• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Hukum dan Perlindungan Hukum 1.1 Pengertian Hukum - ADHIGUNA WIRAYUDHA BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Hukum dan Perlindungan Hukum 1.1 Pengertian Hukum - ADHIGUNA WIRAYUDHA BAB II"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Hukum dan Perlindungan Hukum

1.1 Pengertian Hukum

Definisi tentang hukum menurut Van Apeldoorn adalah sangat sulit untuk dibuat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan, kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: “ Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht” (masih juga para sarjana hukum mencari-cari

suatu definisi tentang hukum) (C.S.T. Kansil, 1989: 34).

Dalam buku C.S.T. Kansil (1989: 38) Utrecht memberikan batasan hukum sebagai berikut:

“Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”. Selain Utrecht beberapa

Sarjana Hukum Indonesia lainnya telah berusaha mendifinisikan tentang apa hukum itu, antara lain:

a. S.M. Amin

(2)

b. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu;

c. M.H. Tirtaatmadjaja

Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya (C.S.T. Kansil, 1989: 38).

(3)

1.1.1 Unsur-unsur Hukum

Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para Sarjana Hukum Indonesia diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur sebagai berikut:

a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;

b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib; c. Peraturan itu bersifat memaksa;

d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas (C.S.T. Kansil, 1989: 39).

1.1.2 Ciri-ciri Hukum

Hukum itu sendiri ada beberapa ciri antara lain: a. Adanya perintah dan/ atau larangan;

b. Pentah dan/ atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang. Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya (C.S.T. Kansil, 1989: 39).

1.2 Pengertian Perlindungan Hukum

(4)

dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep Negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V.Licey.

Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum atau normatif, umum karena berlaku untuk semua orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan kepada kaedah (Sudikno Mertokusumo, 2003:39).

Perlindungan pekerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja tersebut.

Dengan demikian perlindungan pekerja ini mencakup: a. Norma Keselamatan Kerja

(5)

b. Norma Kesehatan Kerja

Meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan kerja, dilakukan dengan mengatur pemberian obat, perawatan tenaga kerja yang sakit;

c. Norma Kerja

Meliputi perlindungan terhadap tenaga kerja yang bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja perempuan, anak, kesusilaan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing yang diakui oleh pemerintah;

d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak mendapatkan ganti rugi (Zainal Asikin, 2002: 76).

2. Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan

2.1 Pengertian, tujuan dan sifat hukum perburuhan/ketenagakerjaan

(6)

a. Menurut Molenaar

Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dan penguasa;

b. Menurut Mr. M. G. Levenbach

Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu;

c. Menurut Mr. N. E. H. van Esveld

Hukum ketenagakerjaan (arbeidsrecht) tidak hanya meliputi hubungan kerja di mana pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri;

d. Menurut Iman Soepomo

Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

(7)

dikesampingkan (biasanya dengan perjanjian). Dilihat dari segi ini, sebagian besar hukum perburuhan bersifat imperatif. Kenyataan ini sesuai dengan tujuan hukum perburuhan, yakni mengadakan perlindungan terhadap buruh. Tanpa hukum yang bersifat imperatif, yang biasanya dinyatakan dengan perkataan harus, wajib, tidak boleh, tidak dapat, dilarang, tujuan tersebut sulit untuk dicapai.

Sehubungan dengan tujuan hukum perburuhan/ ketenagakerjaan, pemerintah ikut serta dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut dengan mengeluarkan berbagai produk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hukum perburuhan/ ketenagakerjaan selain bersifat perdata (privat) juga bersifat publik. Dikatakan bersifat perdata (privat) karena hukum perburuhan/ ketenagakerjaan mengatur kepentingan orang per-orangan, dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha. Sedangkan dikatakan bersifat publik (pidana) karena: 1. Dalam hal-hal tertentu negara atau pemerintah turut campur tangan

dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan hubungan kerja;

2. Adanya sanksi-sanksi atau aturan-aturan hukuman di dalam setiap undang-undang/peraturan perundang-undangan di bidang

(8)

2.2 Sumber-sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan

Menurut Hilman Nugraha dalam kutipannya, Sumber hukum Ketenagakerjaan ialah:

1. Sumber hukum ketenagakerjaan dalam artian materiil (tempat dari mana materi hukum itu diambil) Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Soedikno Mertokusumo (1988: 63) menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.

2. Sumber hukum perburuhan dalam artian formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan itu memperoleh kekuatan hukum). Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber di mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1988: 63).

Iman Soepomo (1972: 21) merangkai Sumber formil hukum perburuhan antara lain :

a. Perundang-undangan

(9)

1) Wet;

2) Algemeen Maatregal van Bestuur; 3) Ordonantie-ordonantie;

4) Regeeringsverordening; 5) Regeeringsbesluit;

6) Hoofd van afdeling van arbeid.

Setelah Indonesia merdeka ada hal yang perlu dicatat bahwa politik hukum kodifikasi sudah ditinggalkan diganti dengan politik hukum yang mengacu pada unifikasi hukum (Budiyono, 1995: 14). b. Peraturan lainnya

1. Peraturan Pemerintah

Aturan yang dibuat untuk melaksanakan Undang-undang. 2. Keputusan Presiden

Keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk melaksanakan peraturan yang ada di atasnya.

3. Peraturan atau keputusan instansi lainnya. c. Kebiasaan

(10)

Kebiasaan merupakan kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan berlawanan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum. Masih banyak dan berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan disebabkan antara lain:

1. Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang ada.

2. Banyak peraturan yang berasal dari zaman Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan perburuhan sesudah Indonesia merdeka (Budiyono, 1995: 15).

d. Putusan

Putusan di sini ialah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang menangani sengketa-sengketa perburuhan, yaitu:

(11)

Mengingat bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum maka dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menggantikan peraturan sebelumnya. Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 dimungkinkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur yuridis (litigasi) maupun jalur non yuridis (non litigasi) seperti perundingan bipartit, arbitrase, konsiliasi serta mediasi.

e. Perjanjian

Perjanjian merupakan peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan.

(12)

perjanjian kerja. Iman Soepomo menegaskan, karena kadang-kadang perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum seperti undang-undang (Soepomo, 1972: 24).

f. Traktat

Traktat merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Lazimnya perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda” maka masing-masing negara sebagai rechtpersoon (publik)

terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.

Hingga saat ini Indonesia belum pernah mengadakan perjanjian dengan negara lain yang berkaitan dengan perburuhan (Soetikno, 1977: 24). (http:// masukinhilman. blogspot. com/ 2012/ 04/ sumber hukum -ketenagakerjaan.html di unduh 1 Desember 2012).

2.3 Pihak-pihak dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan

Para pihak yang terkait dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan bukan hanya orang-orang biasa, yaitu terutama buruh dan majikan, melainkan juga organisasi perburuhan, seperti organisasi buruh dan organisasi majikan serta badan-badan resmi (Iman Soepomo, 2003: 33). Badan-badan resmi yang dimaksud tidak lain adalah pemerintah. a. Buruh/pekerja

(13)

lain. Dengan demikian tidak ada pembedaan penyebutan antara buruh atau pekerja, pegawai maupun karyawan atau karyawati. Dengan kata lain penyebutan istilah pekerja atau buruh, pegawai, maupun karyawan atau karyawati hanya seolah kesepakatan atau kemufakatan saja (ofspraak).

Sehubungan dengan pengertian buruh, peraturan-peraturan mengenai perburuhan juga ada yang memberikan perumusan tentang buruh, di antaranya adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat buruh. Perumusan tentang buruh yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 yaitu:

“Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

b. Majikan atau pengusaha

(14)

Pengertian Pemberi kerja menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu:

“Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,

atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Seperti halnya pengertian istilah buruh, pengertian istilah majikan juga terdapat dalam Undang-undang perburuhan yang lahir terdahulu sebelum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang terdahulu yang dimaksud adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.

c. Organisasi buruh/pekerja

Pengertian Organisasi buruh/pekerja terdapat dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, dalam Pasal 1 disebutkan:

(15)

Mengenai pengertian organisasi buruh/pekerja, G. Kartasapoetra juga memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan organisasi buruh di Indonesia adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk kaum buruh secara sukarela dalam bentuk:

1. Serikat buruh

Serikat buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit kerja.

2. Gabungan serikat buruh

Gabungan serikat buruh adalah suatu organisasi buruh yang anggota-anggotanya terdiri dari serikat buruh seperti di atas (G Kartasapoetra, 1986: 211).

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;

(16)

3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Sebagai sarana penyalur inspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;

5. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan;

d. Organisasi pengusaha

Menurut Iman Soepomo (2003: 49) mengenai organisasi pengusaha, dapat dikatakan bahwa dasar dan tujuannya adalah kerja-sama antara anggota-anggotanya dalam soal-soal teknis dan ekonomis belaka, tidak juga atau semata-mata merupakan badan yang mengurus soal-soal perburuhan, baik atas inisiatif sendiri, maupun atas desakan dari buruh atau organisasi buruh.

(17)

peraturan pensiun, pemberhentian, pengangguran, kecelakaan dan sebagainya (Iman Soepomo, 2003: 49).

Sejak 31 Januari 1985 dalam Musyawarah Nasional di Surabaya, Organisasi pengusaha disahkan dengan nama Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) atau dalam bahasa inggris: The Employers’ Association of Indonesia (Iman Soepomo, 2003: 49).

e. Pemerintah

Peran serta pemerintah dalam hubungan ketenagakerjaan sangatlah diperlukan. Pemerintah sebagai pihak yang netral diharapkan dapat ikut serta mewujudkan tujuan hukum perburuhan/ketenagakerjaan itu sendiri, di antaranya adalah menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil.

Bukti nyata dari peran serta pemerintah di antaranya adalah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Dikeluarkannya berbagai peraturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan dan kepastian hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam hubungan ketenagakerjaan itu sendiri. Dengan kata lain peraturan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum, baik bagi buruh/pekerja maupun pengusaha.

(18)

conditio sine quanon dalam menegakkan hukum (Sjachran Basah,

1992: 12).

3. Pekerja dan Pengusaha

3.1 Pengertian Pekerja

Sebelum adanya istilah pekerja dahulu orang yang bekerja pada orang lain sering disebut dengan buruh, seiring perkeembangan zaman digunakanlah istilah “Pekerja” hal itu dilakukan dengan alasan :

1. Istilah buruh yang sebenarnya merupakan istilah teknis biasa saja, yaitu tenaga kerja yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah, telah berkembang menjadi istilah yang melekat padanya hal-hal yang kurang menguntungkan seperti: a. Dengan adanya kata buruh berarti adanya kata “majikan”

yakni tergambar antara buruh dan majikan terdapat hubungan yang tidak setingkat dan terdapat polarisasi yang merupakan 2 kelas yang berbeda kepentingan.

(19)

c. Dengan dipengaruhi oleh Marxisme, buruh dianggap adalah suatu kelas yang selalu dieksploitasi oleh majikan. Buruh juga dianggap suatu kelas yang selalu berusaha menghancurkan majikan dalam perjuangannya.

2. Memasyarakatkan Hubungan Industrial Pancasila adalah bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan suasana kekeluargaan, kegotong royongan dan musyawarah dalam perusahaan.

Penggunaan kata buruh yang telah mempunyai konotasi yang kurang baik tentu saja tidak dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana kekeluargaan, kegotong royongan dan musyawarah dalam perusahaan.

3. Untuk mendapat istilah baru yang sesuai dengan keinginan memang tidak mudah. Karena itu kita harus kembali pada UUD 1945 yang merupakan pedoman pokok. Di dalam UUD 1945 pada penjelasan Pasal 2 disebutkan sebagai berikut:

“yang disebut golongan-golongan ialah Badan-badan seperti

koperasi, serikat pekerja dan lain-lain badan kolektif”.

Jelas dalam UUD 1945 menggunakan istilah “pekerja” untuk pengertian buruh. Oleh sebab itu kata “pekerja” disepakati sebagai pengganti istilah “buruh” karena mempunyai dasar

(20)

Pengertian mengenai istilah pekerja terdapat pula dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 1 angka 3. Berdasarkan Undang-undang tersebut, pengertian dari pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pengertian buruh/pekerja menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi spekulasi definisi lain dengan tenaga kerja, menurut Maimun dalam definisi pekerja dan tenaga kerja dalam Undang-undang diatas ada dua unsur yaitu unsur orang yang bekerja dan unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini berbeda dengan definisi tenaga kerja yaitu setiap orang yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat (Maimun, 2004: 13).

3.2 Pengertian Pengusaha

(21)

Pengertian pemberi kerja menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu: “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau

badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Hidayat Muharam berpendapat bahwa pengusaha adalah :

1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 yang berkedudukan diluar wilayah indonesia (Hidayat Muharam, 2006: 1).

4. Perjanjian Kerja dan Hubungan Kerja

4.1 Perjanjian Kerja

(22)

Perjanjian kerja adalah perjanjian di mana pihak yang satu yaitu buruh mengikatkan dirinya untuk bekerja pada pihak lainnya yaitu majikan untuk selama waktu tertentu dengan menerima upah, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh/pekerja dengan memberi upah (Pasal 1601 a Buku III Bab 7A BW/KUH Perdata). Dari pengertian atau rumusan di atas dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja adalah:

1. Perjanjian antara seorang pekerja (buruh) dengan pengusaha untuk melakukan pekerjaan. Jadi si pekerja itu sendiri harus melakukan pekerjaan itu dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain.

2. Dalam melakukan pekerjaan itu, pekerja harus tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha/pemberi kerja. Jadi antara pengusaha dan pekerja ada suatu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

3. Sebagai imbalan dari pekerjaan yang dilakukan, pekerja berhak atas upah yang wajib dibayar oleh pengusaha/pemberi kerja (Sendjung H Manulang, 2001: 63).

Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja meliputi esensi sebagai berikut :

(23)

4. Adanya Waktu Tertentu/Batas Waktu (Iman Sjahputra Tunggal, 2013: 27).

Dalam perkembangan muncul berbagai kritikan terhadap keempat esensi tersebut. Hal ini dikemukakan oleh beberapa sarjana yaitu :

1. Van de Grintern dan Vander Ven

Menurut Van de Grintern dan Vander ven, esensi perjanjian kerja adalah :

a. Pekerjaan; b. Upah;

c. Waktu Tertentu/Batas Waktu.

Mereka menghilangkan esensi adanya perintah, dengan alasan bahwa :

a. Buku ke-III Bab 7A BW lahir dalam rangka mengatur hubungan kerja buruh-buruh kasar, sehingga pekerjaan-pekerjaan intelek tidak tercakup didalamnya.

b. Perkembangan hubungan kerja pada saat ini telah menunjukkan bahwa hubungan kerja tidak hanya terjadi antara buruh-buruh kasar melainkan juga banyak pekerjaan yang harus menggunakan otak tidak menggunakan fisik semata.

(24)

2. Sutikno

Sutikno menghilangkan unsur waktu tertentu/batas waktu perjanjian kerja, karena menurut dia unsur waktu tertentu juga merupakan unsur dari perjanjian pada umumnya, sehingga dengan demikian ia bukan ciri khusus dari suautu perjanjian kerja.

3. Theodore Thomandel

Menurut Theodore Thomandel menambah unsur-unsur lain selain keempat unsur yang tercantum dalam pasal 1601 huruf a BW, yaitu :

a. Sukarela;

b. Ketergantungan Ekonomis; c. Sesuatu yang memasyarakat; d. Kehendak dari para pihak; e. Ketergantungan pribadi; f. Upah;

g. Pekerjaan; h. Waktu tertentu;

i. Perintah (Iman Sjahputra Tunggal, 2013: 28).

(25)

a. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu (antara buruh/tenaga kerja dan majikan). Jadi tidak boleh ada suatu paksaan dari salah satu pihak, jika ada paksaan maka perjanjian tersebut adalah batal.

b. Adanya kemampuan/kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian.

c. Suatu hal tertentu, artinya bahwa isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan (Sendjung H Manulang, 2001: 67). Perjanjian kerja memuat antara lain:

1. Nama dan alamat pengusaha/perusahaan;

2. Nama, alamat, umur dan jenis kelamin tenaga kerja; 3. Jabatan atau macam pekerjaan;

4. Syarat-syarat kerja, yang memuat tentang:

a. adanya pengakuan terhadap organisasi pekerja/serikat pekerja, b. fasilitas yang diberikan,

c. jaminan sosial (tunjangan kematian, tunjangan sakit, pensiun/hari tua),

d. bagaimana sistem upahnya,

e. perselisihan hubungan industrial, dan sebagainya. 5. Hak dan kewajiban pekerja/tenaga kerja

(26)

- berhak atas pekerjaan, - berhak atas perlindungan.

Kewajiban-kewajiban tenaga kerja antara lain: - melakukan pekerjaan dengan baik, - mengikuti perintah atasan (pengusaha). 6. Hak-hak dan kewajiban pengusaha

Hak-hak pengusaha antara lain: - berhak atas hasil pekerjaan,

- berhak untuk mengatur/memerintah tenaga kerja. Kewajiban pengusaha antara lain:

- membayar upah tenaga kerja,

- menyediakan/memberi pekerjaan, memberi perlindungan. 7. Tempat/lokasi pekerjaan;

8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat serta tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja tersebut. (Sendjung H Manulang, 2001: 68).

(27)

di kemudian hari, akan sangat membantu dalam proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Meskipun pada dasarnya tidak ada aturan khusus mengenai bentuk perjanjian kerja, namun ada pengecualian untuk beberapa perjanjian kerja tertentu seperti perjanjian kerja laut, perjanjian kerja AKAD (Antar Kerja Antar Daerah), dan perjanjian kerja AKAN (Antar Kerja Antar Negara), harus dibuat secara tertulis (Sendjung H Manulang, 2001: 69).

Perjanjian kerja menurut macamnya dapat dibedakan atas:

1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya disebut PKWT. Perjanjian kerja waktu tertentu ini dapat dibuat:

a. Berdasarkan jangka waktu;

b. Berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Selanjutnya disebut PKWTT. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu ini terjadi karena hal-hal berikut:

(28)

b. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

2. Pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 (tiga) tahun;

3. Pekerjaan yang bersifat musiman;

4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

d. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu diadakan untuk lebih dari 2 (dua) tahun dan diperpanjang lebih dari satu kali untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun.

e. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut berakhir tidak memberikan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(29)

waktu tertentu ini diadakan lebih dari 1 (satu) kali dan lebih dari 2 (dua) tahun (F.X.Djumialdji, 2005: 11).

4.2 Hubungan kerja

Pengertian hubungan kerja menurut Pasal 1 angka (15) UU RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Kerja adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Pengertian hubungan kerja menurut Sendjung H Manulang adalah suatu hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu yang tidak tertentu. Sehubungan dengan pengertian hubungan kerja, Soepomo menjelaskan pula bahwa:

Pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dan majikan, di mana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah (Iman Soepomo, 2001: 52).

Dari perumusan hubungan kerja tersebut, dapat dirumuskan beberapa unsur yang menentukan hubungan kerja, antara lain :

1. Adanya pekerjaan yang harus dilakukan.

(30)

Ketiga unsur di atas bersifat komulatif, sehingga jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak ada hubungan kerja.

Kalau dalam perjanjian kerja unsur yang sangat penting adalah adanya atas dan bawah atau yang memimpin dan yang dipimpin yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, maka dalam perjanjian melakukan pekerjaan tertentu pelaksanaannya sama sekali tidak ada unsur atas dan bawah atau yang memimpin dan yang dipimpin. Dalam perjanjian ini, meskipun pelaksanaan pekerjaan dilakukan atas permintaan pihak lainnya, tetapi pelaksana pekerjaan benar-benar merdeka. Ia benar-benar bekerja berdasarkan kualitas dirinya (Abdul Rachmad Budiono, 1999: 25).

5. Hubungan Industrial Pancasila

5.1 Pengertian hubungan industrial Pancasila

(31)

5.2Tujuan hubungan industrial Pancasila

Melindasito dalam kutipannya berkata, mengembangkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan pancasila. Dengan demikian jelaslah tujuan hubungan industrial pancasila adalah:

1. Mensukseskan pembangunan dalam rangka mengembangkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur;

2. Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan social;

3. Menciptakan ketenangan,ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha;

4. Meningkatkan produksi dan produktifitas kerja;

5. Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabatnya manusia (http://melindasito. blogspot. com/ 2010/ 04/ hubungan-industrial-pancasila.html).

5.3Asas-asas hubungan industrial Pancasila

Menurut Dwiangga dalam kutipannya, hubungan industrial pancasila dalam mencapai tujuannya mendasarkan diri pada asas-asas pembangunan yang meliputi :

a. Asas manfaat;

(32)

d. Asas adil dan merata;

e. Asas keseimbangan (http: //dwiangghina 31207314. wordpress. com/ 2010/ 04/ 14/ bab- ii- hubungan-i ndustrial- pancasila, di unduh 19 November 2012 ).

Dalam pelaksanaannya hubungan industrial Pancasila berlandaskan kepada dua asas kerja yang sangat penting yaitu :

a. Asas kekeluargaan dan gotong royong;

b. Asas musyawarah untuk mufakat (Sendjung H Manulang, 2001: 146).

5.4 Landasan hubungan industrial Pancasila

Yulandini dalam kutipannya menulis bahwa, landasan hubungan industrial Pancasila di antaranya adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pancasila dalam hal ini merupakan landasan idiil dari hubungan industrial pancasila, sedangkan Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional dari hubungan industrial Pancasila. (http://yulandini. wordpress. Com / 2010 /04 /07 / hubungan – industrial -pancasila. diunduh 19 November 2012).

5.5 Ciri-ciri hubungan industrial Pancasila

Dengan memperhatikan pengertian, tujuan, asas dan landasan dari hubungan industrial Pancasila, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan industrial Pancasila mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan hubungan industrial lainnya. Ciri-ciri khusus tersebut meliputi :

(33)

sebagai bentuk pengabdian manusia terhadap Tuhannya, terhadap sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

b. Hubungan industrial Pancasila menganggap pekerja bukan hanya sekedar sebagai faktor produksi belaka akan tetapi juga sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.

c. Hubungan industrial Pancasila melihat antara pekerja dan pengusaha bukanlah mempunyai kepentingan yang bertentangan, akan tetapi mempunyai kepentingan yang sama yaitu kemajuan perusahaan, karena dengan majunya perusahaan maka semua pihak akan dapat meningkatkan kesejahteraan.

d. Di dalam hubungan industrial Pancasila, setiap ada perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan (bukan dengan adu kekuatan).

e. Di dalam menikmati hasil perusahaan dibagi secara kekeluargaan, secara adil dan merata sesuai dengan pengorbanan masing-masing.

(34)

6. Hotel dan Tipe-tipe Hotel

6.1 Pengertian Hotel

Dalam suatu kutipan disebutkan pengertian hotel sebagai berikut: a. Menurut kamus Oxford, The advance learner’s Dictionary adalah:

Building where meals and rooms are provided for travelers.” Yang

dapat diartikan sebagai bangunan (fisik) yang menyediakan layanan kamar, makanan dan minuman bagi tamu.

b. Menurut SK Menparpostel No. KM 37/PW.340/MPPT-86 tentang peraturan usaha dan pengelolaan hotel menyebutkan bahwa hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa penunjang lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial.

c. Menurut the American Hotel and Motel Association (AHMA) sebagaimana dikutif oleh Steadmon dan Kasavana: A hotel maybe defined as an establishment whose primary business is providing

lodging facilities for the general public and which furnishes one or

more of the following services: food and beverage service, room

attendant service, uniformed service, Laundering of linens and use of

furniture and fixtures.

Yang dapat diartikan sebagai berikut:

(35)

dengan fasilitas pelayanan sebagai berikut: pelayanan makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanaan barang bawaan, pencucian pakaian dan dapat menggunakan fasilitas/perabotan dan menikmati hiasan-hiasan yang ada didalamnya (http:// smipusi. blogspot. com/ 2011/ 01/ pengertian-perhotelan. html).

Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor. PM.86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi pada Pasal 1 angka 3(tiga) menerangkan bahwa hotel adalah penyedia akomodasi secara harian berupa kamar-kamar didalam 1 (satu) bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan serta fasilitas lainnya.

6.2 Tipe-tipe Hotel

Menurut Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No KM.3/HK.001/MKP.02 tentang Penggolongan Kelas Hotel. Tipe-tipe hotel dapat dibedakan berdasarkan:

1. Berdasarkan kelas a. Hotel melati

(36)

2. Berdasarkan plan atau harga a. Full American Plan b. Modifield American plan c. Continental plan

d. European Plan 3. berdasarkan ukuran

a. Hotel kecil (small hotel) b. Hotel sedang (medium Hotel) c. Hotel besar (large hotel) 4. berdasarkan lokasi

a. City Hotel b. Resort Hotel 5. berdasarkan area

a. Downton hotel b. Suburb hotel c. Airport hotel d. Country hotel e. Inn.

7. Upah/ Pengupahan

7.1 Pengertian upah

(37)

dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayar atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh termasuk tunjangan untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya (Endang Rokhani, 2002: 1).

Mengenai pengertian upah, beberapa sarjana juga mengemukakan pendapatnya dengan berbagai perumusan yang berbeda, diantaranya sebagai berikut :

a. Menurut Iman Soepomo

Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan. (Iman Soepomo, 2003: 179).

b. Menurut G. Kartasapoetra

Upah dapat diartikan dengan pembayaran atau imbalan, yang wujudnya dapat bermacam-macam, yang dilakukan atau diberikan oleh seorang atau suatu kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya (G.Kartasapoetra, 1985: 94).

c. Menurut Pasal 1 angka (30), Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

(38)

perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Lalu Husni, 2003: 145).

7.2Komponen upah

Pemberian upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal tidak melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya diterima. Imbalan/penghasilan yang diterima oleh buruh tidak selamanya disebut sebagai upah, karena bisa jadi imbalan tersebut bukan termasuk dalam komponen upah. Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Upah dan Pendapatan Non Upah yang menerangkan sebagai berikut:

1. Termasuk Komponen Upah:

a. Upah Pokok: imbalan dasar yang dibayarkan kepada buruh menurut

tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian.

b. Tunjangan Tetap: suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan

pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk buruh dan keluarganya yang dibayarkan bersamaan dengan upah pokok.

Jenis-jenis tunjangan tetap: tunjangan anak, tunjangan kesehatan,

(39)

tunjangan makan dan tunjangan transport dapat menjadi tunjangan tetap bila tidak dikaitkan dengan kehadiran buruh.

b. Tunjangan tidak tetap: suatu pembayaran yang secara langsung atau

tidak langsung berkaitan dengan buruh dan diberikan secara tidak tetap bagi buruh dan keluarganya serta dibayarkan tidak bersamaan dengan pembayaran upah pokok.

2. Bukan Termasuk Komponen Upah adalah:

a. Fasilitas: kenikmatan dalam bentuk nyata/natur karena hal-hal yang

bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti fasilitas kendaraan antar jemput, pemberian makan secara cuma-cuma, sarana ibadah, tempat penitipan bayi, kantin, dsb.

b. Bonus: pembayaran yang diterima buruh dari hasil keuntungan

perusahaan atau karena berprestasi melebihi target produksi yang normal atau karena peningkatan produktifitas.

c. Tunjangan Hari Raya (THR): pendapatan akhir tahun pekerja yang

wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja dan keluarganya menjelang hari raya keagamaan. THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan lebih dengan jumlah proporsional yaitu:

(40)

Sedangkan yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, sebesar 1 (satu) bulan gaji (PERMENAKER NO. PER-04/MEN/1991). (Endang Rokhani, 2002: 2).

7.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan upah

Kartasapoetra dalam bukunya menyatakan bahwa, tinggi rendahnya upah dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun sebelum membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan upah, maka akan dibahas terlebih dahulu mengenai jenis-jenis upah. Jenis-jenis upah tersebut dibedakan atas :

a. Upah nominal

Upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan jasa atau pembayarannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian kerja di bidang industri/perusahaan ataupun dalam suatu organisasi kerja, di mana kedalam upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan yang lain yang diberikan kepadanya. Upah nominal sering disebut sebagai upah uang (money wages) sehubungan dengan wujudnya yang memang berupa uang secara keseluruhan. b. Upah nyata (real wages).

Upah nyata yaitu upah yang nyata benar-benar harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah ini ditentukan oleh daya beli yang akan banyak tergantung dari :

(41)

- besar atau kecilnya biaya hidup yang diterima.

Adakalanya upah diterima dalam wujud uang dan fasilitas/in natura, maka upah nyata yang diterima yaitu upah uang dan nilai rupiah dari fasilitas dan barang in natura tersebut.

c. Upah hidup

Upah hidup yaitu upah yang diterima seorang buruh dan relatif cukup untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas yang tidak hanya kebutuhan pokok saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial keluarganya.

d. Upah minimum (minimum wages)

Buruh adalah seorang manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarnyalah kalau buruh itu mendapatkan penghargaan yang wajar dan atau perlindungan yang layak. Upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup buruh tersebut beserta keluarganya, walaupun dalam arti yang serba sederhana.

e. Upah wajar

(42)

Faktor-faktor yang mempengaruhi upah wajar adalah sebagai berikut:

1. Kondisi ekonomi negara secara umumnya;

2. Nilai upah rata-rata di daerah mana perusahaan tersebut beroperasi;

3. Posisi perusahaan dilihat dari struktur ekonomi Negara;

4. Undang-undang terutama yang mengatur masalah upah dan jam kerja;

5. Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku di dalam lingkungan perusahaan;

6. Peraturan perpajakan;

7. Pengusaha dan organisasi buruh yang mengutamakan gerak saling harga menghargai dan musyawarah serta mufakat dalam mengatasi segala kesulitan;

8. Sadar hidup dari para buruh itu sendiri (G Kartasapoetra, 1985: 102).

Lebih lanjut G. Kartasapoetra menyatakan bahwa, Pada umumnya penentuan tingkat upah dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat upah tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :

(43)

2. Kemampuan masing-masing pihak (yaitu manajemen dan para pekerja/buruh) dalam perundingan kesepakatan (bargaining power) yaitu berupa tawar menawar dan sebagainya;

3. Biaya kehidupan yang mungkin berubah dari waktu ke waktu sesuai situasi dan kondisi di masing-masing daerah dan kawasan-kawasan industry;

4. Kemampuan ekonomis perusahaan atau industri dalam membayar upah bagi para buruhnya;

5. Ketentuan tentang tingkat tarif upah (rate of wages) di perusahaan-perusahan umumnya, di kawasan industri bagi perusahaan-perusahaan/industri sejenis atau tingkat pekerjaan yang sama;

6. Keterampilan dan pengalaman kerja para buruh;

7. Sikap dan pandangan pengusaha dalam bidang ekonomi, apakah telah benar-benar dilandasi nilai-nilai Pancasila atau masih kurang kesadarannya;

8. Sifat dan keadaan tugas kerja yang dihadapi para buruh, apakah memerlukan konsentrasi, atau tugas-tugas berat ataupun tugas-tugas ringan;

9. Peraturan perusahaan atau perjanjian perburuhan yang berlaku; 10. Pendapatan-pendapatan ekstra dalam pekerjaan;

(44)

12. Hasil evaluasi pekerjaan/jabatan secara menyeluruh yang diselenggarakan oleh tim ahli untuk menentukan berbagai tingkat upah di perusahaan (G Kartasapoetra, 1985: 103).

7.4 Upah Minimum

Endang Rokhani (2003: 2) menerangkan bahwa, untuk menuju kearah pengupahan yang layak bagi buruh dan dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh, khususnya dalam bidang pengupahan, maka pemerintah berusaha ikut serta melindungi kepentingan buruh dengan cara mengeluarkan ketentuan mengenai upah minimum. Ketentuan tersebut terdapat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum.

Pengertian upah minimum berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum yaitu :

“Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap”.

Tunjangan tetap adalah suatu imbalan yang diterima oleh pekerja secara tetap jumlahnya dan teratur pembayarannya yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi kerja tertentu (Endang Rokhani, 2002: 3).

(45)

21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum, Upah Minimum terdiri dari Upah Minimum Provinsi, Upah Minimum Sektoral Provinsi, Upah Minimum Kabupaten/Kota, dan Upah Minimum sektoral Kabupaten/Kota. Mengenai penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tersebut, dilakukan oleh Gubernur.

Upah minimum ditetapkan dengan tujuan :

a. Untuk menonjolkan arti dan peranan tenaga kerja (buruh) sebagai sub sistem yang kreatif dalam suatu sistem kerja;

b. Untuk melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan secara materiil kurang memuaskan;

c. Untuk mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan setiap pekerja;

d. Untuk mengusahakan terjaminnya ketenangan dan kedamaian kerja dalam perusahaan;

e. Mengusahakan adanya dorongan peningkatan standar hidup secara normal (G Kartasapoetra, 1985: 101).

(46)

a. Menonjolkan arti dan peranannya yang penting dari para karyawan, yaitu sebagai suatu sub sistem yang kreatif dalam sistem kerja;

b. Melindungi para pegawai, agar tidak terjadi pengupahan baginya yang sangat rendah dan yang keadaannya secara material kurang memuaskan;

c. Mendorong kemungkinan diberikan upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan oleh para pegawai;

d. Mengusulkan agar organisasi kerja dalam organisasi terjamin adanya ketenangan dan kedamaian;

e. Mengusahakan adanya dorongan bagi peningkatan dalam standar hidupnya secara normal (Ramdlon Naning, 1983: 203).

Pada dasarnya bagi pekerja yang berstatus tetap, tidak tetap dan dalam masa percobaan, upah yang harus diberikan oleh pengusaha serendah-rendahnya sebesar upah minimum bulanan. Upah minimum berlaku bagi pekerja dengan masa kerja paling lama satu tahun (Endang Rokhani, 2002: 3).

(47)

a. Bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima);

b. Bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu) (Endang Rokhani, 2002: 4).

Bagi pekerja dengan sistem kerja borongan atau berdasarkan satuan hasil, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar upah minimum bulanan. Untuk perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari Ketetapan Upah Minimum dilarang mengurangi atau menurunkan upah, sedangkan bagi pengusaha yang tidak mampu melaksanakan ketetapan upah minimum, dapat mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan ketetapan upah minimum kepada Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.

Penangguhan pelaksanaan ketetapan upah minimum, harus disertai: 1. Kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja,

kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja yang mewakili lebih dari 50% pekerja penerima upah minimum bagi perusahaan yang belum ada serikat pekerjanya;

2. Salinan akte pendirian perusahaan;

3. Laporan keuangan lengkap untuk 2 tahun terakhir;

4. Perkembangan produksi dan pemasaran dua tahun terakhir dan rencana produksi serta pemasaran dua tahun mendatang;

(48)

6. Jumlah seluruh pekerja dan jumlah pekerja yang dimohonkan penangguhan upah minimum;

7. Surat pernyataan kesediaan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru setelah berakhir waktu penangguhan (Endang Rokhani, 2002: 4).

Sehubungan dengan permohonan penangguhan pelaksanaan ketetapan upah minimum yang diajukan oleh pengusaha, Gubernur berhak menolak ataupun menerima permohonan penangguhan pelaksanaan ketetapan upah minimum tersebut. Persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum yang diberikan kepada pengusaha, menurut Pasal 21 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-226/Men/2000 diberikan dalam bentuk :

1. Membayar upah terendah, tetap sesuai ketetapan upah minimum yang sama, atau;

2. Membayar lebih rendah dari upah minimum yang baru, atau; 3. Menangguhkan pembayaran upah minimum yang baru secara

bertahap.

(49)

Referensi

Dokumen terkait

(5) Usul pemberhentian Geuchik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f disampaikan oleh pimpinan Tuha Peuet Gampong berdasarkan keputusan

Dari tiga sub kelompoknya, semua sub kelompok mengalami inflasi yaitu sub kelompok makanan jadi 0,72 persen, sub kelompok minuman yang tidak beralkohol 0,82 persen dan

Pelaksanaan Triase di mulai sejak pasien masuk ke puskesmas pekauman dan pasien dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disertai penyulit akan di arahkan ke

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan telah diperoleh nilai acuan kekuatan tekan dan kekuatan impact bahan produk spoiler mobil yang akan menjadi

Mengingat hingga saat ini belum ada pihak yang membahas pengelolaan Candi Wasan pascapemugaran untuk meningkatkan pariwisata budaya berbasis masyarakat, maka peneliti

Sistem yang dirancang selanjutnya akan diuji coba menggunakan simulator berdasarkan skenario pengujian yang telah dirancang agar sistem yang dibuat dapat berjalan sesuai dengan

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan