Tumbuhan merambat dan umbi-umbian Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga.

Kemudian berdasarkan penuturan sejarah yang lain dijelaskan, bahwa Kesejukan Lumpur itu adalah isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami. Mereka memperanakkan sepasang manusia bernama Ne’ Galeber dan istrinya bernama Ne’ Anteber. Sepasang insan inilah yang dianggap sebagai nenek moyang suku Dayak Kanayatn.29

2.3 Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang akan dibahas pada bagian ini adalah pandangan suku Dayak Kanayatn terhadap hidup manusia dan pandangan terhadap kematian.

2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia

Dalam pandangan hidupnya, suku Dayak Kanayatn sangat percaya dan patuh terhadap aturan-aturan yang dapat mengatasi segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Aturan alam raya ini diyakini bersifat stabil, selaras dan kekal serta menentukan kemuliaan dan kebahagian bagi manusia. Di mana di dalamnya terdapat pola dasar yang tetap dan tertentu, yang memberikan makna kepada segala apa yang ada. Oleh sebab itu, perbuatan manusia harus disesuaikan dengan aturan alam raya tersebut.

Manusia yang hidup selaras dan patuh terhadap aturan-aturan akan mencapai kebahagiaan. Keselarasan tingkah laku manusia dengan aturan yang

29

(36)

universal itu akan mengangkat hidup manusia menjadi otentik dan bernilai luhur.30 Oleh sebab itu, manusia harus menaruh harapan kepada Penciptanya Jubata (Tuhan).

Kehidupan merupakan proses yang telah diatur oleh Jubata (Sang Pencipta). Manusia itu harus melaksanakan aturan-aturan yang bersifat universal lewat ketaaatannya pada adat istiadat. Dengan demikian, ia akan dicintai oleh penguasa alam semesta, sedangkan bagi mereka yang tidak taat akan dihukum dalam rupa penyakit, bencana alam, kelaparan dan yang lainnya.

Dayak Kanayatn percaya bahwa manusia memiliki jiwa dan roh keduanya bersifat kekal. Sumangat (jiwa) merupakan kekuatan inti badan atau tubuh. Dengan jiwa, manusia dapat berpikir dan merasa dan bertindak. Sedangkan, roh manusia setelah mati akan kembali ke Subayatn (alam baka).31

2.3.2 Pandangan Tentang Kematian

Kematian merupakan suatu proses yang bersifat alamiah. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn peristiwa kematian adalah hal yang wajar, asalkan bukan kecelakaan, bunuh diri dan mati melahirkan. Dalam konteks ini, manusia harus bisa memahami dirinya sebagai unsur alamiah yang berasal dari alam dan akan kembali ke Subayatn (surga).

30Dihi Dillen, 1993, “Alam Kehidupan dan Kematian Bagi Suku Dayak Kanayatn”, dalam Majalah Kalimantan Review(KR), No. 4/Th. II/ Mei-Agustus, hlm. 33.

31

(37)

Menurut kepercayaan suku Dayak Kanayatn, roh dan jiwa orang yang telah meninggal akan kembali ke Subayatn. Oleh sebab itu, orang yang telah meninggal harus dikuburkan dengan cara yang pantas. Apabila tidak dikuburkan dengan cara yang pantas, maka jiwa dan roh orang yang telah meninggal diyakini akan menjadi pidara (hantu).32

Peristiwa kematian dipercayai sebagai peralihan dari dunia bawah (dunia manusia) ke dunia atas (dunia abadi tempat keilahian). Kematian adalah awal dari taraf hidup yang serba baru. Oleh karena itu, selayaknya diadakan upacara yang sebaik mungkin untuk mengantarkan jasad orang yang telah meninggal ke tempat yang baru, ke martabat hidup yang baik dengan mengembalikannnya kepada Jubata (Tuhan). Dalam hal ini, jasad orang yang telah meninggal pada saat upacara pemakaman diberi pesan berupa nasihat, petunjuk-petunjuk yang harus diikuti supaya ia tidak tersesat menuju ke tempatnya semula.33

Sebelum sampai pada puncak upacara pemakaman, biasanya jasad orang yang meninggal diberi sejumlah perangkat adat, seperti makanan, minuman, pakaian dan alat-alat pertanian sebagai lambang bekal hidup abadi. Dalam hal ini, yang menjadi inti kepercayaan adalah jiwa dan roh manusia yang berasal dari kekekalan untuk hidup selama-lamanya dan kembali ke Jubata (Tuhan).34

32

Ibid.

33

Dihi Dillen., op. cit., hlm. 34-45.

34

(38)

2.4 Sistem Pemerintahan

Masyarakat Dayak Kanayatn tidak mengenal sistem pemerintahan seperti yang diterapkan di Negara Indonesia atau beberapa negara lainnya di dunia. Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, sistem pemerintahan mereka dibagi dalam beberapa wilayah yang di sebut binua.35 Setiap binua tersebut biasanya dipimpin oleh Timanggong (Kepala Adat), yang berperan sebagai abdi bagi seluruh masyarakat.

Dalam suatu wilayah Katimanggongan ada yang disebut radakng (kampung, desa dan dusun). Semua persoalan yang menyangkut keamanan radakng beserta peraturan yang berlaku ditangani oleh Timanggong setelah mencapai kesepakatan melalui baharump (musyawarah). Kemudian di bawah Timanggong terdapat Pasirah (penasihat adat) yang berperan memberi saran atau petunjuk kepada Timanggong, sebelum memutuskan segala sesuatu demi kepentingan bersama.

Namun demikian, sejak pemerintahan Orde Baru menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, sistem pemerintahan suku Dayak Kanayatn yang seperti ini menyatu ke dalam pemerintahan yang diterapkan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, membuat peranan Timanggong selaku pemimpin masyarakat dan adat menjadi lemah, karena setiap keputusan atau

35

(39)

kebijkakan yang diambil kebanyakan berdasarkan pertimbangan dari kepala desa.36

2.5 Sistem Perekonomian

Dalam dunia perekonomian, orang Dayak pada umumnya di Kalimantan Barat membiarkan perekonomian mereka diatur oleh sekelompok suku lain.37 Hal ini juga berlaku untuk masyarakat Dayak Kanayatn. Sistem perekonomian yang dimaksudkan di sini adalah mata pencaharian pokok. Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn adalah petani karet.

Sistem pertanian suku Dayak Kanayatn dilakukan secara terpadu. Selain sebagai petani karet, mereka pun memelihara berbagai macam hewan ternak, seperti ayam, babi, sapi, itik dan yang lainnya. Hasil peternakan ini selain digunakan dalam berbagai upacara adat, juga dikonsumsi sendiri dan dijual untuk membeli kebutuhan hidup.

Selain bertani dan beternak, untuk menunjang perekonomiannya mereka juga memanfaatkan hasil hutan seperti kayu, rotan, damar dan madu. Hasil kayu biasanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Namun dengan masuknya

36

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, lembaga-lembaga adat berada dibawah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan kepala desa merangkap sebagai ketua. Keberadaan Lembaga-Lembaga Adat atau Lembaga Kemasyarakatan dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979, pasal 17 ayat (1) dipertegaskan ”Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawarahan/permufakatan yang keanggotaannya yang terdiri atas kepala dusun, Pemimpin Lembaga Masyarakat dan Pemuka Masyarakat di desa yang bersangkutan”. Lihat, http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.

37

(40)

orang luar yang mengeksploitasi hutan dengan mengambil kayu, maka membuat masyarakat suku Dayak Kanayatn menjadi pebisnis kayu.

Pertambangan rakyat merupakan sektor ekonomi lain yang cukup penting. Lewat pertambangan ini mereka memperoleh emas yang dapat secara langsung dijual ke pasar-pasar lokal ataupun kepada penadah. Namun, sektor pertambangan ini semakin hari semakin tersingkir dengan hadirnya proyek-proyek pertambangan yang berskala besar dengan ditunjang alat-alat modern.

Masuknya Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan dan pertambangan yang sifatnya berskala besar ternyata telah menggeser sumber-sumber perekonomian asli suku Dayak Kanayatn.38 Oleh karena itu, mereka banyak yang menjadi buruh seperti pada perkebunan kelapa sawit, perusahaan swasta maupun negeri dan yang lainnya.

2.6 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Dayak Kanayatn dikenal dengan istilah page waris (keturunan keluarga).39 Secara rinci hubungan kekerabatannya sebagai berikut:

1) Sa’ pusat atau tatak pusat, 2) Sakadiriatn atau pupu sakali, 3) Dua madi’ enek atau pupu dua kali 4) Dua madi’ saket atau pupu tiga kali 5) Duduk dantar atau pupu ampat kali 6) Dantar page atau pupu dua kali 7) Page atau pupu enam kali.40

38

Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., op. cit,. hlm. 9.

39

Ibid,. hlm. 11.

40

(41)

Terjemahan:

1) Satu ibu satu bapak (kakak-adik). 2) Satu Kakak

3) Kakek kakak-adik.

4) Nenek sepupu sekali atau satu kakek uyut 5) Antara kakek sepupu dua kali

6) Kedua kakeknya satu kakek sudah uyut 7) Kedua kakeknya sudah dantar page.

Hubungan kekerabatan di atas sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Semisalnya, apabila terjadi perkara dengan pihak lain, maka orang yang bersengketa meminta page waris (keturunan keluarga) untuk mendengar atau memecahkan perkaranya. Sistem kekerabatan ini juga berguna untuk menentukan pembagian warisan dan hubungan perkawinan.

Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Dayak Kanayatn tidak mengenal adanya warisan yang jatuh ke pihak anak laki-laki atau perempuan. Sistem kekerabatan ini berdasarkan keseimbangan keduanya (ambilineal).41 Semua anak dalam satu keluarga mendapatkan warisan, tetapi biasanya anak tertua dan yang bungsu mendapat warisan lebih besar.

2.7 Adat Perkawinan

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, adat perkawinan dapat dilakukan apabila dari hasil baosol (menyelusuri asal-usul) dalam kegiatan bakomo’ (musywarah keluarga) kedua belah pihak tidak ditemukan garis waris (keturunan, keluarga dan kerabat).42

Perkawinan antar keluarga dapat dilakukan apabila hubungan keluarga sudah mencapai garis keturunan kedelapan. Apabila perkawinan masih berada

41

Ibid.,hlm. 54.

42

(42)

pada garis keturunan yang ketujuh, yaitu page atausepupu enam kali maka kedua belah pihak akan dikenai sanksi adat pangarus.43

Namun garis keturunan yang paling kuat tidak boleh melangsungkan perkawinan adalah garis ketiga, dua madi’ ene’ (sepupu dua kali). Untuk garis keturunan keempat sampai dengan ketujuh, di masa kini sudah terlihat rapuh. Walapun bisa melangsung adat perkawinan, tetapi kedua belah pihak tetap akan dikenakan sanksi.

43

(43)

BAB III

UPACARA ADAT TOTOKNG

Tradisi mengayau atau memburu kepala antar sub suku dalam masyarakat Dayak, kerap membuat orang-orang Dayak mendapat stigmanisasi negatif. Pandangan tersebut sudah berkembang sejak zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Tradisi adat mengayau terus di cap negatif sebagai identitas masyarakat suku Dayak.44 Dalam hal ini, orang Dayak cenderung dipandang sebagai suku yang kejam, bengis, tidak beradab, kotor, berekor, pemakan manusia (kanibal) dan tidak berperikemanusiaan. Dengan kata lain, “mengayau” adalah simbol ketidakmanusiawinya suku Dayak.

Pada dasarnya pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anton Nieuwenhuis (1894) dalam pengalamanya memasuki kampung-kampung di pedalaman suku Dayak, ia menjumpai orang-orang Dayak bersikap lembut dan cinta damai.45

Sehubungan dengan hal di atas, apabila dilihat dari kaca mata orang Dayak, tentu saja adat mengayau bukanlah hanya semata-mata bertujuan untuk memburu kepala, tetapi melampaui hal itu. Pada konteks ini, adat mengayau tentunya telah disesuaikan dengan adat dan tradisi yang berlaku. Dengan

44

Yekti Maunati, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi Dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS., hlm. 8.

45

Anton Nieuwenhuis. 1994. Di Pedalaman Borneo. Perjalanan Dari Pontianak Ke Samarinda 1894. Jakarta: PT. Gramedia., hlm. xx.

(44)

demikian, yang dapat memahami dan merasakannya hanyalah orang Dayak sendiri. Lebih dari itu, orang Dayak ingin menunjukan sikap kepatuhan mereka terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya (nenek moyang).

3.1

Mengayau

Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn 3.1.1. Tradisi Mengayau

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tradisi mengayau itu bisa ditemukan dalam cerita rakyat Ne’ Baruang Kulub tentang asal mula padi. Dalam cerita rakyat tersebut ada terselip nama seorang tokoh bernama Maniamas yang konon suka mengayau. Alkisahnya adalah sebagai berikut:

“Suatu hari, Maniamas yang sedang mencari anak kayau kelelahan. Ia beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda bergelantungan di pohon bambu tak jauh dari tempatnya. Setelah berkenalan, rupanya nama pemuda itu rupanya Ne’ Jaek. Ia adalah anak Jubata (Tuhan). Ne’ Jaek pun tinggal di rumah Maniamas.

Hari berlalu tak terasa. Ne’ Jaek akhirnya menikahi Dara Amutn, adik perempuan Maniamas. Mereka tinggal di rumah panjang. Sementara itu kegiatan kayau-mengayau terus berlangsung. Setiap hari para pemudanya pergi mengayau, kecuali Ne’ Jaek.

Suatu hari Maniamas membujuk Ne’ Jaek untuk ikut pergi mengayau. Rupanya Maniamas benci dengan sikap Ne’ Jaek yang yang ketika pertama berjumpa menuduhnya anak haram. Maniamas membujuk Ne’ Jaek pergi mengayau agar Ne’ Jaek mati dibunuh anak kayau (pengayau). Ne’ Jaek pun setuju.

Setelah semua pemuda kampung itu berkumpul, disertai dengan tariu, berangkatlah mereka mengayau. Setelah mengayau, Ne, Jaek tidak mendapatkan kayoan (kepala). Maka sesampai di rumah ia diusir istrinya karena ia dianggap bukan lelaki jantan dan tidak bertanggung jawab”.46 Dari cerita lisan di atas, dapat diketahui bahwa motif dari munculnya praktek pengayauan (mencari kepala) adalah sebagai salah bentuk balas dendam

46

(45)

yang melambangkan kejantanan, keperkasaan dan sebagai bentuk tanggung jawab seorang lelaki terhadap keluarganya.

Namun demikian cerita lisan tentang adat mengayau di atas, secara historis sulit untuk dipertanggungjawabkan akan kebenaran beserta dengan bukti-bukti yang kuat, sebagaimana layaknya kajian sejarah sesungguhnya. Sehubungan dengan itu, Commans mengatakan bahwa masyarakat Dayak itu mempunyai sejarahnya sendiri, yaitu sejarah zaman purba yang berasal dari kejadian mitologis atau zaman keselamatan waktu orang masih dekat dengan roh-roh.47 Oleh karena itu, makna akan kebenaran sejarah yang terjadi dalam masyarakat Dayak tidak dapat dikaitkan dengan kejadian historis yang sesungguhnya.

3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau

Menurut Amuk Jolak, latar belakang munculnya adat mengayau dalam masyarakat Dayak Kanayatn adalah dikarenakan adanya perselisihan masalah batas tanah..48 Persilisihan ini terjadi biasanya dikarenakan sebelumnya tanah tersebut telah disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, apabila salah satu pihak yang sedang bersengketa tidak mengindahkan kesepakatan atau perjanjian yang telah disetujui, maka terjadilah adat mengayau.

Dalam masyarakat suku Dayak Kanayatn, khususnya yang ada di kecamatan Menyuke, munculnya adat mengayau biasanya dilakukan sesudah adat pati nyawa (ganti nyawa) tidak diterima oleh musuh. Dalam hal ini, apabila

47

Mikhail Commans, 1987. Dayak Dahulu, Sekarang Dan Masa depan, Jakarta: PT. Gramedia., hlm. 78.

48

(46)

seorang warga Dayak Kanayatn terbunuh atau dibunuh, maka pihak keluarga akan menuntut pihak yang membunuh dengan menggantikannya adat pati nyawa.49 Apabila, pihak yang membunuh tidak membayar dengan adat tersebut, maka terjadilah pengayauan.50

Selain itu, menurut kepercayaan orang Dayak Kanayatn mengayau dilakukan karena kepala seseorang mempunyai sumangat (semangat, jiwa dan kekuatan), yang dapat memberikan kekuatan bagi si pengayau (orang yang mengayau).51 Karena mempunyai sumangat, maka si pengayau akan mendapatkan kedudukan dan penghormatan bagi berbagai pihak, termasuk para gadis.52

Selanjutnya, adalah untuk membalas adat mengayau dengan sub-suku Dayak yang lainnya. Dalam konteks ini, apabila sub-suku Dayak lain mengayau pada orang Dayak Kanayatn, maka orang Kanayatn harus membalas. Adat mengayau tidak akan berhenti, apabila jumlah kepala yang dikumpulkan musuh sama dengan jumlah yang mereka peroleh.53

3.1.3 Tujuan Mengayau

Pada prinsipnya, setiap sub-suku Dayak mempunyai tujuan yang hampir sama mengapa mereka melakukan adat mengayau. Menurut JU Lontaan, dalam

49

Adat patih nyawa ini bertujuan untuk menggantikan nyawa orang yang telah terbunuh atau dibunuh. Adat patih nyawa maksudnya, “bukan nyawa ganti nyawa”, tapi wujudnya dalam benda-benda adat. Seperti gong untuk mengganti nyawa, tempayan untuk mengganti tubuh dan lainnya.

50

Ibid., hlm. 11.

51

Ibid.

52

Ibid., 12.

53

(47)

bukunya yang berjudul ”Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat”, ada lima tujuan dilakukannya kegiatan adat mengayau yaitu:

1) Untuk melindungi pertanian. Dalam rangka untuk menghindari wabah penyakit yang akan menyerang hasil pertanian, maka untuk memulihkan keadaan itu perlu mempersembahkan tengkorak dari hasil mengayau. 2) Untuk mendapatkan tambahan daya jiwa. Secara supranatural, orang

Dayak menggangap tengkorak hasil kayau mempunyai kekuatan dahsyat. Dengan kekuatan tersebut, seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan sekaligus seluruh sukunya.

3) Sebagai motif balas dendam. Bagi masyarakat Dayak Iban balas dendam dalam adat pengayauan sangat sulit dilupakan, karena setiap orang tua selalu menceritakannya kepada keturunannya. Dalam struktur masyarakat yang demikian dapat dipahami, apabila seorang warga kampung terbunuh, maka seluruh penduduk dalam kampung akan membalasnya.

4) Daya tahan berdirinya suatu bangunan. Dalam hal ini, orang Dayak sangat mempercayai rumah yang dibuat membutuhkan kurban. Untuk memperkuat bangunan rumah tersebut, maka kegiatan mengayau perlu dilaksanakan.

5) Untuk tenaga kerja. Kadang kala orang yang di kayau tidak dibunuh tetapi, mereka dijadikan sebagai budak atau kuli.54

Sementara itu, mengenai tradisi mengayau ini sangat menarik untuk ditelusuri, terutama pada permasalahan mengapa yang diambil hanya kepala,

54

(48)

sedangkan tubuhnya dibuang?. Sebagaimana kutipan Yekti Maunati dalam bukunya Charles Miller yang berjudul “Black Borneo” adalah sebagai berikut:

“Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal (dari lehernya) cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah bubuhi ramu-ramuan, bila dimanipulasi dengan tepat, cukup kuat untuk menghasilkan, meningkatkan hasil panen padi, mengusir roh-roh jahat, dan membagikan pengetahuan dari orang-orang pintar dari suku itu. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatanya sudah mulai pudar dan diperlukanya tengkorak yang lebih segar. Tentu saja semakin banyak tengkorak kering yang ada, semakin besar kekuatan yang dihasilkan oleh gabungan dari kekuatan-kekuatannya. Suku yang tak memiliki kepala, atau ulu, atas namanya tidak akan mampu melawan mandau-mandau dan panah-panah yang beracun milik suku tetangga mereka yang sudah lengkap peralatannya”.55

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tujuan mereka mengayau adalah untuk menambah kekuatan jiwa.56 Dalam hal ini, masyarakat Dayak Kanayatn sangat mempercayai bahwa, setiap manusia memiliki manna57 yakni, jiwa dan kekuatan. Manna itu terdapat di kepala, itulah sebabnya dalam mengayau hanya mengambil kepala. Semakin banyak manna yang didapat, maka akan mempunyai banyak kekuatan yang memberi banyak keuntungan dan berkah kepada seluruh kampungnya.58

Sebagaimana yang disetir oleh P. Yeremias, bahwa tidak bisa dipastikan apakah “manna” itu mempunyai badan atau tidak. Namun, yang pasti “manna” ada dalam seluruh badan manusia mulai dengan rambut. Oleh sebab itulah, maka kepala mandau yang diberi rambut panjang hasil pengayauan diyakini memiliki kekuatan supranatural. Untuk lebih jelasnya lihat, Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Institut Dayakology,. hlm. 49-51.

58

(49)

Dalam adat mengayau, ada dua pandangan menarik, terutama bagi mereka yang dianggap sebagai pemenang. Pertama, bagi pihak yang menang akan mendapatkan wilayah kekuasaan, kemudian diangkat menjadi Pangalangok (Panglima). Kedua, ia akan dihukum dengan melaksanakan upacara adat totokng selama tujuh keturunan.59 Karena yang namanya membunuh, apapun alasanya berdosa. Oleh sebab itu, maka untuk menghapus dosanya tersebut diadakanlah upacara adat totokng sebagai bentuk wujud untuk memohon pengampunan dari Jubata (Sang Pencipta).

3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng

3.2.1 Bahaupm (rapat)

Sebelum prosesi dimulai, pertama-tama kepala keluarga yang berniat mengadakan upacara adat totokng, terlebih dahulu melaksanakan bahaump (rapat). Bahaump ini bertujuan untuk mengumpulkan page samadiatn (kerabat keluarga) untuk menentukan kapan acara tersebut akan dilaksanakan. Setelah mencapai kesepakatan dalam waktu yang bersamaan menyembelih 1 ekor ayam jantan merah untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa akan diadakannya upacara adat totokng.

Selanjutnya pihak tuan rumah mulai menyebarkan undangan masing-masing 1 lembar kepada Panyangahatn (Imam), Pamangko Gawe, Kepala Pajajakng atau pelayan Totokng, tujuh lembarnya untuk Anak Kayoan dan selebihnya akan diberikan kepada tamu-tamu khusus.

59

(50)

3.2.2 Ngampar Bide (Meletakkan tikar rotan)

Upacara adat ini dilaksanakan pada malam hari, sebelumnya waktu siang hari mengambil kepala kayo yang akan di totokng ke rumah pangkalatn tempat penyimpanan tersebut. Pertama-tama, para pelaksana adat totokng seperti Panyangahant, Pamangko Gawe, Anak Kayoatn dan Kepala Pajajakng sudah berada tempat sebagai tanda bahwa upacara adat totokng akan dimulai. Selanjutnya, Imam nyangahatn mengadakan upacara adat ngantukng atau masa persiapan. Dalam masa persiapan telah dipersiapkan alat-alat atau peraga adat totokng seperti pekasam ikan, salai burung, tengkasam babi hutan dan yang lainnya. Sementara itu, selama masa ngantukng telah dibunyikan Dau, gong, gendang besar selama tujuh hari tujuh malam.

Sebelum membentangkan tikar terlebih dahulu ditandai upacara adat nyangahatn (berdoa) untuk meminta perlindungan kepada Jubata (Tuhan), agar di lingkungan tersebut aman, tentram dan bebas dari gangguan yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan itu, langsung menyembelih satu ekor ayam jantan merah, 1 ekor babi 7 real (kira-kira 70 kg)60 yang telah dilengkapi dengan sesajian.

Setelah itu dilanjutkan dengan upacara nakat pangkalant menyembelih 1 ekor ayam jantan merah. Sementara di Pangkalatn totokng telah terisi sesajian seperti satu buah tempayan Siton hitam, 1 buah gong besar, beras kuning 1

60

(51)

pinggan putih, 1 bibit kelapa, 1 buah tempayan hitam siam, 1 buah tempayan Jampa, 1 buah kelapa, gula arem atau gula merah, daun sirih, buah pinang, salai daging atau kepala babi hutan, salai tupai, salai burung elang, pekasam babi, pekasam ikan, salai burung dan tempayan kecil. Selanjutnya, semua sesajian tersebut diletakkan di atas serambi rumah sebelah kiri depan.

Sementara di Pangkalatn didirikan satu batang tebu hutan lengkap dengan daun-daunya, satu batang kayu burangsakng dan kayu sumiakng. Selanjutnya diadakanya upacara adat nyangahatn ka’ pabarasatn di tempat beras. Upacara ini bertujuan untuk mendapatkan berkat atau rahmat dari Sang Pencipta. Kemudian acara ini dilanjutkan dengan upacara adat ditempat mandi atau tepian tumpang yang dibuat dari daun kelapa dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna merah. Maksudnya adalah selama siang dan malam, selama pelaksanaan upacara totokng laki-laki dan perempuan mengambil air ditempian tidak diganggu oleh roh halus.

Upacara ini berakhir dengan dilanjutkanya adat netek di kepala tangga dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna merah. Adat netek bertujuan untuk memberitahukan kepada kepala kayo, bahwa akan diberikan makan selama tujuh hari tujuh malam. Kemudian setiap malamnya diharuskan untuk memotong 1 ekor ayam warna merah jantan.

3.2.3 Na’ap Tariu (Menjemput Tariu)

(52)

dimasak di tempat pantak.61 Sehubungan dengan itu, dilaksanakannya upacara menjemput Kamang Tariu62 atau upacara adat na’ap tariu sebagai langkah mengawali prosesi upacara ritual adat totokng.

Persyaratanya adalah menyiapkan alat peraga adat seperti beras biasa, beras pulut secukupnya dan 1 ekor ayam jantan berwarna merah. Setelah sesajian tersebut dikumpulkan, ketujuh Anak Kayoatn dan Imam meletakan cat warna merah didahi dan pipi mereka. Selanjutnya, langsung menyembelih 1 ekor ayam jantan dan darahnya dicampurkan dengan nasi dan garam untuk memberikan makan kepada Kamang Tariu.

Pada saat yang sama, mereka masih menunggu ayam yang dipotong sampai masak. Setelah daging ayam itu masak, Imam mengucapkan nyangahatn (doa) untuk memberkati ayam tersebut. Sebelum mereka berangkat ke rumah kayoatn, Imam itu berkeliling sambil berteriak sebanyak tiga kali dan mengadakan upacara adat pasinyangan. Di pasinyangan para pelaksana adat totokng beristirahat untuk sementara waktu menunggu pelaksanaan upacara adat totokng.

3.2.4 Pasinyangan (Persinggahan)

Di pasinyangan, Imam nyangahatnbapipis’ manta’ dengan menyembelih 1 ekor ayam warna merah. Di samping itu, diadakanya upacara menggunakan

61

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn Pantak adalah patung yang memiliki kekuatan spiritualitas tinggi. Pantak itu sendiri dibagi kedalam 3 jenis yaitu, 1). Pantak Payugu (tokoh pertanian), 2). Pantak Padagi (Panglima dan dukun), 3). Pantak Keluarga (Peneladan keluarga).

62

(53)

topeng, ada dua macam topeng yaitu; topeng buta dan oho’. Topeng buta dipakai kurang dari 50 orang, sedangkan topeng oho’ jumlahnya cenderung tidak dibatasi.

Selanjutnya, Imam membacakan doa sesajian mentah sampai dengan masak selama di pasinyangan. Selesai iman nyangahatn, ketujuh Anak Kayoatn dan beserta rombongan berangkat untuk menuju ke Pangkalatn. Sesampai di situ, mereka langsung disambut oleh Timanggong (Kepala Adat), kemudian sambil memperlihatkan sebuah tempayan Siton berwarna hitam yang berisikan undang-undang tentang tata tertib upacara adat totokng.

Setelah itu, Imam nyangahatn melaksanakan upacara adat nigakng manta’ untuk memberi makan topeng dengan nasi pulut. Setelah diberikan makan, toperng anak Kayoatn itu dipersilahkan untuk naik keplantaran dan menari bersama Imam dan Tuan rumah untuk mengelilingi babanyang dengan cara maju-mundur sebanyak tiga kali.

Ketika upacara adat nigakng mantak selesai, Imam tersebut melaksanakan adat nigakng masak. Sebelum, sesajian tersebut masak, ketujuh Anak Kayoatn terlebih dahulu dipersilahkan untuk mengelilingi babanyang yang telah diisi dengan sesajian yang telah masak. Kemudian kira-kira jam 10 malam, Imam nyangahatn menyampaikan persembahan dari tuan rumah kepada Jubata (Tuhan), agar mereka terlepas dari sumpah kayo.

3.2.5 Mare’ Topeng Makatn (memberi Topeng makan)

(54)

Maknanya adalah untuk memberi makan hantu dengan harapan tidak menggangu kampung tempat pelaksanaan upacara adat totokng.

Selesai memberikan topeng makan, dilanjutkan dengan acara melemparkan tumpi’ (cucur) di atas rumah yang bertujuan untuk menerbangkan sumpah kayo terhadap orang yang telah dibunuh oleh nenek moyang mereka. Upacara ini bertujuan mengangkat janji atau sumpah kayo, bahwa harus memelihara dan memberikanya makan sampai dengan tujuh keturunan. Apabila tidak maka keturunan si pengayau tersebut akan terkena jukat (musibah). Setelah itu, dilanjutkan dengan upacara adat ngagar bawar sebagai tahap akhir dari serangkaian pelaksanaan upacara adat totokng di Pangkalatn. Selesai adat ini, Imam, Anak Kayoatn dan Pajajakng langsung menuju ke tempat pasinyangan.

3.2.6 Ngantat Tariu Pulakng (Mengantarkan Tariu Pulang)

Ngantat tariu adalah upacara mengantarkan tariu pulang ke tempat kediamanya. Dalam pelaksanaanya pertama-tama, Imam mendoakan sesajian dan 1 ayam jantan warna merah yang bertujuan untuk memanggil roh-roh halus (kamang) untuk dikumpulkan di Pasiyangan.

(55)

“Karena upacara adat totokng sudah berakhir kalian kamang tariu pulanglah ketempat kalian di Tajur di Gantekng. Kalau hantu Pujut, Mama’, Mawikng, Sarinteke, Ante’enge, Salahpena, Sansa’ lalu pulang di garah di Karabet di situlah tempat kalian. Segala setan iblis pulanglah di Lamo’ Bagenakng Timpurukng Pasuk di tanah yang tidak diinjak orang di air yang tidak pernah di pinum urakng Abo’ kayu Samponga di Pentek Kayu Mati disitulah negeri kalian dan kalian jangan suka merantau ke negeri manusia. Pulanglah kalian untuk selama-lamanya”.63

3.2.7 Macah Bantatn

Setelah melaksanakan upacara mengantarkan Tariu, para anak kayoan pulang ke tempat pangkalatn. Selanjutnya, akan diadakan upacara macah bantatn. Upacara adat ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), tentang pembagian upah/imbalan kepada seluruh petugas upacara adat totokng berupa uang, daging babi dan yang lainnya.

3.2.8 Balamur

Balamur adalah masa tenggang atau masa tenang selama 3 hari 3 malam. Pada saat masa tenang, orang-orang yang ikut melaksanakan ritual seperti Pamangko, Gawe Totokng tetap menunggu, sedangkan Anak Kayoatn dan Pajajakng pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah masa tenang tersebut selesai, maka diadakan upacara ngalantekatn. Upacara ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), bahwa besok akan diadakanya upacara malutn bidei.

63

(56)

3.2.9 Malutn Bide (Menggulung Tikar Rotan)

Upacara adat malutn bide adalah menggulung tikar rotan tempat meletakan tengkorak kayo dan peraga adat totokng. Dalam upacara ini dibutuhkan alat sesajian seperti ayam jantan warna merah, babi tumpi’ (cucur) dan poe (lemang). Setelah sesajian itu disiapkan, maka Pamangko Totokng membacakan doa bagi persembahan kepada Jubata (Tuhan) dengan menyembelih 1 ekor ayam jantan warna merah dan 1 ekor babi.

Upacara ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa alat-alat peraga totokng akan dibuka dan rumah tempat diadakannya upacara adat totokng telah terbebaskan dari sumpah kayo. Selanjutnya, Imam memanggil semangat tuan rumah agar terhindar dari segala macam bentuk jukat (musibah).

3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo (Mengembalikan Kepala Kayo)

Mulangkant kapala kayo merupakan prosesi terakhir dari keseluruhan upacara adat totokng. Upacara ritual ini diwajibkan untuk menyembelih 1 ekor ayam jantan merah. Setelah Iman nyangahatn menyembelih ayam tersebut, maka acara prosesi upacara adat totokng telah selesai.

3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Bagi para pelatih dalam proses latihan agar mencoba latihan ladder drill. sebagia varian latihan untuk meningkatkan kemampuan kelincahan

Kesimpulan ini akan mencakup (a) Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Modern Mathla’ul Huda Bandung; (b) Perencanaan program pendidikan karakter kedisiplinan di Pondok

Apakah dalam 12 bulan terakhir, Saudara pernah didiagnosis menderita Hipertensi/ Tekanan darah tinggi oleh tenaga

of Spirituality as Identified by Adolescent Mental Health

STUDI EKSPLORASI KETERSERAPAN LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI DI KOTA BANDUNG PADA INDUSTRI OTOMOTIF.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Penggunaan Media Lingkungna Alam Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Ipa Materi Tempat Hidup Hewan Dan Tumbuhan.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Yang bertanda tangan dibawah ini Kelompok Kerja (Pokja) Pemagaran Gedung Kantor Pengadilan Agama Tanjung Selor, pada hari ini RABU , tanggal TIGA bulan JUNI¸ tahun DUA