• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSES LAHIRNYA PERJANJIAN LISENSI. A. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PROSES LAHIRNYA PERJANJIAN LISENSI. A. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Hukum Kontrak

Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang bersangkutan. Jika memperhatikan perjanjian-perjanjian yang sering dibuat dalam praktek kehidupan sehari-sehari, maka didapati ada perjanjian-perjanjian yang pada dasarnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun tidak tertutup kemungkinan, adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian-perjanjian tersebut-lah yang dinamakan perjanjian tidak bernama. Tetapi apapun jenis perjanjiannya, asas-asas yang terkandung dalam perjanjiannya tidak akan lepas dari asas-asas hukum perikatan

Banyak pendapat para ahli hukum tentang asas-asas dalam suatu perjanjian, namun pada dasarnya hal tersebut bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan keadilan berdasarkan asas konsensualitas (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian). Tabel 1 pada halaman berikutnya berisi pendapat para ahli hukum tentang asas-asas suatu perjanjian.

(2)

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian56

Nama Ahli Hukum NO

J.H. Nieuwhuis Mariam Darus B.

Sudikno Mertokusumo

1

Asas Otonomi (adanya kewenangan mengadakan

hubungan hukum yang mereka pilih diantara mereka)atau asas kemauan

yang bebas. Asas Konsensualitas (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian) 2

Asas Kepercayaan (adanya kepercayaan yang ditimbulkan dalam perjanjian

itu yang perlu dilindungi) atau asas melindungi pihak

beritikad baik. Asas Kekuatan Mengikatnya suatu Perjanjian (berhubungan dengan akibat suatu perjanjian) 3

Asas Kausa (adanya saling ketergantungan dalam suatu cara dan tujuan sehubungan dengan adanya perikatan

yang timbul karena perjanjian)

Asas Kepercayaan Asas Persamaan Hukum

Asas Keseimbangan Asas Kepastian Hukum

Asas Moral Asas Kepatutan Asas Kebiasaan Asas Perlindungan (Protection) Asas Kebebasan Berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian) Dari penjelasan di atas, maka terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian, yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisa Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian

56

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/1.pdf, Asas Hukum Perikatan, diakses tanggal 10 Juni 2010

(3)

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

dan dipertegas dengan ketentuan ayat (2) yang berbunyi : Perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.57

Secara umum kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sebagai asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian.

2. Asas Konsensualitas

Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat perjanjian, yaitu pada syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. Asas konsensualitas berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Asas konsensualitas hanya berarti bahwa untuk setiap perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Arti asas konsensualitas ialah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak.58 Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila masing-masing pihak sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.

57

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Puja Grafindo Persada, Jakarta, hal 18

58

(4)

Terhadap asas konsensualitas itu terdapat juga pengecualian, yaitu apabila dengan undang-undang ditetapkan formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, artinya apabila tidak dibuat menurut bentuk cara yang dimaksud, maka perjanjian tersebut diancam batal. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.59

3. Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang” Selain itu, pada asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga) harus menghormati dan tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. 4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak.

Asas itikad baik ini dibagi 2 (dua) : itikad baik nisbi, dimana orang memperhatikan tingkah laku nyata orang atau subjek. Sedangkan itikad baik mutlak, penilaiannnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dan penilaian

59

(5)

keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif (penilaian yang tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.60

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata juga menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang tersurat dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga.61

Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak darinya. Jika dibandingkan dengan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan :

a. diri sendiri,

60

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/1.pdf, Asas Hukum Perikatan, diakses tanggal 10 Juni 2010

61

(6)

b. ahli warisnya, dan

c. orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Selain itu, Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata tentang ruang lingkupnya yang luas.

Disamping itu, menurut Mariam D.B.(1997) terdapat rumusan 8 (delapan) asas hukum perikatan nasional, yaitu :

a. asas kepercayaan, b. asas persamaan hukum, c. asas keseimbangan, d. asas kepastian hukum, e. asas moral,

f. asas kepatutan, g. asas kebiasaan, h. asas perlindungan.

Dari semua penjelasan tentang asas-asas perjanjian, maka asas-asas yang ada saling melengkapi dan dijadikan dasar pijakan para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak.62

Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar. Singkatnya, pada umumnya kontrak bisnis justru berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba untuk dipertemukan melalui kontrak. Melalui kontrak perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam kontrak bisnis pertanyaan mengenai sisi

62

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/2.pdf, Asas Hukum Perikatan Nasional, diakses tanggal 10 Juni 2010

(7)

kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.63

Undang-undang tidak memberikan pengertian tentang Perikatan. Oleh karena itu harus disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III itu sendiri. Dalam Buku III dapat disimpulkan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terletak di bidang hukum kekayaan yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas Prestasi sedangkan pihak yang lain wajib melaksanakan / memenuhi Prestasi tersebut.” Kalau diteliti dalam pengertian tersebut terkandung beberapa aspek.

1. Hukum

Jika perlu Prestasi yang diperjanjikan itu dapat dipaksakan realisasinya. 2. Hukum Kekayaan

Bahwa apa saja yang diperjanjikan menyangkut hal-hal yang dapat dinilai dengan uang.

3. Hubungan Antar

Hubungan antar orang yang satu dengan yang lain. Jadi, Perikatan itu menghubungkan dua pihak dalam suatu hubungan hukum, dimana bila perlu

63

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/agus-yudha-hernoko/3.pdf, Teori Keadilan

(8)

pihak yang satu dapat menuntut realisasi dari apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Jadi, mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang.64

Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata adalah:

"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih"

Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas menurut para sarjana mengandung banyak kelemahan. Menurut Muhamad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena,

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Dapat dilihat dari rumusan "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya". Kata "mengikatkan" sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan "kedua pihak saling mengikatkan diri" dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan "mencakup" juga tanpa konsensus

Pengertian "perbuatan" termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata "persetujuan".

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Hal ini disebabkan karena mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan

Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.65

Sedangkan menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.66

64

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Perikatan, diakses tanggal 20 Oktober 2010

65

Abdul Kadir Muhamad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal 78.

66

(9)

Para sarjana yang merasa bahwa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini mengandung banyak kelemahan, memberikan rumusan mengenai arti perjanjian.

Perjanjian menurut R.Subekti adalah :

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.”67

Menurut R.Wirjono Projdjodikoro, juga menyatakan pengertian dari perjanjian yaitu: “Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”68

Menurut Doktrin lama,

“Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”69

Menurut Rutten,

“Perjanjian adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah

67

Subekti R., Op.cit, hal 1.

68

Wiryono Pradjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, PT. Bale Bandung, Bandung, 1981, hal 9.

69

(10)

satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.”70

Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne,

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”71

Dalam definisi perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa perjanjian (overeenkomst) mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu/lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak ) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Hal ini memberi konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (Kreditor).72 Definisi ini kurang lengkap atau tidak secara lengkap menggambarkan tentang suatu perjanjian, karena:

1. Definisi hanya menyangkut Perjanjian sepihak, yakni Perjanjian dimana satu pihak saja yang berkewajiban melaksanakan suatu Prestasi. Jadi definisi tersebut tidak menyinggung tentang Perjanjian Timbal Balik yang merupakan bagian terbesar dari perjanjian-perjanjian yang ada.

70

Purwahid Patrik, Hukum Perdata II Jilid I , Mandar Maju, Bandung, 1988, hal 1-3

71

Ibid, hal 161.

72

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Grafindo Persada, Jakarta, hal 92

(11)

2. Istilah “Perbuatan” tersebut terlalu luas, karena disamping menyinggung Perjanjian juga perbuatan-perbuatan lain yang bukan merupakan perjanjian. Lebih baik untuk kata “perbuatan” ini istilahnya diganti dengan “perbuatan hukum”, karena yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah perjanjian sebagai sumber Perikatan.

3. Tidak dipenuhinya syarat “kata sepakat”, padahal syarat tersebut merupakan intisari suatu perjanjian. 73

Perjanjian yang sah artinya adalah perjanjian yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang, sehingga ia diakui oleh hukum (Legally Conclude Contract)74 dan syarat-syarat sahnya perjanjian diatur pada pasal 1320-1327 dalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata, yakni:

1. Kata Sepakat 2. Kecakapan 3. Hal Tertentu 4. Causa yang halal

Kesepakatan mengandung arti bahwa antara kedua pihak sudah saling menyetujui segala sesuatu yang diperjanjikan. Namun dalam membuat perjanjian adakalanya terjadi gangguan yang dapat menjadikan kata sepakat tersebut terganggu (dalam arti menjadi tidak sempurna). Sempurna artinya bebas dari segala pengaruh

73

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Perjanjian, diakses tanggal 20 Oktober 2010

74

(12)

orang ketiga: Gangguan dapat berupa : paksaan, kekhilafan, penipuan. Dalam hal itu maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. 75

Dikarenakan Undang-Undang tidak membuat suatu ukuran mengenai kapan momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak tersebut, maka muncul beberapa teori untuk menjawab permasalahan tersebut diantaranya

1. Teori Ucapan (uitingstheorie)

Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihakyang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan dari teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 2. Teori Pengiriman (verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini adalah tentang bagaimana dapat diketahuinya hal tersebut karna bisa saja walau sudah dikirim tetapi tidak dketahui oleh yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya ( tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya. 4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.76

Selain itu, ada tiga teori yang mencoba menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, yang dikemukan oleh Van dunne yaitu

1. Teori Kehendak (wilstheorie)

Menurut teori kehendak, bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah

75

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Teori Hukum Kesepakatan, diakses tanggal 20 Oktober 2010

76

(13)

yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.

2. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Menurut teori ini, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi. Dalam prakteknya, teori ini menimbulkan kesulitan-kesulitan, bahwa apa yang dinyatakan berbeda dengan apa yang dikehendaki. 3. Teori Pernyataan (verklaringstheorie)

Menurut teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai.77

Timbulnya ketiga teori ini disebabkan adanya kasus yang terjadi pada tahun 1856 di Keulun/Koln/Collegne Belanda yaitu Kasus Oppenheim versus Weiller dengan duduk perkara yang dimulai dari adanya pesan dari Oppenheim kepada Weiller atas 1000 helai saham untuk dibelinya. Pesan tersebut disampaikan melalui telegram. Kebetulan, telegram membuat kesalahan, yakni bukan membeli tetapi menjual saham. Weiller yang menerima pesan tersebut menjual saham Oppenheim. Pembeli saham minta penyerahan saham tersebut. Tetapi karena saham-saham itu tidak dipegang oleh Oppenheim, maka Weiiler minta penyerahan saham-saham tersebut dari Oppenheim. Pada saat itu Oppenheim baru tahu jika terjadi kekeliruan. Oppenheim menolak menyerahkan saham-sahamnya karena tidak menghendaki

penjualan saham. Karena Oppenheim menolak, maka Weiller terpaksa membeli saham-saham tersebut, untuk diserahkan kepada pembeli, sehingga ia rugi. Karena

77

(14)

rugi tersebut lalu ia menuntut Oppenheim yang menimbulkan permasalahan apakah jual beli saham tersebut oleh Weiller kepada orang ketiga sah atau tidak?78

Menurut Teori Kehendak, maka dianggap tidak tercapai suatu Kata Sepakat, karena tidak dicapai persesuaian kehendak, yakni Oppenheim tidak menghendaki penjualan saham sedangkan menurut Teori Kepercayaan, dapat dianggap tercapai kata sepakat (consensus), karena telah tecapai suatu kepercayaan antara Weiller dan orang ketiga, yakni percaya bahwa Weiller memang berhak menjual. Orang ketiga percaya bahwa Weiller berwenang. Putusan pengadilan (menganut Teori Kehendak) menganggap bahwa dalam kasus ini tidak ada perjanjian (kata sepakat). Akan tetapi Oppenheim diwajibkan oleh Pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada Weiller

berdasarkan pertimbangan Oppenheim telah menggunakan alat penghubung yakni telegram yang diragukan ketepatannya.79

Pengadilan menentukan adanya 3 (tiga) macam pengaruh terhadap kata sepakat yang sedemikian rupa, sehingga kata sepakat itu menjadi tidak sempurna, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian dapat dituntut pembatalannya

(sah dengan kemungkinan dituntutnya pembatalan).

yakni:

1. Kemungkinan terjadinya paksaan ini terbagi atas dua macam yakni, paksaan fisik dan paksaan batin. Yang dimaksud Undang-Undang dalam hal ini adalah paksaan

78

http://irdanuraprida.blogspot.com/search/label/Hukum%20Perikatan , Kasus Oppenheim vs Weiller, diakses tanggal 20 Oktober 2010

79

(15)

batin, yakni berupa ancaman yang dapat dilakukan oleh pihak- pihak yang membuat perjanjian.

2. Kemungkinan terjadinya kekhilafan dalam membuat perjanjian. Khilaf artinya mempunyai gambaran yang keliru tentang apa yang diperjanjikan oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Misalnya, seseorang membeli lukisan yang disangkanya adalah hasil dari pelukis terkenal. Akan tetapi ternyata bukan. Dalam hal ini terjadi khilaf tentang obyek perjanjian. Kekhilafan dapat juga mengenai orangnya, dengan siapa perjanjian itu dibuat, misalnya, dibuat perjanjian tentang pertunjukkan yang akan diselenggarakan dengan penyanyi yang terkenal. Akan tetapi ternyata penyanyi tersebut hanya orang yang mirip dengan penyanyi tersebut.

3. Kemungkinan terjadi penipuan. Penipuan adalah suatu rangkaian kebohongan yang dilakukan dengan tipu muslihat. Jadi, disyaratkan, adanya tipu muslihat dan tidak cukup hanya dengan kebohongan saja. Misalnya: Kebohongan: Penjual memuji barangnya, padahal barang yang dijualnya buruk. Penipuan: Orang yang menjual mobil lama yang telah digosok sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan seolah-oleh masih baru.80

Asas konsensualitas merupakan induk dari asas-asas hukum perikatan dengan mengingat salah satu unsur-unsur objektif dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni kesepakatan antara para pihak yang membuatnya namun isi

80

(16)

dari perjanjian dibatasi kepada objek yang halal dalam arti tidak melanggar hukum dan nilai-nilainya.

Dari asas konsensualitas, lahir asas hukum perikatan lainnya yaitu asas pacta sunt servanda yang mengandung definisi bahwa perjanjian yang dibuat secara sah

merupakan undang-undang bagi pihak yang membuatnya sehingga berfungsi sebagai suatu batasan yang mengikat bagi segala bentuk pelanggaran terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian antara kedua belah pihak tersebut.

Asas kebebasan berkontrak yang menjiwai pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga merupakan benih hukum yang ditanamkan oleh asas konsensualitas sehingga memberikan ruang yang seluas luasnya bagi setiap pihak untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur dalam peraturan hukum perdata, maupun yang tidak dan belum diatur dalam hukum perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum dan kesusilaan.

Asas konsensualitas memegang peranan yang krusial sebagai payung hukum serta untuk memberikan perlindungan terhadap perjanjian-perjanjian atau kontrak-kontrak baru yang belum diatur dalam Undang-Undang mengingat pesatnya perkembangan dalam dunia bisnis yang belum terjangkau oleh roda hukum. Intinya, setiap kontrak yang walaupun belum diatur dalam Undang-Undang, telah mempunyai akibat hukum yang mengikat sepanjang sebelumnya telah disepakati bersama berdasarkan asas konsensualitas.

(17)

Apabila Asas konsensualitas dikaitkan dengan dengan perjanjian lisensi yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini, maka dapat ditentukan bahwa perjanjian terhadap pemberian lisensi dapat diberikan dalam dua bentuk yaitu :

1. Perjanjian Lisan 2. Perjanjian Tertulis

Hal ini sesuai dengan pembagian klasifikasi bentuk perjanjian yang dipaparkan oleh Sudikno Mertokusumo dimana, perjanjian dapat dibuat secara tertulis atau hanya secara lisan.81

Tanpa perjanjian, pemberian lisensi pada dasarnya sudah muncul dengan adanya kesepakatan (consensus) dengan didasarkan pada asas konsensualitas dengan menggunakan teori-teori tentang momentum terjadinya kesesuaian kehendak maupun teori-teori tentang ketidaksesuaian pernyataan dan kehendak yang telah dipaparkan sebelumnya pada alinea sebelumnya dalam bab ini.

Perjanjian lisensi yang dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis mengikat para pihak yang terlibat didalam isi perjanjian tersebut yaitu pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi sehingga mempunyai akibat hukum seperti layaknya perjanjian-perjanjian lainnya baik perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun jenis perjanjian lainnya diluarnya mengingat adanya asas kebebasan berkontrak yang memberikan peluang yang seluas-luasnya terhadap proses pembuatan kontrak baru sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

81

(18)

Adapun isi dari perjanjian lisensi tersebut mengikat para pihak yang membuatnya sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang menekankan keberadaan perjanjian sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut khusus terhadap pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi.

Dalam prakteknya, banyak ditemui adanya jenis pemberian lisensi yang didasarkan kepada kesepakatan yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk Memorandum of Understanding tanpa diteruskan kepada pembuatan perjanjian lisensi yang pada akhirnya memunculkan polemik terhadap legalitas pemberian lisensi tersebut.

Dengan diberikannya keleluasaan untuk mengadakan perjanjian secara lisan walaupun tidak dicantumkan secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka dapat ditarik konklusi bahwa dengan adanya kesepakatan dari suatu pihak pemilik suatu HaKI untuk memberikan lisensi kepada pihak lain dan kesepakatan dari pihak tersebut untuk menerima lisensi yang bersangkutan, sudah cukup untuk melahirkan suatu perjanjian lisensi lisan.

Namun disebabkan karena sulitnya pembuktian terhadap perjanjian lisan, maka perjanjian lisan sering dihindari karena tidak memuat kepastian dalam segi hukum, namun akan berbeda keadaannya, pada saat kesepakatan, untuk memberikan suatu lisensi tersebut, dituangkan kedalam suatu nota kesepahaman yang juga menunjukkan pengertian yang tersirat bahwa pemberian lisensi dengan membuat MoU pada dasarnya suatu membentuk perjanjian lisensi lisan yang tidak perlu diikuti oleh perjanjian lisensi tertulis, karena perjanjian yang dibuat secara lisan adalah sah

(19)

apabila dapat dibuktikan. Dengan kata lain, pemberian lisensi dengan MoU adalah bentuk perjanjian lisensi lisan.

Eddy Damian dalam keterangannya sebagai saksi ahli pada kasus Novotel Indonesia versus ACCOR memberikan penjelasan tentang pemberian lisensi dengan MoU tanpa diikuti perjanjian Lisensi, adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Hak Eksklusif dari suatu merek, dimiliki oleh pemegang merek dan apabila hendak dialihkan, harus ada izin dari pemegang merek dengan membuat suatu perjanjian.

2. Bahwa MoU adalah suatu persyaratan/ statement dari para pihak yang akan diajukan dan akan nada susulan dari MoU tersebut, dalam arti bahwa MoU merupakan suatu pernyataan yang harus diikuti dengan perjanjian.

3. Bahwa MoU mempunyai daya mengikat, setelah adanya perjanjian lisensi, bila tidak ada, maka MoU menjadi sesuatu yang disebutkan dengan Goodwill Business.

4. Bahwa suatu merek Luar Negeri, merupakan suatu keharusan juga untuk didaftarkan di Direktorat. Jenderal. HAKI Indonesia.82

Dalam kesaksiannya, Eddy Damian mencoba memberikan gambaran bahwa MoU merupakan bentuk nota kesepahaman yang dituangkan secara tertulis, dalam bentuk tertulis, dapat berisi segala macam tindakan ataupun perbuatan hukum yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang, namun perlu dicermati bahwa tindakan / perbuatan hukum tersebut belum dilakukan, dan hanya merupakan rencana untuk melaksanakan, sehingga tidak pantas dipandang sebagai suatu perjanjian konkrit terhadap isi dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam MoU tersebut. Dalam konklusinya, MoU tanpa di follow up oleh perjanjian lisensi, bukan suatu perjanjian lisensi, dan berlaku sebaliknya.

82

Putusan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan Nomor 01/Merek/2008/PN. Niaga.Mdn

(20)

Sedangkan Tan Kamello dalam keterangannya sebagai saksi ahli pada kasus Novotel Indonesia versus ACCOR memberikan penjelasan tentang pemberian lisensi dengan MoU tanpa diikuti perjanjian Lisensi, adalah sebagai berikut :

1. Bahwa perjanjian dapat dilakukan dengan bahasa isyarat, dapat dilakukan secara lisan dan dapat dilakukan secara tertulis

2. Bahwa MoU tidak ada diatur di dalam KUHPerdata, tetapi saksi menyatakan bahwa MoU adalah hubungan antara dua orang atau lebih mengenai sesuatu hal yang belum menimbulkan akibat hukum, oleh karena belum menimbulkan akibat hukum, maka MoU itu berada dalam suatu fase yang dinamakan Pra Kontrak. 3. Bahwa MoU apabila telah dijalankan isinya sebahagian atau seluruhnya, maka

MoU secara otomatis telah menjadi kontrak, jadi MoU dapat berubah menjadi kontrak apabila telah dijalankan, namun apabila MoU tidak dijalankan oleh para pihak, maka MoU itu tidak pernah berubah menjadi Hukum.83

Dalam kesaksiannya, Tan Kamello menyatakan bahwa MoU pada dasarnya merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuatnya terkesan menghubungkan dengan asas hukum perikatan yaitu asas pacta sunt servanda, yang mengandung pengertian bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuat.

Beliau juga memberikan gambaran penting terhadap eksistensi dari suatu MoU yang telah dilaksanakan, atau tidak pernah dilaksanakan sama sekali merupakan kunci tunggal penentu keefektifan berlakunya suatu MoU bagi pihak-pihak yang membuatnya, mengingat bahwa apabila suatu MoU telah dilaksanakan isinya oleh kedua belah pihak bagi secara sadar ataupun tidak, maka, MoU tersebut telah menjelma menjadi hukum serta Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuat

83

(21)

tanpa harus membuat perjanjian konkrit atas perbuatan hukum yang telah dilaksanakan tersebut.

Dalam konklusinya, MoU yang terjadi antara pihak penggugat dan tergugat telah menjelma sebagai suatu perjanjian lisensi antara kedua belah pihak dengan mengingat dan mempertimbangkan bahwa isi dari kesepakatan tersebut telah dilaksanakan oleh kedua belah pihak sebagaimana mestinya, walaupun perjanjian lisensinya tidak pernah dibuat sebelumnya.

B. Tinjauan Yuridis Perjanjian Lisensi Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Mengingat pentingnya Perjanjian Lisensi ini bagi pertumbuhan dan perkembangan industri secara khusus dan peningkatan ekonomi secara umum, maka Pemerintah RI telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lisensi dan perjanjian lisensi dalam beberapa undang-undang, khususnya Undang-undang di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Namun dalam perkembangannya, dengan semakin berkembangnya teknologi, pengaturan mengenai lisensi dan perjanjian lisensi tersebut ternyata masih belum dapat membantu proses alih teknologi sebagaimana yang diinginkan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika saat ini ada tuntutan kebutuhan untuk pengaturan perjanjian lisensi dalam rangka menciptakan peraturan hukum yang lebih memadai.84 Pengaturan mengenai perjanjian lisensi ini penting karena perjanjian lisensi yang selama ini dibuat dengan berlandaskan pada asas: konsensualitas, pacta sunt servanda dan kebebasan berkontrak sebagai asas hukum

84

Drs. C.S.T. Kansil, SH., Hak Milik Intelektual (Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta), Jakarta, Sinar Grafika, 1997, hal 5

(22)

perjanjian, selalu menjadi ajang perebutan dominasi di antara para pihak dalam perjanjian tersebut, sehingga sering menimbulkan perselisihan di antara mereka.

Oleh karena itulah perlu dibuat suatu pengaturan yang lebih baik lagi yang mengikutsertakan pihak di luar pemberi dan penerima lisensi dalam menentukan hal-hal lainnya sehingga dengan adanya pengaturan mengenai perjanjian lisensi ini, pembuatan perjanjian lisensi tidak hanya berdasarkan kesepakatan (consensus) kedua belah pihak tetapi juga berdasarkan Peraturan Pemerintah yang dibuat untuk itu.

Lisensi adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI), termasuk memberikan persetujuan atau izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Seperti misalnya di dalam undang-undang tentang Merek mengatur bahwa pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.85

Dalam beberapa definisi yang ada dalam ketentuan undang-undang di bidang HAKI khususnya Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 diperoleh gambaran bahwa hakekat lisensi atau lisensi yang sebenarnya adalah Pemberian izin oleh Pemegang HAKI baik yang berupa Merek Dagang atau Merek Jasa, kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk:

“…menggunakan Merek tersebut, baik seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu”.

85

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, hlm. 46.

(23)

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian lisensi yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek adalah sebagai berikut :

Pasal 1 (13) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik Merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.

2. Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain, untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan Merek terdaftar yang bersangkutan.

3. Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. 4. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Direktorat

Jenderal dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Pemilik Merek terdaftar yang telah memberikan Lisensi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) tetap dapat menggunakan sendiri

(24)

atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk menggunakan Merek tersebut, kecuali bila diperjanjikan lain.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Dalam perjanjian Lisensi dapat ditentukan bahwa penerima Lisensi bisa memberi Lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga.

Pasal 46 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Penggunaan Merek terdaftar di Indonesia oleh penerima Lisensi dianggap sama dengan penggunaan Merek tersebut di Indonesia oleh pemilik Merek.

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

1. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.

2. Direktorat Jenderal wajib menolak permohonan pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis penolakan beserta alasannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemilik Merek atau Kuasanya, dan kepada penerima Lisensi.

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

1. Penerima Lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian Lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian Lisensi.

(25)

2. Penerima Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemberi Lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayaran royalti kepada pemilik Merek yang tidak dibatalkan.

3. Dalam hal pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalti secara sekaligus dari penerima Lisensi, pemberi Lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik Merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian Lisensi.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Syarat dan tata cara permohonan pencatatan perjanjian Lisensi dan ketentuan mengenai perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Perjanjian lisensi merek merupakan salah satu sarana untuk melindungi suatu merek dari tindakan pelanggaran dan kejahatan merek yang pada umumnya berupa pemakaian merek tanpa izin dan pemalsuan merek (infringement). Perjanjian lisensi merek tidak hanya memberi manfaat bagi pemilik merek selaku licensor, melainkan juga licensee. Bagi pemilik merek, dengan adanya perjanjian lisensi, mereknya akan semakin dikenal oleh konsumen dan dilindungi oleh hukum. Sedangkan bagi penerima lisensi, dapat menggunakan merek orang lain secara aman dan legal. Dalam kaitan dengan ini, selain dapat memberikan perlindungan hukum kepada pemilik hak merek, perjanjian lisensi juga berfungsi untuk menerobos hak merek yang sifatnya khusus (exclusive). Peraturan Pemerintah (PP) tentang perjanjian lisensi merek sebagai salah satu dasar hukum pelaksanaan perjanjian lisensi perlu segera dibuat.

(26)

Kehadiran PP tersebut akan sangat menopang berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.86

Lisensi merupakan pemberian izin yang bersifat komersial, dalam arti memberikan hak dan kewenangan untuk memanfaatkan hak atas paten yang dilindungi secara ekonomis dengan pemberian ijin yang dituangkan dalam perjanjian tertulis. Perjanjian yang dibuat antara pemilik dan penerima lisensi adakalanya mengandung larangan yang dapat merugikan penerima lisensi, sehingga secara tidak langsung negara juga turut dirugikan dengan adanya perjanjian yang tidak imbang. Dengan demikian peran pemerintah dalam mengawasi dan mengontrol sangat diperlukan sehingga perjanjian lisensi mempunyai aspek keseimbangan antara hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima lisensi.87

Berdasarkan analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dapat disimpulkan bahwa pentingnya perlindungan hukum melalui pencatatan lisensi Merek akan membawa dampak terhadap aspek lain yaitu aspek ekonomi, sehingga pengawasan oleh pemerintah melalui pembentukan Peraturan Pemerintah tentang pencatatan perjanjian lisensi merek sudah seharusnya dilakukan.

Masalah penyelesaian sengketa dalam perjanjian lisensi merek dapat dilakukan melalui forum pengadilan (Litigasi) atau melalui forum arbitrase (non

86

http://malpraktik-prasko.blogspot.com/2009/11/tinjauan-hukum-tentang-lisensi-haki.html, diakses tanggal 1 oktober 2010

87

Purba, A.Z.U, 2001, Makalah Dirjen Haki-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta

(27)

Litigasi). Forum arbitrase biasanya sering digunakan dalam penyelesaian antara pemberi dan penerima lisensi merek, hal ini dilakukan karena cara ini dapat dicapai win-win solution dan dapat memenuhi rasa keadilan diantara mereka.

Pemilik merek terdaftar berhak menggunakan sendiri mereknya, atau memberikan kepada pihak lain dan pihak ketiga. Namun, agar pemberian lisensi merek dengan pihak lain tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, sebaiknya pemilik merek yang memberikan lisensi dan orang atau perusahaan penerima lisensi membuat perjanjian yang detil. Jika tidak, pemberi dan penerima lisensi bisa saling bersengketa.88

Peluang timbulnya sengketa semakin besar kalau salah satu pihak mengakhiri perjanjian lisensi sebelum batas waktunya berakhir. Pihak penerima lisensi bisa saja keberatan terhadap pemberi lisensi yang juga pemilik merek jika merek tersebut ditawarkan kepada pihak ketiga. 89

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan pemilik merek terdaftar yang telah memberi lisensi kepada salah satu pihak bisa menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya, kecuali diperjanjikan lain. Pasal 44 tersebut mengandung arti pada dasarnya lisensi eksklusif harus diperjanjikan. Kalau sejak awal ada perjanjian lisensi eksklusif, pihak ketiga yang ditawari akan berpikir dua kali menggunakan merek dimaksud.

88

Yusdinal, 2009, Perlindungan Hukum Terhadap Lisensi Paten, tesis, Undip Semarang, hal 80

89

(28)

Menurut Suharnoko, staf pengajar mata kuliah Perikatan dan Persetujuan Khusus Perdata, serta Hak Kekayaan Intelektual, pengakhiran lisensi sangat tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak. Bisa pula berakhir dengan sendirinya kalau jangka waktu perjanjian sudah habis, atau karena jangka waktu validitas merek yang menjadi basis lisensi itu sudah berakhir. Karena itu, peranan perjanjian kedua belah pihak sejak awal sangat menentukan.90

Jika sejak awal sudah diatur secara gamblang, pemberi dan penerima lisensi seyogianya dapat mengakhiri perjanjian mereka dengan baik. Namun dalam praktik, bisa saja muncul sengketa. Salah satu yang mencuat ke publik adalah lisensi merek Cap Kaki Tiga, yang selama ini dikenal sebagai merek minuman larutan penyegar.

Menurut Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Runtung, Lisensi merek merupakan sebuah izin dari pemberi lisensi merek sekaligus pemilik merek terdaftar, kepada calon penerima lisensi yang dibuat dalam tiga bentuk yaitu perjanjian lisensi lisan, perjanjian lisensi tertulis yang tidak terdaftar dan perjanjian lisensi tertulis yang terdaftar pada Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual.

Namun hanya jenis perjanjian lisensi tertulis yang dicatatkan pada Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual, yang mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga apabila pemilik merek yang sekaligus pemberi lisensi merek digugat oleh pihak lain yang mengaku mempunyai hak terhadap merek yang bersangkutan

90

http://bisnis.vivanews.com/news/read/182269, Perjanjian Lisensi Merek , diakses tanggal 15 Oktober 2010

(29)

sebagaimana ketentuan dari Pasal 47 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Perjanjian lisensi lisan dan tertulis yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual hanya mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut yaitu pihak pemberi lisensi dan pihak penerima lisensi dan mempunyai akibat hukum terhadap pihak-pihak yang bersangkutan tersebut seperti layaknya perjanjian perdatanya lainnya serta segala bentuk pengingkaran terhadap isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dapat dimasukkan dalam kategori perbuatan wanprestasi yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya pasal 1243 – pasal 1252.

C. Pencatatan Lisensi Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, diberikan pengaturan tentang syarat-syarat pembuatan perjanjian lisensi diantara :

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pemilik Merek terdaftar berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima Lisensi akan menggunakan Merek tersebut untuk sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.

2. Perjanjian Lisensi berlaku di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali bila diperjanjikan lain, untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari jangka waktu perlindungan Merek terdaftar yang bersangkutan.

3. Perjanjian Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya dan akibat hukum dari pencatatan perjanjian Lisensi berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan terhadap pihak ketiga. 4. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Direktorat

Jenderal dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

(30)

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Pemilik Merek terdaftar yang telah memberikan Lisensi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) tetap dapat menggunakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk menggunakan Merek tersebut, kecuali bila diperjanjikan lain.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

Dalam perjanjian Lisensi dapat ditentukan bahwa penerima Lisensi bisa memberi Lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga.

Dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek didapatkan pengaturan tentang hak Pemilik Merek untuk memberikan Lisensi terhadap pihak lain yang sifatnya berskala Nasional terkecuali apabila diperjanjikan lain, yang juga sekaligus mencerminkan sifat eksklusif dari perjanjian lisensi itu sendiri. Selain itu Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek juga memberikan keleluasaan terhadap Pemberi Lisensi untuk memberikan lisensi kepada pihak lain diluar pihak penerima lisensi, dengan catatan apabila pada perjanjian lisensi dengan penerima lisensi sebelumnya, sudah disepakati bahwa penerima lisensi, bukanlah pemegang lisensi tunggal dari yurisdiksi wilayah yang bersangkutan.

(31)

Selain itu, syarat pencatatan perjanjian lisensi pada Dalam Pasal 43 (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek merupakan syarat mutlak yang wajib dilaksanakan oleh pihak pemberi maupun penerima lisensi dalam rangka memperoleh hak atas perlindungan hukum terhadap perjanjian lisensi tersebut.

Larangan terhadap muatan perjanjian lisensi diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang berbunyi sebagai berikut :

1. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya. 2. Direktorat Jenderal wajib menolak permohonan pencatatan perjanjian Lisensi

yang memuat larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis penolakan beserta alasannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemilik Merek atau Kuasanya, dan kepada penerima Lisensi.

Hal ini sekaligus memberikan batasan terhadap materi perjanjian lisensi yang akan dibuat oleh calon pemberi lisensi dan penerima lisensi sehingga meminimalisasi dan menutup kemungkinan terhadap adanya jenis perjanjian lisensi dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.

Gambar

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian 56

Referensi

Dokumen terkait

Faktor varietas pisang (V) berpengaruh nyata terhadap aroma, rasa, dan warna yang timbul pada sari buah pisang, sedangkan konsentrasi ragi (S) tidak berpengaruh nyata terhadap

Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan metformin 850 mg/ hari pada diet rendah lemak selama 24 minggu menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan nilai

teknik angket, tes dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi linear ganda, uji F, uji t, uji R 2 dan perhitungan sumbangan relatif dan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan logam berat Pb, Cu, Zn pada daging dan cangkang kerang hijau (P. viridis) berdasarkan ukurannya, mengetahui perbedaan

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan informasi adalah pekerjaan, personalitas yaitu aspek psikologis pencari informasi,

kendaraan yang digunakan oleh anggota Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dalam melakukan operasi adalah milik pribadi. Selain itu peralatan yang dimiliki oleh Kepolisian

Reference Group atau Kelompok Acuan berpengaruh terhadap Perpindahan Merek ( Brand Switching) sesuai hasil penelitian Mantasari (2013).Hal ini didukung dengan