BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Landasan Teori
1. Berpikir kritis
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat
essensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua
aspek kehidupan lainnya. Menurut Etnnis (dalam Achmad, 2007), ‘berpikir
kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar
yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan’.
Sedangkan, menurut Gokhale (2002) dalam penelitiannya “Collaborative Learning Enhanches Critical Thinking menyatakan bahwa materi kemampuan berpikir kritis meliputi analisis, sintesis dan evaluasi”.
a. Analisis
Ahmad (2007) menjelaskan bahwa “analisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur kedalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Dalam keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang kecil dan terperinci”.
b. Sintesis
c. Evaluasi
Taksonomi belajar menurut Bloom, menjelaskan bahwa ‘keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa dituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep’.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis
adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal/berdasarkan nalar tentang apa
yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan dilakukan melalui
tahapan-tahapan menganalisis, mensintesis, mengenal masalah dan
pemecahannya, serta menyimpulkan dan menilai.
1). Ciri-ciri berpikir kritis
a). Mampu membuat simpulan dan solusi yang akurat, jelas dan relevan
terhadap kondisi yang ada.
b). Berpikir terbuka dengan sistematis dan mempunyai asumsi, implikasi dan
konsekuensi yang logis.
c). Berkomunikasi secara efektif dalam menyelesaikan suatu masalah yang
kompleks. Berpikir kritis merupakan cara untuk membuat pribadi yang
terarah, disiplin, terkontrol dan kolektif terhadap diri sendiri.
d). Mulailah dengan berpikir apa dan kenapa lalu carilah arah yang tepat
untuk jawaban dari pertanyaan tersebut.
e). Tujuan pertanyaan akan apa dan kenapa.
f). Informasi yang spesifik untuk menjawab pertanyaan.
g). Kriteria standar yang ditetapkan untuk memenuhi jawaban atas
h). Kejelasan dari solusi permasalahan/pertanyaan
i). Konsekuensi yang mungkin terjadi dari pilihan yang kita inginkan.
j). Mengevaluasi kembali hasil pemikiran kita untuk mendapatkan hasil yang
maksimal.
Beberapa kriteria yang dapat menjadi standar dalam proses berpikir
kritis ini adalah kejelasan, relevansi, berpikir, kejujuran, kelengkapan
informasi dan bagaimana implikasi dari solusi yang kita kemukakan.
2). Indikator berpikir kritis
Mengidentifikasi 8 karakteristik berpikir kritis yakni meliputi :
a). Kegiatan merumuskan masalah
b). Membatasi permasalahan
c). Menguji data-data
d). Menganalisis berbagai pendapat
e). Menghindari pertimbangan yang sangat emosional
f). Menghindari penyederhanaan berlebihan
g). Mempertimbangkan berbagai interpretasi
h). Mentoleransi ambiguitas
3). Bagi siswa berpikir kritis dapat berarti
a). Mencari dimana keberadaan bukti terbaik bagi subyek yang didiskusikan.
b). Mengevaluasi kekuatan bukti untuk mendukung argumen-argumen yang
berbeda.
d). Membangun penalaran yang dapat mengarahkan pendengar kesimpulan
yang telah ditetepkan berdasarkan pada bukti-bukti yang mendukungnya.
e). Memilih contoh yang terbaik untuk lebih dapat menjelaskan makna dari
argumen yang akan disampaikan.
f). Menyediakan bukti-bukti untuk mengilustrasikan argumen tersebut.
(Marizaumami 2010 : 15)
Tahapan-tahapan berpikir kritis menurut Achmad (2007) adalah :
(1). Keterampilan menganalisis
Keterampilan menganalisis merupakan keterampilan menguraikan sebuah
struktur kedalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian
stuktur tersebut.
(2). Keterampilan Mensintesis
Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan
bagian-bagian menjadi sebuah bentukan/susunan yang baru, pertanyaan sintesis
menurut siswa untuk menyatukan padukan semua informasi yang
diperoleh dari materi bacaannya sehingga dapat menciptakan ide-ide baru
yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan
sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas kontrol.
(3). Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah
Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada
beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menurut siswa untuk
memahami bacaan dengan kritis sehingga kegiatan membaca selesai siswa
mengelola sebuah konsep. Keterampilan ini bertujuan agar siswa mampu
memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan/ruang
lingkup baru.
(4). Keterampilan menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia
berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya dapat
beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru.
Keterampilan ini menuntut siswa agar mampu menguraikan dan
memahami berbagai aspek secara bertahap, sampai kepada suatu struktur
baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri dapat
menempuh dua cara yaitu deduksi dan induksi. Jadi kesimpulan
merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya
sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran/pengetahuan yang
baru.
(5). Keterampilan mengevaluasi/menilai
Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan
nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai
mengharapkan siswa agar memberikan penilaian tentang nilai yang di ukur
dengan menggunakan standar tertentu. Dalam taksonomi belajar
keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling
tinggi. Pada tahap ini siswa dituntut agar ia mampu mensinergikan
2. Pendidikan Kewarganegaraan
a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Zamroni dalam Tukiran (2009:3), menjelaskan bahwa ‘Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pendidkikan demokrasi yang bertujuan untuk
mepersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis,
melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin
hak-hak warga masyarakat’. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan
oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan
perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge,
awarenes, attitude, political efficacy dan political participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan
menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa. Pendidikan
Kewarganegaraan diartikan sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945 (Permendiknas No 22 tahun 2006).
Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung
Kewarganegaraan), dan civic skill (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap
individu warganegara. ‘Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan mata pelajaran yang menfokuskan pada pembenrukan warga
Negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya
untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945’. (Winataputra, dalam Faridli 2011:11)
b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Dharma (2008:13), menjelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi sebagai berikut:
1) Memiliki kemampuan berfikir secara rasional, kritis, dan kreatif, sehingga
mampu memahami berbagai wacana kewarganegaraan.
2) Memiliki ketrampilan intelektual dan keterampilan berpartisipasi secara
demokratis dan bertanggungjawab.
3) Memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Rumusan tujuan tersebut sejalan dengan aspek-aspek kompetensi yang
hendak dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Menurut Margaret dalam (Sunarso, 2006:14), ‘Aspek-aspek kompetensi
negara pertama-tama perlu memiliki pengetahuan kewarganegaraan yang
baik, terutama pengetahuan di bidang politik, hukum, dan moral dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya seorang warga negara
diharapkan memiliki keterampilan secara intelektual maupun secara
partisipatif dalam kehidupan berbangsa dan negara.
Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan (civic Education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat
baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu
memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi yang paling terpenting adalah:
a). Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu
b). Pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris
c). Pengembangan karakter dan sikap mental tertentu
d). Komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi
konstitusional.
“Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan terdapat 3
komponen utama yang perlu dipelajari dalam PKn yaitu, civic knowledge, civic skill dan civic disposition”. ( Winataputra, 2007:194 )
c. Struktur Kurikulum Civic Education
Pasal 3 undang-undang Republik Indanesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara imperatife
menjelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. (Winataputra, 2007:155).
d. Visi, Misi dan Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
1). Visi Pendidikan Kewarganegaraan
Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 43-DIKTI-Kep-2006
menjelaskan tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah
pengembangan kepribadian di perguruan Tinggi, visi kelompok mata kuliah
pengembangan kepribadian (MPK) di perguruan Tinggi merupakan sumber
nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi
guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadian sebagai manusia
Indonesia seutuhnya.
Basrie dalam Taniredja (2009:14) menjelaskan bahwa ‘visi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman
penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa
mengembangkan kepribadiannya selaku warga negara yang berperan aktif menegakkan demokrasi menuju masyarakat madani’.
Sedangkan menurut Cipto dalam Taniredja (2009:14) visi Pendidikan
Kewarganegaraan adalah ‘mendidik atau mengembangkan mahasiswa
maupun masyarakat agar menjadi warga negara yang beriman yang
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa visi
Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi menjadi sumber nilai dan
pedoman mengembangkan kepribadian mahasiswa menjadi warganegara
yang cerdas, bertanggung jawab, berkeadaban, beriman dan demokratis.
2). Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Basrie dalam Taniredja (2009:15) menjelaskan bahwa ‘misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi membantu mahasiswa selaku warga negara agar mampu mewujudkan nilai-nilai dasar perjuangan Bangsa indonesia serta kesadaran berbangsa, bernegara dalam menerapkan ilmunya secara bertanggung jawab terhadap kemanusiaan’.
3). Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali
peserta didik dengan penegtahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan
hubungan dasar antara warga negara dengan negara serta pendidikan
pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi warga negara yang dapat
diandalkan oleh Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa
tanggung jawab, yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dapat
dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.
Fokus utama Kompetensi pendidikan Kewarganegaraan adalah terbentuknya
perilaku (sikap), oleh karena itu Pendidikan Kewarganegaraan senantiasa
mementingkan terbentuknya sikap atau perilaku. Pendidikan
Kewarganegaraan yang berfokus pada dimensi afektif mengharapkan setelah
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selesai ada sikap tertentu yang
secara umum berkehendak mengembangkan peserta didik menjadi warga
negara Indonesia yang baik. Namun demikian sebagai kajian ilmiah,
Pendidikan Kewarganegaraan tidak meninggalkan aspek akademik.
Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan adalah menjadi ilmuwan
dan profesional yang memilki rasa kebangsaan dan cinta tanah air,
demokratisasi yang berkeadaban, dan berpartisipasi aktif dalam membangun
kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila ‘(Keputusan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
republik Indonesia Nomor : 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi)’ dalam Taniredja (2009:16)
3. Metode Pembelajaran Examples Non Examples
a. Pengertian Metode Pembelajaran Examples Non Examples
Metode Pembelajaran Examples Non Examples adalah salah satu metode pembelajaran yang termasuk dalam kategori metode pembelajaran
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Lebih tepatnya
metode pembelajaran Examples Non Examples termasuk dalam metode pembelajaran aktif. Dalam konteks tersebut, ‘aktif berarti pembelajaran harus
menumbuhkan suasana sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif
bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasan’ (Tumini, 2010).
Suyatno ( 2009 : 115 ) menjelaskan bahwa metode pembelajaran
Kompetisi Dasar. Metode pembelajaran Examples Non Examples merupakan metode pembelajaran yang menggunakan gambar sebagai media
pembelajaran. Penggunaan media gambar ini disusun dan dirancang agar
peserta didik dapat menganalisis gambar tersebut menjadi sebuah bentuk
diskripsi singkat mengenai apa yang ada di dalam gambar. Penggunaan
metode pembelajaran Examples Non Examples ini lebih menekankan pada konteks analisis peserta didik. Metode pembelajaran Examples Non Examples
menggunakan gambar dapat ditayangkan melalui OHP, LCD proyektor,
ataupun yang paling sederhana adalah poster. Gambar yang digunakan
haruslah jelas dan kelihatan dari jarak jauh, sehingga peserta didik yang
berada di belakang dapat juga melihat dengan jelas.
b. Langkah-langkah Metode Pembelajaran Examples Non Examples
Metode Examples Non Examples merupakan metode pembelajaran yang menggunakan contoh-contoh, dimana contoh-contoh tersebut dapat
diambil dari kasus-kasus atau gambar yang relevan dengan Kompetisi Dasar.
Adapun langkah-langkah metode Examples Non Examples adalah sebagai berikut :
1) Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2) Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP,
maupun LCD proyektor.
3) Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada peserta didik
4) Melalui diskusi kelompok, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut
dicatat pada kertas.
5) Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6) Mulai dari komentar atau hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan
materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7) Kesimpulan.
(Suprijono,2009:125)
Adapun kelebihan metode Examples Non Examples antara lain sebagai berikut:
a) Peserta didik lebih berpikir kritis dalam menganalisa gambar.
b) Peserta didik mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
c) Peserta didik di beri kesempatan untuk berpendapat.
Disamping kelebihan-kelebihan yang telah dikemukakan di atas, ada
beberapa Kelemahan, seperti:
(1) Tidak semua materi dapat di sajikan dalam bentuk gambar.
(2) Memerlukan waktu yang lama.
(Wijaya, 2008).
4. Mengidentifikasi Kasus Korupsi dan Upaya Pemberantasannya
a. Mendeskripsikan Pengertian Anti Korupsi dan Instrumen (Hukum dan
Kelembagaan) anti Korupsi di Indonesia.
Fokema Andreae menjelaskan bahwa korupsi berasal dari bahasa latin
latin yang lebih tua. “Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa
seperti Inggris yaitu corruptio, corrupti, Prancis yaitu corruption, dan Belanda yaitu corruptie (korruptie)”. Bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun kebahasa Indonesia yaitu korupsi (Hamzah, 2005 : 4 )
Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejadan,
ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dari pengertian
korupsi secara harfiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya.
istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa
indonesia itu disimpulkan oleh Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa
indonesia: ‘Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya’. ( Hamzah, 2005 : 5-6 )
Dijelaskan juga bahwa korupsi berasal dari kata corruption yang artinya kecurangan atau perubahan dan penyimpangan. Kata sifat corrup
berarti juga buruk, rusak, tetapi juga menyuap, sebagai bentuk suatu yang
buruk. Dalam Websters New american Dictionary (1995), kata corruption
diartikan sebagai decay (lapuk), contamination/kemasukan sesuatu yang merusak, dalam impurity (tidak murni). Sedangkan kata corrupt dijelaskan sebagai to becomerotten or putrid (menjadi busuk, lapuk, buruk atau tengik), juga to induce decayin something originally, clean, sound, memasukan sesuatu yang lapuk atau busuk dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan
melanggar hukum yang berakibat merusak tatanan yang sudah disepakati atau
dibuat. Tatanan itu berupa pemerintah, administrasi, dan negara. Dalam teori
sosial, korupsi mengendalikan adanya pejabat umum dengan kekuasaan untuk
memilih alternatif tindakan yang berkaitan dengan penggunaan kekayaan dan
kekuasaan pemerintah yang bisa diambil dan dipergunakan untuk
kepentingan pribadi, meskipun begitu akhir-akhir ini mulai berkembang
bahwa korupsi tidak terjadi hanya dipemerintahan, tetapi juga diperusahaan,
yayasan, departemen, parpol, rumah sakit, bahkan lembaga keagamaan.
“Korupsi bisa terjadi dimana saja sehingga korupsi tidak semata-mata
dipahami sebagai gejala sosial dan budayanya”. ( Rais, 1999 : 19 )
Sudarto menjelaska bahwa mengenai unsur-unsur tindak pidana
korupsi yaitu:
1) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan. “perbuatan memperkaya” artinya perbuatan apa saja, misalnya :
mengambil, memindah bukukan, menandatangani kontrak, dan
sebagainya sehingga si pembuat bertambah kaya.
2) Perbuatan ini bersifat melawan hukum, disini diartkan secara formil dan
materiil.
3) Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara, atau patut disangka oleh si
pembuat, bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang
mempunyai kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Anti korupsi secara mudahnya dapat diartikan tindakan
yang tidak menyetujui terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Dengan kata lain, anti korupsi merupakan
sikap atau perilaku yang tidak mendukung atau menyetujui terhadap berbagai
upaya yang yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi untuk merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara yang dapat menghambat
pelaksanaan pembangunan nasional.
Upaya untuk mendukung tindakan anti korupsi melalui
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), selain itu ada Lembaga Swadaya Masyarakat
yang sangat peduli terhadap pemberantasan korupsi, seperti Masyarakat
Transparansi Indonesia atau juga Lembaga Pemantau Kekayaan Negara.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan, bahwa
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah
kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional
tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Dalam
rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak
pidana korupsi. Berbagai kebijakan telah tertuang dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan Nepotisme :
Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi
tindak pidana korupsi yang :
a). Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
c). Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam undang-undang ini, Komisi Pemberantasan
Korupsi :
a). Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif.
b). Tidak monopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.
c). Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada
dalam pemberantasan korupsi
d). Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan
wewenang penyelidikan, penuidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 3).
Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4
pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas dan wewenang KPK
menurutu pasal 6 adalah :
(1). Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(2). Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(3). Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
(4). Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
(5). Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
( Sundawa, dkk. 2008 : 95 )
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari beberapa tindak
pidana yang mengaturnya diluar KUHP. Pengaturan tindak pidana korupsi
yang pertama ialah Pengaturan Penguasa Militer tanggal 09 April Nomor Prt/
PM/ 06/ 1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/ PM/ 03/ 1957, dan tanggal 1
Juli 1957 Nomor Prt/ PM/ 011/ 1957. ”Hal-hal penting untuk diketahui dari
peraturan-peraturan tersebut ialah adanya usaha untuk pertama kalinya
memakai istilah-istilah korupsi sebagai istilah hukum yang berarti sebagai
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”.
(Hamzah, 2005:42 )
oleh Undang-Undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ditinjau dari yurisprudensi selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 ternyata sangat sedikit delik korupsi yang di temukan. Undang-Undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 juga dinilai lebih menguntungkan tertuduh karena selain ancaman pidananya lebih ringan, perumusan deliknya lebih sulit untuk dibuktikan oleh jaksa, sehingga Undang (Prp) Tindak Pidana Korupsi 1960 diganti dengan Undang-Undang No 03 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini di nilai lebih efektif dibandingkan peraturan sebelumnya. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-Undang Nomor 03 tahun 1971Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada bulan Maret tahun 2001 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tersebut di rubah sedikit dengan menambah ketentuan tentang beban pembuktian terbaik yang berlaku sampai saat ini”. (Hamzah, 2005 : 61-75)
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Korupsi adalah tidakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian
negara.
b. Mengidentifikasi Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Dewasa ini kasus-kasus korupsi yang terjadi di negara Indonesia
semakin menarik untuk dibicarakan. Korupsi bukan hanya terjadi di
lingkungan pejabat eksekutif, tetapi terjadi juga di lembaga legislatif dan
yudikatif. Korupsi merupakan penyakit masyarakat yang sangat
membahayakan karena dapat mengancam kelancaran pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat. Di tengah upaya pembangunan nasional di
berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimbangan lainnya semakin meningkat. Upaya pencegahan dan
tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Agar dapat
menjangkau berbagai modus operasi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga
meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi secara “melawan hukum” dari pengertian formil dam materil.
Berdasarkan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang
menutut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Tindak pidana
korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dengan
rumusan secara formil yang dianut dalam undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maka meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan tetap di pidana. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan
dakwaannya. Selain itu undang-undang tindak pidana korupsi juga memberi
kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk
anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan
hukum penghargaan.
Pengertian korupsi menurut pasal 2 (1) Undang-Undang nomor 20
tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah: Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Selain itu dalam Pasal 3
dinyatakan, bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan atau denda paling
sedikit 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Sundawa, dkk. 2008 : 91)
B.Kerangka Berpikir
Kerangka berfikir penelitian ini dapat peneliti uraikan sebagai berikut:
kondisi awal sebelum dilaksanakan penelitian tindakan kelas, telah diperoleh
gambaran bahwa hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa masih
Kewarganegaraan karena kurang optimalnya dalam pembelajaran, penerapan
dilakukan dalam proses pembelajaran untuk membuat kelas menjadi hidup
dan membuat siswa berperan aktif dan berpkir kritis dalam pembelajaran,
maka dilakukan tindakan oleh guru dengan menggunakan metode Examples Non Examples.
Kerangka berfikir
C.Asumsi Penelitian
Asumsi dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang
terkumpul (Arikunto, 2002:64). Asumsi penelitian ini diturunkan berdasarkan
cara berfikir kritis, yakni menentukan jawaban sementara atas dasar analisis
teori-teori pengetahuan ilmiah yang relevan dengan permasalahan melalui
penalaran.
Tindakan
Kondisi awal
1. Mencari informasi dari
berbagai sumber mengenai
kasus korupsi dan
pemberantasannya.
2. Menyajikan masalah yang berkaitan dengan kasus korupsi dan siswa cara berkelompok menganalisa dan menemukan ide dan argumen dari masalah
“Peningkatan berpikir kritis dengan melalui metode
Examples Non Examples”
- Berpikir kritis meningkat
Asumsi yang dikemukakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: Berpikir Kritis siswa kelas VIII C SMP Negeri 2 Kembaran
dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada konsep
mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasannya dapat