• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Infeksi embrio oleh agen patogen Dengan berkembangnya teknologi fertilisasi in vitro dan transfer embrio pada sapi, membuat embrio tahap morula

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.1 Infeksi embrio oleh agen patogen Dengan berkembangnya teknologi fertilisasi in vitro dan transfer embrio pada sapi, membuat embrio tahap morula"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Produksi embrio pada beberapa jenis hewan ternak, hewan laboratorium (Hogan et al. 1986; Hoshi 2003) dan hewan kesayangan telah banyak dilakukan baik secara in vivo (dengan bantuan superovulasi) maupun in vitro untuk tujuan industri peternakan. Embrio tahap morula dan blastosis banyak digunakan dalam industri peternakan dan secara luas dalam bidang penelitian karena embrio pada tahap perkembangan ini paling mudah diperoleh, lebih tahan dan secara teknis penanganannya lebih mudah dibandingkan tahap perkembangan embrio yang lebih dini, serta memberikan peluang lebih besar dalam keberhasilan transfer embrio.

Cara yang digunakan untuk menghasilkan embrio bebas penyakit adalah dengan: melakukan pemeriksaan terhadap hewan donor secara seksama sebelum dan setelah panen embrio dilakukan; memberi perlakuan tertentu terhadap embrio pascapanen; dan dengan melakukan perpaduan antara pemeriksaan hewan donor embrio dan perlakuan terhadap embrio. Pemeriksaan hewan donor merupakan cara konvensional untuk memastikan, hewan donor bebas dari agen penyakit tertentu, tetapi cara tersebut memerlukan waktu dan biaya mahal dibandingkan dengan memberi perlakuan terhadap embrio. Pemeriksaan terhadap donor dapat dilakukan secara serologi, umumnya dengan metode serum berpasangan (paired serum). Pemeriksaan serum pertama, pada saat embrio dipanen dan kedua beberapa minggu kemudian. Alasan hewan donor harus diperiksa, mengingat hewan betina donor merupakan suatu unit yang terisolasi bagi embrio sebelum dipanen, dan embrio tersebut tidak akan terpapar agen patogen jika donor tersebut tidak terinfeksi. Jika sekelompok asal ternak donor bebas penyakit, dapat memberikan jaminan bahwa embrio yang dipanen bebas penyakit, demikian halnya jika daerah atau negara asal donor tersebut bebas penyakit. Sedangkan perlakuan terhadap embrio, dengan cara membasuh embrio dengan atau tanpa tripsin yang disarankan oleh The International Embryo Transfer Society (IETS), dapat menekan terjadinya penularan penyakit jika embrio tersebut ditransfer. Di samping cara tersebut relatif murah; mudah diterapkan secara rutin pada saat produksi embrio dilakukan; dan efektif mengatasi cemaran agen pada embrio (Stringfellow & Givens 2000).

(2)

2.1 Infeksi embrio oleh agen patogen

Dengan berkembangnya teknologi fertilisasi in vitro dan transfer embrio pada sapi, membuat embrio tahap morula dan blastosis yang dibekukan menjadi komoditi perdagangan internasional. Sejalan dengan itu kemungkinan terjadinya penularan penyakit menular bersamaan dengan embrio yang difertilisasi secara in vitro ataupun yang ditransfer ke induk lainnya menjadi masalah. Pemrosesan embrio dengan mencuci dan memberi perlakukan tripsin pada metode yang disarankan oleh lembaga IETS terbukti tidak efektif untuk menyingkirkan beberapa agen patogen seperti virus bluetongue, foot and mouth disease, dan bakteri leptospira (Otoi et al.1992; Otoi et al.1993). Bakteri leptospira malah mampu menembus zona pelusida secara in vitro, sedangkan Bovine Herpes Virus-1 dan Bovine Viral Diarrhoea Virus secara mekanik terjebak pada zona pelusida. Kedua virus ini hanya mampu menembus 25-50% ketebalan zona pelusida (Stringfellow & Givens 2000). Di samping bakteri leptospira, bakteri E.coli K99 juga masih ditemukan melekat pada embrio yang dipaparkan ke suspensi kuman yang mengandung 109 colony forming unit per mililiter. Untuk itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap keamanan embrio dari agen-agen patogen.

Kematian embrio merupakan penyebab utama yang paling merugikan akibat gangguan reproduksi pada hewan ternak dan sangat mempengaruhi keberhasilan, produktivitas hewan tersebut. Sebagian besar kerugian terjadi pada masa embrional dalam proses kebuntingan. Saat-saat yang paling merugikan ini berlangsung dari saat fertilisasi terjadi hingga sempurnannya tahap diferensiasi, khususnya beberapa hari pascafertilisasi dan selama proses implantasi. Mortalitas embrio pada sapi akibat hal-hal tersebut di atas diperkirakan mencapai 20 sampai 40% (Vanroose et al. 2000). Di samping itu kendala lain dalam pengembangan populasi sapi karena adanya penyakit kolibasilosis yang menyerang pedet sapi. Penyakit mematikan yang menyerang anak sapi pascalahir ini juga dikenal sebagai penyakit diare profus yang disebabkan oleh infeksi enterotoxigenic E.coli (ETEC). Kematian pedet sapi paling umum disebabkan karena diare pada hari-hari mingggu pertama kelahirannya, dan tingkat kematian pedet dapat mencapai 20%, dan dari kasus diare di berbagai tempat di Indonesia telah berhasil diisolasi bakteri E.coli K99 (Supar et al. 1998).

(3)

E.coli enterotoksigenik memiliki fimbrae K99 dan menyebabkan diare pada pedet sapi dan anak babi. Dalam hal ini ada suatu bahan dari kelompok hidroksil yang memegang peran spesifik dalam perlekatan antara molekul adhesin pada fimbrae bakteri dan gangliosida-GM3 pada mukosa usus. Gangliosida-GM3 terutama ditemukan pada mukosa usus dan kadarnya paling tinggi saat hewan itu dilahirkan dan hanya tinggal 6,25% saja saat hewan itu telah dewasa, hal inilah yang menjelaskan kenapa E.coli menyerang hewan pedet (Abe et al. 1992). E.coli bersama bakteri lainnya seperti Streptococcus agalactie, dan Actinomyces pyogenes telah diketahui menginfeksi saluran reproduksi. E.coli dapat diisolasi dari vagina anjing dan 60% kuman yang ditemukan pada turunannnya ditemukan pula pada induknya (Munnich & Lubke-Becker 2004), begitu pula kuman ini mudah diisolasi dari vagina sapi dara, dan kuman ini menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kebuntingan sapi yang dikawinkan dengan inseminasi buatan (Takacs et al. 1990).

2.2 E.coli K99 penginfeksi embrio

Bakteri E.coli termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae dengan genus Escherichia. Nama genus tersebut mengenang kepeloporan Theodor Escherich, seorang dokter anak asal Jerman, dalam riset tentang bakteri tersebut. Bakteri E.coli adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang halus dan bersifat fakultatif anaerob. Bakteri E.coli mampu bertahan hidup lama pada lingkungan berair dan dingin (Bertschinger 1999).

Enterotoksigenik E.coli (ETEC) merupakan agen penting penyebab diare akut pada hewan muda dan anak-anak. Perlekatan merupakan langkah pertama ETEC patogen untuk menimbulkan diare. Perlekatan tersebut diperantarai oleh protein polimer berbentuk seperti serabut yang sangat halus pada permukaan bakteri. Struktur permukaan tersebut dikenal sebagai fimbriae atau pili (Bertschinger & Fairbrother 1999). E.coli patogen sebagian besar menghasilkan satu atau beberapa adhesin fimbriae yang melekatkan bakteri tersebut ke reseptor spesifik. Fimbriae E.coli menjulur dari sel bakteri berupa struktur yang terdiri dari subunit-subunit protein yang berperan sebagai penyangga protein perlekatan yang ada pada ujung fimbriae.

Fimbriae diklasifikasikan berdasarkan reaksi serologi, namun adhesin fimbriae pada ETEC babi dan sapi pada mulanya dikira antigen kapsuler, maka dari itu dinamai K88 dan K99 (Orskov & Orskov 1983). Terdapat empat adhesin

(4)

fimbriae ETEC (Cox & Houvenaghel 1993). dikenal pada ternak neonatal yaitu K88(F4), K99(F5), P987(F6), dan F41. Isolat-isolat ETEC umumnya dapat menghasilkan sejumlah adhesin fimbriae, namun kombinasi adhesin yang kerap dihasilkan adalah F5&F6; F5&F41; F4&F6. Fimbriae F5 dan F41 hanya terekspresikan dengan baik jika dikultur pada media yang rendah kandungan glukosa atau alanin, seperti medium minca (Guinee et al. 1977).

E.coli K99 terutama melekat pada vili usus pada setengah bagian belakang usus halus, sedangkan K99/F41 melekat pada jejunum dan ileum (Cox & Houvenaghel 1993). Bakteri ETEC K99 menghasilkan enterotoksin yang tahan panas. Protein nonimunogen yang memiliki berat molekul 2000 dalton tersebut berikatan dengan guanyl cyclase yang merupakan reseptornya pada usus. Pengaktifan guanilat siklase tersebut akan merangsang dihasilkannya GMP-siklik. Kadar GMP-siklik yang tinggi akan menghambat sistem kotranspor natrium chloride sehingga mengurangi penyerapan elektrolit dan air dari usus (Fairbrother 1999).

Bakteri E.coli, begitu juga Brucella ovis, Mycobacterium paratuberculosis, Mycoplasma sp, Streptococci sp. dilaporkan dapat mencemari permukaan zona pelusida embrio dan perlekatan sangat kuat sehingga sulit untuk disingkirkan (Wrathall 1995). Di samping bakteri tersebut, Bielanski et al. (2003) melaporkan sejumlah bakteri lainnya yang ditemukan mencemari embrio dan semen yang disimpan dalam waktu lama.

Khusus terhadap E.coli K99, Otoi et al. (1993) telah meneliti pencemaran bakteri tersebut terhadap embrio sapi. Antara E.coli K99 dengan permukaan zona pelusida diduga ada perikatan yang sifatnya spesifik, karena perlekatan tersebut tidak terlepas walaupun telah dicuci dengan tripsin. Pengendalian terhadap cemaran pada embrio tidak begitu banyak dipahami dan betapa rumitnya kalau kita telusuri agen-agen infeksius yang dapat menyebabkan kematian pada embrio. Upaya pengendalian cemaran salah satunya dapat dilakukan dengan penambahan antibiotik pada medium kultur, akan tetapi cara tersebut tidak selalu efektif.

2.3 Zona pelusida pelindung sel-sel embrio

Zona pelusida merupakan glikoprotein selubung ekstraseluler yang berlapis-lapis menyelubungi oosit dan embrio praimplantasi. Matriks zona pelusida tersebut terdiri dari tiga glikoprotein yakni ZP1, ZP2, dan ZP3. (Qi et al.

(5)

2002). Pada pengamatan secara scanning electron microscopy, permukaan dalam dan permukaan luar zona pelusida mencit memperlihatkan pola yang berbeda. Permukaan luarnya dicirikan dengan adanya banyak bekas perlubangan atau fenestrasi (fenestration), sehingga tampilannya tampak seperti spon atau seperti batu apung, sedangkan permukaan dalamnya relatif lebih lembut dan kompak (Phillips & Shalgi 2001). Dipandang dari permukaan luarnya, ada dua bentuk permukaan zona pelusida, yakni: 1) berbentuk seperti anyaman kawat (mesh like) dan 2) berbentuk kompak terutama ditemukan pada oosit muda atau yang atretik (Familiari et al.1989). Greeve & Wassarman (1985) dan Vanroose (1999) mengemukakan bahwa pada zona pelusida yang memiliki jalinan permukaan luar yang kasar dan longgar menyerupai spon tersebut, ditemukan adanya pori dengan garis tengah lebih besar, sedangkan pada struktur permukaan dalam yang tidak kasar dan kompak garis tengah porinya lebih kecil. Banyaknya pori yang ditemukan pada zona pelusida embrio sapi, berbeda-beda pada berbagai tingkat perkembangan. Pada oosit ditemukan sekitar 1151 pori-pori, sedangkan pada sigot, embrio 8 sel, dan morula, secara berturut-turut ditemukan 1187, 1658, dan 3259 pori-pori. Begitu pula halnya dengan garis tengah pori-pori pada oosit, sigot, embrio 8 sel, dan morula secara berturut-turut adalah 182nm, 223nm, 203nm, dan 155nm (Vanroose 1999).

Permukaan zona pelusida yang kasar pada oosit matang mungkin disebabkan adanya sisa perlekatan sel-sel kumulus dan korona radiata (Suzuki et al. 1994). Penjuluran-penjuluran sitoplasma sel-sel korona radiata menembus zona pelusida dan berujung pada gap junction pada membran vitelin oosit (Alworth & Albertini 1993). Setelah oosit matang, sebagian besar penonjolan sitoplasma sel korona radiata akan ditarik atau putus, dan matriks zona pelusida akan menutup kanal-kanal yang ditinggalkan sitoplasma tersebut. Pori-pori yang terlacak keberadaannya pada seluruh permukaan zona pelusida oosit, kemungkinan merupakan tempat masuknya penjuluran-penjuluran sel tersebut. Berdasarkan pengamatan tiga dimensi yang dikemukakan oleh Familiari et al. (2006), zona pelusida yang mirip anyaman kawat tersebut sangat memungkinkan untuk ditauti dan dilekati spermatozoa. Tekstur anyaman zona pelusida yang longgar, lebih memperjelas fungsinya sebagai pengikat spermatozoa, dan mempermudah enzim akrosom spermatozoa mencerna zona pelusida. Sebaliknya tekstur zona pelusida yang rapat akan mempersulit perikatan spermatozoa, begitu pula pencernaannya oleh enzim akrosom.

(6)

Glikoprotein zona pelusida pada mencit, monyet, dan manusia disintesis, disekresikan, dan dirakit oleh oosit selama proses oogenesis yang berlangsung sekitar 2-3 minggu dan bukan diproduksi oleh sel-sel granulosa (Eberspaecher et al. 2001; Qi et al. 2002). Selubung ekstraseluler tersebut terdiri dari filamen-filamen dimer panjang terdiri dari ZP2 dan ZP3, dan dipertautkan oleh ZP1. Matriks zona pelusida tersusun dari sambungan-sambungan filamen dengan panjang sekitar 2-3 μm. Filamen-filamen tersebut memperlihatkan struktur yang berulang setiap 15 nanometer, menandai letak dimer ZP2 dan ZP3 sepanjang filamen. ZP1 adalah struktur yang menghubungkan filamen ZP2 dan ZP3 yang letaknya saling bersebrangan. Ketiga glikoprotein tersebut terikat bersama menjadi zona pelusida oleh ikatan non-kovalen (Greeve & Wassarman 1985; Wassarman 2002), sehingga lapisan zona pelusida tersusun menurut waktu terbentuknya dan lapisan yang paling dalam merupakan lapisan yang paling terakhir dibentuk (Qi et al. 2002).

Ketebalan zona pelusida beragam baik antar spesies mamalia maupun antar setiap mahluk hidup dalam spesies yang sama. Ketebalan zona pelusida berkaitan langsung dengan protein yang dikandung oleh zona pelusida. Semakin tipis zona pelusida membuat oosit lebih mudah dibuahi. Pada manusia zona pelusida oosit yang mudah dibuahi tebalnya sekitar 16,5 μm sedang yang sulit dibuahi tebalnya 20,0 μm. Semakin tipis semakin mudah dibuahi, tetapi jika terlalu tipis (15,1μm) membuat banyak sperma yang dapat membuahi (Bertrand et al. 1996). Zona pelusida embrio tahap cleavage lebih tipis dibandingkan dengan oosit. Penipisan zona pelusida terjadi secara proporsional, terjadi penipisan baik pada lapisan 1 mau pun lapisan 2, tetapi yang paling menipis adalah lapisan ke tiga atau lapisan terluar. Penipisan terjadi sebagai akibat zona pelusida meregang karena embrio membesar. Di samping itu, penipisan zona pelusida dapat pula terjadi karena lapisan terluar zona pelusida dicerna oleh protease. Secara umum ketebalan zona pelusida dapat dipakai sebagai panduan dalam memilih embrio (Grabielsen et al. 2000). Sesungguhnya zona pelusida memiliki ketebalan yang beragam, begitu pula susunan molekuler, dan ketebalan jaringan yang berada di bawah zona pelusida. Zona pelusida yang tebal akan memperlambat perkembangan embrio (Pelletier et al. 2004).

Zona pelusida mencit terdiri dari tiga glikoprotein yakni mZP1 (mice ZP1), mZP2, dan mZP3, dengan berat molekul secara berturut-turut 200 kDa, 120 kDa, dan 83 kDa (Wassarman 2002), sedangkan pada manusia ukurannya 110 kDa,

(7)

76 kDa, dan 73 kDa (Shabanowitz & O’Rand 1988). Tebal zona pelusida sekitar 5-10 μm, rasio antara ZP2 dengan ZP3 adalah 1:1, sedangkan ZP1 sekitar 9% dari keseluruhan jumlah ZP2 ditambah ZP3 (Green 1997). Ke tiga glikoprotein tersebut membentuk jalinan tiga dimensi. Antara heterodimer ZP2 dan ZP3 dipertautkan oleh ZP1, sebaran glikokonjuget tersebut berubah-ubah selama terjadinya proses pematangan oosit (Rankin et al. 2001). ZP3 berperan sebagai reseptor utama dan induktor reaksi akrosom spermatozoa mencit, hamster, dan manusia (Moller et al. 1990; Van Duin et al. 1994) di samping itu ZP3 berperan sebagai glikoprotein struktural merakit zona pelusida bersama ZP2 dan ZP1(Bleil & Wassarman 1986; Wassarman 2002). ZP2 pada sapi berperan sebagai reseptor sekunder terhadap spermatozoa yang telah mengalami reaksi akrosom (Vanroose et al. 2000). Belakangan ini baru diketahui, bahwa agar supaya terjadi fertilisasi pada mencit spermatozoa harus berikatan dengan ZP3 dan ZP2 (Candace et al. 2002). Pada babi glikoprotein yang berperan mengikat spermatozoa adalah ZP3 dan ZP1 (Yurewicz & Sacco 1996), hal yang mirip terjadi pada kelinci (Yamasaki et al. 1995)

Zona pelusida dapat diibaratkan sebagai palang pintu (gatekeeper) terhadap masuknya spermatozoa, karena gamet jantan tersebut harus berikatan dan menerobos zona pelusida supaya dapat bersatu dengan membran plasma oosit selama pembuahan berlangsung (Wassarman 2002). Supaya dapat berikatan, gamet jantan tersebut harus dikenali oleh reseptornya yang ada pada permukaan zona pelusida yang sifatnya komplementer (Miller & Ax 1990; Wassarman 1994). Reseptor untuk spermatozoa tersebut, akan membatasi perlekatannya dengan spermatozoa dari spesies heterolog dengan oosit yang belum dibuahi, atau mencegah perlekatan spermatozoa dari spesies yang homolog dengan oosit yang telah dibuahi (Epifano & Dean 1994).

ZP3 tersusun dari kerangka polipeptida, tempat asparagine-(N-) dan serine/threonine-(O-) yang mengikat oligosakarida bertaut (Wassarman 2002). Juluran-juluran rantai oligosakarida tersebut persebaran dan jenisnya berbeda antar spesies mamalia (Parillo et al. 2001). Susunan sakarida zona pelusida tersebut berkaitan dengan tahapan perkembangan folikel (Parillo et al. 1999). Galaktosa, N-asetilglukosamin, dan fukosa merupakan gula-gula yang sangat penting dalam pengikat spermatozoa mencit (Wassarman 2002), sedangkan pada kelinci dan hare gula-gula pengikatnya adalah D-galaktosamin dan N-asetil

(8)

glukosamin (Parillo & Verini-Suplizi 2001). Perlekatan yang spesifik pada setiap spesies mamalia diperantarai oleh karbohidrat (Wassarman 2002).

Perlekatan antara spermatozoa dengan reseptornya pada zona pelusida mengakibatkan spermatozoa mengalami reaksi akrosom, semacam eksositosis seluler (Epifano & Dean 1994). Reaksi akrosom mendorong terjadinya perlekatan enzim proteolitik yang diperlukan spermatozoa agar bisa menembus matriks zona pelusida, dan mereka ulang (remodelling) permukaan spermatozoa agar tetap terjadi perlekatan dengan zona pelusida untuk selanjutnya dapat menyatu dengan membran oosit (Wassarman 2002). Dalam reaksi akrosom tersebut ada beberapa komponen penghantaran sinyal yang terlibat seperti: protein-G, inositol 3,4,5 triposfat, reseptor IP3, posfolipase-C, Ca++, dan kanal Ca++. Enzim-enzim kortikal yang ada pada kepala spermatozoa akan membuat ZP2 dan ZP3 menjadi ZP2f dan ZP3f, sehingga terjadi perubahan yang dramatik pada permukaan zona pelusida (Vanroose et al. 2000). Perubahan struktur zona pelusida tersebut membuat zona pelusida menjadi lebih kaku dan mengalami pengerasan (hardening). Tingkat kekakuan dan pengerasan yang terjadi sebanding dengan bertambah banyaknya jumlah ikatan menyilang ZP1 yang menautkan ZP2 dengan ZP3 (Familiari et al. 2006). Proses pembuahan yang mengakibatkan ZP berubah sedemikian rupa, membuat spermatozoa yang datang belakangan tidak dapat mengenali dan tidak menempel pada glikoprotein zona pelusida yang telah terbuahi (Wassarman 2002). Matriks zona pelusida tersebut tetap melindungi embrio yang membelah selama perlintasannya menuju uterus di dalam tuba fallopi, sebelum embrio tahap blastosis tersebut hatched dari zona pelusida menjelang implantasi. (Vanroose et al. 2000).

Di Indonesia pelaporan terhadap cemaran agen infeksius dan upaya memahami peranan zona pelusida embrio sebagai penahan infeksi, dan kemungkinan penularan agen infeksius melalui embrio belum banyak dilaporkan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pencemaran embrio dengan model menggunakan agen infeksius yang umum dan secara ekonomis penting bagi Indonesia, seperti E.coli K99.

2.4 Peranan zona pelusida sebagai barier embrio terhadap bakteri patogen Embrio secara alami memiliki pelindung yang dikenal sebagai zona pelusida. Zona pelusida mamalia merupakan pembungkus ekstraseluler yang terdiri dari glikoprotein aseluler dan terbentuk selama perkembangan oosit. Pada

(9)

kebanyakan spesies hewan, zona pelusida membungkus oosit dan embrio dari beberapa saat setelah oosit terbentuk, hingga embrio mencapai tahap implantasi dini, dan melindungi dari kerusakan mekanik selama ovulasi dan perjalanannya sepanjang saluran reproduksi betina (Wassarman et al. 1999). Zona pelusida mempunyai peran yang spesifik pada tahap awal fertilisasi, seperti pengikatan sperma, penyusupan dan menghambat terjadinya pembuahan polispermia (Jones et al. 1990; Wassarman et al. 1999). Di samping itu, zona pelusida berperan penting sebagai cangkang pelindung sel-sel embrio, namun demikian secara tidak sengaja dapat membawa agen-agen infeksi dalam penyebaran penyakit ternak melalui embrio transfer (Stringfellow & Seidel 1990). Dalam sejumlah studi dilaporkan bahwa embrio yang terbebas dari zona pelusida dapat berkembang secara in vitro (Boediono et al. 1993), namun perkembangan selanjutnya tergantung pada tahap zona pelusida itu disingkirkan, misalnya pada tahap 2, 4, atau 8 sel (Konwinski et al. 1978; Lai et al. 1994). Pada babi dilaporkan bahwa oosit babi yang tidak memiliki zona pelusida dan dilakukan fertilisasi in vitro terhadapnya, dapat berkembang menjadi embrio dan lahir menjadi anak babi yang normal (Wu et al. 2004).

Transfer embrio intact (masih memiliki ZP) yang sebelumnya telah dipaparkan ke agen penyakit, ternyata dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada resipien dan janin. Pasca pemaparan zona pelusida secara morfologi dan kimiawi agak mirip, akan tetapi bentuk permukaannya agak beragam. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan tenacity tempat bertautnya agen ke embrio. Pada embrio babi, baik virus beramplop maupun yang tidak, dapat melekat erat ke zona pelusida dan tidak bisa disingkirkan dengan pembasuhan tripsin. Sedangkan embrio domba daya lekatnya lebih lemah dari embrio babi, namun lebih kuat dibandingkan dengan embrio sapi (Wrathall 1995).

2.5 Kriopreservasi embrio

Embrio yang diproduksi baik secara in vivo mau pun in vitro bila tidak dimanfaatkan secara langsung dapat diawetkan dengan pembekuan, dan jika diperlukan embrio tersebut dapat ditransfer ke resipien yang sedang bunting semu. Embrio beku dapat disimpan dalam waktu yang lama, dapat dikemas dalam kemasan kecil, membuatnya memiliki keunggulan untuk diperdagangkan secara internasional (Wrathall 1995).

(10)

Dalam proses pembekuan atau kriopreservasi digunakan krioprotektan dalam medium pembeku untuk mereduksi pengaruh letal akibat proses kriopreservasi sel, terutama pengaruh kristal es baik intraseluler maupun ekstraseluler. Selama beberapa tahun belakangan ini, untuk peningkatan aplikasi dan efisiensi, embrio dari berbagai spesies mamalia telah dikriopreservasi dengan pengembangan berbagai metode kriopreservasi. Beberapa metode kriopreservasi pada saat ini antara lain: metode konvensional dengan metode pendinginan lambat (slow freezing) dan pendinginan cepat (rapid freezing), serta metode alternatif yang dikenal dengan vitrifikasi. Vitrifikasi adalah proses pemadatan cairan yang mengandung krioprotektan konsentrasi tinggi pada suhu -196° C tanpa pembentukan kristal es sehingga terlihat seperti kaca (Rall & Fahy 1985). Keuntungan dari vitrifikasi adalah tidak memerlukan mesin khusus dan waktu pengerjaannya relatif mudah, murah, dan singkat. Penggunaan konsentrasi krioprotektan yang tinggi membawa konsekuensi pada tingkat toksisitas. Etilen glikol (EG) merupakan salah satu krioprotektan yang paling rendah tingkat toksisitasnya serta memiliki daya permeasi yang cepat sehingga sangat baik digunakan sebagai krioprotektan. Di samping etilen glikol, krioprotektan yang sering dikombinasikan dengannya untuk vitrifikasi adalah dimetilsulfoksida (DMSO). DMSO lebih toksik dibandingkan EG (Lane et al. 1999; Mukaida et al. 2003; Takahashi et al. 2005). Namun demikian dengan penambahan sukrosa kedalam larutan vitrifikasi selain dapat menurunkan toksisitas juga dapat mengurangi efek dari perubahan tekanan osmotik (osmotic shock). Pada proses vitrifikasi, sebagai carrier embrio dapat digunakan electron microscope grid (Son et al. 2003), straw berdinding tipis (Vajta et al. 1998), hemistraw (Vanderzwalmen et al. 2003), atau kriolup (Takahashi et al. 2005)

Kemajuan di bidang bioteknologi reproduksi atau rekayasa embrio berdampak pada peningkatan kebutuhan terhadap embrio. Namun demikian, terbatasnya daya tahan embrio di luar tubuh induk merupakan salah satu kendala di dalam upaya penyediaan embrio secara berkesinambungan baik untuk keperluan aplikasi mau pun penelitian. Salah satu upaya pengadaan embrio secara berkesinambungan adalah melalui pembuatan bank embrio dengan penerapan teknik kriopreservasi (penyimpanan dengan bentuk beku), yaitu menyimpan embrio pada suhu -196°C (Lane et al. 1999). Dengan teknik ini embrio dapat disimpan dalam waktu yang lama serta memudahkan dalam hal waktu dan transportasi. Embrio beku dapat digunakan di kemudian hari untuk

(11)

keperluan transfer embrio guna meningkatan produksi ternak, sebagai bahan penelitian secara in vitro, dan penyelamatan plasma nutfah hewan-hewan liar dalam menunjang konservasi atau hewan yang bernilai ekonomis tinggi.

Di samping itu dalam proses vitrifikasi embrio, carrier kriolup yang dipakai umumnya secara komersial terbuat dari bahan nilon. Namun pada penelitian ini, kriolup yang dipakai dibuat dari filamen kawat tembaga yang merupakan hasil modifikasi, dan diupayakan mendekatkan situasinya dengan kriolup yang umum dipakai di negara-negara maju.

2.6 Embrio transfer dan penularan penyakit

Kultur embrio kini mampu mendukung teknologi reproduksi, dan semakin banyak diterapkan pada ternak. Kultur embrio tidak saja mampu secara cepat memperbanyak produksi embrio dengan kualitas genetik sangat bagus, tetapi juga dipakai untuk memproduksi clone dan hewan transgenik. Embrio tersebut agar dapat berkembang lebih lanjut harus ditransfer ke induk resipien, dan tingkat keberhasilan embrio transfer berdasarkan suatu studi yang dilakukan sangat beragam, mulai dari 9% hingga 47% (Peterson & Lee 2003).

Semenjak penyakit sapi gila (bovine spongyform enchephalopaties /BSE) beserta penyakit mulut dan kuku mewabah di Eropa tahun 2001, perekonomian mengalami tekanan, di samping adanya persaingan internasional yang semakin berat. Akibat kesulitan ekonomi tersebut, pemanfaatan teknik-teknik reproduksi dikurangi pada ternak. Peningkatan produksi ternak tidak lagi menjadi prioritas, dan sumberdaya diarahkan ke pertanian ramah lingkungan yang berkelanjutan dan kesejahteraan hewan (animal welfare). Dalam suasana seperti tersebut, arah dan penggunaan teknologi embrio tidak lagi oleh peternak, tetapi oleh perusahan-perusahan yang bergerak dalam bidang genetik dan usaha pembibitan (breeder) yang mengharapkan keuntungan dari penjualan semen, embrio, dan hewan. Masalah ke dua yang dihadapi Eropa adalah sikap khawatir masyarakatnya terhadap produk bioteknologi, dan salah satunya adalah teknologi embrio (Galli et al. 2003).

Ketakutan masyarakat terhadap produk-produk bioteknologi tersebut karena adanya kemungkinan bahan makanan asal hewan tercemar oleh agen penyakit sapi gila yang bersifat fatal pada manusia. Untuk memotong penularan penyakit ke keturunannya, dapat dilakukan dengan mencuci embrio yang kemungkinan tertular, kemudian ditransfer ke induk resipien yang sehat.

(12)

Anak-anak hewan ternak yang dihasilkan terbebas dari penyakit yang diderita induknya, seperti kejadian penyakit virus bovine viral diarrhea (Bak et al. 1992). Kekhawatiran yang berlebihan masyarakat Eropa terhadap infeksi penyakit hasil embrio transfer, seharusnya dapat dikaji dengan penyakit sapi gila.

Terhadap agen penyakit yang mampu melekat ke permukaan embrio dan tidak terbilas dengan menggunakan mPBS atau tripsin seperti yang disarankan IETS (Otoi et al. 1992; 1993), penelitian perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan agen seperti E.coli K99 tersebut ikut ditularkan pada saat embrio transfer, baik menggunakan embrio segar mau pun embrio yang telah dibekukan. Pengawetan embrio salah satunya dapat dilakukan dengan metode vitrifikasi, dan selanjutnya dievaluasi secara in vitro dan in vivo (Lane et al. 1999). Dalam penelitian yang dilakukan kemungkinan dapat dievaluasi perkembangan embrio yang divitrifikasi, baik tercemar atau tidak. Begitu pula evaluasi terhadap perkembangan agen yang mencemari.

Dalam industri peternakan, kriopreservasi embrio mendorong percepatan proses seleksi genetik dan juga menekan biaya program pembibitan karena embrio selalu tersedia pada saat induk resipien secara alami tersedia. Hal ini juga menekan biaya yang diperlukan untuk melakukan penyerentakan birahi pada ternak. Akhirnya teknik kriopreservasi embrio dimanfaatkan pada manusia dalam rangka reproduksi bantuan untuk menyimpan kelebihan produksi embrio, sebagai upaya untuk melakukan kehamilan. Di samping itu kriopreservasi tidak saja berhasil dilakukan pada mencit, manusia dan sapi, tetapi juga pada anjing, kambing, kuda, domba, kelinci, tikus, babi, dan beberapa spesies hewan liar (Wood et al. 2004)

Keberhasilan teknik kriopreservasi di negara-negara maju tersebut, perlu dilakukan penelitian di negara berkembang seperti Indonesia dengan segala keterbatasannya untuk memetik manfaat yang mungkin diperoleh seperti penyelamatan plasma nutfah, memproduksi ternak asli indonesia yang secara genetik unggul, dan mengoptimalkan teknik-teknik pencegahan cemaran organisme tropik terhadap embrio.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, melihat pentingnya profesionalisme auditor, nilai-nilai etika serta pengalaman kerja yang cukup bagi seorang auditor dalam memberikan pertimbangan

data adalah informasi yang berupa angka tentang karakteristik (ciri-ciri khusus) suatu populasi. Sistem Statistik Nasional adalah suatu tatanan yang terdiri

Sauan waktu juga sangat penting untuk kehidupan sehari-hari, seperti menentukan usia, lama sekolah, lama waktu kegiatan, perjalanan bahkan perhitungan dalam sejarah

Ada hal yang menjadi fokus bahasan yaitu tentang perkembangan media sosial, peranan media sosial sebagai upaya pemasaran bisnis online, motivasi bisnis para ibu rumah tangga,

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: (1) latar belakang pendidikan dan pengalaman politik (partai) dari Sudiro, (2) usaha-usaha Sudiro dalam

Penggunaan metode Simplex Lattice Design diharapkan dapat memperoleh formula yang optimum dari gel antiseptik tangan fraksi etil asetat daun kesum ( Polygonum minus Huds

Tabel di atas menunjukkan bahwa kadar alkohol terendah didapatkan pada perlakuan waktu inkubasi 18 hari yaitu 3,99%, hal ini disebabkan alkohol yang ada digunakan

Metode analisis data menggunakan path analysis dengan bantuan spss 22 Hasil penelitian yang menggunakan metode analisis jalur didapatkan data bahwa