• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. adalah pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi bentuk kesenian yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. adalah pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi bentuk kesenian yang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Hakikat Alih Wahana

Kegiatan alih wahana dalam beberapa tahun terakhir menjadi hal yang sering dibicarakan. Bahasan yang sering dijadikan pembicaraan dan bahan studi adalah pengubahan bentuk novel menjadi film. Tidak jarang pula cerpen diubah menjadi film. Proses pengalihan dari satu jenis karya seni merupakan alat yang dapat menjadi pengalihan ke dalam bentuk lain. Jadi, pada hakikatnya alih waha-na adalah pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi bentuk kesenian yang lain (Damono, 2014:13).

Damono (2014:107—108) menyatakan bahwa kegiatan mengubah wahana dari satu jenis kesenian ke kesenian lain atau karya sastra diubah bentuk menjadi seni tari, drama, dan berbagai seni pertunjukan sudah berlangsung sejak lama bahkan sampai sekarang pengubahan atas karya sastra tersebut sudah menjadi bagian dari industri perfilman dan pentas modern. Pengalihwahanaan karya sastra menjadi film menimbulkan sisi yang saling bertolak belakang. Perlu disampaikan mengenai tafsiran atas konsep dalam masalah alih wahana yang menyebabkan kedua jenis itu bertolak belakang.

Hayward dalam Damono (2014:143—144) menyatakan bahwa masalah dalam alih wahana dapat disebut sebagai adaptasi. Adaptasi ke film selalu menciptakan kisah yang baru yang tidak sama dengan aslinya. Dalam hal ini adaptasi film bisa menjadi karya yang “lebih” atau “kurang” dibanding aslinya.

(2)

Hutcheon (2006:8) menyatakan bahwa bercerita tentang cerita yang sama dari sudut pandang yang berbeda, akan menimbulkan interpretasi yang beda pula. Adaptasi bersifat universal dan dapat diulang dengan variasi yang dilakukan terus-menerus. Dengan pengulangan tersebut, karya adaptasi mampu menarik minat karena karya yang disajikan terkenal. Hayward dalam Damono (2014:144) menyatakan bahwa pembagian adaptasi menjadi tiga jenis, yakni: (1) adaptasi berdasarkan karya sastra klasik, (2) adaptasi dari drama, dan (3) adaptasi dari karya yang dikategorikan sebagai sastra populer. Proses adaptasi dari cerpen menjadi film banyak hal yang dikembangkan terutama film yang bersandar pada unsur narasi dan dialog pada isi cerpen yang menyangkut alur cerita, latar, maupun tokoh (Damono, 2014:117). Kaitan antara hakikat alih wahana dan adaptasi memiliki istilah yang lebih dikenal dalam kegiatan atau hasil alih wahana antara lain, musikalisasi, dramatisasi, dan ekranisasi.

2.2 Ekranisasi

Perubahan bentuk dari karya sastra ke dalam bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Ekranisasi adalah suatu proses pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, ecran berarti layar. Di dalam sebuah karya sastra (novel maupun cerpen) penceritaan dilukiskan dengan kata-kata, sedangkan dalam film penceritaan itu diwujudkan melalui gambar yang dapat dilihat secara langsung. Dengan demikian, ekranisasi adalah pemindahan dan pengubahan dari bentuk kata-kata ke dalam gambar.

Waktu yang dibutuhkan untuk membaca karya satra seperti novel dan cerpen berbeda dengan waktu yang dibutuhkan untuk menonton sebuah film. Waktu untuk membaca sebuah cerpen lebih luas, sedangkan dalam film waktunya

(3)

cenderung terbatas. Pemindahan cerpen ke layar putih mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Perubahan tersebut meliputi proses penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi (Eneste, 1991:65).

2.2.1 Penciutan

Ekranisasi memiliki arti sesuatu yang dapat dinikmati berjam-jam atau berhari-hari harus diubah menjadi yang dinikmati (ditonton) selama sembilan puluh sampai seratus dua puluh menit. Tidak semua hal yang diungkapkan dalam cerpen akan dijumpai pula dalam film. Sebagian alur cerita, latar, tokoh dalam cerpen tidak akan ditemui dalam film sebab penulis skenario dan sutradara sudah memilih informasi yang dianggap penting.

Eneste (1991:61) mengemukakan bahwa dalam proses penciutan pada unsur sastra dilakukan karena beberapa hal.

1. Adanya anggapan bahwa adegan maupun tokoh dalam karya sastra tidak terlalu penting ditampilkan di layar putih. Jadi, ditiadakan dalam film.

2. Adanya keterbatasan teknik film dan arena orang menonton film hanya sekali maka tokoh bersahaja lebih sering dipakai dalam film karena tokoh mudah diingat.

3. Adanya latar cerpen dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film, kemungkinan besar film itu akan menjadi panjang. Dalam mengekranisasi latar akan mengalami penciutan. Oleh sebab itu, yang ditampilkan di layar putih hanya latar yang penting-penting saja.

4. Memindahkan cerpen ke layar putih ternyata bukan hanya cerita,alur, latar, maupun tokoh yang terjadi perubahan. Tema atau amanat mungkin saja berubah dalam film.

Berikut merupakan contoh penciutan unsur latar yang terjadi pada cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia ke dalam film Rumah Tanpa Jendela.

Contoh: Pada cerpen Jendela Rara, latar tempat yang dipakai dalam penceritaannya ada dua tempat yaitu di rumah Rara yang berada di kolong jembatan jalan tol menuju bandara dan di Madrasah Ibtidaiyah sekolah Rara, Jakarta. Namun dalam film Rumah Tanpa Jendela latar

(4)

tempat yang dipakai hanya satu tempat, yaitu kolong jembatan jalan tol (Maghfiroh, 2013:7).

2.2.2 Penambahan

Penambahan dalam ekranisasi terjadi karena penulis skenario dan sutra-dara telah menafsirkan terlebih dahulu cerpen yang hendak difilmkan dan kemungkinan terjadi penambahan di sana-sini. Bukan hanya penciutan yang terja- di dalam alur cerita, latar, dan tokoh, penambahan pun dapat terjadi pada alur cerita, latar, dan tokoh.

Eneste (1991:64) menyebutkan alasan sutradara melakukan penambahan, yaitu penambahan itu penting dari sudut filmis atau penambahan itu masih rele-van dengan cerita secara keseluruhan atau karena berbagai alasan yang lain. Berikut merupakan contoh penambahan unsur tokoh dan latar yang terjadi pada cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia ke dalam film Rumah Tanpa Jendela.

Contoh: Pada cerpen Jendela Rara terdapat lima tokoh, terdiri atas Rara, Emak, Bapak, Jun, dan Asih. Akan tetapi, dalam film Rumah Tanpa Jendela yang sebagai hasil ekranisasi mendapatkan penambahan 26 tokoh, terdiri atas, Aldo, Nenek Aisyah, Pak Syahri, Nyonya Ratna, Adam, Andini, Si Mbok, Raga, Asih, ibu Alya, teman-teman Rara, Boim, Alfi, Ade, Rio, Deni, Siti, Tarjo, Pak Mamat, teman bisnis Nyonya Ratna, Teddy, Michael, Eneng, tukang foto keliling, pedagang asongan, dan orang gila. Selain penambahan dari unsur tokoh, dalam cerpen “Jendela Rara” terdapat penambahan dua latar tempat dan latar waktu. Latar waktu yaitu waktu sore hari dan malam hari. Latar tempat dalam cerpen tersebut, yaitu perkampungan pemulung dan Madrasah Ibtidaiyah. Dalam film Rumah Tanpa Jendela yang sebagai hasil ekranisasi mendapatkan penambahan sembilan latar tempat dan dua latar waktu. Latar waktu yaitu waktu pagi hari, siang hari. Latar tempat yaitu sekolah singgah, Bandara Soekarno-Hatta, rumah Pak Syahri, sanggar lukis, sekolah Andini, gedung pesta, Rumah Sakit Ananda, rumah tua, dan vila (Maghfiroh, 2013: 8—9).

(5)

2.2.3 Perubahan Bervariasi

Selain adanya penciutan dan penambahan, ekranisasi juga memungkinkan terjadinya variasi-variasi dari novel ke film. Eneste (1991:66) mengemukakan bahwa novel yang betul-betul hendak dipindahkan ke media lain memperhatikan media film karena perbedaan alat-alat yang digunakan, terjadilah variasi tertentu di sana-sini. Selain itu film pun memunyai waktu putar yang sangat terbatas se-hingga persoalan yang ada dalam novel tidak dapat semua dipindahkan ke dalam film. Berikut merupakan contoh perubahan variasi yang terjadi pada cerpen

Jendela Rara karya Asma Nadia ke dalam film Rumah Tanpa Jendela. Contoh: cerpen Jendela Rara mengungkapkan sebuah cerita atau peristiwa

hanya menggunakan kata-kata. Setelah dijadikan film yang berjudul Rumah Tanpa Jendela, sutradara dan penulis skenario menjadikan cerpen Jendela Rara menjadi sebuah drama musikal anak-anak. Film ini dibuat dengan konsep musikal, ada lima lagu dan video klip di dalam film ini. Cerita yang memunculkan kontroversi di cerpen diubah menjadi lebih ceria dan sesuai jalur film anak-anak (Maghfiroh, 2013:7).

Ekranisasi yang terjadi dari bentuk cerpen ke dalam film memiliki perbedaan terutama pada cerita. Cerpen maupun film berasal dari sebuah cerita yang ingin disampaikan kepada pembaca. Tanpa kehadiran cerita, akan sia-sia usaha seorang pengarang atau sutradara untuk berkomunikasi dengan pembaca dan penonton. Untuk membedakan cerita dari cerpen dan film terlihat pada penyajiannya. Penyajian cerpen menggunakan kata-kata dalam penyampaian, sedangkan film menggunakan bentuk visual atau gambar. Ekranisasi bukan hanya terjadi pada perubahan alur cerita saja, melainkan juga perubahan unsur-unsur

(6)

intrinsik, yaitu tokoh, latar, suasana, gaya, tema atau amanat (Eneste, 1991:67). Akan tetapi, pada penelitian ini hanya difokuskan pada unsur alur cerita, tokoh, dan latar.

1. Alur Cerita atau Plot

Alur atau plot merupakan unsur cerita yang berdasarkan pada segi kausa-litas (sebab-akibat). Tahapan alur menurut Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2013:209) membedakan tahapan alur menjadi lima bagian.

a) Tahap situation (penyituasian), adalah tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. b) Tahap generating circumstances (pemunculan konflik), adalah

tahap masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.

c) Tahap rising action (konflik), adalah konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.

d) Tahap climax (klimaks), adalah konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. e) Tahap denoument (penyelesaian), adalah konflik yang telah

mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Tahapan alur di atas adalah tahapan alur konvensional. Akan tetapi, tidak semua pengarang ataupun sutradara menggunakan tahap pengaluran konven-sional. Pengarang ataupun sutradara ada yang menggunakan tahapan alur nonkonvensional. Pada tahap alur nonkonvensionl cerita tidak harus dimulai dari tahap situation. Cerita dapat dimulai dari tahap rising action atau denoument dahulu. Dengan demikian, pengaluran tidak harus dimulai dari tahap situation dan berakhir dengan denoument (Siswanto, 2008:160).

(7)

2. Tokoh

Tokoh memegang peranan penting dalam keseluruhan cerita. Cerita dalam cerpen tidak akan menarik jika pengarang atau sutradara tidak menampilkan tokoh-tokoh cerita. Nurgiyantoro (2013:246) mengatakan bahwa tokoh meru-pakan unsur penting dalam cerita fiksi. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita fiksi. Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita fiksi tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku dalam cerita, sedangkan “penokohan” menunjuk pada sifat, watak, atau karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Jones (dalam Nurgiyantoro, 2013:248) mengatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dapat dikatakan sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam sebuah cerita. Penokohan harus menciptakan citra tokoh. Oleh karena itu tokoh-tokoh harus dihidupkan. Nurgiyantoro (2013:279) mengatakan bahwa teknik pelukisan tokoh disajikan dengan dua teknik, yaitu teknik pelukisan secara langsung dan teknik pelukisan secara tidak langsung. Teknik langsung adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang memberikan komentar tentang kehadiran tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, bahkan ciri fisiknya. Teknik tidak langsung adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku sikap dan peristiwa yang terjadi.

(8)

Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu pengarahan yang jelas tentang tokoh tersebut. Nurgiyantoro (2013:258—266) membagi jenis- jenis tokoh berdasarkan peran, fungsi penampilan tokoh, dan segi perwatakan.

(a) berdasarkan peran atau tingkat pentingnya

Berdasarkan peran dan tingkat pentingnya, dibedakan tokoh dalam cerita rekaan menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan atau tokoh tambahan. Tokoh utama yaitu tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang peranan dalam cerita.

(b) berdasarkan fungsi penampilan tokoh

Fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi karena sebagai pengejawantahan norma-norma nilai yang ideal. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Kehadiran tokoh antagonis yang membawa konflik dan ketegangan sehingga cerita menjadi menarik.

(c) berdasarkan segi perwatakannya

Pembedaan tokoh sederhana dan tokoh bulat dilakukan berdasarkan perwatakannya. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton dan hanya menceritakan satu watak tertentu. Tokoh bulat yaitu tokoh yang memiliki dan dianggap jati dirinya. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan

(9)

manusia yang sesungguhnya karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, dan sering memberikan kejutan.

Dalam cerita fiksi akan dijumpai berbagai macam tokoh dan karakternya, ada tokoh utama, tokoh bawahan dan tokoh tambahan. Ada tokoh protagonis dan tokoh antagonis serta tokoh sederhana dan tokoh bulat. Dengan adanya bermacam-macam tokoh serta karakternya maka sebuah cerita akan tampak hidup dan menarik.

3. Latar atau Setting

Latar merupakan salah satu unsur yang membangun sebuah cerita fiksi. Latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang dalam suatu cerita. Fungsi latar adalah memberikan informasi tentang situasi cerita. Nurgiyantoro (2013:302) mengemukakan bahwa latar yang baik dapat mendeskripsikan secara jelas peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga cerita terasa hidup dan segar, seolah-olah terjadi di dalam kehi-dupan nyata.

Nurgiyantoro (2013:314—322) membedakan latar dalam cerita fiksi men-jadi tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, waktu, dan latar sosial.

a) Latar tempat yaitu latar yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat dalam sebuah cerita biasanya meliputi berbagai lokasi, akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan plot dan tokoh,

b) Latar waktu yaitu latar yang berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa dalam sebuah karya fiksi,

c) Latar sosial budaya adalah latar yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks berupa

(10)

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan cara berpikir dan bersikap.

2.3 Ekranisasi Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari ke Dalam Film

Filosofi Kopi Sutradara Angga Dwimas Sasongko;

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar terjadi proses perolehan ilmu dan pembentukan sikap. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat berjalan dengan baik. Pembelajaran sastra dalam kompetensi dasar lulusan untuk sekolah menengah atas menurut Kurikulum 2013, terdapat pada kelas XI 3.2, yaitu membandingkan teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan ulasan/reviu film/drama baik melalui lisan maupun tulisan.

Pembelajaran yang dicita-citakan adalah pembelajaran sastra yang mencakup dua hal, yaitu menanamkan apresiasi dan memberikan pengetahuan. Tarigan dalam Ardianto (2007:57) menyatakan bahwa sastra merupakan salah satu sarana untuk merangsang serta menunjang perkembangan kognitif. Hal ini juga diakui oleh Sumardjo dalam Ardianto (2007:57) bahwa pembelajaran apresiasi sastra adalah salah satu sarana pengembangan intelektual siswa. Salah satu konsekuensi yang ada jika pembelajaran sastra tidak diberikan secara intensif adalah siswa kurang atau tidak berminat membaca karya sastra sehingga proses pembelajaran sastra tidak maksimal.

Tujuan pembelajaran sastra harus diarahkan agar peserta didik memeroleh sesuatu yang bernilai lebih dibanding bacaan-bacaan lain yang bukan bacaan kesastraan. Nurgiyantoro (2014:452) menyatakan tujuan pembelajaran sastra

(11)

secara umum ditekankan demi terwujudnya kompetensi mengapresiasi sastra peserta didik secara memadai. Siswanto (2008:170) menyatakan tujuan pembelajaran sastra di sekolah agar peserta didik mampu menikmati dan meman-faatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa serta menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran sastra untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif peserta didik.

Berkaitan dengan penting dan kejelasan tujuan pembelajaran sastra yang dikemukaan oleh beberapa ahli, akan memberikan acuan untuk pemilihan bahan ajar yang sesuai. Rahmanto (2005:27) menuturkan bahwa ada tiga aspek penting dalam memilih bahan pembelajaran sastra, yang meliputi aspek bahasa, psikologi, dan latar belakang siswa.

(1) Aspek bahasa, yaitu aspek yang digunakan oleh pengarang dalam sebuah cerita fiksi perlu dipertimbangkan untuk menghindari terjadinya tafsir yang menyimpang dari substansi makna yang terkandung dalam cerpen. Guru perlu memilih cerpen yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa siswa.

(2) Aspek kematangan jiwa atau psikologi adalah aspek yang perlu dipertimbangkan guru dalam menentukan cerpen yang hendak dijadikan sebagai bahan ajar karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan siswa dalam banyak hal. Tahap perkembangan jiwa juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan pemahaman situasi atau pemecahan yang dihadapi. Berikut ini adalah

(12)

tahap-tahap yang diharapkan dapat membantu guru dalam memahami tingkatan perkembangan psikologi anak-anak sekolah dasar dan menengah.

a) Tahap Pengkhayal (8 sampai 9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata, tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan.

b) Tahap Romantik (10 sampai 12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski pandangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tetapi pada tahap ini anak telah menyenangi cerita-ceritera kepahlawanan petualangan, dan bahkan kejahatan.

c) Tahap Realistik (13 sampai 16 tahun)

Pada tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan yang nyata.

d) Tahap Generalisasi (16 tahun dan selanjutnya)

Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis fenomena. Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab utama fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafat untuk menentukan keputusan-keputusan moral.

Cerpen dan film yang dipilih sebagai bahan ajar hendaknya disesuaikan dengan tahap psikologis pada umumnya dalam suatu kelas. Siswa SMA termasuk dalam tahap generalisasi yang pada tahap ini siswa dihadapkan pada cerpen dan film yang memiliki permasalahan yang kompleks sehingga diharapkan siswa dapat menemukan dan mencari penyelesaian tentang permasalahan kehidupan.

(3) Aspek latar belakang budaya adalah aspek latar belakang kehidupan dan kreativitas seorang pengarang sangat menentukan dalam menghasilkan sebuah karya sastra (cerpen). Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh dari lingkungan

(13)

mereka atau mempunyai kesamaan dengan mereka atau orang-orang di sekitar mereka.

Teks kesastraan adalah aspek bahan maka pemilihan bahan pembelajaran harus memungkinkan tujuan dan manfaat dapat diperoleh. Nurgiyantoro (2014:452—453) menyatakan bahan pembelajaran sastra dapat dibedakan ke da-lam dua golongan, yaitu bahan apresiasi langsung dan apresiasi tidak langsung.

Bahan apresiasi langsung menunjuk pada bahan yang berupa teks-teks kesastraan yang pada umumnya teks-teks puisi, fiksi dan drama. Peserta didik benar-benar dihadapkan langsung pada berbagai teks kesastraan. Dalam pembelajaran apresiasi sastra secara langsung peserta didik secara kritis dibimbing untuk membaca, memahami, dan mengenali berbagai unsur khasnya, menunjukkan keindahan, dan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang dapat diperoleh dalam wadah apresiasi. Bahan apresiasi tidak langsung bersifat teoretis dan kesejarahan seperti teori sastra, sejarah sastra atau pengetahuan tentang sastra. Kedudukan bahan apresiasi tidak langsung untuk membantu keberhasilan pembelajaran apresiasi, pencapaian kompetensi bersastra.

Berdasarkan penjabaran pembelajaran sastra di atas, diharapkan cerpen dan film Filosofi Kopi dapat memberikan kontribusi terhadap tercapainya tujuan pembelajaran. Dalam penelitian ini dibahas mengenai ekranisasi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari ke dalam film Filosofi Kopi sutradara Angga Dwimas Sasongko dan alternatif bahan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas. Penelitian ini dilaksanakan sebagai alternatif bahan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas dan berupaya meningkatkan kualitas pembelajaran sastra dalam perkembangan apresiasi siswa.

Referensi

Dokumen terkait

setting adalah keseluruhan lingkungan cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu lingkungan tempat, waktu, sosial maupun segala sesuatu yang menjadi. latar

Hal tersebut disebabkan latar dalam karya fiksi berkaitan erat dengan sikap dan perlakuan tokoh sedangkan tokoh itu sendiri sering diidentifikasi diri oleh

view) adalah cara pandang pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi.

Dengan demikian, kehadiran unsur moral dalam cerita fiksi, terutama fiksi anak, tentulah merupakan sesuatu yang mesti ada secara langsung atau tidak langsung mengakui bahwa

- Sekuen harus membentuk koherensi, baik dalam dimensi waktu maupun dimensi tempatnya: terjadi di tempat sama atau terjadi di waktu yang sama, atau di beberapa tempat dan

Sartre telah menyatakan bahwa kebebasan adalah mutlak, tetapi kebebasan yang mutlak tersebut pada akhirnya harus menghadapi kenyataan- kenyataan yang tidak dapat

Hal serupa juga dikemukakan Nurgiyantoro (2009: 114), yang mana pertimbangan dalam pengolahan struktur cerita, penataan peristiwa-peristiwa, selalu dalam kaitannya

Deskripsi unsur intrinsik karya sastra meliputi unsur tema, latar, alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang dan amanat yang terkandung dalam kumpulan cerita fiksi “Istri Kedua” karya