BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra merupakan fenomena yang memiliki struktur terkait satu sama lain
(Endraswara, 2003:49). Menurut Junus, (1990:1) sastra adalah bentuk. Sastra
mewakili adanya makna melalui berpadunya semua unsur di dalamnya.
Masing-masing bagian dalam sastra akan memiliki hubungan yang membentuk suatu
makna. Setiap bagian dalam struktur teks sastra hanya akan memiliki makna jika
dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa
paralelisme, pertentangan, intervensi, dan kesetaraan sehingga menghadirkan
makna secara keseluruhan.
Adapun sastra atau adab dalam bahasa Arab, menurut Wahbah berarti at-tahżību (pendidikan, pengajaran) dan al-khuluqu (budi pekerti) (Sutiasumarga, 2001:1). Sastra disebut adab karena mengarahkan manusia pada perbuatan terpuji
dan menahan manusia dari perbuatan yang buruk (as-Syāyib, 1964:14), sedangkan karya sastra itu sendiri adalah suatu karya yang memuat perasaan dan ungkapan
seorang pengarang yang tersusun secara baik dan indah (Qutb, 1964:14). Tak
jarang karya sastra merupakan ekspresi serta sarana dari penyampaian pandangan
hidup atau ideologi pengarangnya.
Dalam karya sastra dikenal ada beberapa genre, salah satunya adalah
cerpen. Karya sastra dalam bentuk cerpen ternyata merupakan suatu hal yang baru
dalam perkembangan dunia kesusatraan Arab modern. Cerita pendek (qiṣṣah qaṣīrah) adalah bentuk dari an-naṣru atau prosa, khususnya dalam sastra Arab.
Cerpen bentuknya ringkas sehingga tidak menggambarkan secara keseluruhan
aspek-aspek yang ada dalam cerita. Cerita pendek memang harus berbentuk
‘padat’, jumlah kata dalam cerita pendek harus lebih sedikit ketimbang jumlah
kata dalam novel, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka dan
tindakan-tindakannya sekaligus secara bersamaan (Stanton, 1965:76). Dengan
bentuknya yang pendek, cerpenis dapat menuliskan ide-idenya secara padat dan
lebih ringkas. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan
secara lebih banyak dari sekedar apa yang diceritakan secara lebih implicit
(Nurgiyantoro, 2005:11)
Untuk memahami sebuah karya sastra, dapat digunakan beberapa
pendekatan. Salah satu diantaranya adalah pendekatan struktural, yaitu memahami
karya sastra dengan memperhatikan struktur-struktur atau unsur-unsur pembentuk
karya sastra sebagai suatu jalinan yang utuh.
Cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi" karya Jamal Junaid (2001) merupakan salah satu khasanah karya satra Arab yang cukup terkenal melalui
publikasinya di media online. Cerpen ini bercerita tentang seorang pemuda yang
berjuang demi tegaknya kebebasan di negaranya yang sedang diduduki oleh
penjajah dengan menjadi sekutu pihak oposisi. Akhirnya, ia masuk ke dalam
penjara dan bertanam mawar di dalamnya sampai ia menyambut kebebasannya.
Melalui cerpen ini, pengarang, dengan kekuatan konseptualnya mengajak untuk
menggali makna yang ada di dalam cerita melalui tiap bagian yang menyusun
detail cerita tersebut. Untuk menemukan makna di dalamnya perlu digali
menjadi salah satu ketertarikan penulis untuk meneliti cerpen ini dengan
menggunakan pendekatan struktural. Alasan lainnya adalah supaya cerpen Jamal
Junaid ini dapat lebih dipahami melalui analisis strukturalnya sebagaimana
disampaikan oleh Wellek dan Warren (1993;188) bahwa struktur karya sastra
menawarkan “kewajiban untuk dipahami.” Mungkin pemahaman kita terbatas
atau tidak sempurna, tetapi “struktur penentu” itu ada pada karya sastra dan dapat
kita cari, seperti setiap halnya objek pengetahuan yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
diteliti di dalam penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik apa saja yang terdapat
dalam cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi" karya Jamal Junaid dan bagaimana keterkaitan antarunsurnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan unsur-unsur intrinsik dan
keterkaitan antarunsurnya pada cerpen yang ditulis oleh Jamal Junaid dalam
kumpulan cerpennya Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi. 1.4 Tinjauan Pustaka
Cerpen berjudul "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi” merupakan judul ke enam dalam sepuluh judul yang terdapat dalam kumpulan cerpen Wardatun fi
Muʽtaqalil-Khayyāmi karya Jamal Junaid. Dari kesepuluh judul tersebut salah satunya yang berjudul “Uṣṭurutul-Maliki Syārūni wal-Khijāratun” pernah diteliti oleh Fathur Rahman (2012), Mahasiswa Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya
adalah bahwa kekuasaan akan runtuh apabila dijalankan dengan
sewenang-wenang, meskipun didukung dengan persenjataan dan fasilitas yang memadai dan
semua unsurnya saling berkaitan. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan
oleh Anaka D.L. (2013), Mahasiswa Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya
UGM dengan judul: “Unsur-unsur Intrinsik Cerpen “Māsatun bi Ḥajmi ‘Ainil-farasi” dalam Anotologi Cerpen Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi Karya Jamal Junaid: Analisis Struktural Robert Stanton”, sedangkan kedelapan judul lainnya
belum pernah diteliti.
1.5 Landasan Teori
Teori yang digunakan adalah teori struktural. Dalam pandangan ini, karya
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur saling terkait satu
sama lain. Kodrat struktur itu akan bermakna apabila dihubungkan dengan
struktur lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga
pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antarunsur secara keseluruhan.
Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen struktur
(Endraswara 2003:49). Oleh karena itu, setiap unsur dalam karya sastra
mempunyai potensi dan makna tertentu yang dapat dijadikan pendukung dalam
membentuk struktur karya sastrra. Dengan demikian, keterjalinan semua unsur
karya sastra sebagai satu struktur merupakan hal yang dipandang penting dalam
mengungkapkan maknanya.
Dalam penelitian struktural, penekanan ada pada relasi antarunsur
pembangun teks sastra. Unsur teks secara sendiri-sendiri tidak penting. Unsur teks
adalah fakta-fakta cerita, alur, karakter, latar, tema, sarana-sarana cerita, judul,
sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi (Stanton, 1965:20).
Kesemuanya jalin-menjalin secara rapi. Jalinan antarunsur tersebut akan
membentuk makna yang utuh pada sebuah teks.
Untuk mempermudah mengetahui makna dalam cerpen "Wardatun fi
Muʽtaqalil-Khayyāmi”, digunakan teori Stanton. Akan tetapi analisisnya hanya dilakukan sebatas fakta cerita, sarana cerita, tema, dan keterkaitan antarunsurnya.
Unsur-unsur dalam fiksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu
fakta cerita (facts), sarana sastra (literary devices), dan tema (theme) (Stanton,
1965: 11). Ketiganya merupakan unsur yang saling berhubungan dan saling
mendukung demi mencapai kesatuan makna. Satu unsur dengan unsur yang lain
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling mendukung. Kategori-kategori di atas
memiliki bagian- bagian yang lebih kecil lagi yang akan dijelaskan sebagai
berikut.
1. Fakta Cerita
Fakta-fakta cerita terdiri atas karakter, alur, dan latar. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan
faktual’ cerita (Stanton, 1965:12).
Karakter menurut Stanton (1965:33), biasanya dipakai dalam dua konteks.
Konteks pertama, karakter merujuk pada individu- individu yang muncul dalam
cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam
kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu- individu tersebut.
Definisi Stanton tersebut dilengkapi beberapa teori tentang karakter yang sejalan
dengan apa yang disampaikan Stanton. Konsep pertama dari Stanton tentang
karakter sama pengertiannya dengan konsep tokoh yang oleh Nurgiyantoro
(1994:165) yang dijelaskan bahwa tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku
cerita. Sedangkan konsep kedua dari Stanton tentang karakter merujuk pada
definisi penokohan yang oleh Jones (dalam Nurgiyantoro, 1994:165) disebutkan
bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Hal ini juga seperti yang disampaikan Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 1994:165) bahwa tokoh cerita (character) adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Menurut Stanton (1965:33) dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan
satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang
berlangsung dalam cerita. Panuti (1991:17) menyatakan bahwa berdasarkan fungsi
tokoh di dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan
tokoh bawahan.
Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam suatu cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang sering
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Oleh
karena itu, tokoh utama berperan penting pada perkembangan alur. Dalam sebuah
keutamaannya berbeda. Keutamaan tokoh-tokoh utama tersebut ditentukan oleh
dominasi, banyaknya penceritaan, serta pengaruhnya terhadap perkembangan alur,
sedangkan yang dimaksud dengan tokoh tambahan (pheriperal character) adalah
tokoh yang sedikit pemunculannya dalam cerita, tidak dipentingkan, dan
dihadirkan jika ada kaitannya dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun
tidak langsung (Nurgiyantoro, 1994:177).
Selanjutnya, Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan plot adalah keseluruhan sekuen peristiwa- peristiwa yang dibatasi pada
peristiwa- peristiwa yang dihubungkan secara kausal. Menurut Foster (via
Nurgiyantoro, 2005:113), plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai
penekanan pada hubungan kausalitas. Plot memiliki peranan penting dalam fiksi
karena kejelasan plot –kejelasan antarperistiwa yang dikisahkan secara
berurutan—akan memudahkan pemahaman terhadap jalan cerita. Akan tetapi,
tidak semua fiksi disajikan oleh pengarangnya secara kronologis. Tahap awal
cerita tidak harus berada di awal cerita, tetapi dapat berada di bagian manapun.
Menurut Stanton (1965:15), plot merupakan tulang punggung cerita,
karena plot lebih self evident (menjelaskan dirinya sendiri) daripada unsur-unsur
lainnya. Plot harus memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Plot harus masuk
akal (plausible) dan logis, tetapi mampu mengejutkan dengan tegangan yang
dibangunnya.
Stanton (1965:16) membagi dua unsur penting dalam alur, yaitu konflik
dan klimaks. Setiap karya fiksi berisi konflik internal dan atau konflik eksternal.
tokoh, sedangkan konflik eksternal merupakan konflik antartokoh (tokoh yang
satu dengan tokoh lain atau antara tokoh dengan lingkungannya). Di antara
konflik yang didapati dalam karya fiksi, yang paling penting ialah konflik sentral,
baik berupa konflik internal, eksternal, maupun keduanya. Konflik sentral selalu
merupakan pertentangan antara dua nilai atau kekuatan yang mendasar, seperti
kejujuran, kemunafikan, individualitas, pemaksaan, dan sebagainya. Konflik
sentral merupakan inti struktur cerita sehingga alur dapat berkembang. Konflik
sentral sering berhubungan dekat dengan tema cerita, bahkan sering identik.
Klimaks cerita adalah moment ketika konflik berlangsung memuncak dan
mengakibatkan terjadinya penyelesaian yang tidak dapat dihindari. Klimaks cerita
merupakan pertemuan kritis antara dua kekuatan sehingga menentukan bagaimana
pertentangan itu dapat diselesaikan (Stanton, 1965:16).
Berikutnya, Stanton (1965:18) mengatakan bahwa latar dari sebuah cerita
merupakan lingkungan peristiwa, yaitu dunia terjadinya peristiwa. Salah satu
bagian latar ialah latar belakang yang tampak, misalnya sebuah cafe di Paris,
pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin dan
sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan
tahun), cuaca, atau suatu periode sejarah. Meskipun tidak melibatkan tokoh-tokoh
secara langsung, latar mungkin melibatkan masyarakat sebagai latar belakang.
2. Tema
Tema merupakan ide sentral atau maksud sentral dari sebuah cerita. Tema
mengomentari beberapa segi kehidupan. Tema juga membuat cerita terfokus dan
menyatu (Stanton, 1965:19).
Seperti pengalaman hidup manusia, tema menjelaskan atau mengomentari
beberapa segi kehidupan. Selain membuat cerita terfokus dan menyatu, tema juga
mempunyai nilai di luar cerita. Tema membuat awal cerita yang sesuai dan
menghubungkan setiap peristiwa dan akhir cerita yang memuaskan (Stanton,
1965:19).
Stanton (1965:19) juga menyatakan bahwa tema merupakan kenyataan
tunggal dari pengalaman manusia yang dilukiskan dalam suatu cerita, misalnya
tentang keberanian, kekecewaan, masa tua, dan lain sebagainya. Tema dapat
berupa kepribadian seorang tokoh dan pertimbangan salah atau benar dari
tindakan tokoh tersebut. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tema adalah
makna pusat dalam cerita atau ide pusat (central idea).
3. Sarana-sarana cerita
Sarana sastra merupakan cara pengarang menyeleksi dan menyusun
bagian-bagian cerita sehingga tercipta karya yang bermakna. Tujuan sarana sastra
adalah agar pembaca dapat melihat fakta cerita melalui pandangan pengarang,
mengetahui makna fakta cerita, dan untuk membagi pengalaman yang
dikhayalkan (Stanton, 1965:23). Sarana sastra terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
judul, sudut pandang, dan simbolisme. Ketiga unsur ini lebih dominan
dibandingkan dengan gaya dan nada; dan ironi. Berikut penjelasannya.
Judul biasanya memiliki relevansi dengan karya secara keseluruhan. Selain
sekilas kelihatan tidak penting. Pada banyak kasus, judul merupakan kiasan atau
semacamnya sehingga mempunyai tingkatan makna (Stanton, 1965:25-26).
Dalam setiap cerita, pembaca memiliki berbagai posisi dan relasi yang
berbeda dengan setiap peristiwa, baik di dalam maupun di luar tokoh, terlibat atau
tidak secara emosional (Stanton, 1965:20). Posisi yang merupakan dasar berpijak
pembaca untuk melihat peristiwa dalam cerita ini oleh Stanton disebut sudut
pandang (point of view) (Stanton, 1965:26).
Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2005:248) sudut pandang (point of
view) adalah cara pandang pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi
kepada pembaca. Pemilihan sudut pandang dapat mempengaruhi perkembangan
cerita serta mempengaruhi kebebasan, keterbatasan, ketajaman, ketelitian, dan
keobjektifan pada segala hal yang diceritakan.
Dalam karya sastra, cara untuk membuat ide dan perasaan menjadi seperti
nyata adalah dengan menggunakan simbol. Dengan simbolisme, ide dan perasaan
dapat diangankan dan diterima oleh pikiran para pembaca. Simbol dapat berupa
segala sesuatu yang berasal dari latar, misalnya sebuah objek yang tunggal, tipe
objek yang diulang, substansi fiskal, bentuk, gerak, warna, bunyi, dan aroma.
Semua itu mungkin menggambarkan sisi kepribadian manusia, kesamaan sifat
alam pada penderitaan manusia, ambisi yang sia-sia, tanggungjawab manusia,
maupun romantisme remaja.
Gaya (style) adalah cara seorang pengarang menggunakan bahasa.
seperti plot, tokoh, dan latar, tetapi hasil ceritanya akan berbeda karena
masing-masing menggunakan unsur bahasa yang berbeda, misalnya dalam hal
kompleksitas, ritme, panjang kalimat, humor, kekonkritan, serta sejumlah imaji
dan metafora. Gabungan berbagai jenis ini akan menghasilkan gaya (Stanton,
1965:30).
Ironi merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan yang
diharapkan. Unsur ini dapat berfungsi untuk menambahkan rasa ketertarikan,
pengaruh yang kuat, humor, atau kepedihan, memberikan kedalaman pada tokoh,
memperkuat struktur alur, menentukan sikap pengarang, dan menyiratkan tema
(Stanton, 1965:34).
1.6 Metode Penelitian
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural sehingga
metode yang digunakan juga bersifat struktural, yaitu analisis struktural yang
dilakukan dengan membongkar dan memaparkan secermat, sedetail, dan
semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir sehingga
menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Anasir tersebut terdiri atas
fakta cerita meliputi tokoh dan penokohan, alur, latar dan sarana cerita meliputi
judul dan sudut pandang.
Secara sistematis, penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut.
1. Pengumpulan data, yaitu pengelompokan permasalahan yang terdapat
berdasarkan pada unsur-unsur intrinsik dan kaitanya dengan unsur lain
dalam membentuk kesatuan yang utuh.
2. Analisis data, yaitu memberikan interpretasi struktur cerpen "Wardatun fi
Muʽtaqalil-Khayyāmi” berdasarkan perinsip struktural sebagai suatu hasil kreasi pengarang.
3. Penyajian hasil analisis data, yaitu berupa pelaporan, perincian struktur
dan hubungan antarunsur cerpen "Wardatun fi Muʽtaqalil-Khayyāmi”. 1.7 Sistematika Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini akan terbagi dalam empat bab. Bab 1
berisi pendahuluan dengan mengemukakan beberapa hal yang mendasar sebagai
suatu kerangka umum pembicaraan berikutnya. Bab II memaparkan biografi
pengarang dan sinopsis cerpen. Bab III mengupas unsur-unsur intrinsik yang
terdapat di dalam karya sastra dan menganalisa keterkaitan antarunsurnya pada
cerpen yang ditulis oleh Jamal Junaid dalam kumpulan cerpen "Wardatun fī Muʽtaqalil-Khayyāmi”. Bab IV penutup.
1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Penulisan transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pedoman transliterasi yang berdasarkan atas keputusan bersama Menteri
Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan
1. Huruf Arab No Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
1
ﺍ
Alif Tidakdilambangkan Tidak dilambangkan
2
ﺏ
Ba B Be3
ﺕ
Ta T Te4
ﺙ
Ṡa Ṡ Es (dengan titik di atas)5
ﺝ
Jim J Je6
ﺡ
Ḥa Ḥ Ha (dengan titik di bawah)7
ﺥ
Kha Kh Ka dan Ha8
ﺩ
Dal D De9
ﺫ
Żal Ż Z (dengan titik di atas)10
ﺭ
Ra R Er11
ﺯ
Za Z Zet12
ﺱ
Sin S Es13
ﺵ
Syin Sy Es dan Ye14
ﺹ
Sad Ṣ Es (dengan titik di bawah)15
ﺽ
Ḍad Ḍ De (dengan titik di bawah)16
ﻁ
Ṭa Ṭ Te (dengan titik di bawah)17
ﻅ
Ẓa Ẓ Zet (dengan titik di bawah)18
ﻉ
‘ain ‘ Koma terbalik di atas19
ﻍ
Gain G Ge21
ﻕ
Qaf Q Ki 22ﻙ
Kaf K Ka 23ﻝ
Lam L El 24ﻡ
Mim M Em 25ﻥ
Nun N En 26ﻭ
Wawu W We 27ﻩ
Ha H Ha28
ء
Hamzah ` Apostrof condong ke kiri29
ﻱ
Ya Y Ye2. Vokal
Vokal dibagi menjadi tiga, yaitu vokal tunggal, vokal rangkap, dan vokal panjang. Transliterasi dari ketiga vokal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut: No Vokal Tunggal Vokal Rangkap Vokal Panjang
Arab Latin Arab Latin Arab Latin
1. -َ- A ﻱَ -- Ai ﺍَ -- Ᾱ 2. -ِ- I ﻭَ -- Au ﻱِ -- Ī 3. -ُ- U ﻭ--ُ Ū Contoh:
َﺐَﺘَﻛ
- /kataba /ٌﻝْﻮَﻗ
/qaulun /ُﻝْﻮُﻘَﻳ - َﻝﺎَﻗ
/qāla - yaqūlu / 3. Ta` MarbuṭāhTransliterasi ta ` marbuṭah ada dua, yaitu Ta ` Marbūṭah Hidup dan Ta ` Marbūṭah Mati. Ta ` Marbūṭah Hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau
ḍammah translitarasinya adalah /t/. Ta ` Marbūṭah dibaca mati, transliterasinya adalah /h/.
Apabila ada kata yang berakhir dengan Ta ` Marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata tersebut terpisah maka Ta ` Marbūṭah tersebut ditransliterasikan /h/.
Contoh:
ُﺓَﺭﱠﻮَﻨُﻤﻟﺍ
ُﺔَﻨْﻳِﺪﻤَﻟﺍ
/al-madīnatul-munawwarah /ُﺓَﺭﱠﻮَﻨُﻤﻟﺍ ُﺔَﻨْﻳِﺪﻤَﻟﺍ
/al-madīnah al-munawwarah / 4. SyaddahSyaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasinya, tanda syaddah itu dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh:
ﺎَﻨّﺑَﺭ
/ rabbanā / 5. Kata SandangKata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf al. kata sandang tersebut dalam transliterasi dibedakan menjadi kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda simpang (-). Contoh:
ُﻞُﺟﱠﺮﻟﺍ
/ ar-rajulu /,ُﻢَﻠَﻘﻟﺍ
/ al-qalamu / 6. HamzahHamzah yang ditransliterasikan dengan apostrof hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan belakang. Hamzah yang terletak di depan tidak dilambangkan dengan apostrof karena dalam tulisan Arab berupa Alif.
Contoh:
ٌءْﻲَﺷ
/ syai `un /7. Penulisan kata
Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
َﻦْﻴِﻗِﺯﺍَﺮﻟﺍ ُﺮْﻴَﺧ َﻮُﻬَﻟ َﷲﺍ ﱠﻥِﺇَﻭ
/ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn / atau dengan / Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn /
8. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Contoh: