• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dalam hal ini telah dijelaskan dalam pasal 1 butir 12 KUHAP yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dalam hal ini telah dijelaskan dalam pasal 1 butir 12 KUHAP yang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sistem peradilan pidana Indonesia terdakwa diberikan hak untuk melakukan upaya hukum sebagai bentuk penolakan terhadap suatu putusan pengadilan yang telah diputuskan oleh hakim kepada pihak terdakwa yang sebagaimana dalam hal ini telah dijelaskan dalam pasal 1 butir 12 KUHAP yang berbunyi “upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Apabila Banding dan Kasasi sudah diajukan oleh pihak terdakwa ke pengadilan dan terdakwa belum merasa puas atas putusan hakim, pihak terdakwa dapat mengajukan upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan oleh terdakwa dengan mengajukan PK atau yang disebut permohonan Peninjauan Kembali seperti yang dijelaskan di pasal 263 ayat 1 KUHAP bahwa ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.

(2)

2 Namun upaya hukum permohonan Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) menjadi celah oleh para terdakwa yang melakukan tindak pidana berat yang sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dimana memerlukan cara-cara yang luar biasa juga (extra ordinary measures) untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Apabila pengajuan permohonan peninjauan kembali menjadi upaya terakhir terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Maka sebagai lembaga hukum tertinggi, Mahkamah Agung mempunyai peran penting untuk lebih selektif dalam menerima serta mempertimbangkan bentuk upaya hukum pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana untuk tidak mempermudah menerima dasar alasan pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana khususnya terhadap kasus-kasus kejahatan extra ordinary crime. Akhir-akhir ini penegakan hukum di Indonesia sering menuai kontroversi lantaran beberapa aparat penegak hukum khususnya hakim sering membuat keputusan-kuputusan yang tidak sesuai dengan harapan rakyat yang mendambakakan keadilan dari penegakan hukum itu sendiri.

Seperti halnya dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana Sudjiono Timan terkait kasus tindak pidana korupsi perusahaan BUMN PT. (persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT. BPUI) yang diajukan ke Mahkamah Agung pada 20 januari 2012. Atas pengajuan PK tersebut Hakim Mahkamah Agung memutus membatalkan putusan kasasi yang diajukan jaksa dengan No 434 K/Pid/2003 tanggal 3 desember 2004 yang membatalkan putusan

(3)

3 pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan No 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tanggal 25 november 2002. Dalam putusannya Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terpidana SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.1 Atas putusan tersebut terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan Mahkamah Agung atas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Sudjiono Timan telah banyak menuai kontroversi lantaran Mahkamah Agung dinilai telah melepas terdakwa yang statusnya kabur, padahal ditingkat kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahakamah Agung, hakim memutus bahwa terpidana sudjiono timan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Atas putusan hakim kasasi tersebut terpidana dihukum 15 tahun penjara serta pidana tambahan berupa denda Rp.369.446.905.115 (tiga ratus enam puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh enam juta Sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah).

SUDJIONO TIMAN merupakan Direktur PT (persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) sejak tanggal 4 maret 1993. Bahwa sebagai direktur utama sebuah Badan Usaha Milik Negara terdakwa berkewajiban mengelola PT. BPUI dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik, dengan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlakau termasuk kewajiban untuk menerapkan pirnsip kehati-hatian (prudential) dalam mengelola aset Negara. Perusahan PT. BPUI

1

(4)

4 dibentuk dengan maksud dan tujuan perseroan sesuai dengan anggaran dasar perseroan tersebut yang bertujuan untuk :2

1. Kegiatan usaha yang dilakukan PT . BPUI harus ditujukan pada pengusaha nasional kecil dan menengah.

2. Tidak boleh mengabaikan kaidah-kaidah (asas-asas) berusaha yang sehat.

Dalam menjalankan perusahaan tersebut Sudjiono Timan mengalirkan dana pinjaman dengan cara Placement Line (penempatan dana) sebesar USD 5.117.304.47 ke Agus Anwar dan Franky Afandi sebagai pemilik perusahaan Kredit Asia Finance Limited (KAFL) yang berkedudukan di hongkong, penempatan dana dari PT. BPUI ke perusahaan KAFL dengan cara melalui pembelian surat utang yang diterbitkan oleh KAFL senilai USD 5.400.000.00 dengan alasan bahwa KAFL adalah sebuah perusahaan Multi Finance Company (perusahaan jasa keuangan). Dengan cara Placement Line (penempatan dana) Sudjiono Timan dan Agus Anwar serta Franky Afandi mengatur bahwa untuk aliran dana tersebut sebagai dana pinjaman tidak memerlukan agunan (jaminan) sebagaimana layaknya apabila menggunakan bentuk pemberian pinjaman atau kredit. Atas tindakan terdakwa Sudjiono Timan yang memberikan pinjaman dana tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan perusahaan sebagaimana mestinya mengakibatkan Negara mengalami kerugian, seharusnya Sudjiono Timan sebelum meminjamkan dana terlebih dahulu

2

(5)

5 melakukan Due Diligence terhadap KAFL untuk meneliti kemampuan KAFL mengembalikan hutang-hutangnya kepada PT. BPUI.

Atas kasus tersebut semestinya hakim agung lebih selektif dan berhati-hati dalam menerima permohonan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana karena tidak semua terpidana bisa mengajukan permintaan Peninjauan Kembali, karena permintaan Peninjauan Kembali (PK) harus didasarkan beberapa alasan yang menurut Undang-Undang berlaku. KUHAP sendiri mengatur secara jelas tentang alasan yang bisa dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali yang diatur dalam pasal 263 ayat 2 huruf a, b, c yang berbunyi sebagai berikut:

Permintaan Peninjauan kembali dilakukan atas dasar

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Menurut Yahya Harahap, dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP menjelaskan bahwa alasan pertama yang dijadikan landasan mendasari permintaan Peninjauan Kembali adalah “Keadaan

(6)

6 Baru” atau yang sering disebut Novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat”.3 Sedangkan menurut Adami Chazawi, Untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) baik perkara pidana maupun perdata, salah satu syarat materiilnya adalah ditemukannya bukti baru atau keadaan baru yang disebut NOVUM. Alasan matriil PK ditemukannya novum dalam perkara pidana disebut dengan “Keadaan Baru” terdapat dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a KUHAP. Sementara ditemukannya novum, disebut dengan “surat-surat bukti yang bersifat menentukan” dalam perkara perdata terdapat dalam Pasal 67 huruf b UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009.4

Meskipun dengan menggunakan istilah yang berlainan tentang Novum tersebut, namun arti yang sebenarnya tidaklah berbeda. Perbedaan hanya terdapat bahwa dalam perkara pidana tidak disebutkan secara tegas tentang alat buktinya dimana novum tersebut diperoleh/terdapat atau melekat. Namun novum dalam perkara perdata secarta tegas disebut dengan alat bukti surat. Novum tersebut melekat dalam alat bukti surat. Oleh karena dalam perkara pidana, tempat melekatnya alat bukti novum tidak disebut, maka Novum dalam perkara pidana bisa diperoleh dari alat bukti surat

3

Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cetakan Kedua Belas, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 619

4

Leden Marpaung, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 209

(7)

7 maupun saksi.5 Yang penting isi Novum tersebut berupa keadaan baru yang sebelumnya ketika perkara diperiksa di tingkat pertama, keadaan baru itu belum diungkap dalam persidangan. Novum itu sebenarnya suatu fakta, dan fakta mestilah melekat pada suatu alat bukti. Alat bukti tersebut menurut Pasal 67 huruf b UU MA tadi, berupa surat saja, namun dalam perkara pidana juga termasuk alat bukti saksi.6 Dalam pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Fanny Barki selaku istri terpidana Sudjiono Timan berdasarkan putusan Hakim Agung MA atas Peninjauan Kembali No 97 PK/Pid.Sus/2012, Fanny Barki selaku istri terpidana Sudjiono Timan mengajukan Pemohon Peninjauan Kembali mendasarkan alasan pengajuan PK pada pasal 263 ayat 2 huruf c tentang “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata” dengan menyampaikan lima (5) alasan sebagai dasar untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).7 Dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Fanny Barki selaku istri terpidana Sudjiono Timan berdasarkan lampiran putusan Mahkamah Agung No 97 PK/Pid.Sus/2012 tidak mengungkapkan alat bukti surat maupun saksi yang bersifat baru sebagai fakta tempat melekatnya Novum yang jika dapat membuktikan maka akan terbentuk adanya suatu ”Keadaan Baru” yang menjadi syarat materiil alasan utama dalam pengajuan permohonan Peninjauan Kembali tersebut, dengan begitu hakim agung dapat menjatuhkan putusan menolak

5 Ibid 6Ibid , Hal 210 7

Lampiran Putusan Mahkamah Agung No 97 PK/Pid.Sus/2012 Tentang Alasan Pengajuan PK Oleh Pemohon Dari Hal 150-160

(8)

8 pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon Fanny Barki sebagai istri terpidana Sudjiono Timan.

Yahya Harahap berpendapat bahwa putusan penolakan permintaan Peninjauan Kembali (PK) dapat dijatuhkan Mahkamah Agung dalam hal:8

a. Alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan kembali secara formal memenuhi ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP. Artinya alasan keberatan yang mendasari permintaan, dirumuskan pemohon sesuai dengan alasan yang dirinci dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP. Alasan itu tidak menyimpang dari ketentuan pasal tersebut, sehingga ditinjau dari segi formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal 263 ayat 2 KUHAP.

b. Akan tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu “tidak dapat dibenarkan” karena sebabnya alasan itu tidak dapat dibenarkan secara factual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dikemukakan pemohon bukan merupakan keadaan baru yang secara nyata dapat menimbulkan dugaan kuat menghasilkan putusan lain seandainya keadaan itu diketahui dan diajukan selama sidang berlangsung. Atau secara nyata keadaan baru yang dikemukakan pemohon, tidak mempunyai nilai sebagai keadaan yang dapat memengaruhi putusan, harus berupa dan bersifat keadaan nyata yang benar-benar relevan sebagai fakta baru yang mempunyai daya dan nilai melumpuhkan fakta lama yang diwujudkan dalam putusan yang dimintakan peninjauan kembali.

Dalam putusan PK terpidana Sudjiono Timan di Mahkamah Agung No 97 PK/Pid.Sus/2012 hakim menimbang bahwa penjelasan pasal 2 ayat 1 undang-undang no 31 tahun 1999 khususnya perbuatan melawan hukum materiil, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 juli 2006 dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar Negara RI 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga berdasarkan pasal 1 ayat 2 KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secara materilil dengan

8

(9)

9 fungsi positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara peninjauan kembali.9 Walaupun demikian, pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut praktiknya Mahkamah Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materiil (materiile wederrechtelijkheid) dari sekian banyak putusan tersebut misalnya terdapat dalam putusan mahkamah agung No 2064/K/Pid/2006 tanggal 8 januari 2007 atas nama terdakwa H. Farani Suhaimi, disana hakim Mahkamah Agung tetap mempergunakan perbuatan melawan hukum materiil.10 Putusan tersebut seharusnya dijadikan yurisprudensi oleh hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh terdakwa tindak pidana korupsi Sudjiono Timan.

Jika dikembalikan pada ulasan pertama tentang tulisan ini jelas bahwa seharusnya hakim lebih ketat dan selektif terhadap permohonan pengajuan Peninjauan Kembali oleh terpidana karena KUHAP telah mengatur secara jelas dan rinci tentang pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali serta alasan yang mendasari pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana. Peninjauan Kembali (PK) pada dasarnya harus memenuhi persyaratan baik dari segi formiil yang diatur pada pasal 263 ayat 1 tentang pihak-pihak yang berhak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, serta harus memenuhi persyaratan materiil yang mendasari alasan pengajuan Peninjauan Kembali setiap terpidana yang telah diatur dalam pasal

9

Lampiran Putusan MA No 97 PK/Pid.Sus/2012 Tentang Pertimbangan Hakim, Hal 162 -163 10

Lilik Mulyadi , 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, Alumni, Bandung, Hal 193

(10)

10 263 ayat 2 huruf a, b, c KUHAP. Pada dasarnya alasan pertama yang dapat dijadikan dasar dalam pengajuan peninjauan kembali adalah ditemukannya Alat Bukti Baru atau yang sering disebut dengan Novum. Dalam pengajuan Peninjauan Kembali tersebut yang didasarkan pada Novum harus dapat membuktikan fakta baru yang dimana fakta baru tersebut dapat ditemukan pada alat bukti saksi dan surat. Apabila dalam pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terdakwa kepada hakim tidak menemukan adanya “Keadaan Baru” atau novum maka hakim berhak menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Namun dalam pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana sudjiono timan mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP tentang “Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”. Dengan demikian syarat materil dalam pengajuan peninjauan kembali terpidana sudjiono timan tidak mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP tentang keadaan baru atau yang disebut novum, serta tidak mendasarkan pula pada pasal 263 ayat 2 hurf b KUHAP tentang adanya suatu putusan yang satu dengan yang lainya bertentangan. Bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime yang penanggulangannya membutuhkan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary enforcement) salah satunya dengan cara tidak mudah menerima permohonan pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana tindak pidana korupsi apabila dalam pengajuannya tidak memenuhi persyaratan formill serta persyaratan materiil. Sehingga dengan begitu akan memberikan efek jera apabila hakim sebagai garda paling depan untuk menegakkan keadilan, maka hakim

(11)

11 diperlukan perannya untuk ikut memberantas para pelaku tindak pidana korupsi dengan cara memberikan hukuman yang setimpal serta lebih ketat lagi untuk tidak menerima permintaan Peninjauan Kembali yang dilakukan terpidana khususnya terpidana yang melakukan tindak pidana korupsi apabila syarat formil dan materiil dalam pengajuan Peninjauan Kembali tidak terpenuhi.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penulisan hukum yang akan mengulas tentang permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan pada latar belakang dengan judul sebagai berikut: “ANALISIS TENTANG SYARAT FORMIL DAN MATERIL DALAM PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI No 97 PK/Pid.Sus/2012 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TERPIDANA SUDJIONO TIMAN”

B. Rumusan Masalah

Dilihat dari uraian latar belakang diatas, maka penulis membatasi penelitian ini pada rumusan masalah sebagai berikut: Apakah pengajuan Peninjauan Kembali Terpidana Sudjiono Timan kepada Hakim Agung MA telah memenuhi persyaratan formil dan materil dalam pengajuan PK ?

(12)

12 C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah pengajuan Peninjauan Kembali Terpidana Sudjiono Timan kepada Hakim Agung MA telah memenuhi persyaratan formil dan materil dalam pengajuan PK

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan tersebut diatas, maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Peneliti

Dalam penelitian ini diharapkan peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dari permasalahan yang akan diteliti, sehingga peneliti dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti sehingga kedepannya apabila ada permasalahan terhadap kasus yang sama bisa dimanfaatkan oleh akademis untuk pengkajian ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum secara lebih komprehensif dan massif.

2. Bagi Masyarakat Umum

Penelitian ini kedepannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sebagai sarana untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dibidang hukum yang dengan adanya penulisan penelitian ini masyarakat umum akan lebih kritis dalam mengawasi dan mengkontrol penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum. Dengan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyrakat

(13)

13 secara luas maka penyimpangan-penyimpangan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum akan bisa dikontrol dan diawasi dalam proses penegakan hukum.

3. Bagi Aparat Penegak Hukum

Melalui penulisan hukum ini diharapkan para aparatur penegak hukum di Indonesia dalam sebuah proses peradilan dapat memutus perkara dengan mengedepankan penegakan keadilan bagi masyarakat dan melihat kesesuaiannya dengan asas kepastian hukum yang berlaku.

4. Bagi Mahasiswa

Penulisan hukum ini diharapkan dapat dijadikan bahan bagi para mahasiswa untuk menambah pengetahuan baru mengenai studi kasus yang diangkat, dengan demikian para mahasiswa khususnya mahasiswa jurusan ilmu hukum dapat memberikan kontribusi positif dalam penegakan hukum di Indonesia sebagai pengabdian konkrit ditengah masyarakat kelak.

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan penelitian permasalahan yang akan dibahas, maka Kegunaan Penelitian atas penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum berkaitan dengan topik yang dibahas dalam

(14)

14 penelitian, yaitu syarat formill dan materiiel dalam pengajuan Peninjauan Kembali pada perkara (PK) Peninjauan Kembali No 97 PK/Pid.Sus/2012 yang amar putusannya menyatakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diberikan kepada terpidana Sudjiono Timan.

2. Praktis

Adapaun manfaat praktis dari Penulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah wawasan tentang pertimbangan Hakim Agung MA mengenai syarat pengajuan peninjauan kembali, baik syarat formil maupun syarat materil pada perkara Peninjauan Kembali No 97 PK/Pid.Sus/2012 yang dalam pertimbangannya hakim menerima syarat formil yang dimana pihak istri terpidana sudjiono timan yang mengajukan PK bukan terpidana sendiri yang mengajukannya. Serta mengabulkan syarat materil yang diajukan oleh pihak terpidana yang mendasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf c tentang adanya suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Atas hal tersebut dengan diterimanya persyaratan baik formil maupun materiil berimplikasi pada amar putusan yang menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Sudjiono Timan terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana yang berimplikasi pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Selain itu diharapkan dalam penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran berkaitan dengan kasus serupa yang terjadi diwilayah hukum Indonesia.

(15)

15 F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

F.1. Pendekatan Yang Digunakan

Metode pendekatan yang digunakan penulis adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yakni suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan diatas.11 Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Sedangkan bersifat normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain dan penerapan dalam prakteknya.

F.2. Jenis Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif atau bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat, bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 48

11

(16)

16 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Putusan Mahkamah Agung No 97 PK/Pid.Sus/2012 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali (PK) oleh terpidana Sudjiono Timan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. Dalam hal ini bahan yang digunakan penulis adalah buku-buku, internet, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan topik bahasan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang diperoleh dari pustaka, ensiklopedi, jurnal, kamus, surat kabar, majalah, penelitian terdahulu, dan lain-lain.12

12Ibid

(17)

17 F.3. Tekhnik Pengumpulan Bahan Hukum

a. Kepustakaan

Studi kepustakaan (library research), yakni pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas, Serta dibutuhkan dalam penelitian. kepustakaan yang dimaksud adalah berupa buku-buku ilmu hukum, media cetak dan media elektronik yang berkaitan dalam menentukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

b. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek yang diteliti, yaitu dokumentasi Putusan Mahkamah Agung NO 97 PK/Pid.Sus/2012 tentang “Syarat Formil Dan Materil dalam pengajuan Peninjauan Kembali terpidana Sudjiono Timan” guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian ini.

F.4. Tekhnik Analisa Bahan Hukum

Dalam analisis data ini, penulis menggunakan analisa isi (Content Analisis) Yaitu analisa mendalam dan kritis terhadap aturan-aturan hukum maupun dari literatur-literatur yang relevan dengan pembahasan tentang permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri terpidana Sudjiono Timan yang

(18)

18 dikaitkan dengan syarat-syarat pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP tentang pihak-pihak yang berwenang mengajukan Peninjauan Kembali yang merupakan sebagai syarat formil. Serta dalam pengajuan Peninjauan Kembali harus didasarkan pada pasal 263 ayat 2 huruf a, b, c tentang alasan-alasan yang mendasari Peninjauan Kembali sebagai syarat materil dalam peninjauan kembali. Sehingga penulisan hukum ini terarah sesuai dengan tujuan studi analisis yang dimaksud dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan hasil dari penelitian hukum ini, penulis menyajikan dalam Empat Bab, dengan harapan mempunyai sistematika yang dapat membantu dan memudahkan untuk mengetahui serta memahaminya. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian hukum, metode penelitian hukum, serta sistematika penulisan hukum.

Bab II Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang kerangka kerja dasar yaitu mengenai pengertian-pengertian pokok, pendapat para ahli, serta kajian pustaka

(19)

19 ataupun kajian yuridis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, yang menjadi kerangka ilmiah berkenaan dengan analisa normatif tentang dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam menerima pengajuan peninjauan kembali (PK) terpidana Sudjiono Timan. Dalam hal ini penulis akan memberikan kajian teoritis yang berkenaan dengan syarat formil dan materiil pengajuan Peninjauan Kembali yang menjadi hukum acara peradilan pidana yang telah diatur didalam pasal 263 ayat 1 KUHAP dan pasal 263 ayat 2 huruf a, b, c KUHAP. Serta menurut beberapa pendapat pakar hukum pidana berkenaan dengan teori-teori yang berhubungan dengan Peninjauan Kembali.

Bab III Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan dan memaparkan data hasil penelitian sekaligus pembahasan yang menjadi fokus kajian atau hasil analisis penulis yang berusaha untuk disajikan secara analisis obyektif berdasarkan data hasil penelitian tersebut yang didukung oleh sumber rujukan teoritis dan praktisnya yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya.

Bab IV Penutup

Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan hasil penelitian ini, serta sebuah saran yang penulis sumbangkan berkaitan dengan kesimpulan yang telah ditarik dari permasalahan dan telah dijabarkan dalam

(20)

20 pembahasan dengan harapan mampu menjadi rekomendasi terhadap pihak-pihak yang terkait, khusunya untuk para Hakim Agung MA dalam menangani perkara Peninjauan Kembali.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penulisan Laporan Kerja Praktik ini dapat diketahui bahwa dengan adanya dalam melaksanakan pelaksanaan pembiayaan usaha mikro di Koperasi Syariah Dana

maupun hukum nasional, terutama sejak lahirnya dan diundangkanya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, namun Indonesia masih menghadapi masalah yang cukup

Pelaksanaan kegiatan Penyusunan Standarisasi Satuan Harga Barang dan Jasa bertujuan untuk menentukan penggolongan secara khusus mengenai.. satuan harga barang

Ahli bedah mulut atau dokter gigi yang memasang implant harus menyadari bahwa pemasangan implant tidak hanya tergantung pada tulang dan ruang yang tersedia, akan

mengontrol perilaku konseli sendiri. Hal ini terbukti dari sebelum dilakukannya proses konseling, konseli cenderung jelajah situs belanja online tanpa kenal waktu, mudah

Selain itu dalam pasal 209 ayat (2) definisi kecamatan sebagai unsur aparatur daerah tidak seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Camat sebagai unsur wilayah

Dalam penerapan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan pada mata pelajaran pendidikan agama Islam di M.Ts Muhammadiyah Pokobulo kecamatan Bontoramba

Kita akan lakukan Instalasi kabel untuk Phase / tegangan untuk Stop Kontak terlebih dahulu, menggunakan kabel merah sebagai tanda kabel Instalasi Phase /