• Tidak ada hasil yang ditemukan

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, manusia kadang-kadang dihadapkan pada kebutuhan hidup yang mendesak untuk mempertahankan statusnya. Kebutuhan semacam ini seringkali harus dapat dipenuhi dengan segara, sehingga tanpa pemikiran yang matang orang tersebut telah melakukan perbuatan yang dapat merugikan lingkungan maupun manusia lainnya. Akibat dari perbuatan tersebut suasana kehidupan menjadi tidak nyaman dan masyarakat menjadi terganggu, yang hal ini harus dipertanggungjawabkan oleh

pelaku yang menimbulkan gangguan tersebut.1

Sejak dari permulaan manusia memang selalu dihadapkan berbagai tantangan dan rintangan sebagai masalah dalam hidupnya. Manusia harus berusaha untuk menjawab tantangan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Usaha untuk menanggulangi dan menyelesaikan masalah-masalah serta pengembangan potensi-potensi manusia tersebut melahirkan suatu peradaban. Tantangan-tantangan dan masalah-masalah yang dihadapi manusia itu tidak akan pernah berakhir, bahkan semakin meningkat.

1 Anny Isfandyarie, Fachrizal Afandi, Tanggung

Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm 1.

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

DAN ETIKA KEDOKTERAN

Oleh : Syamsul Hadi, SH., M.H.* Abstract

Euthanasia is a dead issue requests from patients suffering from a disease that can not be addressed again. To date, whether or not euthanasia should be done is still a debate. Because, euthanasia is not only a moral issue but only for legal, religious, ethical, and human rights. Euthanasia is generally divided into two kinds, namely active euthanasia and passive euthanasia. Active euthanasia is prohibited whether it be setting the criminal law and codes of medical ethics (because there is an element of killing), whereas passive euthanasia is possible to do.

Keywords: euthanasia, right to life, criminal law, and the code of medical ethics.

* Dosen dan Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

(2)

Oleh karena itu, peradaban senantiasa mengalami perkembangan mengikuti perkembangan tantangan-tantangan tadi.2

Usaha untuk menjawab suatu tantangan dan menyelesaikan suatu permasalahan hidup yang dilakukan manusia itu, telah melahirkan suatu perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju (modern) akan lebih mudah untuk mengatasi tantangan dan masalah-masalah yang dihadapi, serta kebutuhan hidup pun relatif akan cepat terpenuhi.

Dengan munculnya tantangan dan rintangan baru, manusia semakin terdorong dan kreatif untuk menciptakan (mengembangkan) ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin up to date

dan canggih. Namun demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi juga tetap melahirkan tantangan baru yang membutuhkan suatu jawaban. Dapat dikatakan antara tantangan (baru) dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berpacu dalam “hubungan sebab akibat” yang tidak

2 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia, Media Presindo, Bandug, 2001, hlm 1.

akan pernah berhenti. Oleh karena itu, yang harus diperhatikan adalah implikasi-implikasi (dampak negatif) dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang tidak jarang sulit untuk mengantisipasinya.3

Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat maju di bidang kedokteran ini, diagnosa terhadap suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern, rasa sakit seseorang yang menderita suatu penyakit dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu, yaitu dengan memasang sebuah respirator. Bahkan, perhitungan saat kematian seseorang yang menderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih akurat.4

Selain untuk memperpanjang kehidupan pasien, perlengkapan medis pun dapat digunakan untuk mempercepat

3

ibid., hlm 2.

4 Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto,

Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm 10.

(3)

kematian pasien, yaitu dengan cara memberikan obat secara berlebihan atau racun yang sangat mematikan. Dengan adanya berbagai macam pengobatan alternatif di bidang medis ini, pasien pun dapat memilih pengobatan seperti apa yang baik untuk dirinya. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pasien tersebut meminta kepada dokternya untuk mempercepat kematian pasien itu sendiri. Adanya permintaan mati tersebut dikarenakan tidak adanya obat yang dapat mengantisipasi atau mengurangi suatu penyakit yang diderita oleh pasien. Hal ini dikenal dengan istilah euthanasia.

Euthanasia bagi masyarakat awam termasuk suatu permasalahan yang masih asing. Kebanyakan masyarakat awam belum tahu apa itu euthanasia, apalagi untuk sampai mengetahui bagaimana hukumnya kalau euthanasia tersebut dilakukan. Permasalahan euthanasia masih sangat asing untuk didengar masyarakat yang bertempat tinggal di desa yang perlengkapan medisnya masih sangat terbatas. Dengan ketidaktahuan tentang permasalahan tersebut, bagaimana masyarakat di desa dapat mengetahui hukumnya jika euthanasia itu dilakukan.

Sedangkan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota yang perlengkapan medisnya lebih memadai dari pada di desa, isu euthanasia malah menjadi bahan perdebatan.

Permasalahan euthanasia ini memang sampai sekarang masih menjadi suatu perdebatan yang sulit diselesaikan dalam waktu singkat. Para etikawan pun tidak seragam dalam menyikapi soal euthanasia ini (pro dan kontra). Yang pro salah satu alasannya yang paling kerap dikemukakan adalah bahwa pasien memiliki hak untuk mati. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta mati agar penderitaannya segera diakhiri. Sebab beberapa hari yang tersisa dari hidup si pasien pasti penuh penderitaan. Euthanasia hanya sekedar mempercepat kematiannya, sehingga memungkinkan pasien mengalami “kematian yang baik” tanpa penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan mereka yang kontra mengemukakan salah satu alasan, bahwa euthanasia ini bisa disalahgunakan. Kalau ada pengecualian terhadap larangan membunuh, bisa-bisa cara ini digunakan juga terhadap orang-orang

(4)

cacat, lanjut usia, atau orang yang dianggap tidak berguna lagi.5

Euthanasia ini merupakan situasi yang sering menjadi masalah bagi para dokter, perawat, maupun keluarga pasien. Euthanasia sering menjadi dilema yang cenderung mendorong seseorang mencari jalan pintas

sepragmatis mungkin untuk

membebaskan diri dari keadaan yang mencekam. Sementara tugas dokter adalah membantu mempertahankan kehidupan setiap insan yang memerlukan pertolongan. Meskipun alasan melakukan euthanasia tersebut demi belas kasihan, tetap akan terancam oleh pasal 344 KUHPidana dengan ancaman penjara selama-lamanya dua belas tahun.6 Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral dan hukum.7

Selain permasalahan di atas, euthanasia juga mendapat tanggapan dari pakar-pakar keagamaan. Kematian seseorang jika dipandang dari sisi agama Islam adalah merupakan “haqqullah”

5“Euthanasia”,http://www.sahabatsurgawi.net/bina%

20iman/euthanasia.html. 24 Maret 2007.

6

Petrus Yoyo Karyadi, Op.Cit. hlm 12.

7Chrisdiono M. Achadiat, “Euthanasia yang

(semakin)Kontraversial”,http://www.tempo.co.id/me dika/arsip/012002/top-1.htm. 11 Maret 2007.

(hak Allah), bukan hak manusia “haqqul

adam”. Secara lahiriyah seseorang memang tampak jelas menguasai dirinya, tetapi sebenarnya manusia bukanlah pemilik penuh atas dirinya tersebut. Sebab manusia hanya tunduk pada aturan-aturan tertentu yang di percayainya sebagai aturan Allah.8

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis ingin mengkaji permasalahan euthanasia ini berdasarkan peraturan-peraturan yang ada untuk mengetahui suatu kebenaran dan kepastian hukum tentang euthanasia dari sudut pandang hukum pidana dan etika kedokteran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan berbagai uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan euthanasia dalam hukum pidana ?

2. Bagaimana tindakan seorang dokter dalam menangani permasalahan euthanasia jika dilihat dari etika keprofesiannya?

8Masdar F. Mas’udi, “Euthanasia adalah Refleksi

KegagalanJaminanKesehatan”,http://islamlib.com/id/ index.php?page=article&id=772. 11 Maret 2007.

(5)

C. Pembahasan

I. Euthanasia dalam Perspektif Hukum Pidana

Pengaturan euthanasia terdapat dalam KUHPidana buku ke-dua Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa orang, Pasal 344 yang berbunyi:

“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Euthanasia secara umum

dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

- Euthanasia aktif

Yang dimaksud euthanasia aktif yaitu suatu tindakan secara langsung dari dokter atas persetujuan pasien atau pihak keluarga untuk mempercepat kematian pasien, agar terlepas

dari penderitaan yang

berkepanjang.

- Euthanasia pasif

Yang dimaksud euthanasia pasif yaitu suatu tindakan secara tidak langsung dari dokter atas persetujuan dari pasien atau

pihak keluarga untuk

menghentikan segala upaya medis yang dianggap tidak memberikan perubahan terhadap pasien.

a) Euthanasia Aktif

Dalam Pasal 344 KUHPidana kalau dicermati ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya yaitu:

- perbuatan: menghilangkan nyawa

- objek: nyawa orang lain - atas permintaan orang itu

sendiri

- yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.9 Unsur-unsur di atas harus dapat dipenuhi untuk menyatakan suatu perbuatan itu merupakan tindakan euthanasia. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut harus dapat dibuktikan guna untuk memastikan perbuatan itu memang merupakan tindakan euthanasia.

9 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan

Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 102.

(6)

Seperti yang sudah

diuraikan sebelumnya

permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta. Adapun bagi orang yang diminta, terdapat

kebebasan untuk

memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dan dinyatakan dengan sungguh-sungguh itu akan dipenuhi atau tidak.10

Apabila seorang dokter menyetujui apa yang diminta oleh pasiennya (permintaan mati) secara langsung maka, dokter dapat

dikenakan Pasal 344

KUHPidana. Tindakan

tersebut tentunya sudah dapat dibuktikan sebelumnya dan perbuatan itu pun sudah terjadi serta tindakan dokter tersebut telah memenuhi syarat-syarat pemidanaan seperti:

10Ibid., hlm103.

- Sudah ada pengaturannya terlebih dahulu

- adanya perbuatan

- perbuatan tersebut

memang melanggar

hukum

- adanya kesalahan, dan - dapat dipertanggung

jawabkan

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu:

- adanya wujud perbuatan - adanya suatu kematian

- adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian.11

Selain itu, dokter juga sudah melanggar

ketentuan Kode Etik

Kedokteran Indonesia, sesuai dengan Pasal 10, yang berbunyi:

“Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”

11

(7)

Jadi, jelas berdasarkan uraian di atas euthanasia aktif dilarang di Indonesia. Maka, terhadap pelaku (dokter) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dituntut sesuai dengan Pasal 344

KUHP dengan hukuman

penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Permasalahaneuthan asia di atas merupakan semata-mata permintaan dari pasien kepada dokter. Jadi, bagaimana jika pasien tersebut dalam keadaan tidak sadarkan diri (koma), apakah pihak keluarga dapat mewakili pasien tersebut dalam mengambil keputusan?

Berdasarkan aksioma bahwa “naluri terkuat dari setiap mahluk hidup selalu

ingin mempertahankan

hidupnya”, maka walaupun pasien dalam keadaan koma, tetap diasumsikan bahwa pasien tersebut tidak menginginkan hidupnya

diakhiri.12 Jika pihak keluarga tetap mendesak dokter untuk melakukan euthanasia maka pihak keluarga dapat dituntut berdasarkan uitlokking Pasal 55 KUHPidana.13 Uitlokking

merupakan bahasa Belanda yang sama artinya dengan

flaterry dalam bahasa Inggris yang berarti bujukan.14 Adapun bunyi dari Pasal 55 KUHPidana, yaitu:

Dihukum seperti pelaku dari suatu perbuatan yang dapat dihukum: - Orang yang melakukan,

yang menyuruh

melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu. - Orang yang memberikan

upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau

martabat, memakai

paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiat atau

keterangan, dengan

12 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia, Media Pressindo, Jakarta, 2001, hlm 59.

13Ibid hlm 60.

14 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu,

(8)

sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.

Mengenai perbuatan-perbuatan itu hanyalah menyangkut perbuatan-perbuatan yang disengaja telah digerakkannya untuk dilakukan oleh orang lain, beserta akibat-akibatnya. Untuk adanya uitlokking, harus memenuhi dua syarat:15 - Bahwa perbuatan yang

telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu

strafbaar poging atau suatu percobaan yang dapat dihukum.

- Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut tergerak oleh suatu

uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan

15 Petrus Yoyo Karyadi, Op. Cit., hlm 61.

dalam Pasal 55

KUHPidana.

Jika diasumsikan bahwa keluarga pasien mendesak dokter untuk

melakukan euthanasia

tersebut telah disertai dengan keterangan-keterangan. Misalnya keterangan keadaan pasien yang tidak dapat sembuh kembali, alasan ekonomis, atau merasa kasihan melihat penderitaan pasien yang berkepanjangan.

Maka dengan segala

pemberian keterangan

tersebut, keluarga pasien dapat dianggap telah melakukan uitlokking kepada dokter untuk menghilangkan nyawa orang lain (pasien).

Di samping itu, dokter sendiri dalam keadaan

toerekeningsvatbaar. Jadi, berdasarkan uraian di atas bahwa terhadap keluarga pasien yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan Pasal 55 KUHPidana. Kedua

(9)

uitlokking tersebut di atas telah terpenuhi juga.16

Sedangkan dokter (pelaku) sendiri dapat dituntut berdasarkan Pasal 338 KUHPidana, karena telah menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Dalam hal ini berarti tidak ada unsur perencanaan terlebih dahulu pada diri dokter, karena dokter sendiri dalam

melakukan tindakan

euthanasia itu atas dasar desakan dari keluarga pasien. Jadi, keluarga pasien dapat dipenjara selama-lamanya lima belas tahun, sama seperti pelakunya sendiri (dokter).17

Apabila dalam

melakukan euthanasia justru

seorang dokter yang

mempunyai inisiatif atau memberi dorongan kepada pasien atau keluarganya, maka dokter tersebut dapat

dikenakan Pasal 345

KUHPidana yang berbunyi:

16Ibid.

17Ibid. hlm 62.

“Barangsiapa sengaja

mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau

memberikan sarana

kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang tersebut jadi bunuh diri.”

Seorang dokter

dalam melakukan tindakan pembunuhan terhadap pasien, jika tanpa adanya unsur permintaan dari pasien atau

keluarganya, maka

pembunuhan tersebut adalah pembunuhan biasa. Dokter atau pelaku dapat dikenakan Pasal 338 KUHPidana yang berbunyi:

“Barangsiapa merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Dan jika

pembunuhan tersebut juga diawali adanya perencanaan terlebih dahulu oleh pelaku maka ia pun dapat dikenakan

(10)

Pasal 340 KUHPidana yang berbunyi:

“Barangsiapa sengaja dan dengan berencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan

berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”

Menurut Petrus Yoyo Karyadi dalam hal pembunuhan ini, Pasal 388

KUHPidana di atas

merupakan landasan hukum yang jelas untuk euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien dan Pasal 338 yang dibarengi dengan Pasal 340 merupakan euthanasia aktif tanpa permintaan dari pasien.

Dari beberapa urain di atas jelas bahwa euthanasia aktif dilarang di Indonesia, karena itu merupakan

perbuatan yang

menghilangkan nyawa

manusia meskipun mati itu

merupakan permintaan dari pasien sendiri.

b) Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif merupakan pemberhentian seluruh upaya medis yang ada karena upaya-upaya tersebut dianggap tidak dapat membantu meringankan penderitaan pasien. Untuk mendapatkan kepastian hukum serta mempermudah dalam mengkaji euthanasia pasif ini, maka euthanasia pasif ini dibedakan terlebih dahulu ke dalam tiga kelompok:

1. Euthanasia pasif atas permintaan pasien

Euthanasia pasif atas permintaan pasien ini, berkaitan erat dengan hak-hak pasien seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 52 yang berbunyi:

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktek

(11)

kedokteran, mempunyai hak: - Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana

dimaksud dalam pasal 45 ayat 3.

- Meminta pendapat dokter atau dokter gigi. - Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. - Menolak tindakan medis, dan - Mendapatkan isi rekam medis. Apabila pasien telah meminta dokter

untuk melakukan

euthanasia pasif atas dirinya, maka berarti ia

telah menjalankan

haknya, yaitu hak untuk menghentikan

pengobatan. Dengan demikian, pasien yang bersangkutan sudah tidak

peduli dengan resiko kematiannya.

Dalam hal ini, dokter tidak lagi

kompeten untuk

melakukan pengobatan terhadap pasiennya. Walaupun pasien yang bersangkutan segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia pasif, dokter tetap bebas dari tuntutan hukum, karena tidak terdapat

strafbaarfeit pada dirinya.18

2. Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien

Euthanasia pasif tanpa permintaan, berarti dokter sendirilah yang berinisiatif untuk berbuat euthanasia pasif, tanpa melakukan pengobatan. Biasanya dokter dalam melakukan euthanasia pasif terdorong karena anggapan dokter bahwa tindakan medik yang

(12)

akan dilakukan terhadap pasiennya sudah tidak ada gunanya lagi.

Apabila dokter

dapat membuktikan

bahwa tindakan medik yang akan dilakukan itu sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter bebas dari tuntutan hukum. Sebaliknya apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang akan dilakukannya sudah tidak ada gunanya lagi, maka dokter dapat dijerat dengan Pasal 304 jo 306 (2) KUHP.19

Pasal 304 menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan

atau membiarkan

seseorang dalam keadaan

sengsara, padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia

wajib memberikan

kehidupan, perawatan

atau pemeliharaan

19Ibid., hlm 67-68.

terhadap orang itu, diancam dengan pidana penjara …”

Pasal 306 (2)

menyatakan:

“Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan orang itu meninggal, maka ia

dihukum dengan

hukuman penjara

selama-lamanya Sembilan

tahun.”

Selain Pasal di atas, Pasal 531 KUHP juga dapat menjerat perbutan dokter tersebut. Pasal 531 menyatakan: “Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal dunia …”

(13)

3. Euthanasia pasif tanpa sikap pasien

Seperti yang sudah dikatakan di atas, bahwa euthanasia pasif yang dilakukan dokter, biasanya berdasarkan pertimbangan bahwa pengobatan sudah tidak ada gunanya. Adapun “tanpa sikap” pasien adalah apabila keadaan pasien sudah dalam tak sadarkan diri (koma). Hal itu berarti tanpa diketahui apa kehendak pasien yang sebenarnya. Tanpa sikap ini dapat juga berarti bahwa pasien masih dalam keadaan sadar. Akan tetapi, ia sendiri tidak dapat menentukan sikapnya.20

Pada prinsipnya

pengertian “tanpa

permintaan” dengan “tanpa sikap” pasien hampir sama. Dengan demikian, akibat hukum yang ditimbulkan antara

20Ibid., hlm 70.

keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil pula.

II.EuthanasiadilihatdalamKode Etik Kedokteran yaitu:

a. Euthanasia aktif merupakan suatu tindakan yang dilarang sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 10 yang berbunyi: “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.”

b. Euthanasia pasif dibolehkan jika dapat dibuktikan dengan tepat dan akurat berbagai ketentuan yang ada. Sebagai contoh seperti: penyakit tersebut memang tidak dapat disembuhkan lagi (upaya medis tidak ada gunannya lagi

jika pengobatan itu

diteruskan).

D. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penulis yaitu perlunya merumuskan kembali Pasal 344 KUHPidana, karena Pasal 344 KUHPidana masih terdapat kekurangan

(14)

yang perlu diatur lebih lanjut. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dalam Pasal 344 KUHPidana hanya berlaku untuk euthanasia aktif saja. 2. Tidak ada penjelasan siapa saja

subyek hukum yang terdapat dalam Pasal 344 KUHPidana.

Apabila Pasal 344 KUHPidana tetap dipakai maka dapat dimungkinkan akan menimbulkan kesulitan dalam menerapkannya dan mengadakan tuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan lagi untuk kepentingan bagi semua pihak agar terjamin kepastian hukum.

Daftar Pustaka

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Anny Isfandyarie, Fachrizal Afandi,

Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006. Djoko Prakoso, Djaman Andhi

Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Media Presindo, Bandug, 2001. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum,

Referensi

Dokumen terkait

(4) Hasil belajar siswa dengan pembelajaran yang menggunakan metode demonstrasi pada materi yang berorientasi praktik yaitu mengalami peningkatan dengan sembilan

Hasil penelitian dari 30 keluarga bayi tentang gangguan buang air besar pada masa nifas di BPM Ratijah Telukwetan Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara Tahun 2012

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dengan Permainan Ludo Akuntansi dapat

“Captain Vansen,” she said in a dry, firm voice, “my brother is resting, but he sends his wish that the gods speed your mission “ Vansen was a little surprised to see that there

yaitu: “apakah teknik clustering dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi. pada siswa kelas VIII G SMP Negeri 6 Purwokerto tahun ajaran

Taman Panorama Baru merupakan salah satu objek wisata alam yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang mempunyai vegetasi alami dan berpotensi untuk dikembangkan

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana melakukan penjadwalan cement mill untuk memproduksi semen OPC dan semen Non OPC dengan meminimasi jumlah pembilasan

Tulislah jawaban Saudara pada lembar jawaban ujian yang disediakan dengan cara dan petunjuk yang telah diberikan oleh petugas.. Untuk keperluan coret-mencoret dapat menggunakan