BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Respon
Kata „respon‟ menurut kamus besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai tanggapan, reaksi, atau jawaban. Respon atau yang disebut juga
tanggapan menurut Ahmadi (2009: 68) adalah hasil kesan-kesan yang
tersimpan dalam ingatan dan jiwa seseorang setelah melakukan
pengamatan. Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa respon
merupakan tanggapan atau reaksi yang diartikan sebagai kesan atau
gambaran dari stimulus yang didapat atau objek yang diamati sebelumnya.
Respon peserta didik maupun guru terhadap suatu metode atau
model yang diterapkan oleh guru pada suatu pembelajaran dapat diketahui
saat pembelajaran di kelas. Azwar (2011:7) menyatakan bahwa sikap
individu terhadap objek berperan sebagai perantara respon dan objek. Hal
tersebut dapat dikatakan bahwa respon yang ditunjukkan oleh individu
terhadap objek dapat memunculkan sikap individu terhadap objek. Respon
peserta didik dapat dilihat dari cara peserta didik menyampaikan pendapat,
atau sikap yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru. Respon guru dapat dilihat setelah guru mengetahui
guru dapat memberi tanggapan mengenai pembelajaran yang dilakukan di
kelas.
2. Guru
Guru menurut Sukadi (2009:9-10) diartikan sebagai seseorang yang
bertugas untuk mengajar, mendidik, dan melatih peserta didik. Usman
(2006:5) menyatakan bahwa guru merupakan profesi yang memerlukan
keahlian khusus sebagai guru. Mulyasa (2005:37) menyatakan bahwa guru
adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan bagi para peserta didik dan
masyarakat. Pendapat Djamarah (2005:31) tentang guru adalah semua
orang yang memberikan ilmu kepada peserta didik, dan bertanggung
jawab untuk membimbing serta membina peserta didik. Berdasarkan
pengertian guru menurut Sukardi, Usman, Mulyasa, dan Djamarah, dapat
disimpulkan bahwa guru merupakan orang yang memiliki keahlian khusus
sebagai guru dan bertugas dalam memberikan ilmu kepada peserta didik.
Tugas guru tidak hanya untuk memberikan ilmu saja kepada
peserta didik. Djamarah (2005:37) mengungkapkan bahwa tugas guru
sebagai pendidik itu mengembangkan nilai-nilai hidup kepada peserta
didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti guru harus mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya kepada peserta didik agar
dapat mengenali perubahan zaman yang terjadi. Tugas guru sebagai
pelatih yaitu guru mengembangkan keterampilan peserta didik agar dapat
3. Peserta Didik
Peserta didik menurut Djamarah (2008:80) adalah subjek utama
dalam pendidikan karena peserta didiklah yang belajar setiap saat. Peserta
didik merupakan unsur yang menentukan untuk terjadinya interaksi dalam
pembelajaran yang didampingi oleh guru di kelas. Karakteristik individu
menurut Sunarto dan Hartono (2008:4) diperoleh dari pengaruh
lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik yang didapat
individu sejak lahir berupa faktor biologis, sosial, maupun psikologis
Djamarah (2008:83-95) mengungkapkan bahwa peserta didik memiliki
perbedaan baik secara biologis, intetelegensi, dan psikologis.
Perbedaan biologis yaitu setiap anak secara biologis atau fisik
berbeda walaupun dalam satu keturunan, baik itu warna tubuh, bentuk
tubuh, jenis kelamin, dan sebagainya. Kesehatan peserta didik menjadi
pusat perhatian dalam pendidikan dan pembelajaran karena setiap individu
memiliki kesehatan yang berbeda-beda sehingga perlu mendapat perhatian
khusus dari guru dalam hal akademik maupun non akademik. Perbedaan
intelektual, setiap individu memiliki tingkat intelegensi yang berbeda
dengan individu lainnya. Perbedaan intelegensi dipengaruhi oleh
lingkungan berupa pengalaman yang didapat oleh individu. Perbedaan
setiap peserta didik harus diketahui dan diperhatikan oleh guru dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas sehingga peserta didik
Perbedaan psikologis pasti ada karena secara lahir dan batin setiap
individu semuanya berbeda. Perbedaan ini merupakan pembawaan dan
lingkungan anak yang berbeda. Guru perlu melakukan pendekatan kepada
peserta didik secara individu sehingga dapat memberikan motivasi dan
bimbingan. Perbedaan psikologis ini dapat dimanfaatkan guru dalam hal
mengelola kelas sehingga tiap-tiap individu saling melengkapi kekurangan
masing-masing dan berbagi kelebihannya kepada individu lain.
4. Model VCT (Value Clarification Technique)
a. Pengertian Model VCT
Model VCT merupakan salah satu model pembelajaran yang
mengaitkan pembelajaran pada nilai-nilai karakter peserta didik.
Pengertian VCT menurut Sanjaya (2006:281) merupakan teknik
mengajar yang bertujuan membantu peserta didik dalam menghadapi
suatu persoalan dengan memilih nilai yang dianggap baik dan
menganalisis nilai yang telah tertanam dalam diri peserta didik.
Adisusilo (2012:145) juga menyatakan bahwa dengan klarifikasi nilai,
peserta didik dibantu untuk menemukan, menganalisis,
mempertanggung jawabkan, memilih, mengambil, dan mengamalkan
nilai-nilai tersebut dalam hidupnya sendiri. Berdasarkan kedua
pengertian tentang VCT di atas, dapat disimpulkan bahwa VCT adalah
cara pengajaran nilai-nilai kepada peserta didik melalui proses
menganalisis nilai yang ada dalam diri peserta didik kemudian
Peserta didik dilatih untuk mengungkapkan nilai-nilai yang
sesuai dengan dirinya melalui persoalan yang diberikan oleh guru
dalam pembelajaran di kelas. Semua peserta didik itu berbeda, begitu
juga saat peserta didik diminta untuk memilih nilai-nilai yang sesuai
dengan dirinya, nilai-nilai pilihan peserta didik pun berbeda.
Peserta didik tidak dipaksa atau dipilihkan nilai-nilai yang ada
oleh guru, tetapi peserta didik bebas memilih dan setelah itu peserta
didik menerapkan nilai-nilai yang menjadi pilihannya untuk
diterapkan di kehidupan masing-masing peserta didik. Penerapan
nilai-nilai tersebut mungkin tidak dapat langsung diterapkan begitu
saja, tetapi sedikit demi sedikit mencoba dan membiasakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Penggunaan VCT ini dapat membantu peserta
didik menemukan nilai-nilai yang akan menjadi pola hidupnya,
misalnya nilai tanggung jawab, disiplin, dan yang lainnya.
b. Langkah-langkah Model VCT
Model VCT mempunyai beberapa langkah dalam
penerapannya di pembelajaran. Jarolimek (dalam Taniredja,
2012:89-90) mengklasifikasikan beberapa langkah tersebut ke dalam tiga
tingkatan, yaitu, “kebebasan memilih, menghargai, dan berbuat”.
Setiap tingkatan terdapat langkah-langkah yang telah urut.Terdapat
tujuh langkah dalam pelaksanaan teknik klarifikasi nilai ini, yaitu pada
tahap memilih terdapat tiga langkah, tahap menghargai terdapat dua
Langkah pertama pada tingkatan kebebasan memilih yaitu
peserta didik bebas memilih nilai yang sesuai dengan diri peserta didik
dan tidak ada tekanan atau perintah dari teman ataupun guru untuk
memilih nilai tersebut. Peserta didik juga bebas memilih
mengandaikan terdapat beberapa alternatif. Peserta didik perlu
mempertimbangkan berbagai pilihan alternatif nilai yang dipilihnya
dan beserta akibatnya, kemudian memilih nilai setelah melakukan
pertimbangan. Tingkat menghargai ini peserta didik tidak ragu atas
pilihannya dan bangga atas nilai yang dipilihnya, serta mengakui
pilihannya itu kepada orang lain. Pada tahap berbuat, peserta didik
berkemauan untuk berperilaku sesuatu sesuai dengan pilihannya, dan
berulang-ulang bertindak sesuai dengan pilihannya hingga pada
akhirnya merupakan kebiasaan atau pola dalam hidup peserta didik.
Guru sebagai fasilitator, menghargai pendapat dan pilihan peserta
didiknya, dan mendampingi peserta didik selama pembelajaran.
c. Bentuk Pembelajaran VCT
Model VCT mempunyai beberapa bentuk metode maupun
teknik yang dapat dipilih untuk diterapkan dalam pembelajaran sesuai
dengan tujuan guru dalam melaksanakan pembelajaran IPS. Bentuk
pembelajaran teknik klarifikasi nilai memiliki teknik atau cara
tersendiri. Djahiri (1985: 61-81) mengungkapkan bahwa terdapat
a. Metode Percontohan.
b. Analisa Nilai.
c. Daftar atau matrik.
d. Klarifikasi Nilai dengan kartu keyakinan.
e. Teknik wawancara atau interview.
f. Teknik Yurisprudensi.
g. Teknik Inkuiri Nilai.
Kelima bentuk pembelajaran VCT di atas berbeda-beda teknik
pembelajarannya dan memiliki tujuan atau target nilai masing-masing.
Bagi guru yang akan menerapkan model VCT ini dalam pembelajaran
di kelas, guru perlu mengetahui nilai-nilai yang perlu dikembangkan
dalam diri peserta didik melalui salah satu bentuk metode ataupun
teknik dalam model VCT, dan mempersiapkan hal-hal yang
diperlukan dalam menerapkan model VCT ini dengan matang agar
dapat terlaksana dengan baik saat pembelajaran.
Metode percontohan terdapat beberapa langkah dalam
pembelajaran yang dilakukan oleh guru menurut Djahiri (1985:61)
antara lain:
1) Guru melontarkan stimulus yang dibacakan oleh guru atau
peserta didik.
2) Peserta didik memiliki kesempatan untuk berdialog sendiri
3) Guru melakukan tanya jawab dengan peserta didik secara
individual, kelompok, dan klasikal.
4) Peserta didik saling berpendapat sesuai dengan
pertanyaan-pertanyaan dari guru.
5) Guru membahas pendapat-pendapat dari peserta didik.
6) Guru dan peserta didik menyimpulkan pendapat-pendapat
peserta didik ke dalam materi dan konsep pelajaran.
d. Kelebihan dan Kelemahan Model VCT
Model VCT mempunyai kelebihan-kelebihan dan
kelemahan-kelemahan tertentu. Kelebihan VCT menurut Djahiri (dalam Taniredja,
2012: 91) antara lain:
1) Mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada ranah internal side.
2) Mampu mengklarifikasi/menggali dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan selanjutnya akan memudahkan bagi guru untuk menyampaikan makna/pesan nilai/moral.
3) Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa, melihat nilai yang ada pada orang lain dan memahami nilai moral yang ada dalam kehidupan nyata. 4) Mampu mengundang, melibatkan, membina, dan
mengembangkan potensi diri siswa terutama mengembangkan potensi sikap.
5) Mampu memberi sejumlah pengalaman belajar dari berbagai kehidupan.
6) Mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi, dan memadukan berbagai nilai moral dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang
7) Memberi gambaran nilai moral yang patut diterima dan menuntun serta memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.
Kelebihan-kelebihan itulah yang akan dapat dirasakan oleh
kelebihan-kelebihan tersebut, Sanjaya (2007:281) mengungkapkan bahwa
adapula kelemahan yang sering terjadi dalam penerapan model
pembelajaran nilai ini yaitu guru kurang memperhatikan nilai-nilai
yang telah tertanam dalam diri peserta didik dan guru menanamkan
nilai-nilai yang dianggapnya baik kepada peserta didik sehingga
peserta didik mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama
yang ada pada diri peserta didik dengan nilai baru yang hendak
ditanamkan.
Solusi dari kelemahan teknik klarifikasi nilai ini menurut
Taniredja (2012:92) antara lain dalam pembelajaran guru
menggunakan pendekatan kontekstual antara lain menyesuaikan
dengan suatu peristiwa yang sedang terjadi, serta guru melatih
keterampilan mengajar sesuai standar kompetensi guru. Guru dalam
penerapan model teknik klarifikasi nilai ini lebih terbuka dengan
nilai-nilai yang ada pada peserta didik dan dengan pilihan-pilihan peserta
didik yang menurut para peserta didik itu baik bagi diri peserta didik.
Peserta didik mempunyai kesempatan untuk bebas memilih nilai-nilai
yang menurutnya baik.
e. Tujuan Model VCT
Tujuan penerapan VCT menurut Adisusilo (2012: 142) ada
tiga, yaitu:
1) Membantu peserta didik menyadari dan mengetahui nilai-nilai yang dimilikinya sendiri serta nilai-nilai-nilai-nilai orang lain. 2) Membantu peserta didik agar dapat berinteraksi dengan
3) Agar peserta didik dapat menggunakan pikiran dan kesadaran emosionalnya untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah lakunya sendiri baik itu yang positif maupun negatif.
Adanya tujuan di atas, model VCT dapat membantu peserta didik agar
bisa meningkatkan nilai-nilai karakter positif yang telah ada dalam diri
peserta didik, menanamkan nilai-nilai baru pada diri peserta didik,
menghargai dan bertanggung jawab atas nilai-nilai yang telah dipilih
oleh peserta didik, serta mengamalkannya dalam kehidupan nyata.
Model VCT dalam penerapannya, guru harus mampu
menyampaikannya dengan baik kepada peserta didik. Cara
penyampaian yang dilakukan oleh guru berbeda-beda sehingga guru
perlu menggunakan cara atau taktik tersendiri agar dapat
menyampaikan nilai-nilai baru tersebut dan peserta didik menerimanya
serta mengembangkannya dengan baik dalam diri peserta didik. Hal ini
dilakukan agar tujuan VCT tersebut dapat tercapai dengan baik dan
kelebihan dari VCT ini dapat dirasakan oleh guru maupun peserta
didik. Penerapan model VCT dalam pembelajaran menurut Wijayanti
(2013: 75) dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
memilih, memutuskan, mengkomunikasikan, memgungkapkan
gagasan, keyakinan, nilai-nilai dan perasaannya, berempati terhadap
perasaan orang lain dan melihat sudut pandang orang lain,
memecahkan masalah, menyatakan sikap setuju atau tidak setuju
terhadap pendapat orang lain, serta mempunyai pendirian dalam
5. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
a. Pengertian IPS
Ilmu pengetahuan sosial merupakan bagian dari studi sosial
yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan. Studi sosial menurut
Barr, Barth, dan Shermis (2003: 18) adalah gabungan dari beberapa
ilmu-ilmu sosial dan humanitis yang bertujuan untuk pengajaran
dalam pendidikan kewarganegaraan. Pada studi sosial ini terdapat tiga
tradisi, yaitu citizenship transmission, social science, dan
reflectiveinquiry. Ilmu pengetahuan sosial termasuk dalam tradisi
citizenship transmission, yang esensinya ialah penamaan mengenai
sesuatu yang dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang paling
diminati, nilai-nilai, dan kecakapan-kecapakan yang dianggap penting
dalam mempertahankan kelangsungan hidup kebudayaan.
Kebudayaan tersebut mencakup tingkah laku, pengetahuan, nilai-nilai,
dan pandangan-pandangan yang akan dipelajari oleh peserta didik
yang mana baik guru maupun peserta didik ikut berpartisipasi.Susanto
(2014:1) menyatakan bahwa pembelajaran pendidikan IPS memiliki
tujuan yaitu untuk mengembangkan dan merefleksikan pengetahuan,
nilai, sikap, keterampilan sosial, kewarganegaraan, fakta, konsep, dan
generalisasi dalam kehidupan sosial.
Pemahaman atau pengertian ilmu pengetahuan sosial menurut
para ahlipun berbeda. IPS menurut Prof. Dr. Nasution (dalam Bar,
pendidikan yang pada pokoknya membahas mengenai manusia dalam
lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, dan bahannya diambil dari
berbagai ilmu sosial, seperti geografi, sejarah, ekonomi, antropologi,
sosiologi, psikologi, dan psikologi. Susanto (2014:6) juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa IPS merupakan gabungan dari
berbagai cabang ilmu sosial dan humaniora. IPS menurut Barr, Barth,
dan Shermis (2003:161) merupakan mata pelajaran di sekolah
menempati posisi strategis dalam rangka menggabungkan
pengetahuan peserta didik, agar peserta didik memahami dan dapat
memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan
ungkapan-ungkapan di atas, IPS dapat diartikan sebagai salah satu
mata pelajaran yang memuat beberapa cabang ilmu sosial dan
humanioraserta mampu menggabungkan pengetahuan peserta didik
agar dapat memahami dan memecahkan masalah yang ada di
lingkungan sosialnya.
Materi-materi dalam pelajaran IPS merupakan bagian dasar
dari tiap cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora sehingga tepat
diajarkan di tingkat pendidikan dasar. Penerapan pelajaran ilmu
pengetahuan sosial di sekolah dasar, peserta didik diharapkan mampu
bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan menjadi bagian dari
masyarakat yang baik. Peserta didik tidak hanya menyerap
mampu mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran
IPS dan menerapkannya di lingkungan sosialnya.
b. Materi masalah-masalah sosial
Pada materi permasalahan sosial, menurut Hisnu dan Winardi
(2008:194) peserta didik diharapkan mampu memahami pengertian
masalah sosial yang terjadi secara umum di sekitar kita, membedakan
masalah sosial dengan masalah individu atau pribadi, mampu
menyebutkan dan menjelaskan beberapa masalah sosial yang ada di
lingkungan tempat tinggal. Masalah sosial menuntut sebuah
penyelesaian, jika tidak segera diselesaikan maka akan terjadi
keresahan, ketakutan, dan rasa tidak aman bagi masyarakat sekitar.
Terdapat dua macam masalah, yaitu masalah sosial dan masalah
pribadi. Masalah pribadi adalah masalah-masalah yang dialami dan
dihadapi oleh manusia sebagai individu, misalnya lupa mengerjakan
tugas, sakit, dijauhi teman maka itu tandanya seseorang sedang
mengalami masalah pribadi, dan orang lain tidak merasa dirugikan atas
masalah pribadi seseorang tersebut. Masalah pribadi dapat diselesaikan
sendiri oleh seseorang yang bersangkutan.
Apabila semua warga masyarakat ikut merasakan pengaruh
dari masalah tersebut, misalnya pencurian, perampokan, maka
peristiwa tersebut disebut masalah sosial. Masalah sosial harus
diselesaikan secara bersama-sama, dan seorang warga tidak dapat
pencurian ataupun perampokan. Semua warga ikut terjun dan
mendukung dalam penyelesaian masalah sosial secara bersama-sama,
misalnya melaksanakan ronda malam yang dijadwal secara sistematis.
Masalah sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat sekitar, antara
lain: masalah kependudukan, keamanan, kebakaran, masalah sampah,
narkoba, pencemaran lingkungan, ketidakdisiplinan dan ketertiban,
rusaknya atau buruknya fasilitas umum, pemborosan energi, dan
kelangkaan barang kebutuhan.
c. Tujuan Mata Pelajaran IPS
Mata pelajaran IPS memiliki tujuan tersendiri, seperti halnya
pada mata pelajaran lain. IPS diajarkan di setiap jenjang pendidikan
karena pada dasarnya ilmu pengetahuan sosial ini menyangkut
kehidupan sosial dan kemasyarakatan di berbagai daerah atau wilayah
sehingga peserta didik perlu dibekali dengan ilmu-ilmu pengetahuan
sosial. Secara umum tujuan dalam pembelajaran IPS di SD
diungkapkan oleh Susanto (2014:33) antara lain untuk
mengembangkan jiwa sosial dan kewarganegaraan individu.
Terdapat tiga tujuan utama studi sosial menurut Fenton (dalam
Bar, Barth, dan Shermis, 2003: 149) yaitu menyiapkan anak-anak
menjadi warga negara yang baik, mengajarkan anak-anak bagaimana
cara berpikir, dan meneruskan warisan budaya. Bar barth, dan Shermis
(2003: 150) menjabarkan klasifikasi tujuan studi sosial berdasar pada
1) Understanding, yaitu agar dapat mengerti maka peserta didik harus memiliki pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan agar dapat menghadapi masalah-masalah sosial dan menyaring berbagai informasi.
2) Attitudes berupa moral, cita-cita, kepercayaan, dan apresiasi. Attitudes ini membantu peserta didik dalam bersikap baik, bertanggung jawab, dimanapun peserta didik berada.
3) Skill terbagi menjadi keterampilan sosial yang meliputi kehidupan kerjasama, saling memberi dan menerima tanggung jawab, menghormati, membina kesadaran sosial, dan keterampilan ini penting dalam program pendidikan IPS di tingkat dasar. Keterampilan belajar dan kebiasaan kerja peserta didik perlu dikembangkan melalui penugasan mengumpulkan data, membuat laporan, merangkum. Keterampilan bekerjasama dengan kelompok, dan keterampilan intelektual yang disosialisasikan dengan aspek pemikiran seperti penggunaan aplikasi dari pendekatan rasional dan pemecahan masalah.
Pembelajaran IPS tentunya mengandung nilai-nilai yang dapat
diterapkan pada diri peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Guru
sebagai model dalam pembelajaran di kelas tentu memiliki peran besar
dalam membantu mewujudkan tujuan di atas dan membentuk karakter
yang diharapkan dari pembelajaran tersebut. Guru membantu peserta
didik agar menjadi individu yang berkarakter melalui pembelajaran
yang dilakukan bersama peserta didiknya di sekolah.
B. Penelitian yang Relevan
1. Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Puti Laras Febrianti
yang berjudul “Effectifity Of VCT Method In Teaching Social Sciences To
ImproveThe Mental Attitude Of Manners (Class Action Research in the VII
E Classroom SMPN 4 Bandung)” tahun 2016,menunjukkan bahwa
pembelajaran ilmu pengetahuan sosial melalui metode VCT mampu
kelas.Berdasarkan kesimpulan di atas, metode VCT tentu dibutuhkan dan
harus didukung oleh berbagai bahan, model, media, sumber studi, dan
sistem evaluasi.
2. Penelitian mengenai “Comparative Effectiveness of Value Clarification
and RolePlaying Value Development Models for Selected Values
forPrimary School Students” yang dilakukan oleh Roli Raipada tahun
2014 menyatakan bahwa penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
efektivitas dari kedua model Nilai Klarifikasi dan Role Playing sehingga
salah satu dari model tersebut dapat digunakan sebagai alat yang efektif
dalam menanamkan nilai-nilai yang diinginkan dalam situasi kelas. Telah
ditemukan bahwa kedua Model Nilai Klarifikasi dan Role Playing terbukti
hampir sama efektif sejauh penanaman nilai-nilai yang dipilih pada
anak-anak sekolah dasar.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina Tri Wijayanti yang berjudul
“Implementasi Pendekatan VCT (Value Clarification Technique) dalam
Pelajaran IPS Sekolah Dasar” tahun 2013, menyatakan bahwa hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan penerapan teknik klarifikasi nilai,
proses pembelajaran IPS semakin bermakna. Hasil Implementasi Value
Clarification Technique (VCT) dalam pembelajaran IPS memunculkan
perilaku positif siswa seperti aspek nilai religius dan taat beribadah,
toleransi terhadap sesama, disiplin, kepedulian terhadap teman,
bermusyawarah dan tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas tepat
4. Hasil penelitian yang berjudul “Effectiveness Of Value Clarification And
Self-ManagementTechniques In Reducing Dropout Tendency Among
SecondarySchools Students In Edo State“tahun 2015 yang dilakukan oleh
Josephine Oliha dan Vivian I. Audu menyatakan bahwa teknik klarifikasi
nilai diidentifikasi lebih yang paling efektif dalam perlakuanpada
kecenderungan putus sekolah dari SM (P <0,05). Berdasarkan hasil ini
penelitian menganjurkan untuk penggunaan VCT untuk perlakuan
terhadap kecenderungan putus sekolah di kalangan siswa sekolah
menengah. Teknik klarifikasi nilai efektif karena kemampuannya untuk
meningkatkan rasa nilai klien dan menjunjung tinggi kejujuran dan
keunggulan yang dimiliki. Model VCT mampu mempengaruhi komponen
kognitif dan afektif siswa sehingga meningkatkan rasa nilai.
Berdasarkan keempat penelitian yang relevan di atas memiliki
persamaan yaitu penelitian pada model VCT, dan terdapat perbedaan
dengan penelitian peneliti yaitu pada respon peserta didik dan guru
terhadap model VCT pada pembelajaran IPS. Penelitian yang dilakukan
oleh Agustina bertujuan untuk mengetahui perilaku positif yang muncul
atau terlihat dari sikap peserta didik setelah pengimplementasian VCT
dalam pembelajaran IPS. Tujuan dari penelitian peneliti ini adalah
meneliti respon guru dan peserta didik terhadap model VCT pada
pembelajaran IPS, serta kelebihan dan kelemahan dalam penerapan
C. Kerangka Pikir
Model VCT merupakan bentuk pengajaran terhadap
nilai-moral-afektif individu dalam menghadapi persoalan melalui proses menganalisis
nilai-nilai yang memang telah ada dalam tiap individu kemudian
mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Model VCT dapat
diterapkan dalam pembelajaran IPS guna mengembangkan sikap tanggung
jawab peserta didik. Model VCT memiliki peran dalam meningkatkan sikap
tanggung jawab dari peserta didik. Selama melaksanakan pengajaran VCT ini
tentu terdapat beberapa faktor yang mendukung pengajaran model ini dan ada
juga faktor yang menghambat pelaksanaan pengajaran model VCT ini. Peran