• Tidak ada hasil yang ditemukan

EUTHANASIA PASIF DALAM PERSPEKTIF MORAL PANCASILA ARTIKEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EUTHANASIA PASIF DALAM PERSPEKTIF MORAL PANCASILA ARTIKEL"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

EUTHANASIA PASIF DALAM PERSPEKTIF MORAL PANCASILA

ARTIKEL

Oleh :

ARVIN YUDHISTIRA PRATAMA NPM: 1410018412016

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG HATTA

(2)
(3)

EUTHANASIA PASIF DALAM PERSPEKTIF MORAL PANCASILA Arvin Yudhistira Pratama1, Miko Kamal1, Suparman Khan1 1

Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bung Hatta E-mail:arvin.yudhistira@gmail.com

ABSTRAK

Euthanasia merupakan masalah klasik dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum, yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates, masalah euthanasiaini telah ditulis dan diingatkan. Berdasarkan hukum di Indonesia makaeuthanasiapasif adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 304 KUHP. Pancasila sebagai jati diri bangsa memiliki peran penting dalam tiap aspek kehidupan manusia. Moralitas merupakan salah satu kajian dalam Pancasila. Euthanasia pasif merupakan tindakan yang berkaitan erat dengan moral. Sehingga moralitas dalam Pancasila dapat dijadikan acuan sudut pandang dalam menyikapi euthanasia pasif. Penelitian ini ditujukan untuk 1. Menganalisis euthanasia pasif dari sudut pandang etika medik; 2. Menganalisis euthanasia pasif dari sudut pandang hukum; 3. Menganalisis moral pancasila menyikapi euthanasia pasif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan, kemudian data dianalisis secara kualitatif. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa 1. Kode etik kedokteran Indonesia berorientasi pada pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif; 2. Terdapat perbedaan pandanganeuthanasia pasif dalam hukum Indonesia, tergantung dari proses terjadinya euthanasia pasif; 3.Moral Pancasila memiliki beberapa unsur yang berkaitan dengan euthanasia pasif, dan setiap unsur tersebut memiliki pandangan yang berbeda terhadapeuthanasiapasif.

(4)

PASSIVE EUTHANASIA IN PANCASILA MORALITY PERSPECTIVE Arvin Yudhistira Pratama1, Miko Kamal1, Suparman Khan1

1

Law Department of Post Graduate Program Bung Hatta University E-mail:arvin.yudhistira@gmail.com

ABSTRACT

Euthanasia is a classic problem in the medical field and health related to aspects of law which is discussed as the actual problem from time to time.Then, euthanasia is also written on the Hippocrates. Based on the law in Indonesia, passive euthanasia is an act against the law. It can be seen in the section 304 Criminal code. Pancasila as the national identity become an important role in the aspect of human life. Morality is one of the studies in Pancasila. Passive euthanasia is an act which is closely related to morality. So that morality in Pancasila referable viewpoint deals with passive euthanasia. The aims of this research are 1. Analyzing passive euthanasia from the viewpoint of medical ethics; 2.Analyzing passive euthanasia from a legal standpoint; 3. Analyzing Morality of Pancasila addressing passive euthanasia. This research uses normative legal research method with collecting the data from library study. Then the research utilizes a qualitative method to analyze the data. The result of this research 1. Show that the Indonesian medical ethics oriented to the views of Hippocrates that has been accepted with passive euthanasia; 2. There are different views of passive euthanasia under Indonesian law, it depend on the occurrence of passive euthanasia; 3. Pancasila morality has several elements related to passive euthanasia, and each element has a different view.

Key Words : Passive Euthanasia, Morality, Pancasila.

I. PENDAHULUAN

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu yang dapat digolongkan dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang abortus provokatusdaneuthanasia.Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates, kedua masalah ini telah ditulis dan diingatkan. Sampai kini, tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau

diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak, tindakan tersebut pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan hukum, moral, dan agama. Masalah ini setiap waktu dihadapi oleh kalangan kedokteran dan masyarakat, bahkan dapat diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang.

(5)

penyakit yang sudah tidak dapat disembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana, putus asa, dan kadang-kadang sekarat. Dalam keadaan seperti ini tidak jarang pasien memohon agar dapat melepaskan diri dari penderitaan yang sangat tak terhingga, dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah kematian. Masalah ini makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ada temuan baru didunia pengobatan dengan mempergunakan teknologi canggih dalam mengatasi keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus yang dulu sudah tidak dapat dibantu lagi, namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi berkembang pesat pasien dengan kondisi sama dapat diselamatkan.

Kajian ini lebih difokuskan pada euthanasia pasif, dikarenakan begitu banyak masalah moral. Dokter atau tenaga kesehatan seperti membiarkan terjadi kematian secara perlahan tanpa melakukan tindakan apapun dan juga hal ini kadang tidak diberitahukan oleh pihak dokter atau tenaga kesehatan kepada pihak keluarga. Dalam sumpah dokter terdapat poin yang menjunjung tinggi kehidupan pasien. Pada poin ke sembilan lafal sumpah dokter Indonesia menyebutkan : Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai

dari saat pembuahan, dan poin ke lima menyebutkan : Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, pada Pasal 7d yang menyatakan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa seorang dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi.

Euthanasia digolongkan sebagai perbuatan ilegal dalam hukum pidana Indonesia yaitu dalam Pasal 344 KUHP :

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(6)

dalam suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat eksplisit, hal itu secara kongkrit dijabarkan dalam tertib hukum Indonesia. Namun demikian disamping tertib hukum, didalam pelaksanaanya memerlukan suatu norma moral yang merupakan dasar pijak pelaksaan tertib hukum di Indonesia. Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundang-undangan jikalau tidak dilandasi oleh moral yang luhur dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, maka niscaya hukum tidak akan dapat mencapai suatu keadilan bagi kehidupan kemanusiaan. Oleh karena itu selain sila-sila Pancasila-sila merupakan suatu sumber nilai bagi tertib hukum di Indonesia, sekaligus juga merupakan suatu sumber norma moral bagi pelaksanaan hukum, penyelenggaraan kenegaraan dan kebangsaan.

Pancasila sebagai jati diri bangsa memiliki peran penting dalam tiap aspek kehidupan manusia. Moralitas merupakan salah satu kajian dalam Pancasila. Euthanasiapasif merupakan tindakan yang berkaitan erat dengan moral, sehingga moralitas dalam Pancasila dapat dijadikan acuan sudut pandang dalam menyikapi euthanasia pasif. Bila dipahami makna yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, makna inti sila tersebut terdapat kata 'Ketuhanan' , yang berasal dari kata Tuhan + (ke-/-an). Hal ini

mengandung makna bahwa negara dengan Tuhan adalah hubungan sebab akibat yang tidak langsung melalui manusia sebagai pendukung pokok negara. Dari nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama tersebut dapat disebutkan bahwa sila ini merupakan dasar kerokhanian, dasar moral bagi bangsa Indonesia dalam pelaksanaan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yang berarti bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara wajib memperhatikan dan menghormati petunjuk-petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dibenarkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Berdasarkan uraian di atas yang melatarbelakangi masalah dalam penelitian ini, maka diadakan penelitian dengan judul

EUTHANASIA PASIF DALAM

PERSPEKTIF MORAL PANCASILA. A. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimanakah euthanasia pasif dari sudut pandang etika medik ? 2. Bagaimanakah euthanasia pasif

dari sudut pandang hukum?

3. Bagaimanakah moral pancasila menyikapieuthanasiapasif?

B. Metode Penelitian. 1. Pendekatan Penelitian.

(7)

berbagai aspek tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Ilmu hukum normatif bersifat sui generis, maksudnya ia tidak dapat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain.

2. Metode dan Teknik

Pengumpulan Bahan Hukum. Dalam pengumpulan data yang akan diolah, penulis mengambil metode studi kepustakaan. Kepustakaan sebagai suatu bahan yang berisi informasi yang diperlukan dalam penelitian perlu mendapatkan seleksi secara ketat dan sistematis, prosedur penyeleksian didasarkan pada relevansi dan kemutakhiran. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari literatur-literatur, artikel-artikel, serta bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dilakukan melalui penelusuran kepustakaan ke Perpustakaan dan situs-situs internet yang berhubungan dengan penelitian ini.

Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian hukum terletak pada sumber datanya. Sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahan hukum yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah bahan hukum sekunder, bahan hukum

sekunder yang berasal dari sumber kepustakan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam penulisan ini bahan hukum primer yang dipergunakan meliputi perundang-undangan,

yurisprudensi serta dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer , seperti buku-buku, skripsi-skripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli atau serjana

hukum yang dapat

mendukung pemecahan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu terdiri dari:

(8)

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia. b) Bahan-bahan di luar bidang hukum, seperti buku-buku, majalah-majalah, surat kabar di bidang komunikasi khususnya di bidang jurnalistik yang oleh penulis digunakan untuk melengkapi maupun menunjang data penelitian. Setelah mengumpulkan bahan hukum, maka dilakukan pengolahan data. Pengolahan data tersebut dilakukan melalui:

a. Seleksi bahan, yaitu pemeriksaan bahan untuk mengetahui apakah bahan tersebut sudah lengkap sesuai dengan keperluan penelitian. b. Klasifikasi bahan, yaitu menempatkan bahan sesuai dengan bidang atau pokok bahasan agar

mempermudah dalam

menganalisisnya.

c. Sistematika bahan, yaitu penyusunan bahan menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga

mempermudah dalam

menganalisisnya.

3. Teknik Analisa Bahan Hukum Metode yang digunakan dalam analisis bahan hukum adalah analisis kualitatif, yaitu memberikan arti dari setiap

data yang diperoleh dengan cara menggambarkan atau menguraikan hasil penelitian dalam bentuk uraian kalimat secara terperinci, kemudian dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban masalah yang dikemukakan dalam penulisan ini.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Euthanasia Pasif dari Sudut Pandang Etika Medik.

Etika tidak dapat dipisahkan dari profesi, karena etika merupakan perwujudan dan ciri-ciri profesi yang menyangkut tanggung jawab keahlian kepada masyarakat. Dengan kata lain, ciri-ciri suatu profesi terwujud dalam asosiasi-asosiasi dan kode etiknya.

(9)

dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu.

Di Indonesia, para dokter menganut upaya euthanasia pasif, bahkan mereka sudah melaksanakannya, walaupun kadang-kadang secara tidak langsung. Misalnya keluarga pasien sering meminta dengan paksa agar pasien dikeluarkan dari rumah sakit. Prosedur permohonan semacam ini memang ada dan pihak rumah sakit tidak dapat menolak atau menahannya, sehingga pasien diizinkan keluar dari rumah sakit, dan dengan demikian dokter pun diperkenankan melepaskan tanggung jawabnya. Dalam keadaan demikian sebenarnya baik dokter maupun keluarga pasien mengetahui dan menyadari bahwa si pasien akan meninggal apabila perawatnnya dihentikan.

Dalam euthanasia pasif, dokter tidak memberikan bantuan secara aktif bagi mempercepat proses kematian pasien. Apabila seseorang pasien menderita penyakit dalam stadium terminal, yang menurut pendapat dokter tidak mungkin lagi disembuhkan maka kadang-kadang pihak keluarga karena tidak tega melihat salah seorang anggota keluarganya berlama-lama menderita di rumah sakit, lantas mereka meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatan. Tindakan penghentian ini termasuk euthanasia pasif.

Euthanasia pasif banyak dilakukan di Indonesia atas permintaan keluarga setelah mendengar penjelasan dan pertimbangan dari dokter, bahwa pasien yang bersangkutan sudah sangat tidak mungkin disembuhkan. Biasanya keluarga memilih untuk membawa pulang pasien tersebut dengan harapan ia meninggal dengan tenang di lingkungan keluarganya.

Dalam pasal 5 Kode Etik Kodekteran yang berbunyi :

Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memeperoleh persetujuan pasien.

(10)

B. Euthanasia Pasif dari Sudut Pandang Hukum.

Dalam hukum positif di Indonesia dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasiayang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP.

Pasal 344 KUHP menyatakan : Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas

dinyatakan dengan

kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:

Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia

wajib memberi

kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dalam permasalah euthanasia pasif atas permintaan pasien atau keluarga, dokter tidak memikul tanggung jawab terhadap hal tersebut, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonseia No. 290/Menkes/Per/111/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri Kesehatan Republik Indonesia pasal 16 ayat yang berbunyi :

Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat 2 menjadi tanggung jawab pasien.

Hukum Indonesia melarang euthanasia pasif yang tercantum dalam pasal 304 KHUP, tapi secara hukum pihak keluarga pasien atau pasien dapat melakukan penolakan tindakan kedokteran, perbuatan menolak tindakan kedokteran tersebut merupakan euthanasia pasif, hal ini tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/Menkes/Per/111/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri Kesehatan Republik Indonesia pasal 16 ayat 1.

(11)

dimana hal tersebut juga termasuk euthanasia pasif, maka terjadinya euthanasia pasif dengan cara seperti itu dibolehkan menurut pandangan hukum di Indonesia.

C. Moral Pancasila Menyikapi EuthanasiaPasif.

Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka, hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Keterbukaan pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila namun mengeksplisitkan wawasannya secara kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual.

Sebagai ideologi terbuka maka Pancasila memiliki dimensi sebagai berikut:

1. Dimensi idealitas, yaitu nilai nilai dasar yang terkandung dalam pancasila yang bersifat sistematis dan rasional, yaitu hakikat yang terkandung dalam lima sila Pancasila : ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, maka dimensi idealis

Panacasila bersumber pada nilai-nilai filosofis yaitu Filsafat Pansasila. Oleh karena itu dalam setiap ideologi bersumber pandangan hidup nilai-nilai filosofis. Kadar dan kualitas idealisme yang terkandung dalam ideologi

Pancasila mampu

memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi yang dicita-citakan.

2. Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tata tertib hukum Indonesia. Dalam pengertian ini maka pembukaan yang di

dalamnya memuat

Pancasila dalam alinie IV, kedudukannya sebagai staatsfundamentalnorm

(12)

langkah operasional perlu memiliki norma yang jelas. 3. Dimensi realitas, suatu

ideologi harus mampu mencerminkan ralitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal normatif, maka Pancasila harus dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kaitannya bermasyarakat maupun dalam segala aspek penyelenggaraan negara. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis yang hanya berisi ide-ide yang mengawang, namun bersifat realistis artinya mampu dijabarkan kehidupan yang nyata dalam berbagai bidang. Berdasarkan hakikat ideologi Pancasila yang bersifat terbuka yang memiliki tiga dimensi tersebut maka ideologi Pancasila tidak bersifat utopis yang hanya merupakan sistem ide-ide belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Selain itu ideologi Pancasila bukan merupakan doktrin belaka, karena doktrin hanya memiliki pada ideologi

yang hanya bersifat normatif dan tertutup, demikian pula ideologi Pancasila bukanlah merupakan ideologi pragmatis yang hanya menekankan segi praktis dan realitis belaka tanpa idealisme yang rasional. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai-nilai dasar (hakikat) sila-sila pancasila yang bersifat tetap adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa diekplisitkan secara dinamis, terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman.

Berdasarkan moral yang berkaitan dengan euthanasia pasif didalam moral Pancasila, terdapat berbagai macam bentuk yang sebenarnya darieuthanasiapasif. Hal ini dapat terjadi karena begitu kayanya unsur moral dari moral Pancasila, moral Pancasila mecakup berbagai aspek kehidupan.

Unsur moral Pancasila berupa keyakinan terdapat berbagai macam versi dari bentuk yang sebenarnya dari euthanasia pasif. Hal ini disebabkan karena tiap agama memilik sudat pandan dan keyakinan yang berbeda atas sesuatu perbuatan. Tiap keyakinan atas bagaimana euthanasia pasif tersebut merupakan hak dari tiap agama yang harus dihargai.

(13)

dengan kebaikan budi pekerti, meskipun tidak dilakukan pembunuhan dalam euthanasiapasif, tapi dalam hal pembiaran pasien mati pelan-pelan tanpa pertolongan merupakan pelanggaran kebaikan budi pekerti, seharusnya tetap dilakukan pertolongan sekuat tenaga apapun hasilnya.

Dalam unsur ketaatan yang berkaitan langsung dengan ketaatan terhadap peraturan, dalam hal ini peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat dua bentuk dari euthanasia pasif tergantu dari proses terjadinya. Ketika euthanasia pasif tersebut dilakukan atas inisiatif dari dokter maka tindakan tersebut dilarang di mata hukum, tapi jika pihak pasien atau keluarga melakukan penolakan atas tindakan kedokteran, dimana hal tersebut juga termasuk euthanasia pasif, maka terjadinya euthanasia pasif dengan cara seperti itu dibolehkan menurut pandangan hukum di Indonesia.

Menurut teori hukum kodrat yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, hukum yang sebenarnya adalah hukum dari Tuhan, jika peraturan dari negara betentangan dengan hukum dari Tuhan maka peraturan tersebut adalah peraturan yang menyimpang. Begitu juga dengan euthanasia pasif, peraturan yang mengatur euthanasia pasif harus sesuai dengan

peraturan yang telah diatur dalam Hukum Alam.

Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, dalam Islam berobat bukanlah suatu kewajiban, hal ini sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/Menkes/Per/111/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri Kesehatan Republik Indonesia pasal 16 ayat 1 berisi bahwa pasien atau keluarga pasien berhak menolak pengobatan dari dokter. Dapat disimpulkan dari pandangan teori hukum kodrat peraturan dari negara sudah sejalan dengan peraturan dari Tuhan menurut ajaran Islam, begitu juga dengan agama Hindu.

(14)

masing-masing yang harus dihargai oleh agama yang lain.

III. PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian atas permasalahan yang diperoleh penulis, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Kode etik kedokteran Indonesia berorientasi pada pandangan-pandangan Hippocrates yang menerima euthanasia pasif, berarti kode etik kedokteran Indonesia menerima euthanasia dalam bentuk pasif.

2. Terdapat perbedaan pandangan euthanasia pasif dalam hukum Indonesia, euthanasia pasif dilarang dalam pasal 304 KHUP, tapi secara hukum pihak keluarga pasien atau pasien dapat melakukan penolakan tindakan kedokteran, perbuatan menolak tindakan kedokteran tersebut merupakan euthanasia pasif, hal ini tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonseia No. 290/Menkes/Per/111/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri Kesehatan Republik Indonesia pasal 16 ayat 1.

(15)

penolakan tindakan medis hali ini tidak bertentangan dengan moral Pancasila berupa ketaatan. B. SARAN

Adapun saran yang hendak penulis sampaikan yaitu sebagai berikut:

1. Sebaiknya dokter tetap berusaha membantu pasien, jika memang tidak bisa disembuhkan lagi ada baiknya dokter membicarakan masalah tersebut dengan keluarga pasien.

2. Perlu adanya peraturan yang khusus mengatur tentang euthanasia pasif, sehingga dokter, pasien dan keluarga pasien dapat terlindungi dari tindakan yang berakhir dengan hal yang tidak diinginkan. 3. Diharapkan ada kajian yang

lebih banyak baik mengenai euthanasia pasif atau hal-hal baru lainnya dengan memakai sudut pandang moral Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku.

Amin,MM 2015, Moral Pancasila Jati Diri Bangsa, Yogyakarta, Calpulis. Ashshofa, B 1996, Metode Penelitian,

Jakarta, PT. Rineka Cipta.

Asikin, Z 2013,Mengenal Filsafat Hukum, Bandung, Pustaka Reka Cipta. Audah,AQ 1992, At-Tasyri’ Al-Jina`i

Al-Islami, Beirut, Muassasah Ar-Risalah.

Bertens,K 2011, Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Goel, V 2008, Euthanasia A dignified end of life, Faculty of Law Addis Ababa University Addis Ababa Ethiopia.

Halimy, I 1990, Euthanasia, Solo, Ramadani.

Hamdayana, J dkk, 2012, Pancasila, Suatu Analisis Yuridis, Historis dan

Filosofis, Jakarta: Hartomo Media Pustaka.

Hanafiah, MJ dkk, 2007 , Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi 4, Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC.

Kaelan, 2009, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa

Indonesia, Yogyakarta, Paradigma. Koeswadji, HH 1998, Hukum Kedokteran.

Studi tentang Hubungan Hukum

dalam Mana Dokter sebagai Salah

Satu Pihak, Jakarta, PT. Aditya Bakti.

Maryati, N 1998, Malpraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan

(16)

Moeljatno, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, PT. Rineka Cipta.

Muhammad, A 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti.

Muslich, AW 2014, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan

Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, BJ 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Mandar Maju. Prakoso, D 1984, Euthanasia Hak Azasi

Manusia, Manusia Dan Hukum, Medan, Pustaka Bangsa Press. Pusat Bahasa, 2001, Kamus Besar Bahasa

Indonesia 3rd Edition. Jakarta, Balai Pustaka.

Simorangkir, 2003, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di

Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Siswati, S 2013, Etika Dan Hukum Kesehatan, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.

Soeryanto, P 1991, Pancasila Sebagai Ideologi Ditinjau Dari Segi

Pandangan Hidup Bersama, Jakarta, BP-7 Pusat.

Sumaryono, E 2002, Etika & Hukum. Relevansi Teori Hukum Kodrat

Thomas Aquinas, Yogyakarta, Canisius.

Susilawati, dkk, 2010, URGENSI PENDIDIKAN MORAL, Suatu

Upaya Membangun Komitmen

Diri, Yogjakarta, Surya Perkasa. Sutarno, 2014, Euthanasia, Keadilan dan

Hukum Positif di Indonesia, Malang, Setara Press. Titus, HH dkk 1984, Persoalan-persoalan

Fisafat, Jakarta, Bulan Bintang. Tongat, 2003, Hukum Pidana Materil,

Jakarta, Djambatan.

Utomo, W 2003, Hukum Pidana Yang Mengatur Tentang Euthanasia, Depok, Rechta.

Wahan, P 1993, Filsafat Pancasila, Yogyakarta, Kanisius.

Zallum, AQ 1997, Hukum Asy-Syar’i fi

Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al

-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib,

Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah,

al-Hayah wa al-Maut, Beirut , Darul Ummah.

B. Peraturan perundang-undangan. Undang Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonseia No.

(17)

C. Website

Purnama,R, Euthanasia Ditinjau Dari

Aspek Hukum

(http://rabdhanpurnama.blogspot.co m/2012/07/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-hukum.html)

Ayu, G , Utilitarianisme, http://griscaayu-fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail

-103870-Umum-Utilitarianisme.html.

Carmelia, Tanya Jawab Iman tentang Euthanasia dalam Iman Kristiani

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dikenal 2 tipe sebaran nematoda, yaitu sebaran secara vertikal dan sebaran secara horizontal. Faktor utama yang menentukan sebaran nema-toda secara vertikal adalah

Puji syukur selalu penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Secara umum manajemen usaha umkm (pemasaran, produksi, sdm dan keuangan) dapat diterapkan dengan memberikan pelatihan kepada pelaku umkm.. Dalam perjalanannya umkm

Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang

Desa-desa pesisir di Kecamatan Palangga Selatan diidentifikasikan menjadi 3 karakteristik, yaitu (1) desa pesisir yang mayoritas wilayah desanya berupa dataran rendah, yaitu

Tulislah jawaban Saudara pada lembar jawaban ujian yang disediakan dengan cara dan petunjuk yang telah diberikan oleh petugas.. Untuk keperluan coret-mencoret dapat menggunakan

Uji normalitas untuk menguji apakah dalam model regresi, variable terikat dan variable bebas keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Uji normalitas data uang